Hidup di tengah-tengah desa yang masyarakatnya masih memegang teguh kepercayaan semenjak dulu, yang masih kental kebudayaannya hingga kini tidaklah luntur menciptakan Dhuan harus mengikuti semua peraturan-peraturan, mitos atau kebiasaan yang telah usang ada di desanya meski ia bukan orisinil orang Pesarean, ia pindahan dari kota Semarang hingga masuk akal saja jikalau ia tidak terlalu paham kebiasaan yang ada di desanya sekarang.
Siang hari yang terik, sehabis pulang sekolah Dhuan pergi ke halaman belakang rumahnya untuk sekedar meringankan beban yang ada di pundaknya dan duduk anggun sendirian ditemani musik box kesayangannya diputar lagu-lagu kesukaannya, menyerupai peterpan. Dengan lirik indah mengalir lagu peterpan semua perihal kita
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan kisah perihal kita
Akan tiada lagi kini tawamu ‘ tuk hapuskan semua sepi di hati
Ada kisah perihal saya dan dia, ketika kita bersama ketika dulu kala
Raganya memang berada di sana, memutar lagu namun hanya menganggapnya sahabat ia tidak menghiraukan alunan lagu mengiringi duduknya pikirannya melayang jauh mengingat bahwa di kelasnya diberi kiprah untuk menceritakan sejarah yang ada di desa masing-masing.
Dhuan kelas 6 SD N 05 Adiwerna, nama lengkapnya Dhuan Aji Wicaksono dekat dipanggil Dhuan, ia merasa kebingungan apa yang harus diceritakannya alasannya yaitu ia lemah dalam sejarah, di Sekolah pelajaran yang paling ia benci yaitu IPS sejarah, namun apa daya ia tidak sanggup menolak undangan gurunya alhasil ia benar merasa sangat bingung. Di tengah-tengah lamunannya itu ia dikagetkan oleh seorang sahabat dekatnya, entah kenapa temannya tahu ia di situ mungkin alasannya yaitu diberitahukan oleh Ibunya.
“Dorrr!!” kagetnya menggusarkan semua lamunan Dhuan.
“Hyyaa.. kenapa kau mengagetkanku, Dim?!” protes Dhuan berjingkat kaget, menciptakan Dimas tahu kalau Dhuan memang sedang termangu dan ia telah berhasil mengagetkannya itu menciptakan Dimas senang.
“Hmm.. sorry friend” gumam Dimas menepuk bahu Dhuan.
“Tapi adakah hal yang mengganggu pikiranmu ketika ini?” sambung Dimas khawatir.
Namun Dhuan masih tampak berpikir untuk menjawab pertanyaan temannya tapi bukannya menjawab ia malah berbalik bertanya pada temannya itu.
“Ahh.. itu, gini Dim apakah kau tidak mendapat kiprah sepertiku?” sergapnya.
“Tugas? Kau lupa bahwa kita berbeda sekolah, Dhuan?” tutur Dimas mengingatkan.
“Ohh.. ya tentu saya tahu Dim, maksudku apakah kau tidak mendapat kiprah untuk menceritakan sejarah di desamu?” jelasnya tutup point.
“Hmmm..” desisnya menggeleng.
“Tidak, kemudian apa yang membuatmu risau?” lanjutnya dengan pertanyaan kepo.
“Huft.. kau itu temanku apa bukan sih? Bahkan kau melupakan tentangku, yang sangat membenci sejarah, saya tidak tahu sejarah yang ada di desa ini, Dim” Gerutu Dhuan dengan nada putus asa.
“Ck ck ck, bukan begitu Dhuan, lagi pula kenapa kau begitu bego sih?” ledek Dimas.
“Huh, bego?! kenapa?” dengus Dhuan sebal, mengangkat alisnya
“Astaga Dhuan, kau sanggup mencari informasi di internet, internet Dhuan.. kau lupa itu?” ujar Dimas.
“Internet? Ha iya saya lupa Dim, kenapa begitu begonya aku?” kata Dhuan sambil memukul-mukul kecil kepalanya.
