Rabu, 09 Mei 2018

Makalah: Bentuk Bentuk Nilai Moralitas

Bentuk Bentuk Nilai Moralitas
Pendahuluan Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional diharapkan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya insan bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler, dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat semoga mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya, serta terjaminnya semoga perbuatan yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat.

Manusia (khususnya Jawa) percaya garis hidupnya sudah ada yang mengatur, dan dengan itu mereka mendapatkan apa yang menjadi bagiannya dan melaksanakan apa yang menjadi bagiannya itu. Dalam hal ini orang Jawa melaksanakan apa yang menjadi kiprah dan kewajibannya (darma). Darma berarti kewajiban atau kiprah hidup. Darma berafiliasi dengan anggapan bahwa setiap insan entah kecil atau besar, banyak atau sedikit mempunyai tugasnya yang khas dalam keseluruhan dan masing-masing berperan dalam penciptaan kerukunan, keselarasan, perdamaian serta kemakmuran masyarakat.

Jika darma tidak dijalankan dengan baik, orang Jawa percaya pada konsep eksekusi alam sebagai hukuman yang memayungi segala tindak tanduk manusia. Suatu pembalasan setimpal yang diberikan di dunia terhadap perbuatan kurang pantas di masa kemudian yang tidak sesuai dengan kewajiban-kewajibanya. Istilah eksekusi alam lebih menunjuk pada aturan Ilahi terhadap segala tingkah laris di dunia. Pikiran akan eksekusi alam yakni motif kuat untuk mencegah tindakan-tindakan yang kurang pantas. Namun anggapan wacana eksekusi alam juga merupakan rangsangan untuk melaksanakan apa yang menjadi darma melalui kewajibankewajibannya.

Etika Jawa berisi wacana sikap hidup yang di dalamnya terdapat sikap rukun dan sikap hormat. Etika Jawa yang dimaksud yakni semua orientasi insan Jawa untuk mencapai tujuan dalam kehidupan juga dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Istilah etika berasal dari kata Latin Ethicus, arti sebenarnya, ialah kebiasaan, habit, custom. Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laris manusia, mana yang sanggup dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma dan nilai-nilai yang sanggup digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Salam, 2000: 3).

Selain dua kaidah dasar yang ada pada masyarakat Jawa, insan Jawa juga mempunyai pandangan dunia dalam menjaga kelangsungan hidup. Takdir, darma dan eksekusi alam merupakan satu kesatuan eksistensi yang dijadikan patokan dalam menjalani hidup di dunia. Hal ini mengisyaratkan bahwa selama menjalankan kehidupannya, orang Jawa senantiasa mawas diri dan tidak berlaku secara gegabah atau grusa-grusu. Di samping itu nampak pula bahwa hidup insan akan berhasil, sejauh ia berhasil beradaptasi dengan kenyataan yang ada di sekitar hidupnya. Dan keadaan semacam itu akan tercapai apabila seseorang mempunyai sikap batin yang tepat menyerupai sabar, ikhlas, nrima, rila serta eling.

Dalam perjalanan kehidupannya insan senantiasa hidup dalam sistem sosial yang sudah terbentuk di dalam lingkungan masyarakatnya. Hal ini menjelaskan bahwa setiap masyarakat pasti menghendaki semoga para anggotanya melaksanakan dan menjaga kelangsungan hidup dengan nilai-nilai, yaitu ukuran yang telah menjadi kesepakatan pada masyarakat itu. Menurut Bertens (2004: 39) nilai merupakan sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, artinya sesuatu yang baik. Dengan kata lain, nilai yakni ukuran yang harus ditegakkan untuk melestarikan irama kehidupan sesuai dengan kodrat alam dan impian luhur suatu masyarakat.

Dalam hidup sehari-hari nilai-nilai itu terlihat pada setiap perbuatan atau tingkah laris yang bersumber pada akal, kehendak, perasaan, dan kepercayaan. Dari perbuatan dan tingkah laris yang bersumber pada budi akan lahir nilai benar dan salah, dari perbuatan dan tingkah laris yang bersumber pada kehendak maka akan lahir nilai-nilai baik dan buruk, dari perbuatan dan tingkah laris yang bersumber pada perasaan maka akan lahir nilai-nilai indah dan tidak indah, sedang dari perbuatan dan tingkah laris yang bersumber pada kepercayaan akan lahir nilai religius dan nonreligius.

Moralitas merupakan suatu perjuangan untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal. Membimbing tindakan dengan budi yaitu melaksanakan apa yang paling baik berdasarkan akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan individu yang akan terkena oleh tindakan itu. Hal ini merupakan citra tindakan pelaku moral yang sadar. Pelaku moral yang sadar yakni seseorang yang mempunyai keprihatinan, tanpa pandang bulu terhadap kepentingan setiap orang yang terkena oleh apa yang dilakukan beserta implikasinya. Tindakan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip yang sehat (Rachels, 2004: 40-41).

Moralitas merupakan potongan dari filsafat moral. Driyarkara (2006: 508) menjelaskan filsafat moral atau kesusilaan ialah potongan dari filsafat yang memandang perbuatan insan serta hubungannya dengan baik dan buruk. Suseno (1987: 14) secara khusus menjelaskan bahwa pedoman moral yakni ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik mulut atau tertulis, wacana bagaimana insan harus hidup dan bertindak semoga menjadi insan yang baik.

Dalam masyarakat Jawa misalnya, sumber eksklusif pedoman moral yakni orang-orang dalam kedudukan yang berwenang sebagai sumber pedoman moral, menyerupai orang renta dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, serta tulisan-tulisan para bijak menyerupai kitab Wulangreh karangan Sri Susuhunan Paku Buwana IV. Ajaran-ajaran itu bersumber pada tradisi dan adat-istiadat, pedoman agama, atau ideologi tertentu (Suseno, 1987: 14).

Nilai moral yang merupakan kebijaksanaan hidup semoga menjadi insan yang baik, belum sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat. Bangsa Indonesia hingga kini masih mengalami krisis moral. Media cetak dan media elektronik pun banyak memuat gosip mengenai krisis moral yang masih berkepanjangan. Krisis yang terjadi menciptakan insan tidak lagi bisa memahami perbedaan benar dan salah ataupun tingkah laris yang baik dan tidak baik. Orang dengan ringannya memfitnah, mengadu domba, bahkan hingga mengakibatkan orang lain meninggal, demi mengejar kekuasaan. Dunia pendidikan pun, yang seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai moral juga telah mengalami degradasi, orang berbuat curang hanya untuk mengejar nilai Ujian Nasional.

Permasalahan moralitas terjadi juga di kalangan masyarakat umum, terutama di kalangan remaja. Permasalahan moralitas yang tercermin dalam perilaku-perilaku yang kurang sesuai dengan nilai-nilai moral, contohnya sec bebas, pemakaian narkoba, budaya hedonisme (ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia), dan gaya berpakaian yang tidak sepantasnya. Perilaku ini bisa diakibatkan oleh budaya barat yang tidak disaring dengan baik sehingga semuanya diserap oleh sebagian generasi muda. Generasi muda memang sering mempunyai keinginan untuk mencoba, tanpa memikirkan resiko dari perbuatan tersebut. Jika generasi muda dibiarkan saja dalam kondisi menyerupai ini, maka ke depannya kemajuan bangsa akan terhambat lantaran generasi muda yakni generasi penerus bangsa.

Dalam sastra mulut terungkap kreativitas bahasa dan sastra yang di dalamnya ditonjolkan hakikat kemanusiaan masyarakat di masa lampau. Naskah merupakan dokumen yang paling menarik untuk di kaji, lantaran mempunyai kelebihan yaitu sanggup memberikan informasi yang luas dibandingkan bentuk peninggalan yang lain salah satunya yakni serat atau naskah. Serat sebagai suatu karya sastra sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Sebagai sebuah karya sastra, serat mengandung citra kehidupan tercemin pada piwulang atau pendidikan yang terkandung di dalamnya. Menurut Fudyartanta, (1974: 13), serat merupakan salah satu karya sastra jawa kuno yang cenderung berupa naskah-naskah tembang macapat baik berisi kisah (babad, legenda) maupun nasihat-nasihat.

B. KAJIAN NILAI
1. PENGERTIAN NILAI

Untuk memahami pengertian nilai secara lebih dalam, berikut ini akan disajikan sejumlah definisi nilai dari beberapa jago menyerupai Rokeach yang menyatakan bahwa, value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence (973:5). Menegaskan pendapat tersebut, Feather menyampaikan bahwa, Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or undesireable goals or end- states (1994:184).

Sementara itu, Schwartz berpandangan bahwa, Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity (1994:21). Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai yakni (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laris atau tujuan final tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau penilaian terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman wacana nilai, yaitu (1) suatu keyakinan, (2) berafiliasi dengan cara bertingkah laris dan tujuan final tertentu. Kaprikornus sanggup disimpulkan bahwa nilai yakni suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laris dan tujuan final yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.

Pemahaman wacana nilai tidak terlepas dari pemahaman wacana bagaimana sesungguhnya nilai-nilai itu terbentuk. Schwartz berpandangan bahwa nilai merupakan representasi kognitif dari tiga tipe persyaratan hidup insan yang universal, yaitu: (1) kebutuhan individu sebagai organisme biologis, (2) persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal, (3) tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Schwartz dan Bilsky, 1987, Schwartz, 1992, 1994). Jadi, dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan insan yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial (Schwartz dan Bilsky, 1987).

Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan. Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu sanggup timbul dari minat kolektif (tipe nilai benevolence, tradition, conformity) atau berdasarkan prioritas pribadi/individual (power, achievement, hedonism, stimulation, self-direction), atau kedua-duanya (universalism, security).

Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok mayoritas yang mempunyai nilai tertentu (misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui pengalaman pribadi yang unik (Feather, 1994, Grube, Mayton II dan Ball-Rokeach, 1994, Rokeach, 1973, Schwartz, 1994). Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya diinginkan, di mana lebih diinginkan menghipnotis seleksi banyak sekali modus tingkah laris yang mungkin dilakukan individu atau menghipnotis pemilihan tujuan final tingkah laris (Kluckhohn dalam Rokeach, 1973).

Lebih diinginkan ini mempunyai imbas lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku. Dengan demikian maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya. Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan usang dan stabil (Rokeach, 1973). Kaprikornus nilai mempunyai kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu. Salah satunya yakni bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana individu tersebut menetap (Danandjaja, 1985).

2. TIPE NILAI

Penelitian Schwartz mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan masalah apakah nilai-nilai yang dianut oleh insan sanggup dikelompokkan menjadi beberapa tipe nilai (value type). Lalu masing-masing tipe tersebut terdiri pula dari sejumlah nilai yang lebih khusus. Setiap tipe nilai merupakan wilayah motivasi tersendiri yang berperan memotivasi seseorang dalam bertingkah laku. Karena itu, Schwartz juga menyebut tipe nilai ini sebagai motivational type of value. Dari hasil penelitiannya di 44 negara, Schwartz (1992, 1994) mengemukakan adanya sepuluh tipe nilai (value types) yang dianut oleh manusia, yaitu sebagai berikut.

a. Power Tipe nilai ini merupakan dasar pada lebih dari satu tipe kebutuhan yang universal, yaitu transformasi kebutuhan individual akan dominasi dan kontrol yang diidentifikasi melalui analisa terhadap motif sosial. Tujuan utama dari tipe nilai ini yakni pencapaian status sosial dan prestise, serta kontrol atau dominasi terhadap orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (spesific values) tipe nilai ini adalah: social power, authority, wealth, preserving my public image dan social recognition.

b. Achievement Tujuan dari tipe nilai ini yakni keberhasilan pribadi dengan memperlihatkan kompetensi sesuai standar sosial. Unjuk kerja yang kompeten menjadi kebutuhan bila seseorang merasa perlu untuk menyebarkan dirinya, serta kalau interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Nilai khusus yang terdapat pada tipe nilai ini adalah: succesful, capable, ambitious, influential.

c. Hedonism Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang diasosiasikan dengan pemuasan kebutuhan tersebut. Tipe nilai ini mengutamakan kesenangan dan kepuasan untuk diri sendiri. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah: pleasure, enjoying life.

d. Stimulation Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan rangsangan untuk menjaga semoga acara seseorang tetap pada tingkat yang optimal. Unsur biologis menghipnotis variasi dari kebutuhan ini, dan ditambah imbas pengalaman sosial, akan menghasilkan perbedaan individual wacana pentingnya nilai ini. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini yakni kegairahan, tantangan dalam hidup. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah: daring, varied life, exciting life.

e. Self-direction Tujuan utama dari tipe nilai ini yakni pikiran dan tindakan yang tidak terikat (independent), menyerupai memilih, mencipta, menyelidiki. Self direction bersumber dari kebutuhan organismik akan kontrol dan penguasaan (mastery), serta interaksi dari tuntutan otonomi dan ketidakterikatan. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah: creativity, curious, freedom, choosing own goals, independent.

f. Universalism Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan prososial. Tipe nilai ini mengutamakan penghargaan, toleransi, memahami orang lain, dan proteksi terhadap kesejahteraan umat manusia. Contoh nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah: broad minded, social justice, equality, wisdom, inner harmony.

g. Benevolence Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya wacana konsep prososial. Bila prososial lebih pada kesejahteraan semua orang pada semua kondisi, tipe nilai benevolence lebih kepada orang lain yang erat dari interaksi sehari-hari. Tipe ini sanggup berasal dari dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan interaksi yang positif untuk menyebarkan kelompok, dan kebutuhan organismik akan afiliasi. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini yakni peningkatan kesejahteraan individu yang terlibat dalam kontak personal yang intim. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah: helpful, honest, forgiving, responsible, loyal, true friendship, mature love.

h. Tradition Kelompok dimana-mana menyebarkan simbol-simbol dan tingkah laris yang merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama. Tradisi sebagian besar diambil dari ritus agama, keyakinan, dan norma bertingkah laku. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini yakni penghargaan, komitmen, dan penerimaan terhadap kebiasaan, tradisi, adat istiadat, atau agama. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah: humble, devout, accepting my portion in life, moderate, respect for tradition.

i. Conformity Tujuan dari tipe nilai ini yakni pembatasan terhadap tingkah laku, dorongan-dorongan individu yang dipandang tidak sejalan dengan harapan atau norma sosial. Ini diambil dari kebutuhan individu untuk mengurangi perpecahan sosial ketika interaksi dan fungsi kelompok tidak berjalan dengan baik. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah: politeness, obedient, honoring parents and elders, self discipline.

j. Security Tujuan motivasional tipe nilai ini yakni mengutamakan keamanan, harmoni, dan stabilitas masyarakat, kekerabatan antar manusia, dan diri sendiri. Ini berasal dari kebutuhan dasar individu dan kelompok. Tipe nilai ini merupakan pencapaian dari dua minat, yaitu individual dan kolektif. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah: national security, social order, clean, healthy, reciprocation of favors, family security, sense of belonging.

