Paling Berkesan_ assalamualaikumwr.wb dan salam sejahtera semoga rahmat serta hidayah Allah selalu terlimpahkan pada kita semua.amin
Dan serta salam kita curahkan pada baginda besar nabi muhammad utusan Allah Swt.
Izinkanlah saya membahas perihal aturan islam perihal binatang yang hidup dua alam yaitu darat dan air,berikut ulasannya:
Pertama: Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia)
Pertanyaan: Apakah dibolehkan memakan kura-kura, kuda laut, buaya, landak laut? Ataukah hewan-hewan tersebut haram dimakan?
Jawaban:
Landak bahari halal untuk dimakan. Hal ini menurut keumuman ayat,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah: “Tiadalah saya peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – alasannya yaitu gotong royong semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).
Hukum asal segala sesuatu yaitu halal hingga ada dalil yang menyatakannya haram.
Adapun binatang kura-kura, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan meskipun tidak disembelih. Hal ini menurut keumuman firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan bahari dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).
Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal air laut,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air bahari itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. At Tirmidzi no. 69, An Nasai no. 332, Abu Daud no. 83, Ibnu Majah no. 386, Ahmad 2/361, Malik 43, Ad Darimi 729) . Akan tetapi untuk kehati-hatian, kura-kura tersebut tetap disembelih semoga keluar dari perselisihan para ulama.
Adapun buaya, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan sebagaimana ikan alasannya yaitu keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan. Sebagian lainnya menyampaikan tidak halal. Namun yang rojih (pendapat terkuat) yaitu pendapat pertama (yang menghalalkan buaya).
Adapun kuda laut, ia juga halal dimakan menurut keumuman ayat dan hadits yang telah lewat, juga dihalalkan alasannya yaitu tidak adanya dalil penentang. Kuda yang hidup daratan itu halal dengan nash (dalil tegas), sehingga kuda bahari pun lebih pantas dinyatakan halal.
[Yang menandatangani ajaran ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota]
Kedua: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
Dalam Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, Syaikh rahimahullah mengatakan, “Seluruh binatang air itu halal bahkan untuk orang yang sedang ihrom. Orang yang sedang ihrom boleh baginya berburu di laut. Hal ini menurut firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
“Dihalalkan bagimu binatang buruan bahari (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang enak bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kau dalam ihram.”
(QS. Al Maidah: 96)
Yang dimaksud “shoidul bahr” yaitu binatang air yang ditangkap dalam keadaan hidup. Sedangkan yang dimaksud “tho’amuhu” yaitu binatang air yang ditemukan dalam keadaan sudah mati.
Ayat tersebut menandakan (yang artinya), “Dihalalkan bagimu binatang buruan bahari (yang ditemukan dalam keadaan hidup)”. Secara tekstual (zhohir ayat), tidak ada yang mengalami pengecualian dalam ayat tersebut. Karena “shoid” dalam ayat tersebut yaitu mufrod mudhof.
Sedangkan menurut kaedah mufrod mudhof menyampaikan umum (artinya: seluruh tangkapan binatang air yaitu halal, pen), sebagaimana pula dalam firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan kalau kau menghitung nikmat Allah, tidaklah sanggup kau menghinggakannya” (QS. Ibrahim: 34). Mufrod mudhof dalam kata nikmat menyampaikan atas seluruh nikmat.
Jadi pendapat yang menyatakan halalnya seluruh binatang air (tanpa pengecualian), itulah yang lebih tepat. Sebagian ulama mengecualikan katak, buaya, dan ular (yang hanya hidup di air).
Mereka menyatakan hewan-hewan ini tidak halal. Namun pendapat yang sempurna hewan-hewan tadi tetap halal (kecuali katak, pen). Seluruh binatang air itu halal, baik ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 129, side A[7]]
Dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh rahimahullah ditanya, “Apa aturan makan katak, ular (yang hanya hidup di air), dan kepiting?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Kalau kita melihat keumuman firman Allah Ta’ala,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan bahari (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang enak bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96), menyampaikan bahwa hewan-hewan tersebut halal kecuali katak. Ia bukanlah binatang air. Katak hidup di darat dan di air sehingga ia tidak masuk dalam keumuman ayat tadi. [Liqo’ Al Bab Al Maftuh kaset no. 112, side B
Beliau juga ditanya dalam kajian Nur ‘ala Ad Darb, “Daging buaya dan kura-kura itu halal dimakan ataukah haram? Karena kami menemukan makanan semacam itu di negeri kami, Sudan. Berilah klarifikasi pada kami. Barakallahu fiikum.”
Beliau menjawab, “Semua binatang air itu halal, baik yang ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. Allah Ta’ala berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan bahari (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang enak bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96) Ibnu ‘Abbas menyampaikan bahwa “shoidul bahr” maknanya yaitu binatang air yang ditangkap hidup-hidup.
Sedangkan “tho’amuhu” yaitu binatang air yang ditangkap dalam keadaan mati. Akan tetapi sebagian ulama katakan bahwa buaya itu tidak halal alasannya yaitu buaya termasuk binatang yang bertaring. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memakan binatang yang bertaring baik itu binatang buas.
Sedangkan binatang darat piaraan (jinak) yang bertaring pun diharamkan. Akan tetapi, zhohir (tekstual) surat Al Maidah ayat 69 menyampaikan akan halalnya buaya. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 137, side A]
Syaikh rahimahullah pernah menyannggah orang yang mengharamkan buaya dengan alasan bahwa buaya itu bertaring. Syaikh menyatakan bahwa yang dimaksud larangan dalam hadits yaitu untuk binatang darat yang bertaring. Sedangkan binatang buas yang hidup di air, maka ia mempunyai aturan tersendiri. Oleh alasannya yaitu itu, dihalalkan memakan ikan hiu. Padahal ikan hiu juga mempunyai taring yang dipakai untuk memangsa buruannya. (Lihat Syarhul Mumthi’, 15/34-35)
Ulama dikala ini yang juga menghalalkan buaya yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah (Fatwanya, 23/24) sebagaimana dia pun mendukung pendapat ini dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah yang telah lewat.
Ringkasan: Penjelasan ini menyampaikan bahwa buaya, kura-kura dan kepiting itu halal dimakan. Halalnya hewan-hewan ini sesuai dengan pendapat ulama Malikiyah alasannya yaitu mereka menganggap setiap binatang air itu halal.
Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa kepiting dan kura-kura itu haram alasannya yaitu dianggap jijik (khobits), maka ini perlu ditinjau. Karena khobits (jijik) itu bukanlah dalil tegas akan haramnya sesuatu. Adapun, katak ada dalil tegas yang menyampaikan akan haramnya alasannya yaitu ia termasuk binatang yang dihentikan dibunuh.
Sumber http://palingberkesan.blogspot.com
EmoticonEmoticon