Konsep Kinerja Koperasi Dan Memilih Metode Pengukuran Kinerja Koperasi Yang Tepat
Dalam sebuah sistem pengendalian administrasi yang baik sanggup membantu dalam proses pembuatan keputusan dam memotivasi setiap individu dalam sebuah organisasi supaya melaksanakan keseluruhan konsep yang telah ditentukan. Sistem pengendalian administrasi yakni suatu proses yang menjamin bahwa sumber-sumber diperoleh dan digunakan dengan efektif dan efisien dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, dengan kata lain pengendalian administrasi sanggup diartikan sebagai proses untuk menjamin bahwa sumber manusia, fisik dan teknologi dialokasikan supaya mencapai tujuan organisasi secara menyeluruh.
Pengendalian administrasi bekerjasama dengan arah kegiatan administrasi sesuai dengan garis besar pedoman yang sudah ditentukan dalam proses perencanaan strategi. Sistem pengendalian administrasi meramalkan besarnya penjualan dan biaya untuk tiap level aktifitas, anggaran, penilaian kinerja dan motivasi karyawan.
Dalam kurun globalisasi ketika ini perkembangan industri dan perekonomian harus diimbangi oleh kinerja karyawan yang baik sehingga sanggup tercipta dan tercapainya tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Salah satu duduk kasus penting dalam pengelolaan sumber daya insan (pegawai) dalam organisasi yakni mengukur kinerja pegawai. Pengukuran kinerja dikatakan penting mengingat melalui pengukuran kinerja sanggup diketahui seberapa sempurna pegawai telah menjalankan fungsinya. Ketepatan pegawai dalam menjalankan fungsinya akan sangat besar lengan berkuasa terhadap pencapaian kinerja organisasi secara keseluruhan. Selain itu, hasil pengukuran kinerja pegawai akan memperlihatkan informasi penting dalam proses pengembangan pegawai.
Menurut Junaedi ( 2002 : 380-381) “Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun proses”. Artinya, setiap kegiatan perusahaan harus sanggup diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah perusahaan di masa yang akan tiba yang dinyatakan dalam misi dan visi perusahaan.
Namun, sering terjadi pengukuran dilakukan secara tidak tepat. Ketidaktepatan ini sanggup disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang menimbulkan ketidaktepatan pengukuran kinerja diantaranya adalah ketidakjelasan makna kinerja yang diimplementasikan, ketidapahaman pegawai mengenai kinerja yang diharapkan, ketidakakuratan instrumen pengukuran kinerja, dan ketidakpedulian pimpinan organisasi dalam pengelolaan kinerja.
A. Latar Belakang
Memasuki millennium ketiga, pada ketika persaingan dunia perjuangan semakin mengglobal dan sarat dengan persaingan yang maha hebat, maka mau tidak mau, setiap para pelaku ekonomi tak terkecuali koperasi, bila ingin terus bertumbuh, harus mempunyai daya saing yang berkelanjutan (sustainable competitivie advantage). Pada kasus koperasi di Indonesia, terdapat banyak pihak yang memprihatinkan kemampuan tubuh perjuangan ini dalam memenuhi tuntutan arus globalisasi tersebut. Apabila koperasi tidak segera dan terus-menerus melaksanakan reposisi dirinya sebagai salah satu pelaku ekonomi yang menerima santunan konstitusi, maka tidak tidak mungkin koperasi akan terus tertinggal dan lambat laun akan terabaikan.
Kekhawatiran tersebut tentunya didasari oleh suatu analisis kondisi kasatmata koperasi yang ada di lapangan dan nilai-nilai dasar koperasi yang menempel pada diri koperasi itu sendiri. Nilai-nilai dasar mirip kekeluargaan, kesetiakawanan (solidaritas) keadilan, gotong-royong, demokrasi, dan kebersamaan dipandang kurang sanggup lagi dijadikan sebagai factor kekuatan (strengths) bagi koperasi dalam memasuki pasar global. Nilai-nilai dasar koperasi tersebut dianggap kurang sanggup merespons dan mengadopsi setiapt perubahan lingkungan strategis yang terjadi dengan cepat. Di sisi undangan pasar tanpa mengorbankan efisiensi dan efektivitas usaha, serta melaksanakan agresi perbaikan sesuai dengan perubahan lingkungannya.