“Tapi Dimas, di Internet hanya ada asal-usul dan silsilah serta kekerabatan dengan yang lain dan saya mana mungkin menghafal semuanya, kata guruku yang singkat saja yang kalian ketahui tidak usah menjelaskan yang rumit lagi pula siapa yang akan mendengarkan kisah yang panjang dan membosankan” timpal Dhuan menggerutu pada Dimas dengan penuh kesal. Dimas hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Dhuan dan ketika itu pula ia mempunyai ide.
“Dhuan, kini kau ikut aku, kau akan mengetahuinya nanti dan cepat bangkitlah dari dudukmu” Ajak Dimas pada Dhuan. Karena Dhuan sedang galau ia hanya berdasarkan saja pada temannya itu tanpa mempedulikan musik box yang sedang memutar lagu-lagu, hasilnya mereka berdua segera meninggalkan daerah itu dan bergegas ke daerah yang akan mereka tuju.
Di depan rumah Dimas, Dhuan menghentikan langkanya, itu menciptakan Dimas mengikutinya dan bertanya.
“Hey, kenapa kau berhenti?” tanya Dimas.
“Kenapa kau mengajakku ke rumahmu?” balik Dhuan.
“Kenapa? Bukankah kau membutuhkan informasi? Di situlah kau sanggup menemukannya.” Tutur Dimas menunjuk rumahnya.
“Benarkah? di situlah saya sanggup menemukan yang saya butuhkan?” sahut Dhuan ragu namun yang ditanya hanya menganggukan kepala kemudian pergi melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Dhuan yang masih tampak ragu.
Tanpa berpikir lebih panjang Dhuan pribadi mengikuti langkah temannya itu, ketika Dimas menyuruhnya masuk ia berdasarkan dan berucap.
“Assalamu’alaikum” salam Dhuan.
“Wa’alaikumsalam” sahut Dimas dan mempersilahkan Dhuan untuk duduk, Dimas akan memanggil ibunya.
Begitu ibu Dimas hingga di ruang tamu Dhuan berdiri memberi salam pada Ibu Dimas, kemudian sang ibu menyuruh Dhuan untuk kembali duduk begitu juga yang dilakukannya dan Dimas.
“Dhuan, ayo ceritakan apa yang ingin kau ketahui? Ibu telah mendengar semuanya dari Dimas, Nak” pembukaan pembicaraan oleh Ibu Dimas pada Dhuan dengan ramahnya.
“Oh, iya, Bu, saya mendapat kiprah kalau harus menceritakan sejarah yang ada di desa ini tapi saya masih bingung” terang Dhuan.
“Begitukah? Kalau begitu ambil saja Amangkurat, ibu agak tahu perihal itu, bagaimana Dhuan?” Saran Ibu Dimas pada Dhuan, Dhuan hanya menganggukan kepala.
“Dhuan pakai ini kupinjamkan untukmu” tambah Dimas memperlihatkan bolpoint dan kertas pada Dhuan
“Terimakasih” ujarnya.
“Oya, Bu Amangkurat itu sendiri berartikan apa yah?” Lanjutnya.
“Amangkurat berasal dari bahasa jawa, Amangku yang berati ’memangku’ Rat berarti ‘Bumi’ jadi secara bahasa jawa Amangkurat berarti Memangku Bumi” jawabnya singkat.
“Siapa pendiri Amangkurat, Bu?”
“Raden Mas sayidin yang memerintah antara 1645 hingga 1677″
“Terbuat dari apakah Candi Amangkurat itu, Bu?”
“Candi dibentuk dari Kayu yang dipagari dengan kerikil bata”
“Terdapat apa sajakah di dalam candi dan beserta mitos-mitosnya, Bu?”