3. STRUKTUR HUBUNGAN NILAI

Selain adanya sepuluh tipe nilai ini, Schwartz juga beropini bahwa terdapat suatu struktur yang menggambarkan adanya kekerabatan di antara nilai-nilai tersebut. Untuk mengidentifikasi struktur kekerabatan antar nilai, perkiraan yang dipegang yakni bahwa pencapaian suatu tipe nilai mempunyai konsekuensi psikologis, praktis, dan sosial yang sanggup berkonflik atau sebaliknya berjalan seiring (compatible) dengan pencapaian tipe nilai lain. Misalnya, pencapaian nilai achievement akan berkonflik dengan pencapaian nilai benevolence, lantaran individu yang mengutamakan kesuksesan pribadi sanggup merintangi usahanya meningkatkan kesejahteraan orang lain.

Sebaliknya, pencapaian nilai benevolence sanggup berjalan selaras dengan pencapaian nilai conformity lantaran keduanya berorientasi pada tingkah laris yang sanggup diterima oleh kelompok sosial. Pencapaian nilai yang seiring satu dengan yang lain menghasilkan sistem kekerabatan antar nilai sebagai berikut.
  1. Tipe nilai power dan achievement, keduanya menekankan pada superioritas sosial dan harga diri.
  2. Tipe nilai achievement dan hedonism, keduanya menekankan pada pemuasan yang terpusat pada diri sendiri.
  3. Tipe nilai hedonism dan stimulation, keduanya menekankan keinginan untuk memenuhi kegairahan dalam diri.
  4. Tipe nilai stimulation dan self-direction, keduanya menekankan minat intrinsik dalam bidang gres atau menguasai suatu bidang.
  5. Tipe nilai self-direction dan universalism, keduanya mengekspresikan keyakinan terhadap keputusan atau penilaian diri dan legalisasi terhadap adanya keragaman dari hakekat kehidupan.
  6. Tipe nilai universalism dan benevolence, keduanya menekankan orientasi kesejahteraan orang lain dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi.
  7. Tipe nilai benevolence dan conformity, keduanya menekankan tingkah laris normatif yang menunjang interaksi intim antar pribadi.
  8. Tipe nilai benevolence dan tradition, keduanya mengutamakan pentingnya arti suatu kelompok tempat individu berada.
  9. Tipe nilai conformity dan tradition, keduanya menekankan pentingnya memenuhi harapan sosial di atas kepentingan diri sendiri.
  10. Tipe nilai tradition dan security, keduanya menekankan pentingnya aturan-aturan sosial untuk memberi kepastian dalam hidup.
  11. Tipe nilai conformity dan security, keduanya menekankan proteksi terhadap aturan dan harmoni dalam kekerabatan sosial.
Tipe nilai security dan power, keduanya menekankan perlunya mengatasi ancaman ketidakpastian dengan cara mengontrol kekerabatan antar insan dan sumberdaya yang ada.

Berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, Schwartz menyimpulkan bahwa tipe nilai sanggup diorganisasikan dalam dimensi bipolar, yaitu:

a. Dimensi opennes to change yang mengutamakan pikiran dan tindakan independen yang berlawanan dengan dimensi conservation yang mengutamakan batasan-batasan terhadap tingkah laku, ketaatan terhadap aturan tradisional, dan proteksi terhadap stabilitas. Dimensi opennes to change berisi tipe nilai stimulation dan self direction, sedangkan dimensi conservation berisi tipe nilai conformity, tradition, dan security.

b. Dimensi yang kedua yakni dimensi self transcendence yang menekankan penerimaan bahwa insan pada hakikatnya sama dan memperjuangkan kesejahteraan sesama yang berlawanan dengan dimensi self enhancement yang mengutamakan pencapaian sukses individual dan dominasi terhadap orang lain. Tipe nilai yang termasuk dalam dimensi self transcendence yakni universalism dan benevolence. Sedangkan tipe nilai yang termasuk dalam dimensi self enhancement yakni achievement dan power. Tipe nilai hedonism berkaitan baik dengan dimensi self enhancement maupun openness to change.

4. HUNGUNGAN NILAI DAN TINGKAH LAKU

Di dalam kehidupan manusia, nilai berperan sebagai standar yang mengarahkan tingkah laku. Nilai membimbing individu untuk memasuki suatu situasi dan bagaimana individu bertingkah laris dalam situasi tersebut (Rokeach, 1973, Kahle dalam Homer dan Kahle, 1988). Nilai menjadi kriteria yang dipegang oleh individu dalam menentukan dan memutuskan sesuatu (Williams dalam Homer dan Kahle, 1988).

Danandjaja (1985) mengemukakan bahwa nilai memberi arah pada sikap, keyakinan dan tingkah laris seseorang, serta memberi pedoman untuk menentukan tingkah laris yang diinginkan pada setiap individu. Karenanya nilai kuat pada tingkah laris sebagai dampak dari pembentukan sikap dan keyakinan, sehingga sanggup dikatakan bahwa nilai merupakan faktor penentu dalam banyak sekali tingkah laris sosial (Rokeach, 1973, Danandjaja, 1985).

Nilai merupakan salah satu komponen yang berperan dalam tingkah laku: perubahan nilai sanggup mengarahkan terjadinya perubahan tingkah laku. Hal ini telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian yang berhasil memodifikasi tingkah laris dengan cara mengubah sistem nilai (Grube dkk., 1994, Sweeting, 1990, Waller, 1994, Greenstein, 1976, Grube, Greenstein, Rankin dan Kearney, 1977, Schwartz dan Inbar-Saban, 1988).

Perubahan nilai telah terbukti secara signifikan mengakibatkan perubahan pula pada sikap dan tingkah laris menentukan pekerjaan, merokok, mencontek, mengikuti acara politik, pemilihan teman, ikut serta dalam acara penegakan hak asasi manusia, membeli mobil, hadir di gereja, menentukan acara di waktu senggang, berafiliasi dengan ras lain, menggunakan media masa, mengantisipasi penggunaan media, dan orientasi politik (Homer dan Kahle, 1988).

C. KAJIAN ETIKA

1. PENGERTIAN
Etika dalam perkembangannya sangat menghipnotis kehidupan manusia. Etika memberi insan orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu insan untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan wacana tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini sanggup diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini sanggup dibagi menjadi beberapa potongan sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.

Secara etimologis kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos dan ethikos, ethos yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, dan tempat yang baik. Ethikos yang berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Kata etika dibedakan dengan kata etik dan etiket. Kata etik berarti kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan sopan santun atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Adapun kata etiket berarti tata cara atau adat, sopan santun dan lain sebagainya dalam masyarakat beradaban dalam memelihara kekerabatan baik sesama insan (Haris, 2007: 3).

Sedangkan secara terminologis etika berarti pengetahuan yang membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laris dan tindakan insan serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban insan (Haris, 2007: 3). Dalam bahasa Gerik etika diartikan: Ethicos is a body of moral principles or value. Ethics arti bersama-sama yakni kebiasaan. Namun lambat laun pengertian etika berubah, menyerupai sekarang. Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laris manusia, mana yang sanggup dinilai baik dan mana yang sanggup dinilai buruk dengan memperlihatkan amal perbuatan insan sejauh yang sanggup dicerna budi pikiran (Rahmaniyah, 2010: 58).

Di dalam kamus ensklopedia pendidikan diterangkan bahwa etika yakni filsafat wacana nilai, kesusilaan wacana baik buruk. Sedangkan dalam kamus istilah pendidikan dan umum dikatakan bahwa etika yakni potongan dari filsafat yang mengajarkan keluhuran budi (Asmaran, 1999: 6). Sedangkan kata ‘etika’ dalam kamus besar bahasa Indonesia yang gres (Bertens dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), mempunyai arti: (1) ilmu wacana apa yang baik dan apa yang buruk dan wacana hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Sedangkan akhlak, secara etimologi istilah yang diambil dari bahasa arab dalam bentuk jamak. Al-Khulq merupakan bentuk mufrod (tunggal) dari Akhlak yang mempunyai arti kebiasaan, perangai, tabiat, budi pekerti (Yunus, 2007: 120). Tingkah laris yang telah menjadi kebiasan dan timbul dari dari insan dengan sengaja. Kata sopan santun dalam pengertian ini disebutkan dalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal. Kata khulq dalam firman Allah SWT merupakan pemberian kepada Muhammad sebagai bentuk pengangkatan menjadi Rasul Allah (Abdullah, 2007: 73-74).

Al-Ghazali beropini bahwa adanya perubahan-perubahan sopan santun bagi seseorang yakni bersifat mungkin, contohnya dari sifat kasar kepada sifat kasian. Di sini imam al-Ghazali membenarkan adanya perubahan-perubahan keadaan terhadap beberapa ciptaan Allah, kecuali apa yang menjadi ketetapan Allah menyerupai langit dan bintang-bintang. Sedangkan pada keadaan yang lain menyerupai pada diri sendiri sanggup diadakan kesempurnaannya melalui jalan pendidikan. Menghilangkan nafsu dan kemarahan dari muka bumi sungguh tidaklah mungkin namun untuk meminimalisir keduanya sungguh menjadi hal yang mungkin dengan jalan menjinakkan nafsu melalui beberapa latihan rohani (Bahreisj, 1981: 41).

Ahli lain menjelaskan bahwa etika berdasarkan asal-asul kata berasal dari kata ethos bahasa Yunani Kuno yang dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti (Bertens, 1993: 4). Beberapa arti kata ethos yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, sangkar habitat, kebiasaan adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Bentuk jamak ethos yakni ta etha, yang berarti adat kebiasaan, dan arti yang kedua ini menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika, yang oleh Aristoteles sudah digunakan untuk memperlihatkan filsafat moral. Jadi, etika berdasarkan asal-usul kata berarti ilmu wacana apa yang biasa dilakukan atau ilmu wacana adat kebiasaan.

Bertens (1993: 6-7) menyimpulkan tiga arti kata etika, pertama, etika berarti nilainilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Makna ini dirumuskan juga sebagai sistem nilai yang sanggup berfungsi dalam hidup insan perorangan maupun sosial. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral, yang disebut sebagai kode etik. Ketiga, etika berarti ilmu wacana yang baik atau buruk. Etika dalam arti yang ketiga ini sering disebut filsafat moral.

Pendekatan etika ada dua macam, yaitu pendekatan pendekatan deskriptif dan pendekatan normatif. Pendekatan deskriptif, memandang bahwa etika melukiskan tingkah laris moral dalam arti luas, contohnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan wacana baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Pendekatan etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan atau subkultur tertentu, dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya. Pendekatan etika normatif sebagaimana dijelaskan oleh Bertens (1993: 19-20) etika normatif merupakan potongan terpenting dari etika dan tempat berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik wacana masalah-masalah moral. Etika normatif melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian wacana sikap manusia.

Penilaian itu dibuat atas dasar norma-norma. Etika normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya atas norma. Etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laris atau anggapan moral. Jadi, etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang sanggup dipertanggungjawabkan secara rasional dan sanggup digunakan dalam praktik.

Dalam rujukan yang lain, Vos (1987: 10-11) menyatakan etika normatif mendasarkan diri pada sifat hakiki kesusilaan bahwa di dalam sikap serta tanggapan-tanggapan kesusilaannya, insan menjadikan norma-norma kesusilaan sebagai panutannya. Etika normatif memperlihatkan sikap manakah yang baik dan sikap manakah yang buruk.

Kattsoff (dalam Sumargono, 2004: 344) menjelaskan etika normatif dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang memutuskan ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari pemberian tanggapan atau penilaian terhadap perbuatan. Ilmu pengetahuan ini membicarakan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi, dan yang memungkinkan orang untuk memutuskan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Suseno juga menyatakan bahwa,

Etika normatif bertujuan mencari prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan seseorang menghadapi pandangan-pandangan normatif moral yang terdapat dalam masyarakat atau diperjuangkan oleh pelbagai ideologi secara rasional dan kritis. Etika normatif tidak akan merumuskan suatu sistem normatif tersendiri yang sanggup bersaing dengan sistem-sistem moral yang sudah ada, melainkan mengusut pandangan-pandangan utama wacana norma-norma dasar yang sudah ada (1997: 96).

Secara khusus Suseno (1987: 130-135) memerinci prinsip dasar moral menjadi tiga, yaitu (a) prinsip sikap baik, (b) prinsip keadilan, dan (c) prinsip hormat terhadap diri sendiri. Prinsip sikap baik hendaknya seseorang jangan merugikan siapa saja, sikap yang dituntut sebagai dasar kekerabatan dengan siapa saja yakni sikap yang positif dan baik.

Prinsip baik harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari suatu tindakan. Prinsip baik mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip baik bukan hanya sebuah pinsip yang dipahami secara rasional, melainkan juga mengungkapkan syukur Alhamdulillah suatu kecondongan yang memang sudah ada dalam watak manusia.

Prinsip yang kedua yakni prinsip keadilan. Adil pada hakikatnya berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan.

Suatu perlakuan yang tidak sama yakni tidak adil, kecuali sanggup diperlihatkan mengapa ketidaksamaan sanggup dibenarkan. Suatu perlakuan tidak selalu perlu dibenarkan secara khusus, sedangkan perlakuan yang sama dengan sendirinya betul kecuali terdapat alasan-alasan khusus.

Prinsip yang ketiga yakni hormat terhadap diri sendiri. Prinsip ini menyampaikan bahwa insan wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai bagi dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa insan yakni person, sentra berpengertian dan berkehendak, yang mempunyai kebebasan dan bunyi hati, dan makhluk berakal budi.

Manusia tidak boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi suatu tujuan yang lebih lanjut. Tujuan tersebut harus bernilai bagi dirinya sendiri, bukan sekedar sebagai sarana untuk maksud atau tujuan yang lebih jauh. Oleh lantaran itu, insan wajib memperlakukan dirinya sendiri secara hormat. Prinsip ini mempunyai dua arah, pertama semoga insan tidak membiarkan dirinya diperas, diperalat, diperkosa, atau diperbudak, dan kedua semoga insan jangan hingga membiarkan diri sendiri terlantar.

Suseno (1987: 141-150) menyatakan beberapa keutamaan moral yang mendasari kepribadian yang mantap, yaitu (1) kejujuran, (b) kesediaan untuk bertanggung jawab, (3) kemandirian moral, (4) keberanian moral, dan (5) rendah hati. Suseno (1983: 21-22) pada buku Etika Jawa dalam Tantangan menyatakan bahwa nilai moral itu beraneka warna, kesetiaan, kemurahan hati, keadilan, kejujuran dan banyak nilai lainnya. Inti nilai itu yakni sifat moralnya.

Sejalan dengan keutamaan moral, Rachels (2004: 306-322) menyampaikan dengan istilah etika keutamaan dan etika tindakan benar, yang terdiri atas (1) keberanian, (2) kemurahan hati, (3) kejujuran, dan (4) kesetiaan. Bertens (1993: 275) pada potongan dua buku Etika menyebutkan tema-tema etika umum meliputi (1) hati nurani, (2) kebebasan dan tanggung jawab, (3) nilai dan norma, (4) hak dan kewajiban, (5) menjadi insan yang baik, dan (6) sistem moral.

Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika yakni untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Pengertian moralitas yakni pedoman yang dimiliki setiap individu atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral yang berlaku dalam masyarakat. Di samping itu etika sanggup disebut juga sebagai filsafat moral yakni cabang filsafat yang berbicara wacana tindakan manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana insan harus bertindak, berdasarkan norma-norma tertentu.

Moralitas dipertanyakan tampak (tangible) dalam sikap tidak jujur dan tidak tampak (intangible) dalam pikiran yang bertentangan dengan hati nurani dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Moralitas yang dengan sengaja menentang hati nurani yakni soal integritas, yaitu keteguhan hati untuk berpendirian tetap mempertahankan nilai-nilai baku. Jadi, pengertian etika dan moralitas mempunyai arti yang sama sebagai sebuah sistem tata nilai wacana bagaimana insan harus tetap mempertahankan hidup yang baik, yang kemudian terwujud dalam pola tingkah laku/perilaku yang konstan dan berulang dalam kurun waktu, yang berjalan dari waktu kewaktu sehingga menjadi suatu kebiasaan.

Berbeda lagi antara etika dengan etiket, menyerupai telah dibahas etika yakni berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun, walaupun keduanya menyangkut sikap insan secara normatif yaitu memberi norma bagi sikap insan dan dengan demikian menyatakan apa yang diperbolehkan dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal kedua istilah tersebut terdapat arti yang berbeda, walaupun ada persamaannya.

Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya yakni berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket yakni berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Persamaannya yakni mengenai sikap insan secara normatif yang etis. Artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melaksanakan perbuatan dan tidak melaksanakan sesuatu perbuatan.

Istilah etiket berasal dari Etiquette (Perancis) yang berarti dari awal suatu kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi, pesta dan resepsi untuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan. Pendapat lain menyampaikan bahwa etiket yakni tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat ter-tentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laris sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.

2. MACAM-MACAM ETIKA

Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang mengusut wacana tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah insan secara utuh dan menyeluruh bisa memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdirisendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika, sebagai berikut.

a. Etika Deskriptif Etika deskriptif ialah etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola sikap insan dan apa yang dikejar oleh insan dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai (Rahmaniyah, 2010: 66). Etika deskriptif ini termasuk bidang ilmu pengetahuan empiris dan berafiliasi erat dengan kajian sosiologi. Terkait dengan bidang sosiologi, etika deskriptif berusaha menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.

Etika deskriptif mungkin merupakan suatu cabang sosiologi, tetapi ilmu tersebut penting bila kita mempelajari etika untuk mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik (Zubair, 1995: 93). Kaidah etika yang biasa dimunculkan dalam etika deskriptif yakni adat kebiasaan, anggapan-anggapan wacana baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Menurut Keraf, etika deskriptif adalah:

Etika yang menelaah secara kritis dan rasional wacana sikap dan sikap manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan sikap insan sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa wacana kenyataan dalam penghayatannilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan insan sanggup bertindak secara etis (1991: 23).

Etika deskriptif sanggup dibagi menjadi dua bagian, sejarah moral dan fenomenologi moral. Sejarah moral yakni potongan etika deskriptif yang bertugas untuk meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah diberlakukan dalam kehidupan insan pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam suatu lingkungan besar meliputi bangsa-bangsa.

Sedangkan fenomenologi moral yakni etika deskriptif yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari banyak sekali fenomena moral yang ada. Fenomenologi moral tidak berkomponen menyediakan petunjuk-petunjuk atau batasan-batasan moral yang perlu dipegang oleh manusia. Fenomenologi moral tidak membahas apa yang dimaksud dengan yang benar dan apa yang dimaksud dengan yang salah (Haris, 2007: 7).

b. Etika Normatif Etika normatif merupakan potongan terpenting dari etika dan bidang di mana berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik wacana masalah-masalah moral (Bertens, 2011: 19). Etika normatif yakni etika yang mengacu pada norma-norma atau standar moral yang diharapkan untuk menghipnotis perilaku, kebijakan, keputusan, abjad individu, dan struktur sosial (Rahmaniyah, 2010: 67). Etika normatif inilah yang sering disebut dengan filsafat moral atau biasa juga disebut etika filsafat. Menurut Keraf, etika normatif adalah:

Etika yang memutuskan banyak sekali sikap dan sikap yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh insan atau apa yang seharusnya dijalankan oleh insan dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Kaprikornus Etika Normatif merupakan norma-norma yang sanggup menuntun semoga insan bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat (Keraf: 1991: 23).

Etika normatif sanggup dibagi menjadi dua bagian. Pertama, etika normatif yang terkait dengan teori-teori nilai yang mempersoalkan sifat kebaikan. Kedua, etika normatif yang berkenaan dengan teori-teori keharusan yang membahas masalah tingkah laris (Haris, 2007: 8). Secara singkat sanggup dikatakan, etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang sanggup dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan sanggup digunakan dalam praktik. Kaidah yang sering muncul dalam etika normatif, yaitu hati nurani, kebebasan dantanggung jawab, nilai dan norma, serta hak dan kewajiban.

Dari banyak sekali pembahasan definisi wacana etika tersebut di atas sanggup diklasifikasikan menjadi tiga jenis definisi, yaitu: Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan wacana nilai baik dan buruk dari sikap manusia. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya sikap insan dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, lantaran adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.

Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baikburuknya terhadap sikap manusia. Dalam hal ini tidak perlu memperlihatkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.

3. KOMPONEN ETIKA

Bagir (2002: 15) menyamakan ahklak dengan moral, yang lebih merupakan suatu nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia. Sedangkan etika merupakan ilmu dari sopan santun atau sanggup dikatakan etika yakni ilmu yang mepelajari perihal baik dan buruk. Beberapa komponen yang terdapat dalam etika sanggup dijelaskan sebagai berikut.

a. Kebebasan dan Tanggung Jawab Pembahasan masalah etika, mengambil objek material sikap atau perbuatan insan yang dilakukan secara sadar. Dengan demikian maka etika harus melihat insan sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan untuk berbuat dan bertindak sekaligus bertanggung jawab terhadap perbuatan dan tindakan yang dilakukannya. Etika merupakan suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi. Sedangkan tanggung jawab sanggup dituntut atau dipertanggungjawabkan apabila ada kebebasan. Dengan demikian, masalah kebebasan dan tanggung jawab dalam etika merupakan sebuah keniscayaan.

Kebebasan bagi insan pertama-tama berarti, bahwa ia sanggup menentukan apa yang mau dilakukannya secara fisik. Ia sanggup menggerakkan anggota tubuhnya sesuai dengan kehendaknya, tentu dalam batas-batas kodratnya sebagai manusia. Kaprikornus kemampuan untuk menggerakkan tubuhnya memang tidak terbatas. Kebebasan insan bukan sesuatu yang abstrak, melainkan konkret, sesuai dengan sifat kemanusiaannya (Suseno, 1987: 23).

Kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua sisi mata uang etika yang harus ada. Jika keduanya tidak ada, maka pembahasan etika juga tidak ada. Manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat dan seharusnya insan itu juga mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Terdapat kekerabatan timbal balik antara kebebasan dan tanggung jawab, sehingga orang yang menyampaikan bahwa, insan itu bebas, maka beliau harus mendapatkan konsekwensinya bahwa insan itu harus bertanggung jawab (Haris, 2007: 3). Maka dengan demikian, dalam etika, tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab, begitu juga sebaliknya, tidak ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan.

b. Hak dan Kewajiban Hak dan kewajiban merupakan hal yang sambung menyambung atau korelatif antara satu dengan yang lainnya. Setiap ada hak, maka ada kewajiban. Kewajiban pertama bagi insan yakni supaya menghormati hak orang lain dan tidak mengganggunya, sedangkan kewajiban bagi yang mempunyai hak yakni mempergunakan haknya untuk kebaikan dirinya dan kebaikan manusia.

Ada filsuf yang beropini bahwa selalu ada kekerabatan timbal balik antara hak dan kewajiban. Pandangan yang disebut teori kekerabatan itu terutama dianut oleh pengikut utilitarianisme. Menurut mereka setiap kewajiban orang berkaitan dengan hak orang lain, dan sebaliknya setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut. Mereka beropini bahwa kita gres sanggup berbicara wacana hak dalam arti sesungguhnya, kalau ada kekerabatan itu.

Hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai denganya tidak pantas disebut hak (Bertens, 2011: 205). Menurut pandangan etika kewajiban yakni pekerjaan yang dirasa oleh hati sendiri mesti dikerjakan atau mesti ditinggalkan. Yaitu ketetapan pendirian insan memandang baik barang yang baik berdasarkan kebenaran dan menghentikan barang yang jahat berdasarkan kebenaran, meskipun buat menghentikan atau mengerjakan itu beliau ditimpa ancaman atau bahagia, menderita kelezatan atau kesakitan.

Sedangkan yang menyuarakan kewajiban itu didalam batin ialah hati sendiri. Bukan hati dengan artian segumpal darah tetapi perasaan halus yang pada tiap-tiap manusia, sebagai pemberian Illahi terhadap dirinya, itulah yang menjadi pelita menerangi jalan hidup, atau laksana mercusuar untuk memperlihatkan haluan kapal yang kemudian lintas (Haris, 2007: 60).

c. Baik dan Buruk Dalam membahas etika sudah semestinya mebahas wacana baik dan buruk. Baik dan buruk bisa dilihat dari akhir yang ditimbulkan dari perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Apabila akhir yang ditimbulkan dari perbuatannya itu baik, maka tindakan yang dilakukan itu benar secara etika, dan sebaliknya apabila tindakannya berakibat tidak baik, maka secara etika salah.

Nilai baik dan buruk ditentukan oleh budi dan agama. Upaya budi dalam mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk tersebut dimungkinkan oleh pengalaman insan juga. Berdasarkan pengalaman tersebut, disamping ada nilai baik dan buruk yang temporal dan lokal, budi juga bisa menangkap suatu perbuatan buruk, lantaran buruk akhirnya meskipun dalam zat perbuatan itu sendiri tidaklah kelihatan keburukannya.

Demikian sebaliknya, ada perbuatan baik, lantaran baik akibatnya, meskipun dalam zat perbuatan itu tidak kelihatan baiknya. Derajat keburukan tidak perlu sama, mungkin hanya agak buruk, ada yang buruk benar, ada pula yang terlalu buruk; tetapi semuanya itu buruk lantaran tidak baik. Ternyata buruk itu suatu pengertian yang negatif pula. Bahkan adanya tindakan yang dinilai buruk, lantaran tiadanya baik yang seharusnya ada. Kaprikornus bukan tindakannya semata-mata yang memburukkannya (Poejawijatna, 2003: 38).

d. Keutamaan dan Kebahagiaan Keutamaan etika berkaitan dengan tindakan atau sikap yang pantas dikagumi dan disanjung. Tindakan yang mengandung keutamaan pantas dikagumi dan disanjung. Tindakan menyerupai itu berada pada tataran yang jauh melampaui tataran tindakan yang vulgar dan biasa. Karena itu keutamaan bersifat exellence (sesuatu yang unggul dan mengaumkan) atau suatu kualitas yang luar biasa. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan dalam pembahasan etika yakni hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keistimewaan budi pekerti.

Kebahagiaan hanya sanggup dimiliki oleh makhluk-makhluk yang berakal budi, alasannya hanya mereka yang sanggup merenungkan keadaannya, menyadari, serta mengerti kepuasan yang mereka alami. Selain itu. Kebahagiaan yakni keadaan subjektif yang mengakibatkan seseorang merasa dalam dirinya ada kepuasan keinginannya dan menyadari dirinya mempunyai sesuatu yang baik. Hal demikian ini, hanya akan disadari oleh makhluk yang mempunyai budi budi. Oleh lantaran itu, hanya manusialah yang sanggup mencicipi kebahagiaan yang bersama-sama (Haris, 2007: 60).

4. FUNGSI ETIKA

Etika tidak eksklusif menciptakan insan menjadi lebih baik, itu pedoman moral, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis ini diharapkan dalam mengabil sikap yang masuk akal dalam suasana pluralisme. Pluralisme moral diharapkan karena:
  • Pandangan moral yang berbeda-beda lantaran adanya perbedaan suku, kawasan budaya dan agama yang hidup berdampingan
  • Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akhirnya menantang pandangan moral tradisional,
  • Berbagai ideologi memperlihatkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri wacana bagaimana insan harus hidup.
Etika secara umum sanggup dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi: (1) sikap terhadap sesama, (2) etika keluarga, (3) etika profesi contohnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang informasi, (4) etika politik, (5) etika lingkungan hidup, serta (6) kritik ideologi.

Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa etika yakni filsafat atau pemikiran kritis rasional wacana pedoman moral sedangka moral yakni pedoman baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika dengan moralitas.

5. TEORI-TEORI ETIKA

Filsafat sanggup digolong-golongkan menjadi: (1) wacana pengetahuan, (2) wacana ada dan sebab-sebab yang pertama, (3) wacana barang-barang yang ada pada khususnya, yakni dunia dan manusia, dan (4) wacana kesusilaan dan nilai-nilai (Driyarkara, 2006: 1019). Golongan-golongan itu dipelajari dalam cabang-cabang/ bagian-bagian filsafat sebagai berikut.
  • Tentang pengetahuan: logika yang memuat logika formal yang mempelajari asas-asas atau hukum-hukum memikir, yang harus ditaati supaya sanggup berfikir dengan benar dan mencapai kebenaran serta logika material atau kritika (epistemology) yang memandang isi pengetahuan, bagaimana isi ini sanggup dipertanggungjawabkan, mempelajari sumber-sumber dan asal ilmu pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, kemungkinan-kemungkinan dan batas pengetahuan, kebenaran dan kekeliruan, metode ilmu pengetahuan, dan lain-lain,
  • Tentang ada: metafisika atau ontology yang membahas apakah arti ada itu, apakah kesempurnaannya, apakah tujuan, apakah alasannya dan akibat, apa yang merupakan dasar yang terdalam dalam setiap barang yang ada
  • Tentang dunia material: kosmologi
  • Tentang manusia: filsafat wacana insan atau biasa juga disebut dengan anthropologia metafisika
  • Tentang kesusilaan: etika atau filsafat moral, dan
  • Tentang Tuhan atau theologia naturalis, yang merupakan konsekuensi terakhir dari seluruh pandangan filsafat (Driyarkara, 2006: 1019-1021).
Filsafat moral menjadi potongan dari kesusilaan dan yang lebih luas menjadi salah satu cabang atau potongan dari filsafat. Kesusilaan berasal dari kata susila berarti baik dan yang dimaksud dengan baik bukanlah sembarang kebaikan, melainkan kebaikan insan sebagai persona atau kebaikan dari perbuatannya berdasarkan tuntutan kodrat manusia.

