Kamis, 18 Januari 2018

Pengertian Dan Sejarah Shalat Tarawih

Pengertian Shalat Tarawih

Kata “tarawih” merupakan bentuk jamak (plural) dari tarwihah, artinya istirahat untuk menghilangkan kepenatan, berasal dari kata ar-rahah (rehat) yang berarti hilangnya kesulitan dan keletihan.
Kata tarwihah pada mulanya dipakai untuk majelis secara umum. Kemudian kata itu dipakai untuk menawarkan majelis yang diadakan setelah empat rakaat pada malam-malam bulan Ramadhan.
Kemudian setiap empat rakaat itu dinamakan tarawih secara majas. Shalatnya dinamakan shalat tarawih, alasannya kaum muslimin dahulu suka memanjangkan shalat mereka, kemudian duduk beristirahat setelah empat rakaat, setiap dua rakaat ditutup dengan satu salam.
Salat Tarawih (kadang-kadang disebut teraweh atau taraweh) ialah shalat sunnat malam yang dikerjakan pada bulan Ramadhan, shalat Tarawih hukumnya sunah muakkad, boleh dikerjakan sendiri atau berjama’ah, shalat Tarawih dilakukan setelah shalat Isya hingga waktu fajar

Tarawih dalam bahasa Arab ialah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ yang diartikan sebagai “waktu sesaat untuk istirahat”. Waktu pelaksanaan salat sunnat ini ialah selepas isya’, biasanya dilakukan secara berjama’ah di masjid.
Fakta menarik ihwal salat ini ialah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanya pernah melakukannya secara berjama’ah dalam 3 kali kesempatan. Disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kemudian tidak melanjutkan pada malam-malam berikutnya alasannya takut hal itu akan menjadi diwajibkan kepada ummat muslim (lihat sub seci hadits ihwal tarawih).

Sejarah Shalat Tarawih

Pada suatu malam di bulan Ramadan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar menuju masjid untuk mendirikan shalat malam. Lalu datanglah beberapa sahabat dan bermakmum di belakang beliau. Ketika Shubuh tiba, orang-orang berbincang-bincang mengenai hal tersebut. Pada malam selanjutnya, jumlah jamaah semakin bertambah daripada sebelumnya. Demikianlah seterusnya hingga tiga malam berturut-turut.
Pada malam keempat, masjid menjadi sesak dan tak bisa menampung seluruh jamaah. Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tak kunjung keluar dari kamarnya. Hingga fajar menyingsing, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam gres keluar untuk menunaikan shalat Shubuh. Selepas itu dia berkhutbah, “Saya telah mengetahui kejadian semalam. Akan tetapi saya khawatir shalat itu akan diwajibkan atas kalian sehingga kalian tidak bisa melakukannya.”
Akhirnya shalat malam di bulan Ramadhan dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Kondisi menyerupai itu berlanjut hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal kekhalifahan Umar bin Khattab. Baru kemudian pada tahun ke-4 Hijriah, Khalifah Umar berinisiatif untuk menyebabkan shalat tersebut berjamaah dengan satu imam di masjid. Beliau menunjuk Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dariy sebagai imamnya. Khalifah Umar kemudian berkata, “Sebaik-baik bid’ah ialah ini.”

Imam Abu Yusuf pernah bertanya kepada Imam Abu Hanifah ihwal shalat tarawih dan apa yang diperbuat oleh Khalifah Umar. Imam Abu Hanifah menjawab, “Tarawih itu sunnah muakkadah (ditekankan). Umar tidak pernah membuat-buat perkara gres dari dirinya sendiri dan dia bukan seorang pembuat bid’ah. Beliau tak pernah memerintahkan sesuatu kecuali menurut dalil dari dirinya dan sesuai dengan masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Umar telah menghidupkan sunnah ini kemudian mengumpulkan orang-orang pada Ubay bin Kaab kemudian menunaikan shalat itu secara berjamaah, sementara jumlah para sahabat sangat melimpah, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, dan tak satu pun yang mengingkari hal itu. Bahkan mereka semua setuju dan memerintahkan hal yang sama.”

Sumber http://fikridesain.blogspot.com/


EmoticonEmoticon