“Di dalamnya terdapat sumur kuno yang terdapat mitos, sumur suci ini jikalau ada orang yang berniatan tidak baik maka jikalau mengambil air sumur itu, akan mengeluarkan ular dan hanya orang itu yang melihatnya meski itu air tapi akan terlihat ular. Di dalam candi terdapat jasad seorang wali berjulukan Mbah Kyai Soleh yang hingga kini masih utuh dan rapi yang diawetkan oleh beling purin dikelilingi kelambu sutera juga baunya sangat harum alasannya yaitu banyak bunga yang ditebarkan. Kelambu yang setiap tahunnya akan diganti, dilarungkan di maritim pantai selatan. Penggantian kelambu setiap bulan Assyura. Acara sebelum pelarungan akan diadakan upacara kerajaan diiringi gending. Juga yang mengganti kelambu hanya dilakukan oleh keturunan ningrat atau berdarah biru”
“Lalu bagaimana perihal mitos pada pagar batunya itu, Bu?”
“Jika pagar kerikil batanya roboh dan robohnya ke arah utara maka akan banyak orang sakit di sebelah utara jikalau robohnya ke selatan maka banyak orang sakit di sebelah selatan, juga pagar itu dihentikan dinaiki dan diloncati jikalau ada, maka mereka akan celaka. Jika ada orang yg mengambil kerikil bata tersebut ia akan pribadi terkena penyakit” tuturnya secama. Sementara Dimas dan Dhuan hanya manggut-manggut mendengarkannya.
“Dan saya mendengar pohon yang terdapat di depan candi itu angker, bagaimana dengan mitos pohon di depan candi itu, Bu?” tanyanya lagi.
“Mitos Pohon Ketepeng yang berada di luar candi berjumlah 4 pohon yang telah bertengger selama ribuan tahun dan pohon asem. Di salah satu pohonnya ada yang sudah berlubang di tengahnya namun pohon itu tetap kokoh, mengakibatkan daerah tersebut nyaman dan tenteram, dihuni oleh banyak makhluk halus menyerupai genderuwo dan jin, jin terganas yaitu jin hitam yang suka menggangu orang luar yang bermaksud tidak baik tiba ke daerah itu. Jika ada yang berpacaran di sekitar pohon itu akan terjadi hal yang tidak diinginkan hingga kini pun masih berlaku mitos itu dan mengakibatkan masyarakat yang mengetahui hal itu tidak ada yang bertindak ceroboh.”
“Oh..begitu yah, Bu, saya gres tahu mengenai hal itu” Ungkap Dhuan.
“Yah, begitulah, masuk akal jikalau kau tidak tahu nak” jawab ibu Dimas ramah.
“Mm.. tampaknya ada yang tertinggal, Bu, siapa nama juru kunci Amangkurat sekarang, Bu? Dan kenapa setiap tahun banyak orang luar yang tiba ke daerah itu kemudian banyak anak masyarakat sekitar tiba menemuinya?” Tanyanya sekali lagi.
“Bagus, namanya Bapak Agus, itu dinamakan Nyadran? Nyekar (bertahlil) setiap setahun sekali. Orang yang nyadran akan membagikan uang kepada anak desa setempat yang tiba ke Amangkurat. Nyadran yang telah diadakan semenjak berdirinya candi Amangkurat”
“Ohh.. jadi begitukah, benar Agung desaku sekarang. Kalau begitu saya sebagai warga masyarakat yang baik akan selalu menjaga desaku ini dengan baik, juga terimakasih, Bu telah memberitahukan semuanya padaku, itu sungguh mempunyai kegunaan untukku” Ucapnya pada Ibu Dimas, Ibu Dimas mengganguk dan tersenyum padanya.
“Harus itu Dhuan.. kini kau telah mendapat yang kau butuhkan kemudian alasannya yaitu ini bulan Maulud, maukah kau malam pertama Mauludan ini bersamaku? itu akan asyik.” timpal Dimas seraya mengajak Dhuan.
“Tunggu dulu, Ibu akan keluar sebentar jadi kalian maaf ibu tinggal yah” potong Ibu Dimas pamit pada mereka berdua.
“Baik, Bu” sahut keduanya bersamaan.
“Dim, saya masih tidak mengerti menyerupai apa itu Mauludan?” tanyanya polos.
“Kau, tidak tahu Dhuan?” ujar Dimas menarik napas dalam mencoba untuk menjelaskan pada Dhuan, Dhuan hanya mengangguk pelan.