Filsafat kesusilaan disebut juga etika. Driyarkara (2006: 508) menjelaskan filsafat moral atau kesusilaan (disebut juga etika) ialah potongan dari filsafat, yang memandang perbuatan insan dalam hubungannya dengan baik dan buruk. Suseno (1993: 6) menyatakan etika dalam arti yang bersama-sama berarti filsafat mengenai bidang moral.

Etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Dalam arti yang lebih luas, etika yaitu keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana insan seharusnya menjalankan kehidupannya.

Teichman (1998: 3) menjelaskan etika atau filsafat moral mempunyai tujuan untuk menerangkan hakikat kebaikan dan kejahatan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa filsafat moral penting lantaran alasan lebih lanjut, bahwa tindakan itu penting dan cara orang bertindak dipengaruhi oleh keyakinan mengenai apa yang baik dan apa yang jahat.

Dalam sumber yang berbeda, Fudyartanta (1974: 5) mendefinisikan “filsafat etika ialah ilmu pengetahuan yang membicarakan (membahas, menyelidiki) hakikat tingkah laris insan ditinjau dari segi baik dan buruk secara objektif”. Sementara itu, kata moral dimaknai sebagai keseluruhan nilai atau norma yang mengatur atau merupakan pedoman tingkah laris insan di dalam masyarakat untuk menyelenggarakan tujuan hidupnya. Atau tegasnya, moral atau kesusilaan yakni keseluruhan norma atau nilai sosial yang mengatur tingkah laris insan di dalam masyarakat untuk selalu melaksanakan perbuatan atau tingkah laris yang secara objektif dan hakiki baik. Urgensi mempelajari etika sebagai filsafat yakni untuk mendapatkan pandangan dan pedoman yang luas dan mendalam mengenai masalah baik dan buruk tingkah laris insan sepanjang zaman.

Etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan predikatpredikat nilai benar dan salah dalam arti susila dan tidak susila. Sebagai pokok bahasan yang khusus, etika membicarakan sifat-sifat yang mengakibatkan orang sanggup disebut susila atau baik. Kualitas-kualitas dan atribut ini dinamakan kebajikan-kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan-kejahatan yang berarti sifat-sifat yang memperlihatkan orang dikatakan tidak susila (Kattsoff dalam Sumargono, 2004: 341).

Kata etika mempunyai tiga arti, yaitu (1) etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam menganut tingkah lakunya, (2) etika berarti kumpulan asas atau nilai moral, dan (3) etika berarti ilmu wacana baik-buruk. Tentang moral, sanggup dilihat sebagai nomina atau ajektiva.

Sebagai nomina, kata moral sama dengan arti etika yang pertama, yaitu nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sebagai ajektiva, kata moral sama artinya dengan etis (Bertens, 1993: 6-7). Bertens (1993: 17) lebih lanjut menjelaskan etika yakni ilmu yang membahas wacana moralitas atau wacana insan sejauh berkaitan dengan moralitas.

Nagel (dalam John de Santo dan Agus Cremers, 2008: 176), dalam buku What does it All Mean?, menjelaskan etika yakni cabang filsafat yang mempelajari moralitas, dan secara khusus mempelajari banyak sekali macam pemikiran wacana cara mengarahkan dan menilai kelakuan manusia. Etika memperhatikan secara khusus arti dari ungkapan-ungkapan wacana pembenaran terhadap ungkapan-ungkapan kebenaran dan kesalahan tindakan, kebajikan dan keburukan, motif-motif terjadinya tindakan, sifat terpuji dan sifat tercela dari para pelaku tindakan-tindakan tersebut, serta baik dan buruknya konsekuensi yang ditimbulkan.

Cara lain untuk merumuskan hal yang sama yakni bahwa etika merupakan ilmu yang mengusut tingkah laris moral. Pendekatan untuk mempelajari moralitas ada tiga, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika. Bertens (2004: 17-24) menjelaskan wacana etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika berikut ini.

Pertama, etika deskriptif, etika melukiskan tingkah laris moral dalam arti luas, contohnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan wacana baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan atau subkultur tertentu, dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya.

Kedua, etika normatif merupakan potongan terpenting dari etika dan bidang yang berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik wacana masalah-masalah moral. Etika normatif melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian wacana sikap manusia. Penilaian itu dibuat atas dasar norma-norma. Etika normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan pendiriannya atas norma.

Etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laris atau anggapan moral. Etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang sanggup dipertanggungjawabkan secara rasional dan sanggup digunakan dalam praktik. Etika normatif dibagi lebih lanjut menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum memandang tema-tema umum menyerupai apa itu norma etis, mengapa norma moral mengikat kita, apa kekhususan nilai moral, bagaimana kekerabatan tanggung jawab dan kebebasan, apa hak dan kewajiban, dan syarat-syarat apa semoga insan dianggap baik dari sudut moral?

Etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah pelaku insan yang khusus. Etika khusus disebut juga etika terapan. Ketiga, metaetika. Metaetika berasal dari kata meta mempunyai arti melebihi, melampaui. Istilah ini diciptakan untuk memperlihatkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan di bidang moralitas.

Metaetika seakan-akan bergerak pada taraf lebih tinggi daripada sikap etis, yaitu pada taraf bahasa etis atau bahasa yang digunakan di bidang moral. Ajaran moral merupakan potongan dari etika. Etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan fundamental wacana ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika yakni sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi, antara etika dan pedoman moral tidak berada pada tingkat yang sama, pedoman moral menyampaikan bagaimana insan harus hidup, sedangkan etika menjawab bagaimana insan sanggup bersikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai pedoman moral.

Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya insan sebagai manusia. Kaprikornus bukan mengenai baikburuknya begitu saja, contohnya sebagai dosen, tukang masak, pemain bulutangkis atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral yakni bidang kehidupan insan dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.

Norma-norma moral yakni tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan insan dilihat dari segi baik-buruknya sebagai insan dan bukan sebagai pelaku kiprah tertentu dan terbatas. Norma moral yakni tolok ukur yang digunakan masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang (Suseno, 1987: 14-19).

Suseno (1992: 35) dalam buku yang berbeda menjelaskan wacana kesadaran moral yang memuat kesadaran bahwa apa yang disadari sebagai kewajiban yang bersifat objektif. Norma-norma moral tidak dipasang sendiri oleh kesadaran individu, melainkan disadari sebagai kewajiban sejauh betul secara objektif, lepas dari keakuan sendiri, dan berlaku bagia setiap orang dalam situasi yang sama.

Kesadaran moral sendiri memuat kesadaran akan kewajiban untuk senantiasa mencari norma-norma yang betul secara objektif. Kajian ini merupakan kiprah etika normatif, yaitu melaksanakan penelitian kritis terhadap semua norma yang diajukan sebagai kewajiban moral entah oleh lembaga-lembaga tertentu atau oleh bunyi hati.

Norma moral menentukan apakah sikap insan baik atau buruk dari sudut etis. Karena itu, norma moral yakni norma tertinggi yang tidak bisa ditaklukkan pada norma lain. Norma moral bisa dirumuskan dalam bentuk positif dan negatif. Dalam bentuk positif normal moral tampak sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, contohnya insan harus menghormati kehidupan dan insan harus menyatakan yang benar. Bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, contohnya jangan membunuh dan jangan berbohong (Bertens, 2004: 159-160).

Definisi yang lain dari Rachels (2004: 40-41) menjelaskan dengan kata moralitas dengan konsepsi minimum, setidak-tidaknya merupakan perjuangan untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, yakni untuk melaksanakan apa yang paling baik berdasarkan akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap individu yang terkena oleh tindakan itu. Poespoprodjo (1986: 4-17) mendefinisikan filsafat moral yakni ilmu filsafat mudah normatif wacana kebenaran dan kesalahan perbuatan insan sebagaimana diketahui oleh budi budi.

Tujuan filsafat moral yakni mempelajari fakta pengalaman bahwa insan membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk, dan insan mempunyai rasa wajib dalam insan terdapat keharusan, tuntutan yang harus ditaati bila insan hendak hidup sebagai manusia. Teori filsafat moral akan menjawab bagaimana insan harus bertindak dalam situasi konkrit tertentu. Sony Keraf (2002: 8) menyebutkan ada tiga teori dalam filsafat moral yang sanggup digunakan untuk menjawab pertanyaan bagaimana insan harus bertindak dalam situasi konkrit tertentu, yaitu teori deontologi, teori teleologi, dan etika keutamaan.

Pertama, etika deontologi. Deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban, dan logos berarti ilmu atau teori. Terhadap pertanyaan bagaimana harus bertindak dalam situasi konkrit tertentu, deontologi menjawab lakukan apa yang menjadi kewajibanmu sebagaimana terungkap dalam norma dan nilai-nilai moral yang ada. Menurut deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai apa tidak dengan kewajiban. Suatu tindakan dianggap baik lantaran tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus dilakukan.

Etika deontologi menekankan motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban, sesuai dengan pernyataan Kant (1724-1804), kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya terlepas dari apa pun juga. Kant menyampaikan kemauan baik syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Tindakan yang baik yakni tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban, tetapi lantaran dijalankan berdasarkan dan demi kewajiban. Kant mensyaratkan tiga hal dalam melaklukan tindakan moral, yaitu:
  1. Supaya tindakan mempunyai nilai moral, tindakan itu harus dilaksanakan berdasarkan kewajiban,
  2. Nilai moral suatu tindakan bukan tergantung dari tercapainya tujuan tindakan itu, melainkan pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melaksanakan tindakan tersebut, dan
  3. Konsekuensi dari kedua hal tersebut, kewajiban untuk mematuhi aturan moral universal yakni hal yang niscara bagi suatu tindakan moral (Keraf, 2002: 8-11).
Deontologi berdasarkan Bertens (2004: 270) memandang suatu sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Kehendak insan menjadi baik, kalau bertindak lantaran kewajiban. Suatu perbuatan bersifat moral, kalau dilakukan semata-mata lantaran hormat untuk aturan moral.

Hukum moral dimaksudkan sebagai suatu kewajiban. William David Ross (1877-1971) mendapatkan teori deontologi, tetapi ia menambahkan nuansa yang penting. Kewajiban itu selalu merupakan kewajiban prima facie (pada pandangan pertama), artinya, suatu kewajiban untuk sementara, dan hanya berlaku hingga timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi.

Ross selanjutnya menyampaikan bahwa kewajiban untuk menyampaikan kebenaran merupakan kewajiban prima facie yang berlaku hingga ada kewajiban yang lebih penting. Ssemua orang akan menyetujui bahwa kewajiban untuk menyelamatkan sahabat di sini merupakan kewajiban yang jauh lebih mendesak. Karena itu, kewajiban pertama itu, di sini tidak berlaku lagi. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang semuanya merupakan prima facie:
  • Kewajiban kesetiaan: kita harus menepati komitmen yang diadakan dengan bebas.
  • Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi hutang moril dan materiil
  • Kewajiban terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita.
  • Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan.
  • Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang membutuhkan pemberian kita.
  • Kewajiban menyebarkan dirinya: kita harus menyebarkan dan meningkatkan talenta kita di bidang keutamaan, intelegensi, dan sebagainya.
  • Kewajiban untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melaksanakan sesuatu yang merugikan orang lain. (Bertens, 2004: 276).
Kedua, teori filsafat moral teleologi. Istilah teleologi berasal dari kata Yunani telos, yang berarti tujuan, dan logos berarti ilmu atau teori. Etika teleologi menjawab pertanyaan bagaimana bertindak dalam situasi konkrit tertentu dengan melihat tujuan atau akhir dari suatu tindakan.

Etika teleologi menilai baik buruk suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akhir dari tindakan tersebut. Suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan baik dan mendatangkan akhir baik. Jadi, terhadap pertanyaan, bagaiamana harus bertindak dalam situasi konkrit tertentu, jawaban etika teleologi yakni pilihlah tindakan yang membawa akhir baik.

Etika teleologi lebih bersifat situasional dan subjektif. Seseorang bisa bertindak berbeda dalam situasi yang lain tergantung dari penilaian seseorang wacana akhir dari tindakan tersebut. Suatu tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan norma dan nilai moral bisa dibenarkan oleh etika teleologi hanya lantaran tindakan itu membawa akhir yang baik (Keraf, 2002: 15).

Ketiga, teori etika keutamaan. Etika keutamaan lebih menyebarkan abjad moral pada diri setiap orang. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles, nilai moral ditemukan dan muncul dari pengalaman hidup dalam masyarakat, dari teladan dan contoh hidup diperlihatkan oleh tokoh-tokoh besar dalam suatu masyarakat dalam menghadapi dan menyikapi persoalan-persoalan hidup.

Seseorang akan menemukan nilai moral tertentu dalam masyarakat dan berguru menyebarkan dan menghayati nilai tersebut. Jadi, nilai moral bukan muncul dalam bentuk adanya aturan berupa larangan dan perintah, melainkan dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktikkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat.

Kehidupan tokoh-tokoh itu sanggup memberi teladan mengenal dan berguru nilai dan keutamaan moral menyerupai kesetiaan, saling percaya, kejujuran, ketulusan, kesediaan berkorban bagi orang lain, kasih sayang, kemurahan hati, dan sebagainya. Jawaban atas pertanyaan bagaimana kita harus bertindak secara moral dalam situasi konkrit yang dilematis, etika keutamaan menjawab teladanilah sikap dan sikap moral tokoh-tokoh yang dikenal, baik dalam masyarakat, sejarah atau dalam kisah yang diketahui, ketika mereka menghadapi situasi serupa. Lakukan menyerupai yang dilakukan para tokoh moral itu. Itulah tindakan yang benar secara moral.

6. PERSOALAN-PERSOALAN ETIKA

Pembicaraan wacana filsafat moral tidak sanggup dilepaskan dari permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Haricahyono (1995: 89-96) menyebutkan ada dua permasalahan utama dalam filsafat moral. Pemasalahan pertama berafiliasi dengan peranan penalaran dalam etika. Apakah penalaran dan logika mempunyai peranan dalam proses pengambilan keputusan moral, kalau ada sejauh mana peranannya?

Kajian filosofis mengenal penalaran moral meliputi tiga macam keputusan moral, yaitu: (1) pengujian konsep penalaran untuk pertanda bahwa istilah penalaran itu sendiri tidak menunjuk kepada fenomena metafisika yang kabur, akan tetapi lebih cendrung menunjuk kepada mekanisme memperoleh jawaban sekitar penjelasan-penjelasan mengenai fenomena, bukti pendukung, sekaligus justifikasinya. Penalaran moral lebih menunjuk kepada mekanisme pertimbangan dan pengambilan keputusan berdasarkan bukti-bukti pendukungnya, (2) hingga ketika ini masih ada keberatan untuk mengakui pengambilan keputusan moral beserta bukti-bukti pendukungnya yang intinya sama dengan penalaran keilmuan. Oleh lantaran itu, diskusi filosofis mengenai penalaran dalam etika menyertakan analisis terhadap hakikat ilmu untuk memperoleh kejelasan persamaan dan perbedaan dengan dunia moral, dan (3) diskusi filosofis mengenai penalaran moral menyangkut analisis terhadap hakikat penalaran itu sendiri, yang seringkali dianggap suatu fenomena yang unik.

