Sabtu, 10 Maret 2018

Ma’Nene... (Mayat Berjalan Di Tanah Toraja)



Ma’nene... (Mayat Berjalan di Tanah Toraja)


TORAJA. Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata Toraja? Tentu saja wacana budaya gaib nan indah yang lahir dan berkembang di tempat tersebut. Toraja adalah  salah satu tempat di Sulawesi Selatan yang masih sangat kental dengan budaya luhur nenek moyang mereka. Konon, menurut sumber yang ada bahwa leluhur orang Toraja ialah insan yang berasal dari nirwana. Nenek moyang orang Toraja-lah yang pertama kali menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari surga ke dunia. Kemudian tangga itu berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Mitos ini terus melegenda hingga kini secara verbal di kalangan masyarakat Toraja.
            Dilihat dari sisi sejarah, Toraja ialah salah satu suku bangsa renta di Indonesia dan termasuk suku bangsa yang masuk ke Indonesia dari Dataran Tingga Yunan dan menetap di pegunungan di Sulawesi yang kemudian membentuk suku yang berjulukan Toraja.
            Berbicara wacana suku Toraja tentu saja berbagai pembahasannya. Suku Toraja sendiri terbagi lagi menjadi beberapa daerah, ada Toraja Barat, Toraja Utara dan sebagainya. Setiap tempat di Toraja memeliki keunikan budaya tersendiri. Misalnya saja di Toraja Utara tepatnya di Kecamatan Baruppu. Pasti setiap orang akan merasa heran dan lucu ketika mendengar “mayat berjalan”. Tentu saja heran dan lucu ialah rasa pertama yang terbersit di hati. Mayat berjalan?? Sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Irasional. Namun, ketika sudah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa “mayat berjalan” itu memang ada lenyap sudah kesan heran dan lucu berganti dengan rasa takut sekaligus penasaran.
            Mayat berjalan sangat berkaitan dekat dengan budaya yang lahir dan berkembang di Tanah Toraja Utara tepatnya di Kecamatan Baruppu. Setiap pada bulan Agustus warga Baruppu menggelar upacara mayat berjalan yang dikenal dengan Ma’nene. Pertama kalinya mayat ditemukan di sebuah gua Sillanang dalam keadaan utuh. Mayat tersebut tidak membusuk dan bahkan tidak dimakan serangga. Hanya saja seluruh kulit mayat tersebut terlihat kusut dan ada warna putih kecoklat-coklatan menyerupai bekas dibakar. Menurut orang Toraja kematian ialah hal yang sakral dan harus dihormati. Maka dari itu mereka yang telah mati biasanya diletakkan di dalam gua selama bertahun-tahun.
            Keanehan yang diberikan oleh gua tersebut ialah tidak adanya pembusukan yang dialami oleh mayat. Padahal, mayat tersebut tidak diawetkan dengan memperlihatkan sejenis balsem menyerupai yang dilakukan orang Mesir Kuno dikala menciptakan mummi ataupun diberi ramuan khusus. Mayat itu secara alami tanpa diberi apapun hanya diletakkan di dalam gua kemudian didiamkan selama bertahun-tahun. Hal ini sungguh memancing dua pemikiran, yaitu fatwa rasional dan irasional.
Bila ditinjau dari segi irasional, tidak mungkin tidak terjadinya pembusukan pada mayat apalagi diletakkan di dalam gua yang niscaya di dalam gua tersebut banyak terdapat serangga dan flora detritivor yang sanggup membusukan mayat. Pastilah fatwa irasional akan menjelaskan fenomena tidak membusuknya mayat dengan ilmu mistis yang dimiliki orang Toraja.
Bila dilihat dari segi rasional hal tersebut sanggup saja terjadi. Masyarakat setempat menyampaikan bahwa ada semacam zat yang berada di dinding gua di mana mayat tersebut di letakkan. Zat tersebut menciptakan serangga ataupun flora detritivor tidak menyentuh mayat-mayat tersebut. Zat itu sanggup dikatan sebagai antipembusukan. Sebenarnya, mayat disenderkan di dinding gua selama bertahun-tahun. Penjelasan adanya zat yang berada di dinding gua dan menciptakan mayat tetap utuh ialah hal yang berkesinambungan. Untuk mengambarkan hal tersebut diperlukan para jago geologi dan kimia yang bersedia menyelidikinya.
