Pengabdian Dan Usaha Para Samurai

Pada awalnya istilah samurai mengacu kepada seseorang yang mengabdi kepada bangsawan, daimyo.
Pada era Nara, (sekitar tahun 710 sampai 784), istilah ini diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai.
Selain itu istilah lain yang mengacu kepada para samurai yakni bushi. Istilah bushi yang berarti p0juang, orang yang dipersenjatai, atau kaum militer, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi, pada bab catatan itu tertulis bahwa secara umum, rakyat dan p0juang (bushi) ialah harta negara. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada selesai kurun ke-12 era Kamakura.
Barulah pada era Azuchi-Momoyama (tahun 1573 sampai 1600) dan awal era Edo (1603), istilah saburai bermetamorfosis samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi orang yang mengabdi. Selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok samurai yang tidak terikat atau mengabdi kepada seorang pemimpin aristokrat yang dikenal dengan istilah ronin.

Ronin
Istilah ronin digunakan bagi samurai yang tidak bertuan pada era Edo. Dikarenakan adanya pertempuran yang berkepanjangan sehingga banyak samurai yang kehilangan tuannya. Biasanya dikala sang tuan meninggal dunia, seorang samurai akan melaksanakan seppuku, menyusul janjkematian tuannya tersebut. Seorang samurai yang ditinggal mati oleh tuannya dan tidak melaksanakan seppuku, akan menjadi ronin.

Kehidupan dari seorang ronin bagaikan ombak dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang samurai menjadi ronin. Seorang samurai sanggup mengundurkan diri dari tugasnya untuk menjalani hidup sebagai ronin. Adapula ronin yang berasal dari garis keturunan, anak seorang ronin dengan sendirinya akan menjadi ronin juga. Keberadaan dari seorang ronin makin bertambah jumlahnya diawali berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang menjadikan jatuhnya kaum daimyo yang menjadikan para samurai kehilangan majikannya.

Seppuku
Seorang samurai bersahabat dan harus siap dengan kematian, entah itu meninggal di medan perang atau dengan seppuku. Untuk seppuku sendiri merupakan salah satu hal yang paling populer dalam mitos samurai. Bagi seorang samurai, seppuku (membunuh diri) jauh lebih baik dibandingkan membiarkan diri mereka ditangkap, lantaran sekiranya samurai itu masih hidup dan ditangkap, ia dianggap membawa malu kepada nama keluarga dan tuannya.
Cara membunuh diri ini dikenal juga dengan istilah Harakiri (artinya tindakan bunuh diri dengan membelah perut), tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para samurai.
Seppuku juga mempunyai istilah nama tertentu, tergantung dari fungsi atau alasan melakukannya.
Junshi, dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada daimyo, apabila sang daimyo tersebut meninggal, menyerupai disebutkan sebelumnya. Pada era Edo, junshi telah diharamkan lantaran dianggap sia-sia dan merugikan lantaran negara akan banyak kehilangan perwira yang setia.
Kanshi, melaksanakan bunuh diri untuk demonstrasi. Hal ini tidak begitu terkenal, melibatkan seseorang yang melaksanakan seppuku sebagai tanda peringatan kepada seseorang daimyo apabila segala bentuk musyawarah gagal. Contohnya ialah Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553) telah melaksanakan kanshi untuk mengubah prinsip dan anutan Oda Nobunaga.
Sokotsu-shi, seseorang samurai akan melaksanakan seppuku sebagai tanda menebus kesalahannya. Ini merupakan lantaran yang paling populer dalam melaksanakan seppuku. Contoh samurai yang melaksanakan sokotsu-shi ini ialah Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-1561), dikarenakan telah menciptakan satu rencana yang alhasil meletakkan posisi daimyo di dalam bahaya.