Dalam hal ini perlu adanya pengevaluasian kinerja koperasi yang didasari dengan asas koperasi pada unmumnya. Pada dasarnya untuk mengetahui perkembangan kinerja koperasi yakni dengan mengetahui variable-variabel koperasi yang akan kita bahas dalam cuilan selanjutnya.
B. Definisi Kinerja Koperasi
Koperasi yakni tubuh perjuangan yang beranggotakan orang-perorangan atau tubuh aturan koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Tujuan Koperasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Koperasi Nomor 25 tahun 1992 yakni untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Koperasi juga dibutuhkan sanggup berperan serta dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan insan dan masyarakat, memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional, serta berusaha untuk mewujudkan dan menyebarkan perekonomian nasional yang merupakan perjuangan bersama atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Kinerja diartikan sebagai hasil dari perjuangan seseorang yang dicapai dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Berdasarkan S.K Menteri Keuangan RI No.740/KMK.00/1989, kinerja yakni prestasi yang dicapai dalam suatu periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan.
Kinerja menjadi ukuran prestasi yang diadaptasi dengan tingkat kemampuan yang sanggup dilakukan. Oleh lantaran itu, istilah kinerja perusahaan kerap kali disamakan dengan kondisi keuangan perusahaan yang dengan pengukuranpengukuran keuangan bisa memperlihatkan hasil yang memuaskan setidak-tidaknya bagi pemilik saham perusahaan itu maupun bagi karyawannya. (Munawir, 2002:73).
C. Pengukuran dan Penilaian Kinerja
Pengukuran kinerja yakni penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi, cuilan organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Mulyadi, 2001:416). Penilaian kinerja berdasarkan Yuwono (2002), yakni tindakan penilaian yang dilakukan terhadap banyak sekali acara dalam rantai nilai yang ada dalam organisasi. Sedangkan Zamkhani (1990) mendefinisikan penilaian kinerja sebagai berikut, penilaian kinerja merupakan salah satu komponen dasar dari administrasi kinerja. Ukuran kinerja didesain untuk menilai seberapa baik acara dan sanggup mengidentifikasi apakah telah dilakukan perbaikan yang berkesinambungan (Hansen & Mowen, 1995: 375).
D. Tujuan dari penilaian kinerja
Tujuan pokok dari penilaian kinerja yakni untuk memotivasi karyawan dalam perjuangan untuk mencapai target organisasi dan mematuhi standar sikap yang telah ditetapkan supaya membuahkan tindakan dan hasil mirip yang diinginkan (Mulyadi, 2001:416). Standar sikap tersebut bisa berupa kebijakan administrasi ataupun planning formal yang nantinya dituangkan dalam anggaran yang ditetapkan oleh perusahaan. Penilaian kinerja tersebut dilakukan untuk menilai sikap yang tidak semestinya dilakukan dan untuk merangsang timbulnya sikap yang semestinya dilakukan. Rangsangan timbulnya sikap yang semestinya sanggup dilakukan dengan memberikanreward atas hasil kinerja yang baik. Penilaian kinerja sanggup dilaksanakan oleh pihak administrasi perusahaan sendiri (intern) atau pihak luar (ekstern). Sistem pengukuran kinerja mempunyai peranan penting dalam fungsi-fungsi administrasi organisasi mirip pengendalian mamajemen, administrasi aktivitas, dan sistem motivasi (Atkinson Antony A, 1995:235). Sistem pengukuran kinerja berperan pula dalam usaha-usaha pencapaian keselarasan tujuan (goal congruence) dalam konteks wewenang dan tanggung jawab. Pengembangan lebih lanjut dalam administrasi berbasis aktivitas, pengukuran kinerja dirancang untuk mengurangi kegiatan yang tidak mempunyai nilai tambah dan mengoptimalkan kegiatan yang mempunyai nilai tambah. Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang penting untuk menilai keberhasilan perusahaan, penilaian kinerja juga sebagai dasar untuk memilih sistem imbalan dalam perusahaan, contohnya penentuan tingkat honor karyawan maupunreward yang layak. Seorang manajer juga bisa memakai penilaian kinerja perusahaan sebagai penilaian kerja dari periode yang kemudian (Hansen & Mowen, 1995:386-387).