Permasalahan yang kedua dari filsafat moral yang berkembang yakni permasalahan teori nilai-nilai moral. Inti permsalahan ini yakni beberapa pandangan wacana moral biasanya dilekatkan secara apriori dengan beberapa konsep nilai, menyerupai baik, buruk, benar, dan salah. Tradisi filsafat moral banyak dimensi teori nilai, mulai dari pandangan Platonis mengenai kebaikan hingga pada prinsip-prinsip kaum utiliter. Analisis dan diskusi wacana pelbagai alternatif teori nilai moral tak pelak lagi merupakan salah satu kunci pokok dalam pengembangan teori dan praksis dalam pendidikan moral.

Hadiwardaya (1990: 98-102) menyebutkan ada lima permasalahan moral, yaitu dasar-dasar moral, moral hidup, moral secual, moral perkawinan dan moral sosial. Dasar-dasar moral berkenaan dengan kekerabatan antara hati nurani dan norma, kekerabatan antara norma moral subjektif dan norma moral objektif. Masalah ini selama berabad-abad selalu menjadi materi diskusi. Orang selalu merasa ragu-ragu wacana mana yang lebih penting.

Kalau mementingkan hati nurani ada kekhawatiran orang menjadi individualistik dan terlalu subjektif, sebaliknya mementingkan norma, ada ancaman bahwa keyakinan pribadi diremehkan, sehingga orang hanya menjadi robot yang tunduk pada perintah. Permasalahan moral hidup merupakan masalah yang cukup gres lantaran gres muncul pada era ini, terutama perkembangan bioteknologi modern. Etika dan aturan masih sibuk mencari jawaban atas masalah-masalah moral hidup.

Permasalahan moral secual merupakan permasalahan umum cukup umur ini, yang semakin terbuka orang berbicara kekerabatan laki-laki dan wanita. Banyak orang renta yang semakin khawatir akan sikap secual belum dewasa cukup umur ini. Permasalahan moral perkawinan dalam kenyataan kini mempunyai banyak dimensi.

Perkawinan merupakan sesuatu yang diakui oleh banyak instansi, masyarakat, negara, dan agama. Selain itu, suami-istri dalam perkawinan telah membentuk suatu komplotan hidup yang berlandaskan dan terarah kepada cinta. Moralitas perkawinan antara lain ditentukan oleh norma hukum, norma adat, norma agama, dan norma yang muncul dari hakikat cinta sejati.

Permasalahan yang terakhir yakni moral sosial. Masalah moral sosial merupakan masalah yang lebih kompleks daripada masalah moral yang menyangkut individu, lantaran tanggung jawab moral tidak sanggup diletakkan pada individu, melainkan pada sekitar masyarakat individu. Masalah moral sosial menyangkut struktur-struktur ideologis, politis, ekonomis, kemasyarakatan, kultural, bahkan religius.

Persoalan-persoalan dasar moral yang lain sanggup dilihat pada buku Filsafat Moral karya James Rachels (2004). Dalam buku ini, terdapat banyak sekali masalah dasar wacana moral, di antaranya masalah definisi. Rachels (2004: 17-40) mengemukakan tiga contoh masalah praktik moral untuk hingga pada sebuah konsepsi minimal moralitas.

Contoh yang pertama dikemukan wacana bayi Theresa yang menderita rumpang otak, orang tuanya merelakan untuk transplantasi. Hal itu menimbulkan pro kontra, yang akhirnya yang sepakat lebih banyak dari yang tidak setuju. Memang dalam masalah ini tidaklah etis membunuh dengan alasan untuk menyelamatkan orang lain.

Contoh yang kedua yakni masalah bayi kembar siyam Jodie dan Mary. Kasus ini menimbulkan dilema antara operasi memisahkan, yang berkonsekuensi mati salah satu atau membiarkan tidak melaksanakan operasi yang berarti membiarkan keduanya mati.

Contoh ketiga yakni Tracy Latimer, seorang bocah berumur 12 tahun korban lumpuh otak yang dibunuh oleh ayahnya. Pembunuhan Tracy dilatarbelakangi oleh keadaan yang cacat. Ini suatu kesalahan besar, lantaran secara moral Tracy mempunyai hak untuk hidup. Latimer beralasan kondisi Tracy begitu fatal sehingga beliau tidak mempunyai prospek untuk hidup, beliau mengalami penderitaan yang tanpa arti, sehingga membunuhnya merupakan tindakan belas kasih.

Rachels (2004: 42-69) pada potongan dua buku Filsafat Moral, menyebutkan permasalahan yang timbul dalam relativisme kultural. Relativisme kultural menghadapi permasalahan objektivitas. Kunci memahami relativisme kultural yakni bahwa kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda. Adat istiadat dari banyak sekali masyarakat yang berbeda tidak bisa dikatakan benar atau salah lantaran hal itu mengimplikasikan standar kebenaran atau kesalahan yang berbeda yang terikat pada kebudayaan tertentu.

Kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda. Rachels memberi contoh beberapa kasus, di antaranya yakni orang Eskimo tidak merasa bersalah dengan pembunuhan bayi, sedang orang Amerika menganggapnya immoral. Pembunuhan bayi tidak benar dan tidak salah secara objektif. Hal itu hanyalah soal pandangan yang berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya.

Relativisme kultural menghadapi permasalahan objektivitas, di pihak lain ada masalah subjektivitas, yakni dalam subjektivisme etis. Subjektivisme etis melahirkan pendapat-pendapat moral yang didasarkan atas perasaan. Atas dasar pandangan ini tidak ada yang disebut sebagai benar atau salah secara objektif. Rachels memberi contoh permasalahan homosecual dalam pandangan orang Amerika.

Orang Amerika menyatakan bahwa homosecual dianggap sebagai cara hidup alternatif yang bisa diterima atau tidak, pada tahun 1982 sebanyak 34% menjawab ya, dan pada tahun 2000 yang menjawab ya bertambah menjadi 52%. Menurut Rachels, orang mempunyai pandangan yang berbeda, tetapi di mana ada kasus moral, di situ fakta tidak ada dan tak seorang pun benar. Orang-orang mempunyai perasaan berbeda begitu saja, dan itulah final dari perkaranya.

Rachels mengungkap suatu fakta bahwa beberapa orang termasuk kelompok homosecual, sementara yang lain heterosecual, tetapi tidak ada fakta bahwa yang satu baik dan yang lain buruk. Seseorang menyampaikan bahwa homosecual salah, seseorang itu tidak menyatakan suatu fakta mengenai homosecual, melainkan hanya menyatakan sesuatu mengenai perasaannya saja terhadap homosecual (Rachels, 2004: 70-73). Permasalahan sukjektivitas moral muncul lantaran pandangan terhadap sesuatu didasari oleh perasaan dan bukan fakta objektif.

Permasalahan lain yang disebutkan oleh Rachels yakni masalah kekerabatan antara moralitas dan agama. Rachels mempertanyakan apakah moralitas bergantung pada agama? Pemikiran popular menyatakan antara moralitas dan agama tidak sanggup dipisahkan. Pada umumnya orang percaya bahwa moralitas sanggup difahami hanya dalam konteks agama. Maka, lantaran kaum religius merupakan juru bicara agama, sanggup dikatakan bahwa mereka pasti juru bicara untuk moralitas juga (Rachels, 2004: 98-99).

Permasalahan-permasalahan dasar moral juga diungkapkan oleh Driyarkara dalam buku Karya Lengkap Driyarkara-Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (2006). Driyarkara (2006: 479) mengemukakan permasalahan pertama yakni rasa tanggung jawab, tidak ada rasa tanggung jawab, bukankah itu salah satu dari sekian banyak kesalahan yang sering kita jumpai?

Orang bisa bawel (kosong) wacana sosialisme, keadilan sosial, demokrasi, perikemanusiaan, malahan wacana ketuhanan, Tetap, bagaimanakah tindak-tanduk sehari-hari? Driyarkara memberi contoh-contoh fakta wacana mengikisnya rasa tanggung jawab, contohnya menyoroti tanggung jawab dosen terhadap mahasiswa bimbingan skripsi. Seorang dosen tersebut menolak skripsi mahasiswa tanpa memperlihatkan kesalahan dan jalan keluarnya.

Kasus yang lain yakni wacana tanggung jawab pegawai. Orang berbicara wacana masyarakat adil dan makmur. Tetapi, kalau para pegawai tidak menjalankan kewajiban dalam kepegawaian, maka bagaimana negara akan pernah menjadi adil dan makmur. Demikian beberapa fakta wacana kurangnya tangung jawab di masyarakat.

Permasalahan yang kedua yang dinyatakan oleh Driyarkara yakni pendidikan moral kaitannya dengan pendidikan budi pekerti. Seperti diketahui bahwa Driyarkara amat besar kepeduliannya pada pendidikan dan masalah utama pendidikan tidak lain yakni pendidikan moral. Akan tetapi, apakah moral sama dengan pendidikan budi pekerti, atau adakah kekerabatan antara keduanya? (Driyarkara, 2006: 488).

Budi pekerti sering dimaknai dalam arti baik, sehingga orang yang tidak baik disebut tidak mempunyai budi pekerti. Budi pekerti sering diartikan moral. Orang yang disebut mempunyai budi pekerti berarti mempunyai kebiasaan mengalahkan dorongan-dorongan yang tidak baik. Secara positif orang mempunyai kebiasaan menjalankan dorongan yang baik. Driyarkara menyimpulkan pendidikan budi pekerti sebagai berikut.
  • Pada diri insan yang harus dididik yakni bakat-bakat watak baik, menyerupai cinta pada sesama manusia, rendah hati, cinta tanah air, dan lain-lain
  • Bakat-bakat ini pada permulaannya mempunyai ketidaktentuan lantaran insan belum sadar akan semuanya itu
  • Di samping bakat-bakat baik ini, terdapat juga bakat-bakat jelek, ini pun begitu kuat, tetapi lebih gampang berkembang
  • Cacat sebagai cacat yakni negatif, jadi tidak berdiri sendiri melainkan ada sebagai kekurangan
  • Manusia tidak mesti ditentukan oleh bakat-tabiatnya. Dia lah yang harus membangun budi pekertinya sendiri. Sebelumnya, hal ini terutama dilakukan oleh insan itu sendiri. Sang pendidik hanya memberi petunjuk dan pimpinan, dan ini hanya sementara saja sehingga insan muda itu cukup terbentuk untuk berdiri dan berjalan sendiri
  • Dasar kemungkinan dan keadaan ini ialah bahwa insan itu rohani-jasmani. Sebagai rohani, dalam prinsipnya, beliau sudah menguasai diri sendiri. Akan tetapi, sebagai jasmani beliau juga sanggup kehilangan kekuasaan itu.
  • Untuk membangun watak baik itu, insan harus mempergunakan budinya. Budi harus disadarkan dengan diisi oleh nilai-nilai ini.
  • Nilai-nilai ini tidak cukup hanya diisikan dengan cara yang abstrak. Dibutuhkan latihan yang praktis, lagi lama. Dengan jalan ini maka hidup menjadi wertengestaltung, atau penjelmaan nilai-nilai. (Dyiyarkara, 2006: 493-494).
Kesimpulan umum wacana pembahasan kekerabatan antara moralitas dan agama, Rachels menyatakan bahwa benar atau salah tidak dirumuskan dalam kerangka pemikiran yang menyangkut kehendak Allah. Moralitas itu menyangkut soal budi dan kesadaran, bukan iman keagamaan dan dalam masalah tertentu, kesadaran keagamaan tidaklah menjamin pemecahan definitif terhadap masalah-masalah moral yang dihadapi (Rachels, 2004: 121).

7. ALIRAN-ALIRAN DALAM ETIKA

Permasalahan-permasalahan moral sebagaimana dikemukakan di atas sanggup dijawab dari banyak sekali pandangan berdasarkan aliran-aliran yang berkembang dalam filsafat moral. Beberapa aliran yang penting dalam filsafat moral dideskripsikan berikut ini.

a. Hedonisme Bertens (1993: 249-277) menyatakan bahwa hendonisme memandang hal yang terbaik bagi insan yakni kesenangan. Hal yang baik yakni apa yang memuaskan keinginan manusia, apa yang kuantitas kesenangan, atau kenikmatan dalam diri manusia. Poedjawijatna (1982: 44-45) menyatakan bahwa aliran hedonism merupakan aliraan yang amat renta dan populer di Yunani. Ukuran tindakan baik ialah hedone yang berarti kenikmatan dan kepuasan rasa.

Hedonisme berdasarkan De Vos (dalam Sumargono, 1987: 161) bertolak dari pendirian bahwa berdasarkan kodratnya, insan mengusahakan kenikmatan, yang dalam bahasa Yunani hedone dan timbul istilah hedonisme. Hedonisme mengejar apa saja yang sanggup menimbulkan rasa nikmat. Kenikmatan merupakan kebaikan yang paling berharga atau yang tertingi bagi manusia.

Seseorang dikatakan baik bila perilakuknya dibiarkan ditentukan oleh pertanyaan bagaimana caranya semoga dirinya memperoleh kenikmatan yang sebesar-besarnya, sehingga seseorang bukan hanya hidup sesuai dengan kodratnya, melainkan juga memenuhi tujuan hidupnya. Tokoh hendonisme yakni Aristippos (sekitar 433-355 S.M.) yang merupakan murid Sokrates dan dilanjutkan Epikuros (341-270 S.M.).

b. Eudemonisme Bertens (1993: 249-277) menyatakan bahwa eudemonisme dalam setiap kegiatannya, insan mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan, insan ingin mencapai sesuatu yang baik bagi dirinya. Seringkali juga, insan mencari sesuatu tujuan untuk mencapai tujuan lain lagi. Aristoteles menyatakan seseorang mencapai tujuan terakhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Manusia menjalankan fungsinya sebagai insan dengan baik, insan akan mencapai tujuan terakhirnya yakni kebahagiaan.

Eudemonisme berasal dari bahasa Yunani eudaimonia yang secara harafiah berarti mempunyai roh pengawal yang baik, artinya mujur dan beruntung. Eudemonisme mulamula mengacu kepada keadaan lahiriyah, kemudian menitikberatkan pada suasana batiniah, dan mempunyai arti senang dalam arti hidup berbahagia atau kebahagiaan. Orang yang telah mencapai tingkatan eudemonia akan mempunyai kesadaran kepuasan yang tepat tidak hanya secara jasmani, melainkan juga secara rohani (Vos dalam Sumargono, 1987: 168).

Paham eudemonisme menyatakan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi. Aristotles sebagaimana disebutkan di atas tegas-tegas memutuskan kebahagiaan sebagai tujuan perbuatan manusia.

c. Utilitarianisme Bertens (1993: 249-277) menyatakan utilitarianisme berasal dari tradisi pemikiran moral di United Kingdom yang dimaksudkan sebagai dasar etika untuk memperbarui aturan Inggris. Tujuan aturan yakni memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah Illahi atau melindungi hak-hak kodrati.

