Senin, 05 November 2018

Pendidikan Dan Filosofi Sang Guru

ari Pendidikan Nasional bahwasanya ialah hari yang harus dibentuk Presiden menjadi hari lib Pendidikan dan Filosofi Sang Guru
Hari Pendidikan Nasional bahwasanya ialah hari yang harus dibentuk Presiden menjadi hari libur nasional bukannya pada dikala Hari Buruh. Tanya kenapa?
Alasan sederhana, buruh itu hanya bagi mereka yang sudah bekerja sedangkan yang tidak bekerja bukan buruh artinya tidak semua orang itu buruh. Sedangkan untuk masalah pendidikan tidak memandang siapa orangnya selama beliau masih hidup berarti beliau masih mendapatkan atau mengalami pendidikan istilahnya 'long life education' jadi suatu kewajaran Hari Pendidikan Nasional jadi hari libur nasional lantaran kita semua merayakannya. Apakah harus ada demo menyerupai mereka gres Hari Pendidikan Nasional dijadikan hari libur nasional.

Kita lanjutkan ceritanya, saya coba membuatkan wacana goresan pena pendidikan dimana goresan pena ini bahwasanya sudah pernah saya post di Hari Pendidikan Nasional tetapi semoga lebih ter-update lagi sehingga post Hari Pendidikan Nasional saya potong sedikit post-nya dan ditampilkan disini. Tulisan ini wacana falsafah pendidikan untuk pengadapan insan dan wacana pendidikan dan filosofi sang guru.

Falsafah Pendidikan untuk Pengadapan Manusia


Pendidikan itu berbeda dengan persekolahan. Memang tidak selalu dua yang bertentangan. Namun dua benda ini memang harus dibedakan, lantaran banyak orang dibingungkan oleh keduanya.

Banyak orang beranggapan beliau sedang menandakan topik pendidikan, ternyata yang dimaksud ialah sekolah atau persekolahan.

Pendidikan ialah substani dan isi sementara persekolahan ialah sistem, sarana dan gedung. Cukup sering sarana mengatakan bantuan. Tetapi dalam beberapa dekade ini, dalam banyak kasus, sekolah dengan segala sepatu, buku, administrasi, uang gedung, ijazah dan masih banyak tambahan lain lebih banyak mengganggu pendidikan daripada membantu.

Sekarang ini kita banyak diskusi mengenai Standar Nasional Pendidikan, UU wacana Guru dan Dosen (ada lagi Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang dikeluarkan pada tahun 2005). Anehnya semua undang-undang pendidikan ini bukanlah problem pendidikan. Ia hanyalah setitik kecil problem teramat panjang dari persekolahan. Langsung tidak pribadi adanya sekolah telah menambah biaya (uang, mental, energi, fisik) yang harus dipikul masyarakat untuk mengenyam pendidikan.

Lalu pertanyaan berikut, mengapa kita hanya bisa mengeluh dan menyesali suasana itu? Beranikah kita melawan dan tampil beda dari mereka? “kita” di sini yang disebutkan disini selalu mengandalkan gerakan bersama. Protes harus dikerjakan gotong royong semoga bermetamorfosis proyek kesadaran.

Masihkan kita punya keberanian untuk kembali pada ‘pendidikan’ yang menjadi substansi, bukan persekolahan yang terus-menerus menjadi sumber carut-marutnya pendidikan. Kita mesti sadar bahwa yang mutlak untuk kita ialah kembali pada filsafat pendidikan yang solid: mendidik orang menjadi cerdik dan mempunyai etos dan punya displin tanpa menimbulkan anak didik menyerupai robot dan patung emas.

Pendidikan dan Filosofi Sang Guru


Dalam novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata menulis wacana filosofi sang guru, “Guru yang pertama kali membuka mata kita akan aksara dan angka-angka sehingga kita pintar membaca dan menghitung.” Pengalaman Hirata yang dituliskan dalam bentuk novel ini membuka hati kita akan kiprah dan filosofi seorang guru sebagai pendidik dan pengajar untuk membebaskan para penerima didik dari kegelapan menuju pencerahan.