E. Proses Pengukuran kinerja
Proses pengukuran kinerja dilaksanakan dalam dua tahap utama, yaitu tahap persiapan dan tahap penilaian (Mulyadi, 2001: 418),
1. Tahap persiapan terdiri dari tiga tahap rinci, yaitu :
a. Tanggung jawab yang jelas
Penentuan kawasan pertanggungjawaban dan manajer yang bertanggung jawab,Perbaikan kinerja harus diawali dengan penetapan garis batas tanggung jawab yang terang bagi manajer yang akan dinilai kinerjanya. Batas tanggung jawab yang terang ini digunakan sebagai dasar untuk memutuskan target atau standar yang harus dicapai oleh manajer yang akan diukur kinerjanya. Tiga hal yang berkaitan dengan kawasan pertanggungjawaban dan manajer yang bertanggung jawab, yaitu kriteria penetapan tanggung jawab, tipe sentra pertanggungjawaban, karakteristik sentra pertanggungjawaban.
b. Penetapan kriteria yang digunakan untuk mengukur kinerja
Penetapan kriteria kinerja manajer perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1) Dapat diukur atau tidaknya kriteria,
2) Rentang waktu sumber daya dan biaya,
3) Bobot yang diperhitungkan atas kriteria,
4) Tipe kriteria yang digunakan dan aspek yang ditimbulkan.
c. Melakukan kinerja cuilan atas acara sesungguhnya
Pengukuran kinerja sesungguhnya Langkah berikutnya dalam pengukuran kinerja yakni melaksanakan kinerja cuilan atas acara sesungguhnya, yang menjadi kawasan wewenang manajer tersebut. Pengukuran kinerja tampak obyektif dan merupakan kegiatan yang rutin, namun seringkali memicu timbulnya sikap yang tidak semestinya ataupun menyimpang yaitu perataan (smoothing), pencondongan (biasing), permainan (gaming), penonjolan dan pelanggaran aturan (focusing and illegal act).
2. Tahap Penilaian terdiri dari tiga tahap rinci (Mulyadi,2001:424)
a. Pembandingan kinerja sesungguhnya dengan sasaran
Pembandingan kinerja sesungguhnya dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya, penilaian kinerja tersebut dijelaskan, hasil pengukuran kinerja secara periodik kemudian dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.
b. Identifikasi penyebab timbulnya penyimpangan kinerja
Penentuan penyebab timbulnya penyimpangan kinerja sesungguhnya dari yang ditetapkan dalam standar, Penyimpangan kinerja sesungguhnya dari target yang telah ditetapkan perlu dianalisis untuk memilih penyebab terjadinya penyimpangan, sehingga sanggup direncanakan tindakan untuk mengatasinya.
c. Proses Controling kinerja
Penegakan sikap yang diinginkan dan tindakan yang digunakan untuk mencegah sikap yang tidak dinginkan Tahap terakhir dalam pengukuran kinerja yakni tindakan koreksi untuk menegakkan sikap yang dinginkan dan mencegah terulangnya tindakan/perilaku yang tidak diinginkan. Penilaian kinerja ditujukan untuk menegakkan sikap tertentu dalam pencapaian target yang telah ditetapkan.
Sayangnya, harapan yang mulia tersebut belum termanifestasi dalam tataran praktis. Beberapa penyimpangan, disadari atau tidak disadari, justru sering dilakukan oleh para pengurus dan pengelola yang semestinya membangun dan menyebarkan koperasi. Berbagai kebijakan dan mekanisme formal didesaian dengan sangat birokratik sehingga justru mengurangi kinerja. Sebagai akibatnya, masyarakat yang menjadi anggota koperasi menjadi apatis dan menilai keberadaan koperasi tidak menolong kesulitan mereka.
Pengurus diberi amanah (trusteeship) oleh para anggota untuk mengelola koperasi sehingga tercapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Mereka bertanggung jawab melaksanakan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Dengan begitu, pengurus koperasi dituntut mempunyai kemampuan dan keterampilan manajerial yang memadai. Selain itu, mereka juga harus mempunyai sense of public service, yaitu kesadaran untuk memperlihatkan layanan masyarakat yang dilandasi oleh rasa dedikasi yang mendalam. Sebagai salah satu perangkat koperasi, pengurus mirip nahkoda kapal yang harus piawai dalam menghadapai tornado sehingga membuat para penumpang merasa kondusif hingga di tempat tujuan. Namun demikian, harapan tersebut nampaknya ketika ini masih belum terwujud. Hal ini paling tidak bisa dilihat dari menurunnya rata-rata tingkat kinerja koperasi yang ada di Indonesia. Volume perjuangan koperasi pada tahun 1998 dengan jumlah koperasi sebanyak 52.458 unit mencapai Rp.19.543 milyar, selanjutnya pada tahun 2000 dengan jumlah koperasi lebih dari 100.000 unit, volume perjuangan koperasi justru menurun menjadi Rp.14.643 milyar. Memang penurunan volume perjuangan ini bukan semata-mata disebabkan oleh pengurus koperasi dan tidak semua pengurus koperasi mempunyai kinerja yang rendah. Namun, setidaknya hal ini menjadi pemicu untuk mengkaji ulang dan media pembelajaran dalam rangka perbaikan kinerja masa datang.
