Rabu, 06 September 2017

6 Hal Yang Berkaitan Dengan Bulan Sya'ban

ban berada di antara bulan hijriyah Rajab dan Ramadhan 6 Hal Yang Berkaitan Dengan BULAN SYA'BAN

Bulan Sya’ban yakni bulan yang ke-8 dalam sistem kalender Islam. Bulan Sya’ban berada di antara bulan hijriyah Rajab dan Ramadhan. Nama bulan ini berakar dari kata bahasa arab tasya’aba yang berarti berpencar. Pada masa itu, kaum arab biasa pergi memencar, keluar mencari air. Bulan Sya’ban juga berasal dari kata sya’aba yang berarti merekah atau muncul dari kedalaman sebab ia berada di antara dua bulan yang mulia juga.

Rasulullah menyebut bulan Sya’ban ini sebagai bulan yang sering dilupakan manusia. Ia dilupakan sebab berada di antara dua bulan yang menyedot perhatian: bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan Rajab diperhatikan sebab ia merupakan salah satu dari bulan Haram, sementara Ramadhan sebab adanya kewajiban puasa sebulan penuh di dalamnya.

Berikut ini uraian singkat wacana beberapa persoalan yang berkaitan dengan bulan Sya’bân:

PERTAMA, TENTANG KEUTAMAAN PUASA BULAN SYA’BÂN

Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah radhiyallâhu'anhamenceritakan,
“Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan saya tidak pernah melihat Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallampuasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa Beliau pada bulan Sya’bân.”
Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain,
“Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa penuh pada bulan Sya’bân.”
Dalam riwayat lain Imam Muslim,
“Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân kecuali sedikit.”
Imam Ahmad rahimahullâh dan Nasa’i rahimahullâh meriwayatkan sebuat hadits dari Usâmah bin Zaid radhiyallâhu'anhu, dia mengatakan,

“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan sebagaimana Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân. Lalu ada yang berkata, ‘Aku tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya’bân.’ Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, ‘Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan Ramadhân. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat kehadirat Rabb, maka saya ingin amalan saya diangkat ketika saya sedang puasa."
KEDUA, TENTANG PUASA NISFU (PERTENGAHAN) SYA’BÂN

          Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan dalam al- Lathâ’if, (hlm. 143, cet. Dar Ihyâ’ Kutubil Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah dari ‘Ali radhiyallâhu'anhu bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allâh Ta'ala turun pada ketika matahari tenggelam, kemudian berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun kemudian akan saya ampuni ? adakah yang memohon rizki kemudian akan saya beri ? …”

Saya mengatakan,
“Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau rahimahullâh menyampaikan (Majmu’ Fatawa dia 5/622), ‘Yang benar, hadits itu maudhu’ (palsu), sebab dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullâh dan Yahya bin Ma’in rahimahullâhmengatakan, ‘Orang ini pernah menggandakan hadits'.”
          Berdasarkan klarifikasi ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu bukan amalan sunnah. Karena menurut akad para ulama’, aturan syari’at tidak sanggup ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini sanggup tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini sanggup naik derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Hadits Hasan Lighairi boleh dijadikan landasan untuk bersedekah kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).

KETIGA, TENTANG KEUTAMAAN MALAM NISFU SYA’BÂN

            Ada beberapa riwayat yang dikomentari sendiri oleh Ibnu Rajab rahimahullâh setelah membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullâh menilai sebagiannya shahih dan dia membawakannya dalam shahih Ibnu Hibbân.

Diantara contohnya, dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallâhu'anha,
“Sesungguhnya Allâh Ta'ala akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’bân kemudian Allâh Ta'ala menunjukkan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb.”
           Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Tirmidzi rahimahullâhmenyebutkan bahwa Imam Bukhâri rahimahullâh menilai hadits ini lemah. Kemudian Ibnu Rajabrahimahullâh menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya mengatakan, “Dalam kepingan ini terdapat beberapa hadits lainnya namun mempunyai kelemahan. “

           As-Syaukâni rahimahullâh menyebutkan bahwa dalam riwayat ‘Aisyah radhiyallâhu'anhatersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Bâz rahimahullâhmenyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak sanggup dijadikan pedoman wacana keutamaan malam nisfu Sya’bân.