Harapan bagi para guru untuk membebaskan belum dewasa bangsa dari kegelapan belum tercapai. Kemerosotan mutu pendidikan nasional di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari rendahnya mutu guru lantaran mempunyai kiprah sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dalam kerangka peningkatan mutu, satu permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional ialah dehumanisasi pendidikan. Seharusnya pendidikan menghormati dan menghargai martabat insan beserta segala hak asasinya. Peserta didik seharusnya tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek melalui proses pendidikan. Tapi yang sedang terjadi ialah justru sebaliknya. Ada terlalu banyak pratik-pratik sekolah yang memperlihatkan betapa penerima didik sudah diperlakukan sebagai objek demi kepentingan ideologi, politik, industri,dan bisnis.

Guru sebagai pendidik tidak bisa mengembangkan kesadaran untuk menghentikan tanda-tanda dehumanisasi ini dan membebaskan penerima didik dari kegelapan lantaran para guru merasa terjebak sebagai objek dalam sistem pendidikan nasional. Berikut kami tampilkan sebagian kecil realitas belenggu kemiskinan yang dihadapi guru yakni:

1. Dengan honor dan tunjangan yang kurang memadai, guru terlalu sibuk mencari penghasilan tambahan.
2. Dengan jam mengajar yang panjang dan kiprah administratif yang membebani, guru sudah tidak punya waktu untuk membaca dan mengembangkan diri alhasil pengetahuan, wawasan dan kreatifitas guru sulit berkembang.
3. Guru yang seharusnya berperan sebagai pemain drama dalam proses pembudayaan transformasi nilai-nilai malah sebagai guru malah melaksanakan pelanggaran etika sebagai pendidik dengan mengatakan belajar khusus bagi penerima didik dan bahkan membocoran soal ujian sendiri atau terlibat sebai saksi yang menutup lisan atas beberapa tindakan manipulasi dan korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola sekolah.
4. Akhirnya belenggu kemiskinan finansial, intelektual, emosional dan kultural sering membuat guru kehilangan indentitas dan integritas. Pekerjaan sebagai guru tidak lagi dilandasi oleh spiritualitas profesi dan tidak menjadi cuilan perjalanan kemanusiaan.

Pendidikan tidak pernah lepas dari wibawa dan peranan guru. Maka dalam cahaya pradigma gres kita perlu berupaya mengangkat derajat guru. Di tengah keprihatinan terhadap kemerosotan mutu dan status guru, peraturan pemerintah No.19, tahun 2005 wacana standar nasional pendidikan dan undang-undang no.14, tahun 2005 wacana guru dan dosen yang diluncurkan dengan itikad baik diantaranya mengatur profesionalisme guru dan mengatakan jaminan terhadap proteksi dan kesejahteraan guru.

Sementara yang menjadi janggal ialah problem konseptual pendidikan profesional guru masih belum terselesaikan, jadwal porfotfolio sudah pribadi dijalankan untuk menilai kompetensi seorang guru. Akibatnya banyak sekali saluran (misalnya keikutsertaan dalam jadwal pendidikan dan pembinaan hanya demi sertifikat, ada manipulasi berkas, dan kongkalikong antara pemilik fortofolio dan penilai) sangat menodai profesi guru dan bahkan melemparkan guru pada titik nadir dalam perjalanan profesinya.ini problema guru yang dihadapi di Indonesia.

Terlepas dari segala tetek bengek peraturan yang dibentuk oleh pemerintah satu hal penting dalam mendidik ialah bahwa guru harus bepegang pada filosofi pengajaran yakni semangat sebagai guru secara terus-menerus harus mengaitkan tiga hal yakni dirinya sendiri, anak didik, dan bidang pengetahuan/keterampilan yang diampunya. Berbagai kemampuan yang dibutuhkan dimiliki dan dikembangkan seorang guru seyogianya menjadi cuilan tak terpisahkan dari sosok utuh kompetensi profesional seorang pendidik.

Perwujudan Falsafah Pendidikan


Peter C.Hodgson, spesialis pendidikan melihat sosok Allah sebagai Pendidik utama dalam transformasi hidup sejarah insan dan memperlihatkan sejarah Pendidikan Allah. Peter C.Hodgson menjungkirbalikkan berhala-berhala pendidikan modern yang banyak merusak insan antara lain memaksa anak untuk berprestasi sedemikian hebat dengan sistem pemaksaan jadwal yang sangat ketat. Peter memperlihatkan inti falsafah Pendidikan yang di dalamnya ada roh kasih, kebenaran, dan keadilan.

