Sabtu, 17 Maret 2018

Lovely Maid Part 13




 Lovely Maid Part 13




“Meja nomor tujuh,” teriak Shilla dalam balutan seragam kerjanya. Celana jeans dengan atasan kaos berwarna kuning serta sebuah topi berwarna merah berpadu kuning lengkap dengan celemek kecil di pinggangnya. Ya, Shilla yakni pelayan disalah satu restoran fast foof di Jakarta.
       Seorang pelayan yang usianya kira-kira empat tahun di atas Shilla tiba menghampiri Shilla dengan dua buah nampan yang penuh dengan makanan. “Ini lo anterin, Shil.”
       Shilla mengangguk dan berjalan cepat menuju meja nomor tujuh. “Ini pesananya,” ucap Shilla sambil meletakkan makanan  yang dipesan di meja nomor tujuh. “Silakan dinikmati. Bila ada yang kurang, bisa panggil saya saja,” ucap Shilla sebelum pamit ke belakang.
       Hari ini pekerjaan Shilla tidak mengecewakan banyak dan beliau hampir belum istirahat sama sekali semenjak jam kerjanya dimulai. Ketika tiba, beliau harus segera mengantarkan pesanan ke meja nomor sebelas, kemudian lanjut ke nomor enam, dan seterusnya beliau lupa ke berapa dan yang ke tujuh tadi yakni meja terakhir yang pesanannya harus diantarkan Shilla mungkin.
       Baru saja ia mengelap keringatnya memakai tissue, tiba-tiba seseorang memanggil dirinya.
       “Shilla, meja nomor sembilan. Datengin gih!!!” teriak Mbak Vega kepadanya.
       Shilla mengangguk dan segera berjalan menuju meja nomor sembilan. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Shilla sesudah berdiri di pinggir meja nomor sembilan. Dari dulu –saat pertama kali kerja di sini– Shilla berangan-angan jikalau nanti beliau pergi ke sini bersama orang yang sangat special dihatinya, beliau ingin duduk di meja ini. Karena di antara meja-meja lainnya, meja ini yang paling menarik. Berada di erat riam dalam ruangan dan erat dengan jendela sehingga bisa menikmati pemandangan dari luar. Meja ini sungguh membuatnya tertarik.
       “Gue mau pesan cappuccino mocca dan original chiken. Lo mau pesan apa, Yas?” tanya konsumen Shilla.
       “Aku mau apa ya? Grapefruite sama original chicken juga, Yel, hehehe,” jawab gadis yang Shilla kira umurnya tidak jauh dengan dirinya.
       Dengan cepat Shilla eksklusif mencatat pesanan kedua pelanggannya ini. “Jadi, Tuan memesan cappuccino mocca satu, grapefruit satu, dan dua original chicken?” tanya Shilla untuk memastikan.
       Laki-laki yang duduk di kursi pengunjung itu mengangkat wajahnya dan terkejutlah Shilla. Pelanggan itu yakni abang kelasnya yang super sok dan antipati sekali dengan dirinya. Dan lihat, kini abang kelasnya itu melihat Shilla dalam balutan seragam pekerja. Dan bagaimana reaksi abang kelas itu????
       Mata Gabriel sukses membola sejenak ketika ia mendapati adik kelasnya itu berdiri di sebelah mejanya dengan seragam pekerja restoran ini membalut tubuhnya. Dia tidak menyangka akan bertemu di sini dan itu membuatnya tersenyum penuh kemenangan.
       “Iya benar. Itu semua pesanan saya bersama gadis ini, PELAYAN!” jawab Gabriel dengan air muka sinis sambil menatap Shilla.
       Ingin sekali Shilla mencekik abang kelasnya ini kini juga. Tidak perlu menyampaikan pelayan dengan penuh penekanan, beliau juga tahu, cukup dengan kata pelayan biasa saja. Lagian, Shilla juga tahu maksud abang kelasnya itu. Hanya sekedar untuk merendahkannya saja. Dan itu sudah terlalu sering dilakukan.
       “Baiklah, akan segera saya antarkan. Mohon ditunggu,” ucap Shilla setenang mungkin. Dia harus bisa mengendalikan emosinya walaupun beliau ingin sekali menciptakan perhitungan kepada abang kelasnya itu. Ingin sekali Shilla menonjok muka Gabriel dengan sepenuh jiwa. Ingin sekali beliau menguncir bibir Gabriel yang selalu mengejek dan menghinanya itu. Ingin sekali beliau lakukan, namun kini lebih baik beliau segera memberikan pesanan dari meja sembilan kepada potongan dapur.