F. Pengevaluasian kinerja
Evaluasi kinerja sanggup digunakan untuk menekan sikap yang tidak semestinya dan untuk merangsang serta menegakkan sikap yang semestinya diinginkan, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta pemberian penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik.
Dengan adanya penilaian kinerja, manajer puncak sanggup memperoleh dasar yang obyektif untuk memperlihatkan kompensasi sesuai dengan prestasi yang disumbangkan masing-masing sentra pertanggungjawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini dibutuhkan sanggup membentuk motivasi dan rangsangan pada masing-masing cuilan untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Menurut Mulyadi penilaian/evalusi kinerja sanggup dimanfaatkan oleh administrasi untuk :
1) Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum.
2) Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawannya mirip promosi, pemberhentian, mutasi.
3) Mengidentifikasi kebutuhan pembinaan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan penilaian acara pembinaan karyawan.
4) Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengeai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.
5) Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.
Penilaian melalui pendekatan kualitatif dilakukan dengan menilai aspek permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, likuiditas, sedangkan kuantitatif dilakukan dengan melakukan analisa dan pengujian atas komponen yang tidak sanggup dikuantifikasikan tetapi mempunyai dampak yang material terhadap tingkat kesehatan KSP/USP.
Penilaian dilakukan dengan memakai sistem nilai kredit atau reward system yang dinyatakan dalam angka dengan nilai kredit 0 hingga dengan 100 pada setiap aspek yang dinilai
Bobot penilaian terhadap aspek dan komponen tersebut ditetapkan sebagai berikut :
No. | Aspek yang Dinilai | K o m p o n e n | Bobot % | |
1 | Permodalan | 20 | ||
A) Rasio Modal Sendiri terhadap Total Asset | 10 | |||
B) Rasio Modal Sendiri terhadap Pinjaman diberikan yang beresiko | 10 | |||
2 | Kualitas Aktiva | 30 | ||
Produktif | A) Rasio Volume Pinjaman pada Anggaran terhadap Total Volume Pinjaman Diberikan | 10 | ||
B) Rasio Resiko Pinjaman Bermasalah terhadap Pinjaman Diberikan | 10 | |||
C) Rasio Cadangan Resiko terhadap Resiko Pinjaman Bermasalah | 10 | |||
3 | Manajemen | 25 | ||
A) Permodalan | 5 | |||
B) Aktiva | 5 | |||
C) Pengelolaan | 5 | |||
D) Rentabilitas | 5 | |||
E) Likuiditas | 5 | |||
4 | Rentabilitas | 15 | ||
A) Rasio SHU sebelum Pajak terhadap Pendapatan Operasional | 5 | |||
B) Rasio SHU sebelum Pajak terhadap Total Asset | 5 | |||
C) Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional | 5 | |||
5 | Likuiditas | Rasio Pinjaman yang Diberikan terhadap Dana yang Diterima | 10 |
1. Evaluasi Kinerja Melalui Pembobotan Aspek Dan Komponen Penilaian.
a. Permodalan
Untuk memperoleh rasio antara modal sendiri terhadap total asset ditetapkan sbb :
1) untuk rasio permodalan lebih kecil atau sama dengan 0 diberikan nilai kredit 0.
2) untuk setiap kenaikan rasio modal 1% mulai dari 0% nilai kredit ditambah 5 dengan maksimum nilai 100.