Ritual Ma’ Nene bermula dari seorang pemburu berjulukan Pong Rumsek yang berburu ke hutan di pegunungan Balla, Toraja Utara. Saat berburu, Pong malah menemumkan jasad insan yang telah meninggal dunia bukannya binatang buruan. Jasad insan itu terletak di bawah pepohonan dan terlantar bahkan ada yang tinggal tulang-belulang. Kasihan melihat mayat-mayat tersebut, Pong membawanya dan memakaikan pakaian yang layak untuk mayat-mayat itu kemudian dikuburkannyalah di tempat yang aman. Sejak dikala itu, setiap Pong berburu ia selalu mendapat berkah. Tanaman pertanian miliknya panen lebih cepat dari waktu biasanya. Saat berburu, Pong sering kali mendapat hasil buruan dengan mudah. Dan dikala berburu di hutan, Pong sering bertemu dengan arwah yang ditolongnyaa yang kemudian arwah tersebut ikut membantunya dalam perburuan sebagai petunjuk jalan. Oleh lantaran kejadian tersebut, Pong beropini bahwa jasad orang yang telah meninggal harus tetap dirawat dan dihormati, meskipun jasad tersebut sudah tidak berbentuk lagi. Kemudian, Pong mewariskan amanahnya kepada penduduk Baruppu.  Penduduk Baruppu-pun menjaga amanah Pong dengan terus dilaksanakannya ritual Ma’ Nene setiap setahun sekali di bulan Agustus sesudah panen besar.
Bila ingin mengambarkan apakah kisah wacana pemburu berjulukan Pong Rumsek benar atau tidak memang terjadi sangatlah sulit. Di beberapa sumber, asal muasal Ma’ Nene selalu dikaitkan dengan kisah Pong Rumsek. Oleh lantaran itu, rasa percaya atau tidak percaya terhadap kisah tersebut tergantung pendapat individu masing-masing. Dari kisah Pong Rumsek sanggup diambil hikmahnya ialah bahwa masyarakat Toraja sangat menghormati jasad insan yang telah meninggal. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan mereka terhadap roh nenek moyang yang hingga kini masih sangat menempel dalam kehidupan sehari-hari dan kebudayaan mereka, meskipun sudah memeluk agama samawi.
Ritual Ma’ Nene dimulai dengan mengunjungi lokasi pemakaman para leluhur di pemakaman Patane di Lembang Paton, Kecamatan Sarieale, Kabupaten Toraja Utara. Saat tiba dipemakaman para anggota keluarga serta tetua yang biasa dikenal dengan Ne’ Tomina Lumba berada di sekitar peti. Sebelum peti dibuka untuk mengangkat mayar, Ne’ Tomina Lumba membacakan do’a dalam bahasa Toraja Kuno. Kemudian, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Penggunaan kuas atau kain higienis tidak mempunyai makna yang cukup mendalam. Hanya sebatas sebagai alat untuk membersihkan saja. Setelah itu, mayat tersebut dipakaikan baju yang warnanya sesuai dengan kesukaan si mayat. Hal ini memperlihatkan rasa hormat dan peduli kepada sang mayat. Saat membersihkan mayat dan memakaikan baju pada mayat, posisi mayat berdiri. Hal ini dimaksudkan biar memudahkan dalam pengerjaannya. Setelah mayat mengenakan pakaian baru, si mayat berdiri bersama keluarga—sebelum dimasukan ke dalam peti—seolah masih hidup. Ini mungkin memperlihatkan rasa hormat kepada leluhur dan rasa kekeluargaan yang masih terikat, meskipun leluhur telah meninggal.
Selama program membersihkan dan mengganti pakaian mayat, sebagian pria dari masyarakat setempat membentuk bulat sambil menyanyikan lagu dan tarian yang melambangkan kesedihan. Gerak tari dan lagu berfungsi untuk memberi semangat kepada keluarga yang telah ditinggalkan si mayat.