****************

Alvin berjalan-jalan dengan santai di sekitar rumahnya. Sore ini kegiatannya kosong sama sekali. Dia tidak memiliki satupun agenda untuk menyibukkan dirinya. Bagaimana dengan kencan dengan salah satu gadis? Apakah Aren??
       Sebenarnya Alvin tidak terlalu rishi terhadap Aren, hanya saja beliau kurang suka terlibat dengan acara Aren, ibarat kesalon, belanja, dan sebagainya. Alvin lebih suka berjalan-jalan di alam bebas, menikmati pemandangan yang sangat indah ibarat sore ini.
       Biarpun hanya berkeliling taman belakang rumahnya, beliau tidak terlalu bosan. Udara alami membuatnya merasa segar. Lalu, Alvin duduk di salah satu kursi taman yang tidak jauh dari kolam ikan koi di taman itu.
       Drrrrtttt… drrrtttt… drrtttt… drrttt….
       “Siapa nelpon ketika jam-jam segini,” dumel Alvin.
       “Hallo, Vin,” sapa bunyi dari seberang sana.
       “Ada apa, Ren?” tanya Alvin to the point. Dia tidak mau bermanis-manis ria bersama Aren untuk ketika ini.
       “Jalan yuk, Vin. Sore-sore gini enaknya jalan tau,” jawab Aren manja. Dan Alvin bisa membayangkan jikalau Aren sedang tersenyum-senyum tidak terperinci untuk ketika ini dan beliau akan mual seketika bila melihat secara langsung.
       “Nggak deh, Ren. Gue ada kerjaan lain,” tolak Alvin.
       “Iiihhyyy, Alvin, mau boong sama gue ya? Mama lo udah bilang jikalau lo di rumah dan nggak ada program sama sekali.”
       Alvin mendengus kesal. Mamanya memang benar-benar deh. Sebenarnya Alvin tidak bisa memarahi mamanya sebab keluarga Aren memang erat dengan keluarga mamanya. “Oke. Lo mau ke mana?” tanya Alvin pasrah.
       Dan Aren mulai mengabsen menyebuti seluruh tempat-tempat favorite-nya.