John Stuart Mill (dalam Rachels, 2004: 187) menyampaikan bahwa utilitarianisme mengajarkan kebahagiaan itu diinginkan, dan satu-satunya hal yang diinginkan sebagai tujuan hanyalah kebahagiaan, semua hal lainnya diinginkan sebagai sarana menuju tujuan itu. Bentham dan Mill juga menyampaikan teori utilitarianisme sanggup diringkas menjadi tiga pernyataan, pertama, tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibat-akibatnya, kedua, dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau ketidakkebahagiaan yang dihasilkan, dan ketiga, kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya (dalam Rachels, 2004: 187).

Mill dalam Rachels (2004: 187-188) juga menyampaikan kebahagiaan yang merupaan ukuran dasar dari para pengikut utilitarianis menyangkut apa yang benar dalam sikap bukanlah kebahagiaan si pelaku sendiri, melainkan semua orang yang terlibat. Menyangkut kebahagiaan dirinya atau orang lain, utilitarianisme menuntut orang untuk bersikap keras, tidak pilih kasih, berlaku menyerupai penonton yang baik hati dan tidak pamrih. Pandangan Vos wacana Utilitarianisme sebagai berikut:

Utilisme yang dalam bahasa Inggris disebut utilitarianisme menyampaikan bahwa ciri pengenal kesusilaan yakni manfaat suatu perbuatan, suatu perbuatan dikatakan baik membawa manfaat, dikatakan buruk, kalau menimbulkan mudarat. Utilitarianisme tampil sebagai sistem etika yang telah berkembang, bakan juga sebagai pendirian yang agak bersahaja mengenai hidup. Paham ini menyampaikan bahwa orang baik ialah orang yang membawa manfaat, dan yang dimaksudkannya ialah semoga setiap orang menjadikan dirinya membawa manfaat yang sebesar-besarnya (1987: 181).

Pertama-tama yang menyebarkan utilitarianisme yakni Jeremy Bentham (1742-1832), kemudian dilanjutkan oleh John Stuart Mill (1806-1873). Utilitarianisme berkembang melalui Bentham ketika akan menyusun suatu etika dengan menggunakan metode yang murni empirik serta didasarkan pada ilmu jiwa. Bentham menjabarkan etika dalam arti kewajiban-kewajiban kesusilaan berdasarkan atas fakta kejiwaan.

Perbuatan insan digerakkan oleh kemanfaatan atau kerugian, yang berdasarkan dugaannya, disebabkan oleh perbuatan diri sendiri. Berarti pengalamanlah yang menentukan apakah yang bermanfaat dan apakah yang merugikan itu. Secara umum sanggup dikatakan bahwa sesuatu hal dikatakan bermanfaat, kalau memberikan kebaikan atau yang menghindarkan dari keburukan. Kebaikan yakni sesuatu yang mebuat bahagia, sedangkan keburukan yakni sesuatu yang menyengsarakan (Vos dalam Sumargono, 1987: 182).

Mill melanjutkan pedoman Bentham, yang mendasarkan teorinya pada pengalaman. Mill lebih lanjut menyampaikan bahwa insan semata-mata berusaha untuk memperoleh kebahagiaan, insan intinya hanya menginginkan kebahagiaan, apabila insan menginginkan hal-hal yang lain, maka yang demikian ini hanya demi kebahagiaan yang sanggup diperoleh dari hal-hal tersebut, yang bagi Mill sama artinya dengan kenikmatan, sedangkan kesengsaraan sama artinya dengan kepedihan.

Kebajikan hanya mempunyai kegunaan untuk menimbulkan kenikmatan, dan khususnya untuk menangkal kepedihan. Kesadaran seseorang yang mempunyai kebajikan akan menciptakan orang tersebut bahagia, sementara kesadaran seseorang yang bersifat jahat akan menciptakan orang ini sengsara.

Pengorbanan hanya sanggup dikatakan baik, kalau menimbulkan kebahagiaan, sekalipun bukan bagi orang yang memberikan pengorbanan tersebut, namun bagi orang lain. Mill juga menjadikan manfaat, kebahagiaan atau kenikmatan sebagai tokok ukur bagi baik dan buruk, yang berarti bahwa yang merupakan objek pertimbangan kesusilaan bukanlah motif-motif, melainkan hanya perbuatan-perbuatan (Vos dalam Sumargono, 1987: 183-1840).

d. Vitalisme Vitalisme berasal dari kata “vita” yang berarti kehidupan. Vitalisme mangacu kepada suatu etika yang memandang kehidupan sebagai kebaikan tertinggi, yang mengajarkan bahwa sikap yang baik ialah sikap yang menambah daya hidup, sedangkan sikap yang buruk ialah sikap yang mengurangi bahkan merusak daya hidup. Usaha insan seharusnya ditujukan semoga sanggup hidup dan berkehendak untuk hidup serta melenyapkan hal-hal yang merintangi kemajuan serta perkembangan kehidupan.

Manusia mempunyai kewajiban menghormati serta meningkatkan daya hidup di mana pun terdapat makhluk hidup, dan sekuat mungkin melawan maut. Etika semacam ini mengandaikan insan sanggup menempatkan diri di luar arus kehidupan serta sanggup mempengaruhinya, baik secara positif maupun secara negatif (Vos dalam Sumargono, 1987: 197).

Poedjawijatna (1982: 46) menjelaskan bahwa ukuran baik berdasarkan vitalisme yakni yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah merupakan ukuran yang baik, insan yang kuasa yakni insan yang baik. Dalam sejarah, banyak orang kuat yang mempraktikkannya serta mempertanggungjawabkan penindasan dan perkosaan, serta pengisapan terhadap insan lain berdasarkan dalil tersebut. Seringkali, apa saja yang dilakukan oleh orang kuat dijadikan pedoman untuk rakyat dan orang banyak, tidak hanya bagi yang baik, melainkan juga untuk yang indah.

Vos (dalam Sumargono, 1987: 198) juga menjelaskan, vitalisme tidak hanya terdapat di bidang etika, melainkan sering bermetamorfosis sistem kefilsafatan yang lengkap yang sering disebut ilsafat kehidupan. Rousscau yan hidup pada abat ke delapan belas yang bersemboyan kembali ke alam kodrat, dan Albert Schweitzer yang hidup pada era ke dua puluh yang menyampaikan hahwa sikap menghormati kehidupan merupakan azas pokok perbuatan susila, demikian juga Dirk Coster yang pada tahun 1913 dalam bukunya “Marginalia” menulis garis batas tebal yang membagi insan bukanlah memisahkan baik dari buruk, yang baik dari yang buruk, melainkan memilahkan yang hidup dari yang tidak hidup.

e. Religiosisme Poedjawijatna (1982: 47-48) menjelaskan aliran religiosisme merupakan aliran yang telah populer dan yang paling baik dalam praktik. Aliran ini menyatakan, ukuran baik yakni yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan buruk yakni tidak sesuai dngan kehendak Tuhan. Tugas theologialah yang menentukan manakah yang menjadi kehendak Tuhan.

Keberatan terhadap aliran ini ialah ketidakumuman dari ukuran itu. Kita tahu bahwa ada terdapat majemuk agama. Agama itu mengutarakan pedoman hidup yang berdasarkan agama masing-masingmerupakan kehendak Tuhan. Pedoman itu tidak sama, malahan di sana sini Nampak bertentangan, contohnya wacana poligami, talak dan rujuk, aturan makan dan minum, kekerabatan suami-istri, dan sebagainya.

f. Culrural Relativism Menurut Gensler (1998: 11), cultural relativism merupakan aliran yang memaknai baik dan buruk yakni relatif. Kata baik dimaknai sebagai sesuatu yang secara sosial telah disetujui oleh mayoritas dalam suatu budaya. Prinsip-prinsip moral didasarkan atas norma-norma masyarakat. Di sini tidak ada standar yang paling baik, setiap putusan yang benar atau salah yakni murni sebuah produk dari masyarakatnya.

Menurut Rachels (2004: 45-46), kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda. Adat istiadat dari banyak sekali masyarakat yang berbeda itulah kenyataan yang ada. Adat istiadat semacam ini tidak bisa dikatakan benar atau salah, lantaran hal itu mengimplikasikan seakan-akan mempunyai standar kebenaran dan kesalahan yang tak tergantung dan dengan standar ini adat istiadat yang lain sanggup dinilai.

Setiap standar selalu terikat pada kebudayaan tertentu. Rachels (2004: 46-47) membeberkan tuntutantuntutan yang diajukan oleh kaum relativis kultural, yaitu:
  • Masyarakat berbeda mempunyai kode moral berbeda
  • Kode moral dari suatu masyarakat menentukan apa yang benar dalam masyarakat itu
  • Tidak ada standar objektif yang sanggup digunakan untuk menilai semua kode masyarakat secara lebih baik dari yang lain
  • Kode moral dari suatu masyarakat tidak mempunyai status istimewa lantaran hanya merupakan salah satu di antara yang banyak
  • Tidak ada kebenaran universal dalam etika, artinya tidak ada kebenaran moral yang berlaku untuk semua orang dalam segala zaman, dan
  • Adalah kesombongan apabila seseorang mencoba menilai sikap orang lain, terhadap kebudayaan-kebudayaan lain harus ada toleransi.
Suseno (1997: 109) juga menyatakan norma-norma moral dalam relativisme hanya berlaku relatif terhadap lingkungan atau wilyah tertentu. Norma-norma moral yang berlaku dalam pelbagai masyarakat dan kebudayaan tidak sama, melainkan berbeda satu sama lain.

g. Subjectivism Gensler (1998:22) menjelaskan bahwa dalam aliran subjectivism keputusan moral yakni klarifikasi dari apa yang dirasakan. Jika seseorang menyampaikan sesuatu itu baik lantaran kita memang merasa bahwa sesuatu itu bagus. Di sini, moralitas sangat berkaitan dengan perasaan pribadi seseorang dan emosi yang dirasakan.

Rachels (2004:72) menjelaskan “subjektivisme etis merupakan gagasan bahwa pendapat-pendapat moral kita didasarkan pada perasaan-perasaan kita dan tidak lebih daripada itu”. Lebih lanjut Rachels menjelaskan, atas dasar pandangan itu, tidak ada apa yang disebut sebagai pandangan benar atau salah secara objektif. Subjektivisme berkembang mulai dari gagasan sederhana, dalam kata-kata David Hume, moralitas itu merupakan soal perasaan saja dan bukan fakta.

h. Supernaturalism Aliran supernaturalism berdasarkan Gensler (1998: 34-35) yakni suatu aliran yang menjelaskan bahwa moral aturan menjelaskan kehendak Tuhan. Supernaturalism beropini bahwa aturan moral Tuhan akan menjelaskan: X yakni baik berarti Allah menghendaki X.

Supernaturalism merupakan etika berdasarkan agama. Aliran ini identik dengan teori “Perintah Allah” sebagaimana dinyatakan oleh Rachels (2004: 100-101), bahwa benar secara moral berarti diperintahkan oleh Allah dan salah secara moral berarti tidak boleh oleh Allah. Menurut teori ini, etika bukanlah sekedar masalah perasaan pribadi atau kebiasaan sosial. Apakah sesuatu itu benar atau salah, hal itu merupakan masalah yang sepenuhnya objektif. Sesuatu itu benar kalau Allah memerintahkannya, salah kalau Allah melarangngnya.

Poedjawijatna (1982:47-48) menyebut aliran ini dengan nama religiosisme. Aliran ini telah populer dan yang paling baik dalam praktik. Aliran ini menyatakan, ukuran baik yakni yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan buruk yakni tidak sesuai dngan kehendak Tuhan. Tugas theologialah yang menentukan manakah yang menjadi kehendak Tuhan.

i. Intuitionism Aliran intuitionism berdasarkan Gensler (1998:47-48) yakni aliran yang mengangkat masalah moral berdasarkan intuisi. Menurut intuitionism, kebenaran tidak sanggup didefinisikan. Intuitionism mengakui adanya kebenaran objektif, akan tetapi kebenaran itu tidak sanggup dijelaskan dan hanya diketahui secara eksklusif oleh orang yang peka atau cukup umur moral berkat kemampuan intuitif mereka.

j. Emotivism Aliran emotivism menyatakan bahwa masalah moral itu hanyalah kasus perasaan (emotion) saja. Emotivism melihat sebuah keputusan moral sebagai ekspresi perasaan, bukan pernyataan benar-benar “benar” atau “tidak benar”. Baik berdasarkan emotivism merupakan ekspresi perasaan (Gensler, 1998: 59-60). Menurut Rachels (2004: 77-78), emotivisme dikembangkan terutama oleh filsuf Amerika Charles L. Stevenson (1908-1979) yang merupakan teori etika yang paling kuat dalam era kedua puluh.

Emotivisme mulai dengan pengamatan bahwa bahasa digunakan dengan cara yang beraneka ragam. Menurut emotivisme, bahasa moral bukanlah bahasa yang menyatakan fakta, alasannya tidak digunakan secara khusus untuk membawakan informasi.

Bahasa moral pertama-tama digunakan sebagai sarana unuk menghipnotis sikap orang, contohnya kalimat, “Kamu tidak boleh melaksanakan itu” berarti sedang mencegah semoga tidak melaksanakan perbuatan itu. Ungkapan itu merupakan suatu perintah daripada suatu pernyataan wacana fakta. Kedua, bahasa moral digunakan untuk mengungkapkan sikap seseorang, contohnya “Lincoln yakni orang yang baik” bukanlah menyerupai menyampaikan “Saya menyukai Lincoln”, melainkan menyerupai menyampaikan “Hidup … Abraham Lincoln” (Rachels, 2004: 78-79).

k. Prescriptivism Aliran prescriptivism berdasarkan Gensler (1998: 72-73) yakni bahwa ungkapan moral itu merupakan keinginan yang diuniversalkan, contohnya penilaian “aborsi itu tidak bermoral”, merupakan ungkapan bahwa saya tidak akan melaksanakan pengguguran sekaligus undangan semoga orang lain tidak melaksanakan aborsi.

Golden Rule Aliran golden rule berdasarkan Gensler (1998: 104-105) memperlakukan orang lain atau kita lantaran kita diperlakukan dalam situasi yang sama. Jadi, berdasarkan golden rule tindakan moral diterapkan dengan cara kita memperlakukan orang lain menyerupai kita diperlakukan oleh orang lain.

m. Moral Rationality Aliran moral rationality berdasarkan Gensler (1998: 123-124) memerlukan konsistensi, termasuk mengikuti kaidah. Moral rationality juga memerlukan unsur-unsur lainnya, menyerupai pengetahuan dan imajinasi. Pengajaran moral rationality akan membantu belum dewasa untuk lebih rasional dalam berpikir moral mereka yang merupakan potongan penting dari pendidikan moral. Ini terutama penting untuk mengajar lima perintah moral berpikir rasional, yaitu (1) menciptakan keputusan yang tepat, (2) hidup serasi dengan moral kepercayaan, yang menciptakan menyerupai dengan tindakan serupa, (4) menempatkan diri di tempat orang lain, dan (5) memperlakukan orang lain menyerupai kita ingin diperlakukan.

n. Consequentialism Aliran consequentialism yakni aliran yang mengajarkan kepada kita untuk melaksanakan tindakan apa pun yang mempunyai konsekuensi atau dampak terbaik. Ada kalanya seorang consequentialism sanggup melaksanakan kebohongan kalau lebih sanggup mendatangkan kebaikan. Aliran yang populer dari consequentialism yakni utilitarism, yang menyatakan bahwa kita harus melaksanakan sesuatu yang bisa memberikan dampak lebih baik dan menyingkirkan dampak yang tidak baik bagi tindakan kita (Gensler, 1998: 139-140).