3) nilai kredit dikalikan bobot sebesar 10% diperoleh skor permodalan.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio modal (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
0 | 0 | 10 | 0 |
5 | 25 | 10 | 2.5 |
10 | 50 | 10 | 5.0 |
15 | 75 | 10 | 7.5 |
20 | 100 | 10 | 10.0 |
Untuk memperoleh rasio modal sendiri terhadap pinjaman diberikan yang berisiko, ditetapkan sebagai berikut :
1) untuk rasio permodalan lebih kecil atau sama dengan 0 diberikan nilai kredit 0.
2) untuk setiap kenaikan rasio 1% mulai dari 0% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
3) nilai kredit dikalikan bobot sebesar 10% diperoleh skor permodalan.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio modal (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
0 | 0 | 10 | 0 |
10 | 10 | 10 | 1.0 |
20 | 20 | 10 | 2.0 |
30 | 30 | 10 | 3.0 |
40 | 40 | 10 | 4.0 |
50 | 50 | 10 | 5.0 |
60 | 60 | 10 | 6.0 |
70 | 70 | 10 | 7.0 |
80 | 80 | 10 | 8.0 |
90 | 90 | 10 | 9.0 |
100 | 100 | 10 | 10.0 |
2. Kualitas Aktiva Tetap
Penilaian terhadap kualitas aktiva produktif didasarkan pada 3 (tiga) rasio, yaitu rasio antara volume pinjaman kepada anggota terhadap total volume pinjaman diberikan rasio antara rasio pinjaman bermasalah dengan pinjaman yang diberikan dan rasio antara cadangan risiko dengan piniaman bermasalah.
a. Pinjaman Bermasalah, terdiri dari :
Pinjaman Kurang Lancar
Pinjaman digolongkan kurang lancar apabila memenuhi kriteria di bawah ini :
1) Pengembangan pinjaman dilakukan dengan angsuran yaitu :
a) Terdapat tunggakan angsuran pokok sebagai berikut :
§ Tunggakan melampaui 1 (satu) bulan dan belum melampaui 2 (dua) bulan bagi pinjaman dengan masa angsuran kurang dari 1 (satu) bulan; atau
§ Melampaui 3 (tiga) bulan dan belum melampaui 6 (enam) bulan bagi pinjaman yang masa angsurannya ditetapkan bulanan, 2 (dua) bulan atau 3 bulan; atau
§ Melampaui 6 (enam) bulan tetapi belum melampaui 12 (dua belas) bulan bagi pinjaman yang masa angsurannya ditetapkan 6 (enam) bulan atau Iebih; atau
b) Terdapat tunggakan bunga sebagai berikut :
§ Tunggakan melampaui 1 (satu) bulan tetapi belum melampaui 3 (tiga) bulan bagi pinjaman dengan masa angsuran kurang dari 1 (satu) bulan; atau
§ Melampaui 3 (tiga) bulan, tetapi belum melampaui 6 (enam) bulan bagi pinjaman yang masa angsurannya Iebih dari 1 (satu) bulan.
2) Pengembalian pinjaman tanpa angsuran yaitu :
§ Pinjaman belum jatuh tempo, terdapat tunggakan bunga yang melampaui 3 (tiga) bulan tetapi belum melampaui 6 (enam) bulan.
§ Pinjaman telah jatuh tempo dan belum dibayar tetapi belum melampaui 3 (tiga) bulan.
b. Pinjaman Yang Diragukan
Pinjaman digolongkan diragukan apabila pinjaman yang bersangkutan tidak memenuhi kriteria kurang lancar tetapi berdasarkan penilaian sanggup disimpulkan bahwa :
1) Pinjaman masih sanggup diselamatkan dan agunannya bernilai sekurang-kurangnya 75% dari hutang peminjam termasuk bunganya; atau
2) Pinjaman tidak sanggup diselamatkan tetapi agunannya masih bernilai sekurang-kurangnya 100% dari hutang peminjam.
c. Pinjaman Yang Macet
Pinjaman digolongkan macet apabila :
1) Tidak memenuhi kriteria kurang lancar dan diragukan atau
2) Memenuhi kriteria diragukan tetapi dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) bulan semenjak digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau perjuangan evakuasi pinjaman;
3) Pinjaman tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada Pengadilan Negeri atau telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.