Ritual Ma’ Nene tidak hanya sebatas membersihkan mayat dan mengganti pakaian mayat, tetapi ada juga ritual Ma’ Nene yang berkaitan dengan mayat berjalan. Ritual ini dimulai dari mengeluarkan mayat dari peti kemudian dibangkitkan biar si mayat kembali ke rumah dengan cara berjalan. Sungguh tradisi yang unik.
Ritual Ma’ Nene mayat berjalan dimulai dari mengangkat dan mengeluarkan mayat-mayat yang dimakamkan di kuburan tebing atau kuburan kerikil yang telah bertahun-tahun lamanya. Pada dikala mengeluarkan mayat, para kerabat keluarga akan menangis. Tradisi menangis ini mungkin saja menyerupai sambutan selamat tiba kepada si mayat untuk kembali ke rumah. Setelah mayat dikeluarkan, maka inilah saatnya untuk membangkitkan si mayat.
Bila kita berpikir cara untuk membangkitkan si mayat tentu saja pikiran kita akan melayang ke mana-mana. Bahkan, kita pun tidak akan percaya. Bagaimana seorang insan sanggup membangkitkan mayat yang notabane-nya insan yang telah meninggal?? Berdasarkan sumber yang ada, konon untuk membangkitkan mayat orang Toraja menggunakan ilmu kuno. Ilmu yang sudah sangat usang dan hanya sanggup diajarkan oleh “guru” atau sesepuh. Diceritakan pula, bila mayat dihipnotis dengan menggunakan ilmu kuno tersebut maka otomatis si mayat akan bangun dan berdiri kemudian berjalan kembali ke rumahnya—tempat tinggal sebelum meninggal—. Hal yang paling mengejutkan lagi bahwa ada syarat biar si mayat sanggup berjalan hingga hingga ke rumah. Syaratnya itu cukup simple, yaitu dengan tidak menyentuh sang mayat.
Bila dilihat dari sisi rasional, membangkitkan mayat ialah hal yang tidak mungkin terjadi. Bila dilihat dari sisi irasional, membangkitkan mayat ialah hal yang sanggup saja terjadi. Apalagi kebangkitkan berafiliasi dengan penggunaan ilmu kuno yang tentu saja berkaitan dengan ilmu mistis di Tanah Toraja.
Cerita mengenai mayat berjalan mempunyai banyak versi. Versi pertama menceritakan  bahwa ratusan tahun dulu, pernah terjadi perang saudara di Tanah Toraja. Perang tersebut melibatkan orang-orang Toraja Barat dan Toraja Timur. Dalam peperangan tersebut, orang Toraja Barat kalah dan banyak yang tewas. Saat akan pulang kampung, seluruh mayat orang Toraja Barat bangun dari kematian dan berjalan menuju kampung halaman, sedangkan orang Toraja Timur yang masih hidup menggotong saudaranya yang sudah meninggal dan perang pun dianggap seri.
Versi kedua ini merupakan pendapat dari Tampubolon. Beliau beranggapan bahwa mayat berjalan dengan cara kaku dan tersentak-sentak itu ialah sisa kehidupan masa kemudian yang masih mengakar. Dahulu, orang-orang Toraja biasa menjelajahi tempat pegunungan yang banyak gua dengan berjalan kaki. Saat penjelajahan yang berat itu, beberapa orang yang tidak besar lengan berkuasa untuk melanjutkan perjalanan dan jatuh sakit. Oleh lantaran bekal dan obat-obatan yang dibawa kurang, mereka yang sakit alhasil meninggal. Bagi orang Toraja sangat tidak mungkin untuk meninggalkan mayat teman dan sangat merepotkan bila harus membawa pulang jenazah. Maka dengan ritual gaib—penggunaan ilmu kuno—mereka membangkitkan mayat tersebut dan mengendalikannya. Mereka menuntut mayat tersebut hingga hingga ke rumahnya dengan syarat mayat dihentikan disentuh sebelum hingga di rumah. Jika mayat disentuh, maka mantra yang ada pada mayat akan hilang.