****************

       “Silakan, Tuan,” ucap Shilla dan meletakan original chicken bersama cappuccino mocca dan grapefruit di meja nomor sembilan. Ia berusaha menampilkan senyum terbaiknya.
       “Terima kasih ya, Mbak,” ucap Saras. Shilla yakin gadis yang sedang bersama seniornya ini yakni pacar seniornya itu. Terlalu anggun untuk si Orang Sok ini, batin Shilla.
       “Sama-sama. Baiklah, jikalau ada yang kurang, boleh memanggilku saja. Aku berdiri di sana,” ucap Shilla dan menunjuk daerah yang berada di erat pintu menuju dapur. Saras mengangguk.
       “Sialakan pergi dan gue ingin menikmati makan siang yang romantic bersama Saras,” usir Gabriel harus kepada Shilla dan tersenyum mengejek.
       Kalau bukan di daerah kerjanya, beliau sudah menimpuk Gabriel dengan topi kerjanya ini. Benar-benar menjengkelkan. Si Sara situ bego pula mau sama Gabriel gila!!!! Dumel Shilla dalam hati dan berjalan menuju tempatnya harus berdiri.
       Kalau tadi beliau ingin mencengkik Gabriel, kini beliau benar-benar ingin membunuh abang kelasnya itu. Ingin sekali beliau menyiksa ketua eskul yang beliau ikuti di sekolah. Betapa kurang ajarnya Gabriel itu dan menambah-nambah pekerjaannya saja. Bagaimana tidak jikalau beliau harus ibarat ini…
       “PELAYAN!!!!” panggil Gabriel dengan berteriak.
       Shilla akal-akalan tidak mendengar dengan menyibukkan diri mengelap meja terdekat ketika panggilan Gabriel sudah memasuki hitungan ketiga dan dehaman sang Bos mulai terdengar Shilla eksklusif berlari tergopoh-gopoh menuju meja Gabriel.
       “Ada apa, Tuan?”
       “Gue pesan lagi Grapefruit. Cepat.”
       Baru saja pesanannya Shilla antar, Gabriel mulai berulah lagi. Kali ini minuman yang tumpah dan Shilla harus memebersihkan meja itu.  Setelah meja selesai, Shilla harus segera menghampiri meja Gabriel membawa kuliner gres yang beliau pesan. Sebuah burger ukuran large. Lalu Shilla harus berlari lagi menuju dapur untuk mengambil pesanan gres Gabriel, potatesweet. Dan terakhir Shilla benar-benar lelah, beliau terpeleset ketika mengantarkan pesanan Gabriel berupa sepiring mie ekstra saos dan dengan elitnya mie itu mendarat dengan sukses di baju Gabriel.
       “PELAYAN KURANG AJAR LO!!!” semprot Gabriel ketika mendapati mie itu berada di bajunya.
       Shilla berdiri dan menatap Gabriel dengan pandangan datar. Saras segera mengambil tissue dan membersihkan baju Gabriel, namun eksklusif ditarik Gabriel dan beliau memperlihatkan tissue itu pada Shilla. “Lo bersihin!!!” perintah Gabriel.
       Saras melihat itu tidak tega. Bukan kasih kepada Shilla, tetapi beliau cemburu habis. Kenapa harus pelayan ini. “Cepet bersihin!!! Atau gue minta sama bos lo untuk mecat lo,” ancam Gabriel.
       Dengan cepat Shilla menyambar tissue yang berada di tangan Gabriel, kemudian perlahan-lahan beliau mulai membersihkan saos berikut mie yang melekat di kaos Gabriel. Karena materi kaos yang licin dan sering bergerak, Shilla jadi kesulitan untuk membersihkan baju Gabriel.
       Tiba-tiba, Gabriel menarik tangan Shilla menuju baju Gabriel, beliau membiarkan Shilla menahan bajunya di erat dada biar tidak bergerak.
       Saras tercengang. Gabriel tidak pernah ibarat ini, itu sepanjang pengetahuan Saras. “Yel… Yel…,” panggil Saras.
       Gabriel menoleh ke arah Saras. “Kenapa?”
       “Itu…” Saras menunjuk tangan Shilla yang menahan baju Gabriel di dada, “Kenapa lo ngebiarin beliau menyenderkan tangannya di dada lo?”
       “Ngebersihin baju gue,” jawab Gabriel pendek.
       “Tapi… lo nggak pernah kayak gini sebelumnya. Lo kenapa sih, Yel?”
       Shilla membisu saja dan tetap mengelap saos di baju abang kelasnya itu dan yang menciptakan Shilla menggerutu dalam hati, kenapa saosnya itu susah sekali hilangnya dan tetap nempel. Shilla kesal.
       “Wajar kali, Yas, jikalau beliau gini. Biar cepat bersih. Lo itu yang kenapa?”
       Mata Saras melebar. Tidak ibarat ini. “Gue cemburu, Yel. Lo nggak gini ke gue, megang tangan lo aja gue nggak boleh, apalagi nyender di dada lo. Gue cemburu,” jawab Saras dan meraih tasnya kemudian keluar restoran. Dan parahnya Gabriel sama sekali tidak berniat untuk mengejar Saras. Tidak.
       “Udah belum sih, Miskin?” tanya Gabriel.
       “Gue usahain cepet. Tapi saosnya nempel banget, susah hilangnya. Perlu dicuci,” jawab Shilla dan tetap berusaha membersihkan noda di baju Gabriel.
       “Lo ganti baju gue dengan yang baru,” ucap Gabriel.
       Seketika acara Shilla berhenti. Dia mendengar abang kelasnya itu minta ganti? Mata Shilla melotot. Dia yakin dan sangat yakin jikalau baju Gabriel itu tidak murah, paling tidak harganya 250 ribuan dan sangat berbanding terbalik dengan baju yang beliau punya. Lagian uang segitu beliau sanggup dari mana? Itu sudah termasuk banyak untuknya.
       “Ganti?” ulang Shilla.
       Gabriel mengangguk mantap. “Lo ganti jikalau nggak bisa ngebersihin baju ini kini juga.”
       “Lo udah gila???!!! Lo mau meras gue???” desis Shilla.
       “Wajar jikalau gue minta ganti, baju gue bisa rusak.”
       “Tapi kan bisa dicuci, biar gue cucikan aja.”
       Gabriel mengangkat alisnya sebelah. Dicucikan? Dia berdecak. “Baju gue lo yang cucikan? Bisa-bisa baju gue sindrom miskin elo. Bakterian lagi. Yang benar aja dong. Ganti yang baru!!!!”
       Shilla benar-benar kesal. “Lo memang absurd ya, Kak Gabriel,” desis Shilla. “Gue tau elo kaya. Tapi nggak gini juga caranya. Kalau gue punya uang 200 ribu setiap harinya, gue niscaya nggak akan di sini. Nggak akan jadi pelayan di sini dan nggak bertemu elo.”
       “Lo miskin sebab itu elo di sini.”
       Shilla mengangkat tangan kanannya dan jari telunjuknya menunjuk Gabriel sempurna di depan hidungnya. “Gue emang miskin dan lo nggak perlu nginjak-nginjak gue. Cukup di sekolah lo ngehina gue sama sohib-sohib gue. Cukup di sekolah, tidak di sini. Dan gue bakalan ganti baju elo.”
       Gabriel tersenyum sinis. “Gue tunggu ahad depan paling lama, hari Senin,” ucap Gabriel kemudian mengambil dompetnya dan mengeluarkan uang sesuai bill-nya. Kemudian meninggalkan restoran bersama Shilla dan makanan-makanan yang beliau pesan hanya untuk merepotkan Shilla.
       Shilla melihat Gabriel yang semakin menjauh kemudian beliau mendesah kesal. “Gue benar-benar gila. Dari mana gue sanggup uang untuk ngeganti bajunya Kak Gabriel?” gumam Shilla sambil membereskan meja-meja dari kuliner yang tersentuh. Dia juga menatap pesanan Gabriel yang lainnya. sia-sia begitu saja, tidak tersentuh sama sekali. “Dasar orang kaya,” ucap Shilla sinis.

**************

“KAK IFY!!!!” panggil Ray dari teras. Sore ini Ray ingin sekali bermain di lapangan kompleks, bertemu dengan teman-temannya.
       “KAK IFY!!! KAK IFY!!!” panggil Ray lagi. Namun belum juga ada sahutan.
       “Kenapa teriak-teriak sih, Ray?” tanya Rio yang gres saja berdiri dari tidur siangnya di sofa depan.
       Ray mengembungkan pipinya. Dia cemberut ternyata. “Kak Ify mana sih Kak Lio? Lay kan mau main di lapangan. Mau ditemenin Kak Ify,” tanya Ray dan kakinya menghentak-hentak di teras.
       “Ray nggak usah main di lapangan. Nanti Ray kotor lho. Bau lagi. Nanti Ray kayak gelandangan,” ucap Rio sadis.
       Ray mencibir. “Nggak. Main di taman itu asyik. Lay suka. Semuanya baik-baik. Lay jadi nggak sendili. Kak Lio sih cuma main sama Kak Alvin, Kak Cakka, sama Kak Gabliel.
       Rio mengumpat pelan. Dasar Pinky sialan, batin Rio.
       “Kak Lio panggilin Kak Ify dong. Ya ya? Nanti teman-teman Lay pada pulang semua, kan Lay nggak ada temannya nanti,” pinta Ray.
       “Jalan-jalan sama Kak Rio aja mau? Kita ke mall. Main di timezone,” rayu Rio. Dia masih tidak rela Ray bermain dengan bawah umur miskin.
       Ray menggeleng kuat-kuat sebagai tanda penolakkannya. “Nggak mau!!! Mau sama Kak Ify ke lapangan kompleks. Lay mau sama Kak Ify!!!!” jerit Ray.
       Rio balasannya menyerah dan melangkah masuk ke dalam rumah.
       Saat  ia mencari Ify di dapur beliau tidak menemukan siapa pun. “Pinky lo di mana?” teriak Rio memanggil-manggil Ify. Namun, tidak ada sahutan sama sekali. “Pinky!!!” panggil Rio sekali lagi.
       Lagi-lagi nihil. Ify di mana sih? Lalu Rio menuju halaman belakang dan tidak ada gejala ada Ify. Begitu juga dengan kolam renang. Di mana sih sebenarnya?
       “Cih merepotkan,” umpat Rio kesal dan kembali masuk ke dalam rumah. Ia segera menuju dapur lagi dan kosong sama sekali.
       “Kamarnya,” ucap Rio pelan dan segera menuju kamar Ify di belakang. Berjalan sekitar dua menit, Rio eksklusif menemukan kamar Ify. Pintu itu terbuka sedikit dan Rio hanya perlu mendorongnya dan kini terbukalah kamar Ify.
       Rio melangkah masuk dan menemukan Ify sedang tertidur. Adik kelasnya itu ternyata tidur siang. Wajahny hening dan napasnya naik turun. Rio mendekati ranjang Ify dan tanpa sengaja melihat secarik kertas di meja kecil di sebelah ranjang Ify.
      