Menurut Hodgson pendidikan harus menyingkapkan kebenaran dan menyelematkan umat insan dari kesesatan (the darkness of error) dan berhala (idolatry). Karena itu dalam konteks pendidikan mesti disadari bahwa nalar akal di satu sisi ialah tanda kemuliaan Ilahi, tetapi sekaligus menjadi potensial menjadi sumber penderitaan insan yang tak terperikan.

Kita perlu menebus akal namun tidak menggusurnya. Kita perlu memerangi kejahatan yang disebabkan oleh nalar budi. Pendidkan bertujuan membeirkan jawaban terhadap panggilan akan kebenaran. Inilah rangkuman seluruh roh pendidikan. Lepas dari sini maka pendidikan akan tidak berdaya guna.

Semuanya bisa berjalan dengan baik lantaran ada kerja sama. Kerja sama, iman, kasih, dan solidaritas menjadi inti falsafah pendidikan. Karena itu dalam konteks menerapkan falsafah pendidikan perlu diperhatikan tiga C yakni

Competensi = sanggup mendapatkan amanah dan berdaya guna.
Compassion = berempati kepada orang lain.
Conscience = mempunyai kesadaran moral (beriman).

Dengan tiga C yang ditanamkan dalam pendidikan hasil yang dibutuhkan ialah insan terdidik yang mempunyai kharakter. Kita mengharapkan setiap anak didik yang dididik tumbuh menjadi insan berkarakter (memiliki kepribadian yang tangguh). Menurut Ernest Hull, seorang Jesuit pendidik dari kala lalu, pembentukan karakter dimulai dengan “tujuan yang hendak dicapai.” Kita perlu berfantasi, membayangkan karakter yang hendak dibangun pada siswa. Agar berkarakter maka setiap anak didik perlu didorong untuk disiplin, dikondisikan untuk tidak mencontek, bermental juara dan bahkan jiwa seni mereka pun perlu dikembangkan.

Pendidikan karakter ialah cuilan integral upaya mendampingi penerima didik untuk mengembangkan potensi manusiawi mereka. Maka tanggungjawab sekolah ialah membantu penerima didik untuk mengubah potensi manusiawi menjadi tindakan konkret. Pendidikan karakter ini juga untuk mengatakan visi etis kepada penerima didik.

Visi etis dibutuhkan menempatkan diri mereka pada horizon yang lebih luas. Pendidikan yang mengabaikan pembentukan visi etis dikawatirkan hanya akan menjadi proses pemindahan pengetahuan yang tidak berakar berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan karakter dengan demikian dibutuhkan sanggup membantu penerima didik untuk menjadi pribadi yang semakin manusiawi dan beriman.

Pintar saja tidak cukup tetapi perlu mendidik belum dewasa di sekolah Kristen semoga bisa berempati, beriman dan lebih manusiasi. Manusia berkarakter (manusia beradab) merupakan salah satu tujuan filsafat pendidikan.

Penutup


Kita mau maju. Air mata murid dan guru telah banyak menggenangi pendidikan Indonesia. Kecurangan ujian nasional, kekerasan antarsiswa, dan pelecehan terhadap etika profesi guru menjadi potret-potret buram pendidikan yang membuat kita tak kuasa menitikkan air mata duka. Kita mendengar tangisan murid di awal tahun pemikiran baru.

Komunitas guru berbondong-bondong ke istana negara membawa air mata pendidikan di tangan mereka. Pendidikan yang berhasil ialah pendidikan yang berhasil membuat manusia-manusia beradab. Maju terus untuk meraih gemilang di masa mendatang. Terimakasih. [P. Moses Elias Situmorang OFMCap]

Dirgahayu Hari Pendidikan Nasional


Mengerjakan pembagian pecahan umumnya kita harus kembalikan ke perkalian pecahan, lihat pada video ini dikerjakan dengan sangat kreatif;
ari Pendidikan Nasional bahwasanya ialah hari yang harus dibentuk Presiden menjadi hari lib Pendidikan dan Filosofi Sang Guru


Sumber http://www.defantri.com


EmoticonEmoticon