Nonconsequentialism Aliran nonconsequentialism berdasarkan Gensler (1998: 158-159) menyampaikan bahwa beberapa jenis tindakan (seperti membunuh atau melanggar komitmen yang bersalah) yang salah dalam diri mereka sendiri, dan bukan hanya lantaran mereka telah salah konsekuensi buruk. Hal-hal menyerupai itu mungkin exceptionlessly salah, atau mungkin saja ada beberapa independen moral berat terhadap mereka.

p. Egoisme Etis Menurut Rachels (2004: 146-147) aliran egoisme etis mengajarkan bahwa setiap orang harus mengejar kepentingannya sendiri secara ekslusif. Pandangan aliran ini yakni seseorang tidak mempunyai kewajiban alami terhadap orang lain. Aliran ini menyatakan bagaimana seseorang seharusnya bertindak, tanpa memandang bagaimana biasanya seseorang bertindak. Egoisme Etis menyampaikan seseorang tidak mempunyai kewajiban moral, selain untuk menjalankan apa yang paling baik bagi diri sendiri.

Egoisme etis merupakan aliran yang berpandangan radikal bahwa satu-satunya kiprah yakni membela kepentingan diri sendiri. Menurut Egoisme Etis, hanya ada satu prinsip yang utama, yakni prinsip kepentingan diri, dan prinsip ini merupakan semua kiprah dan kewajiban alami seseorang. Egoisme Etis tidak mengajarkan bahwa dalam mengejar kepentingan diri, orang harus selalu melaksanakan apa yang diinginkan, atau apa yang memberikan kesenangan paling banyak dalam jangka pendek.

q. Stoisisme Menurut Vos (1987: 177) salah satu bentuk tertentu dari eudemonisme ialah stoisisme. Dalam hal ini yang dimaksudkan bukan semata-mata etika kaum stoa, melainkan juga suatu sikap hidup tertentu yang memang terungkap secara menonjol pada sejumlah tokoh yang mewakili kaum Stoa. Dalam sikap ini tujuan hidup terletak pada kebahagiaan, yang terdapat dalam goresan pena populer berasal dari kaum Stoa yakni “De Vita Deata” (Mengenai Hidup dalam Kebahagiaan Surgawi), hasilya Seneca.

Lebih lanjut Vos (1987: 178) menjelaskan bahwa ciri insan bijaksana yakni “apathia” atau tiadanya segala nafsu atau perasaan, dan “ataraxia” atau keadaan hati yang tidak tergoyahkan, dan dengan demikian sanggup mencukupi diri sendiri, sehingga menjadi insan yang perkasa serta pemberani, yang tidak tergantung pada siapa pun dan apa pun, mendapatkan perubahan nasib dengan hati yang hampir-hampir sama, sehingga menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri. Sikap hidup ini dilukiskan dalam potongan epilog syair karya Vondel yang dimaksudkan untuk melipur Vossius mengenai final hidup puteranya:

Bahagialah hati tak tergoyahkan Tak lekang di kemewahan Bak perisai kokoh dilangkan Menentang peristiwa tak terelakkan (Vos, 1987: 178)

r. Marxisme Marxisme berdasarkan Vos (1987: 189) mendasarkan etikanya atas fakta, yaitu rasa lapar, artinya, mendasarkan etikanya atas kehendak untuk melestarikan diri atau kehendak untuk hidup. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam aliran ini, pertama, marxisme merupakan tanda-tanda yang banyak seginya, tidak hanya dalam arti hendak memberikan jawaban atas banyak sekali pertanyaan, dan tidak hanya pertanyaan di bidang etik, melainkan juga dan terutama sejauh terdapat banyak sekali maksud lebih lanjut yang dikandungnya, yang tidak selalu bersesuaian.

Kedua, hendaknya dicatat bahwa Marx sendiri tidak menyusun sendiri suatu etika yang sudah lanjut perkembangannya. Tulisan-tulisan wacana marxisme hanya memuat catatan-catatan lepas dan sejumlah keterangan sebagai petunjuk. Marx tidak hendak tampil sebagai filsuf, melainkan sebagai pembaharu masyarakat, tidak memandang kenyataannya, melainkan hendak mengubahnya.

Kenyataan yang diperhatikan yakni masyarakat, dan akan mengubahnya demi kepentingan orang-orang yang menjadi anggotanya. Marx melihat bahwa sekelompok besar rakyat hidup dalam keadaan sengsara, dan karenanya menjalani hidup yang tidak berharkat manusiawi, Marx hendak memberikan kepada sekelompok besar rakyat suatu kehidupan yang berharkat manusiawi, dan untuk keperluan itu hendaknya memperbaiki keadaannya.

Pembicaraan di depan telah disebutkan bahwa fakta yang menentukan dalam peristiwa-peristiwa yang menyangkut insan ialah rasa lapar, karenanya insan harus berproduksi, untuk berproduksi insan harus bekerja, yang memang pada hakikatnya insan yakni pekerja.

Di samping bekerja insan harus bekerja sama, lantaran produksi selalau terjadi dalam kekerabatan kemasyarakatan. Maka, harus diusahakan sikap-sikap tertentu dalam menghadapi orang-orang lain yang memungkinkan adanya kerjasama tersebut. Dengan demikian berkembanglah kebajikan-kebajikan tertentu, dan selanjutnya juga kesusilaan. Sejumlah kaum marxis berusaha memberikan dasar yang lebih dalam kepada moral.

Hal-hal tersebut menimbulkan sejumlah akhir bagi etika. Pertama, pendirian bahwa moral sanggup berubah. Oleh lantaran cara produksi sanggup berubah, yang juga akan menimbulkan perubahan-perubahan, maka moral pun sanggup berubah. Setiap masyarakat mempunyai moral sendiri-sendiri dan segenap teori kesusilaan yang merupakan hasil taraf ekonomi masyarakat pada suatu masa tertentu.

Kedua, bahwa yang ada hanyalah moral kelas. Artinya, pendapat-pendapat insan wacana kesusilaan ditentukan oleh kelas tertentu, yang di dalamnya terdapat orang-orang sebagai anggota sekelas. Ketiga, bahwa moral kelas-kelas yang berbeda saling bertentangan. Hal ini tidak sanggup dihindari sehubungan dengan kepentingan banyak sekali kelas yang saling bertentangan dan akan berakibat pada sistem kesusilaan yang berbenturan (Vos, 1987: 194).

s. Idealisme Pengertian idealism meliputi sejumlah besar sistem serta aliran kefilsafatan yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang besar antara yang satu dengan yang lain. Ciri pengenal umum yang memperlihatkan kesamaan yakni bahwa semuanya mengajarkan pentingnya jiwa atau roh. Menurut idealisme, insan intinya makhluk rohani. Maka, berdasarkan idealisme, nilai serta harkat insan didasarkan atas kenyataan bahwa insan merupakan wahana roh dan berhakikat kejiwaan (Vos, 1987: 203).

Aliran idealisme memandang tinggi terhadap insan dan menganggap roh mempunyai kekuasaan yang besar, dan beropini bahwa dalam babak terakhir bukan hanya manusia, melainkan kenyataan yang di dalamnya insan hidup dan ikut ambil bagian, yang ditentukan oleh faktor-faktor rohani. Di antara penganut aliran ini jarang yang beropini bahwa kenyataan semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor rohani, pada umumnya penganut paham ini mendapatkan suatu dualisme antara roh dan alam, antara kerohanian dan kejasmanian, namun senantiasa menganggap roh mempunyai nilai tertinggi serta kekuasaan besar (Vos, 1987: 203).

Idealisme berdasarkan Mudofir (1996: 96-97) suatu sistem atau pedoman yang prinsip penafsiran dasarnya yakni ideal. Secara luas merupakan pandangan teoretis atau mudah yang menekankan pada rohani (jiwa, spirit, hidup), bahwa kenyataan itu yakni mental. Dilawankan dengan materialisme. Istilah idealisme muncul era 17 untuk memberi nama pada: (a) teori idea-idea dalam bentuknya yang orisinil apakah itu pedoman Plato atapun pedoman Plato yang diterima dalam agama Nasrani dan teisme Skolastik, (b) pedoman epistimologi dari Descartes dan Locke berdasarkan pendapatnya idea-idea yaitu objekobjek eksklusif dari pemahaman insan yakni subjektif dan dimiliki secara perorangan.

8. KAIDAH ETIKA JAWA

Dalam pembahasan etika Jawa ini tidak akan dipaparkan diskripsi wacana insan Jawa yang nyata melainkan hanya membangun pola ideal yang tidak lebih sebagai salah satu teladan bagi masyarakat Jawa. Acuan yang dimaksud yakni bahwa ada dua kaidah dasar yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa.

Menurut Geertz (melalui Suseno 1996: 38) kaidah pertama menyampaikan bahwa dalam setiap situasi insan hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak hingga menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut, semoga insan dalam cara berbicara dan membawa diri selalu memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Lebih lanjut Suseno (1996: 38) menyebut kaidah pertama dengan prinsip kerukunan dan kaidah kedua disebut prinsip hormat, selanjutnya menyebut dua prinsip itu sebagai prinsip-prinsip keselarasan.

Suseno (1996: 70) menyebutkan bahwa prinsip kerukunan dan prinsip hormat menuntut dalam segala interaksi konflik-konflik terbuka harus dicegah dan bahwa setiap situasi kedudukan semua pihak yang bersangkutan harus diakui melalui sikap-sikap hormat yang tepat. Dua prinsip itu berafiliasi erat satu sama lain. Mereka mencukupi untuk mengatur selengkapnya segala kemungkinan interaksi.

a. Prinsip Kerukunan Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam ini oleh Suseno (1996: 38) disebut rukun. Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “ tanpa perselisihan dan pertentangan”, ‘bersatu dalam maksud membantu” Rukun yakni keadaan ideal yang diharapkan sanggup dipertahankan dalam semua kekerabatan sosial terutama dalam keluarga. Keluarga sendiri merupakan potongan terkecil dalam suatu kelompok masyarakat di mana mempunyai kiprah terpenting dalam menjalin kekerabatan antarindividu dan kelompok lainnya. Dari keluarga biasanya prinsip kerukunan ditanamkan contohnya sikap rukun orang renta terhadap anak-anaknya.

Satu kesamaan yang sangat dihargai orang Jawa yakni kemampuan untuk mempertahankan, untuk menyampaikan hal-hal tidak enak secara tidak langsung. Berita yang tidak disenangi, peringatan-peringatan dan tuntutan-tuntutan jangan diajukan eksklusif kepada seseorang, melainkan harus dipersiapkan dulu.

b. Prinsip Hormat Selain prinsip rukun, Suseno (1996: 60) menjelaskan wacana kaidah kedua yang memainkan peranan besar dalam mengatur interaksi dalam masyarakat Jawa ialah prinsip hormat. Prinsip itu menyampaikan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus memperlihatkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat berdasarkan pendapat bahwa semua kekerabatan dalam masyarakat teratur secara hirarkis, bahwa keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh lantaran itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya (Geertz dalam Suseno, 1996: 60).

Demikian kedua prinsip pokok yang menjadi sumber moral orang Jawa, yang terlihat pada semua tatanan, kebiasaan, perbuatan dan tingkah laris orang Jawa dalam hidup sehari-hari. Hal semacam itu akan dipegang teguh oleh orang Jawa bahakan masyarakat Jawa, dan dijaga kelangsungan hidupnya. Orang renta mengajarkan kepada anak-anaknya, baik dengan contoh, pesan tersirat dan pelajaran maupun dengan sindiran-sindiran. Bagi mereka yang lalai atau melanggarnya, akan dianggap ora Jawa, lali Jawane dan mungkin sebutan yang lain.

d. Kajian Moral
1. Pengertian Moral
Tentang kata “moral”, perlu diperhatikan bahwa kata ini bisa digunakan sebagai nomina (kata benda) atau sebagai adjektiva (kata sifat). Jika kata moral digunakan sebagai kata sifat artinya sama dengan etis yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. dan kalau digunakan sebagai kata benda artinya sama dengan etika (Bertens, 2011: 7).

Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ lantaran kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

Adapun yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Kaprikornus bila kita menyampaikan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita menyampaikan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.

Pengertian moral dari wikipedia berbahasa Inggris cukup sederhana, moral yakni pesan yang disampaikan atau pelajaran yang bisa dipetik dari kisah atau peristiwa. Pengertian moral dari Merriam-webster pun cukup sederhana, yaitu mengenai atau berafiliasi dengan apa yang benar dan salah dalam sikap manusia, dianggap benar dan baik oleh kebanyakan orang: sesuai dengan standar sikap yang tepat pada kelompok atau masyarakat tersebut. Oleh lantaran itu kita perlu membahas lebih jauh lagi wacana bersama-sama apa pengertian moral itu, setidaknya menciptakan kita bisa membedakannya dengan etika. Kan tidak ada yang pernah menyampaikan bahwa moral dan etika itu sinonim. Atau dengan kata lain, moral dan etika tidak mempunyai arti yang sama.

Kata moral secara etimologis sama dengan kata etika. Arti kata moral sanggup dilihat sebagai nomina atau adjektiva. Sebagai nomina, kata moral sama dengan arti etika yang pertama, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sebagai adjektiva, kata moral sama artinya dengan etis (Bertens, 1993: 7).

Moral (Bahasa Latin Moralitas) yakni istilah insan menyebut ke insan atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak mempunyai moral disebut amoral artinya beliau tidak bermoral dan tidak mempunyai nilai positif di mata insan lainnya. Sehingga moral yakni hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.

Moral secara ekplisit yakni hal-hal yang berafiliasi dengan proses sosialisasi individu tanpa moral insan tidak bisa melaksanakan proses sosialisasi. Moral dalam zaman kini mempunyai nilai implisit lantaran banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan insan harus mempunyai moral kalau ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral yakni nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.

Moral yakni perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan sanggup diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, moral yakni produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya mempunyai standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun semenjak lama.

Menurut Salam (2000-2) dari segi etimologis kata moral berasal dari bahasa Latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat, atau kelakuan. Moral dengan demikian sanggup diartikan sebagai pedoman kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Berdasarkan arti kata moral di atas sanggup dijelaskan bahwa moral ialah seluruh tatanan atau ukuran yang mengatur tingkah laku, perbuatan dan kebiasaan insan yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat yang bersangkutan.