KEEMPAT, TENTANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BÂN

Untuk persoalan ini ada tiga tingkatan:

Tingkatan pertama, shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa melakukannya diluar malam nisfu Sya’bân. Seperti orang yang terbiasa melaksanakan shalat malam. Jika orang ini melaksanakan shalat malam yang biasa dilakukannya diluar malam nisfu Sya’bân pada malam nisfu Sya’bân tanpa menunjukkan pemanis khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini mempunyai keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa. Karena ia tidak membuat-buat suatu yang gres dalam agama Allâh Ta'ala

Tingkatan kedua, shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya’bân. Ini termasuk bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang menyatakan Beliaumemerintahkan, atau mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali radhiyallâhu'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah rahimahullâh, “Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya.”, sudah dijelaskan (di atas) bahwa Ibnu Rajab rahimahullâh menilainya lemah, sementara Rasyid Ridha rahimahullâh menilainya palsu.

Hadits mirip ini tidak sanggup dijadikan sandaran untuk memutuskan aturan syar’i. Para Ulama menunjukkan toleran dalam persoalan bersedekah dengan hadits lemah dalam persoalan fadhâilul a’mâl, tapi itupun dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya,
  • Syarat pertama, kelemahan hadits itu tidak parah. Sementara kelemahan hadits (tentang shalat nisfu Sya’bân) ini sangat parah. Karena diantara perawinya ada orang yang pernah menggandakan hadits, sebagaimana kami nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh.
  • Syarat kedua, hadits yang lemah itu menjelaskan suatu yang ada dasarnya. Misalnya, ada ibadah yang ada dasarnya kemudian ada hadits-hadits lemah yang menjelaskannya sementara kelemahannya tidak parah, maka hadits-hadits lemah ini sanggup menunjukkan pemanis motivasi untuk melakukannya, dengan mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa meyakininya sepenuh hati. Artinya, jikalau benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya, sedangkan jikalau tidak benar, maka itu tidak membahayakannya sebab ada dalil lain yang dijadikan landasan utama.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat nisfu Sya’bân, syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi sebab perintah ini tidak mempunyai dalil yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajabrahimahullâh dan yang lainnya.

Dalam al-Lathâif (hlm. 145) Ibnu Rajab rahimahullâh mengatakan,
“Begitu juga wacana shalat malam pada malam nisfu Sya’bân, tidak ada satu dalil sahih pun dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam maupun dari shahabat.
Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh mengatakan,
“Allâh Ta'ala tidak mensyari’atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada malam nisfu Sya’bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui verbal Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga tidak melalui sunnah Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.”
Syaikh Bin Baz rahimahullâh mengatakan,
“Semua riwayat yang menandakan keutamaan shalat malam nisfu Sya’bân yakni riwayat palsu.”
Keterangan terbaik wacana shalat malam nisfu Sya’bân yaitu perbuatan sebagian tabi’in, sebagaimana klarifikasi Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. 144), “Malam nisfu Sya’bân diagungkan oleh tabi’in dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah pada malam itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan malam ini diambil.

Ada yang mengatakan, ‘Riwayat yang hingga kepada mereka wacana malam nisfu Sya’bân itu yakni riwayat-riwayat isra’iliyyat.’ Ketika kabar ini tersebar diseluruh negeri, insan mulai berselisih pendapat, ada yang menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Sya’bân, sedangkan Ulama Hijâz mengingkarinya. Mereka mengatakan, ‘Semua itu perbuatan bid’ah.’

Tidak diragukan lagi, pendapat ulama Hijaz ini yakni pendapat yang benar sebab Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kau agamamu, 
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” 
(QS. al-Maidah/5:3)


Seandainya shalat malam nisfu Sya’bân itu kepingan dari agama Allâh, tentu Allâh Ta'ala jelaskan dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melalui ucapan maupun perbuatan Beliau. Ketika keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus ini bukan kepingan dari agama Allâh Ta'ala.

Semua (ibadah) yang bukan kepingan dari agama Allâh Ta'ala yakni bid’ah, sementara ada dalil shahih dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, bahwa Beliau bersabda, "Semua bid’ah itu sesat.”

Tingkatan ketiga, dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu dan ini dilakukan tiap tahun.Maka ini lebih parah daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari sunnah. Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya yakni hadits palsu.

As-Syaukâni rahimahullâh menyampaikan (al-Fawâidul Majmû’ah, hlm. 15),
“Semua riwayat wacana shalat malam nisfu Sya’bân ini yakni riwayat bathil dan palsu.”
KELIMA, TERSEBAR KABAR DI MASYARAKAT BAHWA PADA MALAM NISFU SYA’BÂN ITU DITENTUKAN APA YANG AKAN TERJADI TAHUN ITU

Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir insiden selama setahun itu yaitu pada malam qadar lailatul Qadar).

Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Hâ mîm. Demi Kitab (al Qur’ân) yang menjelaskan. 

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi 
dan bahwasanya Kami-lah yang memberi peringatan. 
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah."
(QS. ad-Dukhân/44:1-4)

Malam diturunkannya al-Qur’ân yakni lailatul qadar. Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qurân) pada malam kemuliaan.”

(QS. al-Qadr/97:1)


yaitu pada bulan Ramadhân, sebab Allâh Ta'ala menurunkan al-Qur’an pada bulan itu.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur’ân.” 

(QS. al-Baqarah/2:185)


Orang yang mengira bahwa malam nisfu Sya’bân merupakan waktu Allâh Ta'ala memilih apa yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah menyelisihi kandungan al-Qur’an.

KEENAM, ADA SEBAGIAN ORANG MEMBUAT MAKANAN PADA HARI NISFU SYA’BÂN DAN MEMBAGIKANNYA KEPADA FAKIR MISKIN
          Ini yang mereka namakan ‘asyiyâtul wâlidain. Perbuatan ini juga tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya’bân termasuk amalan bid’ah yang telah diperingatkan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dengan sabda Beliau, ”Semua bid’ah itu sesat.”

          Ketahuilah, orang yang menciptakan kebid’ahan dalam agama Allâh Ta'ala ini berarti dia telah terjerumus dalam beberapa larangan :

a.  Perbuatannya menyiratkan pendustaan terhadap kandungan firman Allâh Ta'ala, yang artinya

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kau agamamu.” 

(QS. al-Maidah/5:3)


Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai kepingan dari agama ini tidak termasuk agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid’ahan ini berarti agama itu belum tepat (sehingga perlu disempurnakan-red)

b. Membuat-buat suatu yang gres menyiratkan kelancangan terhadap Allâh dan rasulNya.

c.  Orang yang membuat-buat suatu yang gres berarti ia memposisikan dirinya sama dengan Allâh Ta'ala dalam menghukumi manusia. Allâh berfirman, yang artinya,

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh 

yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh?” 
(QS. as-Syuura/42:21)

d.  Membuat-buat suatu gres berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa amalan ini kepingan dari agama dan kedua, Nabi tahu namun Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyembunyikannya. Kedua anggapan ini yakni celaan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebab yang pertama menuduh Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu syari’at dan kedua menuduh Beliau menyembunyikan kepingan dari agama Allâh yang Beliau ketahui.

e.  Kebid’ahan menyebabkan insan berani terhadap syari’at Allâh Ta'ala. Ini sangat tidak boleh oleh Allâh Ta'ala.

f.  Kebid’ahan ini akan memecah belah umat. Karena masing-masing menciptakan manhaj sendiri dan menuduh yang lain masih kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa yang tidak boleh Allâh Ta'ala dalam firman-Nya, yang artinya,

“Dan janganlah kau ibarat orang-orang 
yang bercerai-berai dan berselisih 
sesudah tiba keterangan yang terang kepada mereka. 
mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,"
(QS. Ali Imrân/3:105)

dan dalam firman-Nya, yang artinya,

“Sesungguhnya orang-orang yang laga domba agama mereka

dan mereka menjadi bergolong-golong, 
tidak ada sedikitpun tanggung-jawabmu kepada mereka. 
Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allâh, 
kemudian Allâh akan memberitahukan kepada mereka 
apa yang telah mereka perbuat.” 
(QS. al-An’âm/6:159)


g.  Kebid’ahan ini menciptakan pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyariatkan. Para pembuat bid’ah itu, tidaklah menciptakan suatu kebid’ahan kecuali pada ketika yang sama dia telah menghancurkan syariat yang sepadan dengannya.

Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu sudah cukup bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allâh Ta'ala.

Allâh Ta'ala berfirman,

“Wahai manusia, bahwasanya telah tiba kepadamu pelajaran dari Rabb kalian 

dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada 
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah, “Dengan kurnia Allâh dan rahmat-Nya,
hendaklah mereka bergembira dengannya. karunia Allâh 
dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. 
(QS. Yûnus/10:57-58)

Dalam ayat lain Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,

“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku,

ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
(QS. Thaha/20:123)

Akhirnya saya memohon kepada Allâh Ta'ala biar senantiasa menunjukkan petunjuk kepada kita dan kepada saudara-saudara kita kaum Muslimin menuju shirâtul mustaqîm dan saya memohon kepada Allâh Ta'ala biar senantiasa menolong kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allâh Maha Dermawan dan Maha Pemurah.

Sumber http://nandarious.blogspot.com


EmoticonEmoticon