Walaupun demikian, dari semua sumber dan artikel yang memuat kisah ini, hanya ada beberapa foto yang memperlihatkan seseorang sedang memegang tangan orang yang telah meninggal. Fotonya cukup menyeramkan, tetapi tidak banyak foto yang beredar di internet mengenai kisah mayat berjalan ini. Bila dipikirkan lagi, kalau memang mayat berjalan ini benar-benar ada seharusnya foto yang tersedia akan lebih banyak lagi atau bahkan tersedia videonya. Kurangnya bukti yang memperlihatkan fenomena mayat berjalan di Toraja ini benar-benar ada mungkin ada alasannya menyerupai adanya peraturan yang melarang pengabadian ritual Ma’ Nene lewat foto atau video.
Sumber lain ada yang menyampaikan bahwa ritual pembangkitan mayat ini telah menjadi budaya orang Toraja pada generasi selanjutnya dalam hal menguburkan seseorang yang gres saja meninggal. Menurut generasi ini, orang yang telah meninggal sanggup kembali ke rumah. Oleh lantaran itu, bila ada seseorang yang gres meninggal, mayatnya diletakkan di sebuah kamar. Kemudian melalui ritual Ma’ Nene mayat tersebut dihipnotis untuk berjalan sendiri ke liang kuburnya. Nah, pada sewaktu-waktu bila si mayat ingin kembali ke rumah, maka si mayat sanggup bangun dari kubur dan berjalan ke rumah untuk menempati kamar yang telah disediakan untuknnya.
Membayangkan mayat berjalan dari rumah ke liang kubur kemudian kembali ke rumah ialah hal yang menakutkan dan bila memang terjadi sulit untuk dipercaya. Berdasarkan kepercayaan agama samawi yang dianut masyarakat Toraja hal tersebut tidak mungkin terjadi selain kehendak Tuhan. Namun, orang Toraja tetap mempercayainya. Orang Toraja yang telah menganut agama samawi dalam keadaan tertentu akan menyampaikan “berdasarkan kehendak Tuhan”, sedangkan dalam kesahariannya tetap saja percaya pada leluhur dan sering menyampaikan “Menurut orang renta dulu... atau jangan menyerupai itu, itu tidak sesuai dengan budaya kita”. Kaprikornus sanggup disimpulkan, orang Toraja tetap menjalankan prinsip percaya pada nenek moyang dan lebih lebih banyak didominasi pada adat. Oleh lantaran itulah, budaya Ma’ Nene  terus dilaksanakan.
            Point penting dari budaya Ma’ Nene  adalah jasad orang yang telah meninggal dikubur di peti dan bukan dikubur di dalam tanah. Ternyata hal tersebut berkaitan dengan leluhur orang Toraja yang berasal dari langit dan bumi. Seperti yang telah dibahas di atas, leluhur orang Toraja berasal dari surga (langit) kemudian menikah dengan ilahi di bumi sehingga tidak semestinya orang yang telah meninggal dunia jasadnya dikubur di dalam tanah. Sebab, bagi orang Toraja hal tersebut merusak kesucian bumi dan sanggup menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah.
            Di samping itu, dengan melaksankan budaya Ma’ Nene ada pesan yang tersirat yang muncul secara eksplisit, yaitu bertambah eratnya korelasi antar orang Toraja lantaran dikala melakukan ritual mereka saling gotong royong dan menyemangti satu sama lain dan budaya Ma’ Nene sendiri secara tidak tertulis telah menjadi budaya yang wajib dilaksanan setiap tahun dan orang Toraja pun mengikuti peraturan tersebut. Tidak kalah pentingnya juga, budaya Ma’ Nene telah menjadi daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung sehingga sanggup meningkatkan devisa negara dan menambah semangat orang Toraja untuk mempertahankan dan melestarikan budayanya.
            Dengan demikian, kalau Anda masih ragu akan kebenaran budaya ini atau ingin tau bagaimana cara mayat ‘berjalan’silakan berkujung ke Toraja pada tanggal budaya tersebut dilaksanakan.         

Sumber http://sagita-shelly.blogspot.com


EmoticonEmoticon