Baik dan buruk bagi orang yang satu dengan yang lain ada kalanya tidak sama. Oleh lantaran itu masyarakat memberikan pedoman pokok tingkah laku, kebiasaan dan perbuatan yang telah disetujui dan dianggap baik oleh seluruh anggota masyarakat itu. Adapun dasar penentu moral itu yakni pandangan hidup, tujuan hidup, serta filsafat hidup kelompok masyarakat. Itulah sebabnya moral suatu kelompok masyarakat merupakan tanda kenal diri, identitas bagi kelompok masyarakat tersebut.

Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang intinya sama dengan "moral", hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara wacana moralitas suatu perbuatan, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas yakni sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Ajaran moral memuat pandangan wacana nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan wacana apa yang bernilai serta kewajiban manusia. Etika merupakan ilmu wacana norma, nilai dan pedoman moral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan pedoman moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan mengusut bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).

Ajaran moral memuat pandangan wacana nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral yakni kebaikan insan sebagai manusia. Norma moral yakni wacana bagaimana insan harus hidup Supaya menjadi baik sebagai manusia.

Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan insan sebagai insan sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan insan dilihat dari satu segi saja, contohnya sebagai suami atau isteri, sebagai pustakawan. Moral berkaitan dengan moralitas.

Moralitas yakni sopan santun, segala sesuatu yang berafiliasi dengan etiket atau sopan santun. Moralitas sanggup berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau adonan dari beberapa sumber. Etika dan moralitas. Etika bukan sumber pelengkap moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan pedoman moral.

Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik. dan normatif. Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah hingga ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif mengusut bagaimana pandangan moral yang seharusnya.

Etika tidak sanggup menggantikan agama. Orang yang percaya menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar ehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika semoga sanggup memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi. Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut.
  • Orang agama mengharapkan semoga pedoman agamanya rasional. Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapu ia juga ingin mengertimengapa Tuhan memerintahkannya. Etika sanggup membantu menggali rasionalitas agama
  • Seringkali pedoman moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.
  • Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama menghadapi masalah moral yang secara eksklusif tidak disinggung-singgung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi insan dengan gen yang sama.
  • Adanya perbedaan antara etika dan pedoman moral. Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh lantaran itu pedoman agama hanya terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari seluruh golongan.
Dari pemaparan di atas diperoleh beberapa titik temu bahwa antara akhlak, etika dan moral mempunyai kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya yakni dalam menentukan hukum/nilai perbuatan insan dilihat dari baik dan buruk, sementara perbedaannya terletak pada tolak ukurnya. Akhlak menilai dari ukuran pedoman al-Qur’an dan Al-Hadits, etika berkaca pada budi fikiran dan moral dengan ukuran adat kebiasaan yang umum di masyarakat. Maka sanggup disimpulkan dari pemaparan di atas bahwa sopan santun yang dimaksud yakni pengetahuan menyangkut sikap lahir dan batin manusia.

2. Bentuk-bentuk Moral

Nilai moral sanggup diperoleh di dalam nilai moralitas. Moralitas yakni kesesuaian sikap dan perbuatan dengan aturan atau norma batiniah, yakni dipandang sebagai kewajiban. Menurut Kohlberg (1977: 5) penalaran atau pemikiran moral merupakan faktor penentu yang melahirkan sikap moral. Oleh lantaran itu, untuk menemukan sikap moral yang bersama-sama sanggup ditelusuri melalui penalarannya. Artinya pengukuran moral yang benar tidak sekadar mengamati sikap moral yang tampak, tetapi harus melihat pada penalaran moral yang mendasari keputusan sikap tersebut.

Bila dikatakan bahwa karya sastra itu semata-mata tiruan alam, maka dengan sendirinya sastra itu bisa dipandang sebagai sesuatu yang tidak memperjuangkan kebenaran. Dalam kenyataan ukuran kebenaran merupakan ukuran yang sering digunakan dalam menilai suatu karya sastra. Pembaca sering mempertanyakan wacana sesuatu yang diungkapkan pengarang itu mempunyai kekerabatan dengan kebenaran.

Nilai-nilai moral atau lainnya dalam kehidupan sehari-hari, sikap dan tingkah laris tokoh tersebut hanyalah model-model atau sosok yang sengaja ditampilkan pengarang sebagai sikap dan tingkah laris yang baik atau diikuti minimal dicenderungi oleh pembaca. Dengan demikian aspek moral yakni segala aspek yang menyangkut baik buruknya suatu perbuatan. Dalam hal ini mengenai sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila. Adapun bentuk-bentuk moral sebagai berikut.

a. Sosial Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sosial yakni segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum, suka menolong, dan sebagainya (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 498). Manusia dijadikan Allah swt., dalam bentuk yang tidak hidup sendirian, lantaran tidak sanggup mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidupnya baik untuk memperoleh makanan, memperoleh pakaian, dan semuanya. Dengan demikian insan memerlukan pergaulan dan saling membantu.

b. Akhlak Secara bahasa kata sopan santun jamak dari khuluqin yang diartikan tabiat, kebiasaan, adab. Sedangkan secara istilah yakni sifat yang mantap di dalam diri yang menciptakan perbuatan, yang dilakukannya baik atau buruk, anggun atau buruk (Islamwiki, 2008).

Oleh karenanya, apabila amal dan pikiran seseorang sholeh (baik) maka sholeh pula diri dan akhlaknya, dan sebaliknya apabila amal dan pikirannya rusak maka rusak pula dirinya dan akhlaknya.

Akhlak sanggup dirumuskan sebagai suatu sifat atau sikap kepribadian yang melahirkan tingkah laris perbuatan manusia, dalam perjuangan membentuk kehidupan yang tepat berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Allah. Dengan kata lain, sopan santun ialah suatu sistem yang menilai perbuatan lahir dan batin insan baik secara individu, kumpulan, dan masyarakat dalam interaksi hidup antara insan dengan baik secara individu, kehidupan masyarakat dalam interaksi hidup antara insan dengan Allah, insan dengan sesama manusia, insan dengan hewan, dengan malaikat, dengan jin, dan juga dengan alam sekitar.

c. Etika Istilah etika berasal dari kata Latin: Ethic (us), dalam bahasa Inggris: Ethikos = a body of moral principles or values. Ethic = arti sebenarnya, ialah kebiasaan, habit, custom. Kaprikornus dalam pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik itu ialah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (dewasa itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah, menyerupai pengertian sekarang. Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laris manusia, mana yang sanggup dinilai baik dan mana yang sanggup dinilai jahat (Burhanuddin, 2000: 3).

d. Susila Secara kebahasaan perkataan susila merupakan istilah yang berasal dari bahasa Sansekerta. Su berarti baik atau bagus, sedangkan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Jadi, susila berarti dasar, prinsip, peraturan atau norma hidup yang baik atau bagus.

E. KAJIAN NORMA DAN KAIDAH

Di dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal dengan istilah norma-norma atau kaidah, yaitu biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikaptindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang merupakan standar yang harus ditaati atau dipatuhi (Soekanto: 1989: 7).

Kehidupan masyarakat terdapat banyak sekali golongan dan aliran yang beraneka ragam, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan keamanan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laris dalam masyarakat, yang disebut peraturan hidup.

Untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kehidupan dengan aman, tertib dan hening tanpa gangguan tersebut, maka diharapkan suatu tata (orde=ordnung), dan tata itu diwujudkan dalam aturan main” yang menjadi pedoman bagi segala pergaulan kehidupan sehari-hari, sehingga kepentingan masing-masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin.

Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan tata peraturan, dan tata itu lazim disebut kaidah (bahasa Arab), dan norma (bahasa Latin) atau ukuran-ukuran yang menjadi pedoman, norma-norma tersebut mempunyai dua macam berdasarkan isinya, yaitu:
  • Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh lantaran akhirnya dipandang baik.
  • Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh lantaran akhirnya dipandang tidak baik.Artinya norma yakni untuk memberikan petunjuk kepada insan bagaimana seseorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankannya, dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari (Kansil, 1989: 81).
Norma-norma itu sanggup dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa ancaman eksekusi terhadap siapa yang telah melanggarnya. Tetapi dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau dikenakan hukuman atas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan hukuman sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu pelanggaran yang terjadi, contohnya sebagai berikut.
  • Semestinya tahu aturan tidak akan berbicara sambil menghisap rokok di hadapan tamu atau orang yang dihormatinya, dan sanksinya hanya berupa celaan lantaran dianggap tidak sopan walaupun merokok itu tidak dilarang. Seseorang tamu yang hendak pulang, berdasarkan tata krama harus diantar hingga di muka pintu rumah atau kantor, bila tidak maka sanksinya hanya berupa celaan lantaran dianggap sombong dan tidak menghormati tamunya.
  • Mengangkat gagang telepon sesudah di ujung bunyi ke tiga kalinya serta mengucapkan salam, dan kalau mengangkat telepon sedang berdering dengan kasar, maka sanksinya dianggap “intrupsi” ada lah memperlihatkan ketidaksenangan yang tidak sopan dan tidak menghormati si penelepon atau orang yang ada di sekitarnya.
  • Orang yang mencuri barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya, maka sanksinya cukup berat dan bersangkutan dikenakan hukuman hukuman, baik eksekusi pidana penjara maupun perdata (ganti rugi).
Norma tersebut dalam pergaulan hidup terdapat empat kaidah atau norma, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum. Dalam pelaksanaannya, terbagi lagi menjadi norma-norma umum (non hukum) dan norma hukum, pemberlakuan norma-norma itu dalam aspek kehidupan sanggup digolongkan ke dalam dua macam kaidah, yaitu:
  • Aspek kehidupan pribadi (individual) meliputi: (1) kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman, dan (2) kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi tercapainya kesucian hati nurani yang berakhlak berbudi luhur (akhlakul kharimah).
  • Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) meliputi: (1) kaidah atau norma-norma sopan-santun, tata krama dan etiket dalam pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat (pleasantliving together), (2) kaidah-kaidah aturan yang tertuju kepada terciptanya ketertiban, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau ketenteraman (peaceful living together). Sedangkan masalah norma non aturan yakni masalah yang cukup penting dan selanjutnya akan dibahas secara lebih luas mengenai kode sikap dan kode profesi Humas/PR, yaitu menyerupai nilai-nilai moral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau bermasyarakat, sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati.
Norma moral tersebut tidak akan digunakan untuk menilai seorang dokter ketika mengobati pasiennya, atau dosen dalam memberikan materi kuliah terhadap para mahasiswanya, melainkan untuk menilai bagaimana sebagai profesional tersebut menjalankan kiprah dan kewajibannya dengan baik sebagai insan yang berbudi luhur, juiur, bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab. Terlepas dari mereka sebagai profesional tersebut jitu atau tidak dalam memberikan obat sebagai penyembuhnya, atau metodologi dan keterampilan dalam memberikan materi kuliah dengan tepat. Dalam hal ini yang ditekankan yakni “sikap atau perilaku” mereka dalam menjalankan kiprah dan fungsi sebagai profesional yang diembannya untuk saling menghargai sesama atau kehidupan manusia.

Pada akhirnya nilai moral, etika, kode sikap dan kode etik standard profesi yakni memberikan jalan, pedoman, tolok ukur dan teladan untuk mengambil keputusan wacana tindakan apa yang akan dilakukan dalam banyak sekali situasi dan kondisi tertentu dalam memberikan pelayanan profesi atau keahliannya masing-masing.

Pengambilan keputusan etis atau etik, merupakan aspek kompetensi dari sikap moral sebagai seorang profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya, secara matang baik-buruknya akhir yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan sekaligus mempunyai tanggung jawab atau integritas yang tinggi. Kode etik profesi dibuat dan disepakati oleh para profesional tersebut bukanlah ditujukan untuk melindungi kepentingan individual (subyektif), tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan yang lebih luas (obyektif).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatim. 2007. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Amzah.
Achmad, Sri Wintala. 2012. Wisdom Van Java, Mendedah Nilai-nilai Kearifan Jawa. Bantul: In Azna Book.
Achmadi, Asmoro. 2004. Filsafat dan Kebudayaan Jawa. Sukoharjo: Cendrawasih.
Asmaran. 1999. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan.
Bagir, Haidar. 2002. Etika Barat, Etika Islam, Pengantar untuk Amin Abdullah, antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan.
Bahreisj, Husein. 1981. Ajaran-Ajaran Akhlak. Surabaya: Al-Ikhlas.
Bertens, K. 1993. Prespektif Etika Esai-esai wacana Masalah Aktual, Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. 2004. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Darmadi, Hamid. 2009. Dasar konsep pendidikan moral. Bandung: Alfabeta.
Driyarkara. 1966. Pertjikan Filsafat, Jakarta: PT Pembangunan.
Driyarkara. 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (disunting oleh Sudiarja, Budi Subanar, Sunardi, dan Sarkim), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Frondizi, Risieri. 2007. Pengantar Filsafat Nilai (terjemahan dari buku What is Value. 1963. Oleh Cuk Ananta Wijaya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fudyartanta, R.B.S. 1974. Etika Intisari Filsafat Kesusilaan dan Moral. Yogyakarta: Warawidyani.
Gensler, Harry J. 1998. Ethics. London and New York: Routledge.
Haris, Abdul. 2007. Pengantar Etika Islam. Sidoarjo: Al-Afkar.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat, terjemahan dari Elements of Philosophy oleh Soejono Soemargono. Yogyakartra: Tiara Wacana.
Keraf, Sonny, A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Mudhofir, Ali. 1996. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mudhofir, Ali. 2001. Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mudhofir, Ali. 2009. Kamus Etika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nagel, Thomas. 2008. What dos it All Mean. 2006 (dalam John de Santo dan Agus Cremers), Yogyakarta: Ledalero.
Poedjawijatna. 1982. Etika: Filsafat Tingkah Laku. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Poejawijatna. 2003. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.
Poespoprodjo, W. 1986. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktik, Bandung: Remaja Karya.
Purwadi. 2009. Pengkajian Sastra Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Rachels, James. 2004. Filsafat Moral (terjemahan dari buku The Element of Moral Philosophy. 2003 oleh A. Sudiarja), Yogyakarta: Kanisius.
Rahmaniyah, Istighfarotur. 2010. Pendidikan Etika Konsep Jiwa dan Etika Prespektif Ibnu Maskawaih. Malang: Aditya Media.
Soedarsono. 1985. Pendidikan, Moral, dan Ilmu Jiwa Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudyaan.
Suseno, Frans Magnis, dan Reksosusilo, S., 1983, Etika Jawa dalam Tantangan, Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Frans Magnis. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Frans Magnis. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Frans Magnis. 1993., Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, Frans Magnis. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Frans Magnis.1996. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafah Tentang Kebijaksanaan Hidup. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.Vos,
H., De. 1987. Pengantar Etika (terjemahan dari Inleiding tot de Ethiek. 1969 oleh Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Yunus, Mahmud. 2007. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus wa Dzurriyyah.
Zubair, A. Charris. 1995. Kuliah Etika. Jakarta: Rajagrafindo Persada

Sumber http://pendidikansrg.blogspot.com


EmoticonEmoticon