Daftar cita-cita bulan ini ::
1. Kelima novel Percy Jackson          Rp 275000 (kalau ada uang lebih aja)
2. Tas gres buat Via dan Shilla        Rp 200000 (sangat diutamakan)
3. Sepatu gres untuk SIVA               Rp 400000 (kalau kurang uang, untuk Shilla dan Agni dulu)
4. Belanja bulanan                             Rp 500000 (sangat penting)
5. Hadiah ulang tahun                      Rp 50000 (nggak tau, bingung, ngasih atau nggak)
Total                                                   Rp 1425000 (moga uangnya segini, aaaamiiin J)

       Rio terkekeh pelan membaca daftar cita-cita adik kelasnya itu. Ditambah lagi dengan keterangan yang berada di sebelahnya. Saat membaca urutan yang pertama Rio jadi teringat wacana pertengkarnya dengan Ify di Gramedia berbulan-bulan yang lalu, ketika ia mendapati adik kelasnya itu berbicara dengan sebuah novel. Rio jadi ingin tertawa sekencang-kencangnya bila mengingat hal itu.
       Kembali Rio melihat Ify yang tertidur. Ify benar-benar tenang, tidak ibarat biasanya selalu meledak-ledak bila di dekatnya. “Oh iya Ray,” gumam Rio.
       “WOI PINKY!!!!” teriak Rio. Tetapi belum juga bisa membangunkan Ify.
       “IFY!!!!!”
       Tidak berhasil.
       “PINKY!!!!”
       Belum berhasil.
       “JELEK!!!!”
       Makin tidak berhasil.
       “Lo ngeselin banget sih. WOIII MAID!!!!” teriak Rio sambil menggoyangkan lengan Ify dan balasannya Rio melihat Ify mengerjap-ngerjapkan matanya.
       “Cepet berdiri Ify si Pinky!!!!” ucap Rio lagi.
       Dan dampaknya Ify eksklusif terduduk ketika melihat sosok Rio. Ify mengucek-ngucek matanya dan kemudian sepersekian detik eksklusif melotot. “LO MESUM BANGET SIH!!!!!” jerit Ify.
       Rio berdecak kesal. “Kalau bukan Ray ngambek gue nggak akan di sini, cepetan lo bangun. Ray ngajakin elo ke lapangan kompleks,” ucap Rio kesal.
       “Tapi kenapa lo di sini sih? Di kamar gue lagi,” ucap Ify. “Kalau gitu memang pantes lo gue panggil mesum.”
       “Cepet lo basuh muka, gue tunggu di teras. Ray udah hampir nangis manggil-manggil nama lo.”
       Ify tertegun. Ray? Ray hampir nangis???? Ify segera berlari menuju kamar mandi yang berada di kamarnya dan basuh muka.
       Sepuluh menit kemudian Ify sudah berdiri di teras sempurna di depan Ray. “Maafin Kak Ify ya, Ray? Kamu jadi nunggu gini,” ucap Ray dan eksklusif mensejajarkan tubuhnya dengan Ray.
       “Tidurnya aja yang kebo,” celetuk Rio dan Ify mengirimkannya tatapan mematikan ala Alyssa Saufika Umari.
       “Nggak apa-apa kok. Kan sekalang Kak Ify udah ada. Kita ke lapangan yuk, Kak. Main kejal-kejalan sama teman-teman Lay,” ajak Ray.
       Ify mengangguk semangat. “Ayo. Kakak temenin. Sumpek di rumah, ada setan sih,” ucap Ify dan menegakan tubuhnya kemudian menarik Ray ke dalam gendongannya.
       Ray menghentak-hentakkan kakinya tampaknya sedang tidak mau digendong. “Kenapa Ray?” tanya Ify.
       “Kita mesti pamit sama Kak Lio, Kak Ify. Kasihankan Kak Lio ditinggalin dan kita nggak pamitan sama Kak Lio,” jawab Ray dengan wajah polosnya. Bagi Ify, Ray terlalu malaikat. “Lagian Lay lagi nggak mau digendong.”
       Ify mengangguk. “Ya udah, Ray pamitan sama Kak Rio gih,” ucap Ify.
       “Kak Lio, Lay main ke lapangan ya? nggak apa-apakan Kakak di lumah sendili?” tanya Lay.
       Rio menggeleng. “Kakak ikut Ray. Nanti ada yang nggak ngejagain Ray malah sibuk sendiri,” sindir Rio.
       Ify berdeham kesal. “Dasar orang lebay alay upay eh,” batin Ify dan kemudian terkekeh sendiri.
       “Kok Kak Ify ketawa sendili sih?” tanya Ray bingung.
       “Dia orang gila, Ray,” celetuk Rio.
       Ify mencibir. “Ya udah kita pergi,” ajak Ify.
       “Ayo Kak Lio. Kak Lio pegang tangan kanan Lay, telus Kak Ify pegang tangan kili Lay. Kita kayak kelualga. Papanya Kak Lio, mamanya Kak Ify, dan Lay anaknya,” ucap Ray girang dan meraih tangan Rio dan Ify.
       Ify mengumpat dalam hati. Benar-benar deh si Ray ini. Lama-lama juga mati kutu beliau sama Ray. Lain lagi dengan Rio. “Lo adik apaan sih Ray? Masa abang lo yang kaya gini lo bilangin sama si Cewek Miskin ini,” dumel Rio dalam hati.
       Lalu entah kenapa, tiba-tiba keduanya saling tatap. Ketika pandangan mata bertemu keduanya eksklusif buang muka. What the hell banget.
       “Gue nggak akan bakalan sama si Pinky ini. Lagian gue kaya beliau miskin. Gue ogah sama orang miskin,” ucap Rio dalam hati.

***************

       “Ayo semangat Ray!!! Lari yang kenceng!!!!!” teriak Ify dari pinggir lapangan. Hari Ray tidak bermain kejar-kejaran, tetapi bermain kasti. Semacang permainan softball, tetapi hanya dengan tiga tiang utama. Dan kini Ray sedang berlari menuju ke tiang kedua sebab ia habis memukul bola.
       “Yeah!!! Ray hebat,” sorak Ify girang dan bertepuk tangan heboh sendiri.
       Rio menoleh ke arah Ify dan bergumam, “Dasar norak. Berisik lagi.”
       “Lari terus, Ray!!!” sorak Ify. Saat Ikhsan sahabat setim Ray memukul bola dan melambung cukup jauh.
       “Hei…,” sapa seseorang.
       Ify menoleh cepat dan mendapati Debo yang telah duduk di sebelahnya. “Debo?” ucap Ify girang tertahan.
       “Gue nih, Fy. Tumben lo sore-sore ada di sini lagi?” tanya Debo santai.
       “Ray mau main ke sini. Lagian udah usang juga nggak main ke lapangan,” jawab Ify.
       Debo mengangguk-ngangguk. “Lo sekolah di GNISHS ya, Fy?”
       “Iya. Kalo lo di mana?”
       “Gue Sekolah Menengan Atas Persada, arahnya bertolak belakang dengan sekolah lo,” ujar Debo. “Gue kelas XI,” tambah Debo.
       Mata Ify membola. “Jadi lo abang kelas gue. Gue mesti panggil lo Kak Debo. Gimana? Lo baiklah nggak?” tanya Ify penuh semangat.
       “Boleh juga. Kak Debo? Terkesan imut banget kalo lo yang ngucapin,” gombal Debo dan sukses menciptakan Ify merona. Sore-sore ditemenin perjaka cakep, ditambah lagi sanggup gombalan gratisan. Lumayanlah buat pengobat hati, huahahha….
       “Lo bisa aja sih, Kak Bo,” timpal Ify. Lalu terkekeh sendiri. Tadi gres saja beliau bilang Kak Debo dan kini sudah ganti jadi Kak Bo? Memang Bobo apa si Debo? Dasar Ify.

*************

       Lama-lama Rio merasa kesal juga dicuekin begini. Si Ray asyik bermain di lapangan dan kini beliau lihat, adik kelas Pinky-nya sedang mengobrol dengan Debo. Dan dirinya??? Merenung sendirian di bawah pohon. Mau gabung sama Ray itu mustahil banget sebab beliau nanti renta sendiri. Nimbrung dialog sama Ify lebih nggak mungkin  lagi. Dia anti sama adik kelasnya itu. Tapi, membisu sendiri di bawah pohon gini juga  nggak lezat apalagi menjadi pendengar dialog Debo dan Ify yang menurutnya garing abis.
       “Gue nih, Fy. Tumben lo sore-sore ada di sini lagi?”
       “Ray mau main ke sini. Lagian udah usang juga nggak main ke lapangan.”
        “Lo sekolah di GNISHS ya, Fy?”
       “Iya. Kalo lo di mana?”
       “Gue Sekolah Menengan Atas Persada, arahnya bertolak belakang dengan sekolah lo. Gue kelas XI.”     
        “Jadi lo abang kelas gue. Gue mesti panggil lo Kak Debo. Gimana? Lo baiklah nggak?”
       Apaan tuh Kak Debo? Lo manggil gue aja Ketos Mesum. Jarang banget lo manggil gue Kak Rio. Padahal Kak Rio itu namanya keren banget dan lo padahal maid-nya gue, malah kurang didik sama gue, batin Rio kesal.
       “Boleh juga. Kak Debo? Terkesan imut banget kalo lo yang ngucapin.”
       Ciiih… rayuan pasaran, decih Rio dalam hati.
       “Lo bisa aja sih, Kak Bo.”
       Apalagi ini, Kak Bo? Kak Kebo??? Rio terkikik sendiri kemudian segera menghentikan tawanya ketika menyadari beliau berada di mana. Tidak mungkin beliau menjadi materi tertawaan orang-orang di sini.
       “Kak Debo??? Jangan gitu dong. Geli tau!!!!” rengek Ify.
       Kali ini Rio benar-benar tidak tahan. Memang beliau hanya jadi pendengar aja di sini. Harusnya Ify itu menemaninya bukan mencuekinya dan lihat sekarang. Ify benar-benar sialan!!!!!!
       Dengan cepat Rio berjalan menuju daerah Ify duduk dan meraih pergelangan tangan kiri Ify. “Ayo, Pinky. Temani gue beli ice cream,” perintah Rio.
       Ify mendelik kesal. “Gue lagi ngobrol Tuan Muda Rio. Anda bisa beli sendiri tau,” tolak Ify. Dia benar-benar kesal. Apa-apaan sih tuan mudanya itu? Dia lagi senang-senang juga mengobrol, tiba-tiba beliau tiba dan merusak segala.
       “Lo itu maid-nya gue, Pinky. Cepetan temani gue,” perintah Rio lagi dan menarik Ify kuat. Dan Ify tersentak sampai tubuhnya terdorong ke arah Rio. Berhubung hentakannya sangat kuat, Ify benar-benar melekat di dada Rio.
       “Sakit dodol!!!” rutuk Ify kesal. Dia mengangkat wajahnya dan seketika kaget melihat wajah Rio yang tidak jauh jaraknya dari wajahnya sendiri. Bagaimana ini?
       Rio sendiri hanya bisa diam. Ini pertama kali untuknya dan beliau tidak tahu harus bagaimana. Wajah Ify terlalu dekat. Sumpah. Dia gres ingat, ini bukan yang pertama kalinya. Bayangan ketika ia menangkap Ify di lapangan basket terlintas di benaknya, ketika itu ia juga sedekat ini. Dan kenapa ini bisa terjadi lagi??
       Ify jadi salah tingkah. Ia segera menarik badannya dan melepaskan diri dari Rio. Lalu, meraih pergelangan tangan Rio. “Ify duluan ya Kak Debo? Mau temenin Tuan Muda Ify dulu. Bye,” pamit Ify dan segera buru-buru menarik Rio.

*****************



Sumber http://sagita-shelly.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)