Senin, 09 Juli 2018

Rhenald Kasali: Budaya Menghukum Dan Menghakimi Para Pendidik Di Indonesia

 Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di Indonesia Rhenald Kasali: Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di IndonesiaTulisan ini sudah banyak publikasikan di beberapa lembaga diskusi, beberapa blog atau website, sehingga ada sedikit ketertarikan untuk menelusuri awal dongeng ini dan kebenaran dari dongeng ini.

Dengan lompat dari website yang satu kemudian lompat ke website yang lain lagi semuanya memuat dongeng yang sama dan terakhir mampir di website http://mm.fe.ui.ac.id/index.php/berita/261-encouragement-prof-rhenald-kasali-phd dengan judul artikel "Encouragement - Prof. Rhenald Kasali, Ph.D". Setelah membaca dongeng dengan judul 'Encouragement - Prof. Rhenald Kasali, Ph.D' di websitenya Magister Manajemen Universitas Indonesia ini, gres dech yakin bahwa dongeng benar ditulis oleh bapak Prof. Rhenald Kasali, Ph.D.

Seperti apa dongeng dari Bapak Rhenald Kasali yang mungkin bermanfaat bagi kita sebagai seorang guru atau orang tua, mari kita simak;

15 tahun kemudian saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah kawasan anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, manis sekali...

Padahal, ia gres saja tiba di Amerika dan gres mulai belajar bahasa...
Karangan yang ia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas...
Menurut saya, goresan pena itu buruk.
Logikanya sangat sederhana...
Saya memintanya memperbaiki kembali, hingga ia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji....
Ada apa...?
Apa tidak salah memberi nilai....?
Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan...?
Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri...

Sewaktu saya protes, ibu guru yang mendapatkan saya hanya bertanya singkat....
"Maaf,...Bapak dari mana....?"
"Dari Indonesia," jawab saya.
Dia pun tersenyum.....

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya....
Itulah ketika yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat....
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu...
"Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak
anaknya dididik di sini," lanjutnya.
"Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai..."
Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang semoga maju...
"Encouragement! "
Dia pun melanjutkan argumentasinya....
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda...."
"Namun untuk anak sebesar itu, gres tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya sanggup menjamin, ini yaitu karya yang hebat," ungkapnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya....

Dari diskusi itu saya menerima pelajaran berharga....
Kita tidak sanggup mengukur prestasi orang lain berdasarkan ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menuntaskan study saya yang bergelimang nilai "A", dari agenda master hingga doktor....
Sementara di Indonesia, saya harus menuntaskan studi jungkir balik ditengarai bahaya drop out dan para penguji yang siap menerkam....
Padahal, ketika menempuh ujian agenda doktor di luar negeri, saya sanggup melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan para dosen penguji memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.
Namun, suasana ujian dibuat sangat bersahabat.
Seorang penguji bertanya, sedangkan penguji yang lainnya tidak ikut menekan...
Melainkan ikut membantu menawarkan jalan begitu mereka tahu jawabannya.
Mereka memperlihatkan grafik-grafik yang saya buat dan menandakan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti....
Ujian penuh puja-puji, menanyakan perihal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan....
Pada ketika kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan.
Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di dingklik ujian.
Etikanya, seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan....

Tapi yang sering terjadi di tanah air justru penguji marah-marah, tersinggung dan mengembangkan isu tidak sedap seolah-olah kebaikan itu ada udang di balik batunya.

Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, berdasarkan irit saya sangat tidak manusiawi....
Mereka bukannya melaksanakan encouragement, melainkan discouragement...
Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul....
Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga cenderung menguji dengan cara menekan...

Ada semacam unsur balas dendam dan kecurigaan....

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya.
Lantas saya berpikir, pantaslah bawah umur di sana bisa menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan peserta Hadiah Nobel...

Bukan alasannya yaitu mereka punya guru yang cerdik secara akademis, melainkan huruf hasil didikan guru-gurunya sangat kuat:
"Yaitu huruf yang membangun, bukan merusak...."

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya...
"Janganlah kita mengukur kualitas bawah umur kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ungkapnya dengan penuh kesungguhan....

Saya juga teringat dengan rapor bawah umur di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal....
Anak-anak Indonesia yang gres tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, ibarat berikut.
"Sarah telah memulainya dengan berat, ia mencobanya dengan sungguh-sungguh...."
"Namun Sarah telah memperlihatkan kemajuan yang berarti."

Malam itu, saya pun mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya.
Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa bersalah dikarenakan telah memberinya evaluasi yang tidak objektif.

Dia pernah protes ketika mendapatkan nilai E yang berarti excellent [sempurna], tetapi saya justru menyampaikan bahwa "gurunya salah".

Kini, saya bisa melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang mahir dengan cara membuat kendala dan rasa takut...?
Bukan tidak tidak mungkin kita yaitu generasi yang dibuat oleh sejuta ancaman:
Gesper,..
Rotan pemukul,...
Tangan bercincin kerikil akik,....
kapur,....
Penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,...
Sundutan rokok,...
dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman:
Awas...;
Kalau...;
Nanti...;
(dan tentu saja goresan pena berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah...)
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin.
Namun, di lain pihak juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan-temuan gres dalam ilmu otak ternyata memperlihatkan otak insan tidak statis, melainkan sanggup mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, sanggup tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari bahaya atau proteksi (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya.

Dengan demikian, kecerdasan insan sanggup tumbuh, tetapi sebaliknya juga sanggup menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang cerdik dan ada orang yang kurang cerdik atau bodoh. Tetapi, juga ada orang yang "tambah pintar" dan ada pula orang yang "tambah bodoh".
Cerita diatas juga mengingatkan kita pada pengalaman Rita Pierson: Setiap Anak Layak Menjadi Juara. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan bahaya atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi bahaya yang menakut-nakuti.
😊

Contoh Proses Belajar Mengajar yang dianjurkan pada Kurikulum 2013, mungkin video berikut sanggup membantu kita dalam penerapan kuriulum 2013;
 Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di Indonesia Rhenald Kasali: Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di Indonesia


Sumber http://www.defantri.com


EmoticonEmoticon