Senjata Samurai

Katana ialah pedang panjang Jepang, walaupun di Jepang sendiri ini merujuk pada semua jenis pedang. Katana merujuk kepada pedang satu mata, melengkung yang khusus yang secara tradisi digunakan oleh samurai Jepang.
Katana biasanya dipasangkan dengan wakizashi atau shoto, bentuknya menyerupai tapi dibentuk lebih pendek, keduanya digunakan Oleh para samurai. Kedua senjata digunakan bahu-membahu disebut daisho, dan mewakili kekuatan sosial dan kehormatan eksklusif samurai. Pedang panjang digunakan untuk pertempuran terbuka, sementara yang lebih pendek digunakan sebagai senjata sampingan, yang lebih cocok untuk menikam, pertempuran jarak dekat, dan seppuku.
Wakizashi ialah pedang Jepang tradisional dengan panjang mata bilah antara 30 dan 60 sentimeter, serupa tetapi lebih pendek bila dibandingkan dengan katana yang sering dikenakan bersama-sama. Apabila dikenakan bersama, pasangan pedang ini dikenali sebagai daisho, yang apabila diterjemahkan secara harafiah sebagai besar dan kecil. Wakizashi tebal bilah pedangnya lebih tipis dibandingkan dengan katana.
Wakizashi digunakan sebagai senjata samurai apabila tidak memakai katana. Apabila memasuki bangunan suci atau bangunan istana, samurai akan meninggalkan katananya pada para pengawal pada pintu masuk. Namun, wakizashi selalu tetap dibawa pada setiap waktu, dan dengan itu, ia menjadi senjata bagi samurai, serupa menyerupai penggunaan pistol bagi tentara. Seseorang samurai akan mengenakannya dikala beliau sadar bahkan sewaktu mereka tidur, senjata itu tetap berada disampingnya. Pada masa silam, terutamanya semasa perang saudara, tanto dikenakan bagi menggantikan wakizashi.
Tanto, pedang pendek, ialah salah satu senjata tajam tradisonal Jepang yang digunakan oleh kelas samurai Jepang feodal. Tanto digunakan dalam seni bela diri tradisional, tantojutsu.

Wakashudo
Wakashudo, the way of the youth, merupakan tradisi yang dianut oleh para samurai dalam mendidik calon penerusnya. Tradisi ini dilakukan oleh para samurai laki-laki. Seorang samurai pria akan membimbing dan mengajari bocah pria sebagai penerusnya, dan selama proses tersebut bocah pria tersebut harus melayani kebutuhan biologis sang mentor. Tradisi ini dilakukan mulai dari kelas samurai paling rendah sampai yang paling tinggi. Para samurai zaman dahulu begitu menjunjung tradisi tersebut, dan menganggap suatu malu bila tidak melakukannya.

Samurai Wanita
Para samurai didominasi oleh golongan laki-laki, meski begitu sejarah mencatat bahwa ada di kalangan samurai terdapat kaum hawa yang turut menunjukkan semangat pertarungan dan mengambil tanggung jawab dan kiprah yang sangat berat menyamai kaum laki-laki. Wanita yang dilatih dalam seni bela diri, pada masa itu memperoleh kemahiran yang tinggi, terutamanya dalam penggunaan naginata.
Kisah-kisah keberanian dan kesetiaan samurai perempuan dipaparkan di dalam Heike Monogatari. Kehandalan samurai perempuan juga terbukti semasa pemberontakan Satsuma (1877) dimana kaum perempuan di Kagoshima berjuang menentang pasukan musuh.
Seorang samurai wanita, Nakano Takeko yang mempunyai keahlian tinggi dalam penggunaan naginata, semasa perang telah maju ke garisan musuh dan memenggal beberapa orang tentara musuh. Walau alhasil beliau tertembak di dadanya. Untuk mengelak dari penangkapan yang mengaibkan, beliau telah menyuruh saudara perempuannya, Yuko supaya memancung kepalanya dan membawanya pulang ke rumah.
Sumber http://lang8088.blogspot.com