“Mauludan sejenis perkumpulan warga diiringi rebana dan bersalawat bantu-membantu juga membaca perjanji untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, dengan adanya program itu kita sanggup memperluas kekerabatan silaturahmi dan mempererat kekerabatan tali persaudaraan di antara kita, Dhuan dan juga program menyerupai ini di sini sudah usang berlangsung semenjak dulu” Jelasnya pada Dhuan, sekali lagi Dhuan hanya manggut-manggut kali ini ia tahu benar maksudnya itu. Senyum Dhuan mengembang.
“Dim, kalau begitu nanti malam datanglah ke rumahku.. ajak saya yah? Sekarang saya pamit salamkan pula pada ibumu, hari sudah makin sore nanti saya dicari Ibuku” pamit Dhuan pada Dimas.
“Baik, Dhuan.. terimakasih sudah mau kesini, sering-seringlah main kesini menemaniku, dan hati-hati yah” pinta Dimas pada Dhuan.
“Sip, oke” jawabnya singkat dan bergegas pergi dari daerah itu.
Malam maulid tiba, sehabis Dhuan berkemas-kemas untuk pergi ke Musala terdekat ia menunggu Dimas menjemputnya untuk memperkenalkan Acara Maulid pada dirinya yang gres pertama kali mengikuti alasannya yaitu di daerah tinggalnya dulu tidak ada.
“Dhuan, ini saya ayo kita berangkat” terdengar bunyi teriakan Dimas di halaman depan rumahnya ia segera pergi menemuinya dan mengikutinya. Dalam perjalanan menuju mushola mereka berbincang-bincang.
“Dhuan, tahukah kau jikalau malam ke-12 akan diadakan Rolasan?” tanya Dimas.
“tidak, dan apa itu Rolasan? Dim, tolong beritahu aku” pintanya memelas.
“Oke, Rolasan yaitu epilog Maulud nabi jikalau sudah 12 malam, malam itu setiap rumah akan diwajibkan menciptakan bejana yang berisikan jajanan ringan atau masakan siap saji itu terserah kita bahkan ada yang barang elektronik, nantinya itu akan dibagi secara acak, pada dasarnya semua akan terbagi dengan rata, gitu Dhuan, para anak kecil sangat bahagia sekali jikalau malam itu tiba, alasannya yaitu mereka sanggup membawa bejana yang berisikan sesuatu bahkan jikalau mereka mendapat yang besar tentunya isinya lebih baik mereka akan sangat riang gembira, begitupun saya dan paginya biasanya mereka membicarakan hal itu pada sahabat sebayanya” tutur Dimas panjang lebar.
“Ohh..” sahut Dhuan manyun.
“Oya, ngomong-ngomong apa kau telah menghafal semua yang ibuku katakan padamu siang tadi?”
“Mmm.. sudah, saya pikir itu tidak terlalu sulit” sahut Duan singkat dengan senyuman mengembang di wajahnya. Hingga mereka hingga di depan Musala dan berhenti berbincang alasannya yaitu program Mauludan akan segera dimulai.
Dan keesokan harinya ia berangkat sekolah dengan senyuman yang menghiasi raut wajahnya, sangat indah, ia yakin bahwa hari ini akan berjalan dengan baik dan indah, memang semua itu benar, usahanya tadi siang bersama Dimas tidaklah sia-sia, ia sanggup menceritakan dengan cepat dan tepat, hingga gurunya mengaguminya. Meskipun ia anak pindahan tapi sanggup mengetahui sejarah yang ada di desa barunya itu dengan baik.
Dhuan pun mendapat nilai terbaik di kelasnya, itu benar-benar membuatnya semakin bahagia selain ia mendapat nilai terbaik sekaligus ia mendapat pengetahuan yang berharga baginya.
THE END
Cerpen Karangan: Farah Aolya Oktaviani Sumber http://makalahtugasmu.blogspot.com
Minggu, 15 April 2018
Cerpen Agungnya Desaku
Diterbitkan April 15, 2018
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon