Purworejo yang dikenal sebagai kota pensiunan ini ternyata mempunyai banyak sekali p0juang yang berperan besar untuk Republik Ini. Siapa sajakah Itu?
1. Wage Rudolf Supratman
Wage RUdolf Soepratman dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Tempat kelahiran dan kehidupan langsung Wage Rudolf Supratman, pendekar nasional pencipta lagu Kebangsaan Indonesia Raya, sempat menjadi kontroversi sejarah. Sebelum diluruskan, banyak sejarah mencatat Wage Rudolf Supratman terlahir di Jatinegara, Jakarta.
Namun sesungguhnya Purworejo lah tempat kelahirannya lantaran hal tersebut didukung oleh keluarga Soepratman dan dikuatkan dengan keputusan Pengadilan Negeri Kabupaten Purworejo Nomor 04/Pdt/P/2007/PN PWR tertanggal 29 Maret 2007.
Wage Rudolf Soepratman dikenal sebagai seorang komponis yang membuat lagu kebangsaan Indonesia. Judul lagu kebangsaan tersebut yakni Indonesia Raya.
Lagu tersebut berhasil membangkitkan semangat persatuan dari banyak sekali kalangan p0juang yang pada waktu itu masih belum benar-benar bersatu untuk meraih kemerdekaan.
W.R Soepratman telah menjalani suka murung sebagai warga negara Hindia-Belanda. Sepanjang sejarah beliau, W.R Soepratman telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dengan cara yang unik dan berbeda lantaran dia berjuang dengan memakai lagu.
Di sisi lain, sejarah WR Supratman tidak hanya sebagai komposer, tetapi juga jurnalis dan penulis handal di jaman itu, serta melahirkan buku-buku.
2. Jendral Ahmad Yani
Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga Wongsoredjo, keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik Belanda. Pada tahun 1927, Yani pindah dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya sekarang bekerja untuk General Belanda.
Di Batavia, Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar dan menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan akademi untuk menjalani wajib militer di tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia berguru topografi militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada ketika yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.
Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta (Pembela Tanah Air), dan menjalani training lebih lanjut di Magelang. Setelah menuntaskan training ini, Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk mendapatkan pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur.
Kolonel Yani memimpin briefing pada 12 April 1958 (umur 35) selama "Operasi Agustus 17
Setelah Kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara republik yang masih muda dan berjuang melawan Belanda. Selama bulan-bulan pertama sehabis Deklarasi Kemerdekaan, Yani membentuk batalion dengan dirinya sebagai Komandan dan memimpin kepada kemenangan melawan Inggris di Magelang.
Yani kemudian diikuti ini dengan berhasil mempertahankan Magelang melawan Belanda ketika ia mencoba untuk mengambil alih kota, menerima julukan "Juruselamat Magelang". Sorot lain yang menonjol karier Yani selama periode ini yakni serangkaian serangan gerilya yang diluncurkan pada awal 1949 untuk mengalihkan perhatian Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto dipersiapkan untuk Serangan Umum 1 Maret yang diarahkan pada Yogyakarta.
Pada bulan Agustus tahun 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pemberontak di Sumatera Barat. Pasukannya berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini menyebabkan ia dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962, dan kemudian Kepala Angkatan Darat stafnya pada 13 November 1963 (otomatis menjadi anggota kabinet), menggantikan Jenderal Nasution.
Jendral Ahmad Yani menjadi korban dari gerakan 30 september PKI pada 1 oktober 1965 dini hari. Ia menerima penghargaan pendekar revolusi.
3. Jendral Oerip Soemoharjo
Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Anumerta) Oerip Soemohardjo (EYD: Urip Sumoharjo; lahir 22 Februari 1893 – meninggal 17 November 1948 pada umur 55 tahun) yakni seorang jenderal dan kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia.
Lahir di Purworejo, Hindia Belanda, Oerip kecil yakni anak badung yang sudah mengatakan kemampuan memimpin semenjak usia dini. Orangtuanya menginginkan dirinya untuk mengikuti jejak kakeknya sebagai bupati, oleh lantaran itu, setamat sekolah dasar, ia dikirim ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (OSVIA) di Magelang. Ibunya wafat ketika ia menjalani tahun kedua di sekolah, dan Oerip berhenti sekolah untuk mengikuti training militer di Meester Cornelis, Batavia (kini Jatinegara, Jakarta).
Setelah lulus pada tahun 1914, ia menjadi letnan di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), tentara pemerintah kolonial Belanda. Bertugas selama hampir 25 tahun, ia ditempatkan di tiga pulau berbeda dan dipromosikan beberapa kali, dan kesudahannya menjadi perwira pribumi dengan pangkat tertinggi di KNIL.
Oerip mengundurkan diri dari jabatannya sekitar tahun 1938 sehabis berselisih dengan Bupati Purworejo, tempat ia ditempatkan. Oerip dan istrinya, Rohmah, kemudian pindah ke sebuah desa di akrab Yogyakarta.
Di sana, mereka membangun sebuah vila dan kebun bunga yang luas. Setelah Jerman Nazi menginvasi Belanda pada bulan Mei 1940, Oerip dipanggil kembali untuk bertugas. Ketika Kekaisaran Jepang menduduki Hindia dua tahun kemudian, Oerip ditangkap dan ditahan di kamp tawanan perang selama tiga setengah bulan. Ia melalui sisa masa pendudukan Jepang di vilanya.
Pada tanggal 14 Oktober 1945, beberapa bulan sehabis Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Oerip ditetapkan sebagai kepala staff dan pemimpin sementara angkatan perang yang gres dibentuk. Oerip berupaya untuk menyatukan kekuatan kelompok-kelompok militer yang terpecah-pecah di Indonesia. Pada 12 November 1945, Jenderal Soedirman terpilih sebagai panglima angkatan perang sehabis melalui dua tahap pemungutan bunyi buntu.
Oerip tetap menjabat sebagai kepala staff, dan mereka berdua sama-sama mengawasi pembangunan angkatan perang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Merasa muak atas kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap militer dan manuver politik yang terjadi di badan militer, Oerip kesudahannya mengundurkan diri pada awal 1948.
Mengidap lemah jantung, kondisi kesehatannya memburuk dan ia wafat lantaran serangan jantung beberapa bulan kemudian. Berpangkat letnan jenderal pada ketika kematiannya, Oerip secara anumerta dipromosikan menjadi jenderal penuh. Ia mendapatkan beberapa penghargaan dari pemerintah Indonesia, termasuk gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1964.
4. Sarwo Edhie Wibowo
Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo (lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1925 – meninggal di Jakarta, 9 November 1989 pada umur 64 tahun) yakni seorang tokoh militer Indonesia. Ia yakni ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara Republik Indonesia, yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga ayah dari mantan KSAD, Pramono Edhie Wibowo.
Ia mempunyai kiprah yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada ketika ini). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo (lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1925 meninggal di Jakarta, 9 November 1989 pada umur 64 tahun) yakni seorang tokoh militer Indonesia.
Ia mempunyai kiprah yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada ketika ini). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.
5. Kasman Singodimejdo
Mr. Kasman Singodimedjo (lahir di Poerworedjo, Jawa Tengah, 25 Februari 1904 – meninggal di Jakarta, 25 Oktober 1982 pada umur 78 tahun) yakni Jaksa Agung Indonesia periode 1945 hingga 1946 dan juga mantan Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II. Selain itu ia juga yakni Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal dari DPR.
Kasman menjadi salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pria kelahiran Purworejo, 25 Februari 1904 ini termasuk dalam enam orang anggota PPKI pemanis ketika Presiden Soekarno menambah jumlah anggota PPKI dari 21 orang menjadi 27 orang.
Semasa menjadi anggota PPKI, Kasman mempunyai kiprah dalam penghilangan tujuh kata dalam naskah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuh kata tersebut yakni, "Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya". Perwakilan daerah Indonesia timur keberatan pemasukan tujuh kata ini lantaran lebih banyak didominasi mereka nonmuslim. Atas hal ini, dalam perembukan, Kasman menjadi pembujuk tokoh Islam lain semoga tujuh kata ini dihilangkan untuk menghormati perwakilan Indonesia timur tersebut.
Ia diberi gelar pendekar nasional pada tanggal 10 November, 2018 bertepatan dengan peringatan hari pahlawan.
Demikian artikel 5 Pahlawan Nasional Dari Purworejo semoga bisa bermanfaat.
Sumber: wikipedia Sumber http://awalilmu.blogspot.com
EmoticonEmoticon