Untuk mengukur rasio antara volume pinjaman kepada anggota terhadap total volume pinjaman diberikan ditetapkan sebagai berikut :
1) Untuk rasio sama dengan atau lebih besar 60 % diberikan nilai kredit 100;
2) Untuk rasio Iebih kecil 60 % diberikan nilai kredit 0;
3) Nilai kredit dikalikan bobot 10 % diperoleh skor.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
> 60 | 100 | 10 | 10 |
<> | 0 | 10 | 0 |
Untuk memperoleh rasio antara risiko pinjaman bermasalah terhadap pinjaman yang diberikan, ditetapkan sebagai berikut :
1) menghitung asumsi besarnya risiko pinjaman bermasalah yaitu sebesar jumlah dari :
- 50% dari pinjaman diberikan yang kurang lancar.
- 75% dari pinjaman diberikan yang diragukan.
- 100% dari pinjaman diberikan yang macet.
2) hasil penjumlahan tersebut dibagi dengan pinjaman yang diberikan.
3) Perhitungan penilaian
- Untuk rasio 50% atau Iebih diberi nilai kredit 0.
- Untuk penurunan rasio 1% nilai kredit ditambah 2 dengan maksimum nilai 100.
- Nilai dikalikan dengan bobot 10% diperoleh skor.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
> 50 | 0 | 10 | 0 |
45 | 10 | 10 | 1.0 |
40 | 20 | 10 | 2.0 |
30 | 40 | 10 | 4.0 |
20 | 60 | 10 | 6.0 |
10 | 80 | 10 | 8.0 |
0 | 100 | 10 | 10.0 |
Rasio cadangan risiko terhadap risiko pinjaman bermasalah dihitung dengan cara penilaian, sebagai berikut :
a) untuk rasio 0% tidak mempunyai cadangan pembatalan diberi nilai 0.
b) untuk setiap kenaikan 1% mulai dari 0%, maka nilai kredit tersebut ditambah hingga dengan maksimum 100.
c) nilai dikalikan bobot sebesar 10% diperoleh skor .
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
0 | 0 | 10 | 0 |
10 | 10 | 10 | 1.0 |
20 | 20 | 10 | 2.0 |
30 | 30 | 10 | 3.0 |
40 | 40 | 10 | 4.0 |
50 | 50 | 10 | 5.0 |
60 | 60 | 10 | 6.0 |
Rasio (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
70 | 70 | 10 | 7.0 |
80 | 80 | 10 | 8.0 |
90 | 90 | 10 | 9.0 |
100 | 100 | 10 | 10.0 |
3. Penilaian Manajemen
Penilaian administrasi meliputi beberapa komponen yaituPermodalan, Kualitas Aktiva Produktif, Pengelolaan, Rentabilitas dan Likuiditas ;
Perhitungan nilai kredit didasarkan kepada hasil penilaian atas balasan pertanyaan administrasi sebanyak 25 (dua puluh lima).
Selanjutnya dilakukan kuantifikasi dengan cara memberi nilai kredit sebesar 4 (empat) tempat setiap aspek yang dinilai positif nilai kredit dikalikan bobot sebesar 25% diperoleh skor manajemen.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Positif | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
1 | 4 | 25 | 1,0 |
5 | 20 | 25 | 5,0 |
10 | 40 | 25 | 10,0 |
15 | 60 | 25 | 15,0 |
20 | 80 | 25 | 20,0 |
25 | 100 | 25 | 25,0 |
4. Penilaian Retabilitas
Penilaian kuantitatif terhadap rentabilitas didasarkan pada 3 (tiga) rasio SHU sebelum pajak terhadap pendapatan operasional. SHU sebelum dikenakan pajak terhadap total asset tersebut dan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional.
Cara perhitungan rasio SHU sebelum dikenakan pajak terhadap pendapatan operasional ditetapkan sebagai berikut :
a. Untuk rasio 0% atau negatif diberi nilai kredit 0.
b. Untuk setiap kenaikan rasio 1% mulai dari 0% nilai kredit ditambah 20 dengan maksimum nilai 100.
c. Nilai kredit dikalikan dengan bobot sebesar 5% diperoleh skor.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
0 | 0 | 5 | 0 |
1 | 20 | 5 | 1.0 |
2 | 40 | 5 | 2.0 |
3 | 60 | 5 | 3.0 |
4 | 80 | 5 | 4.0 |
5 | 100 | 5 | 5.0 |
Perhitungan nilai rasio SHU sebelum dikenakan pajak terhadap total asset ditetapkan sebagai berikut :
a. Untuk rasio 0 atau negatif diberi nilai kredit 0.
b. Untuk setiap kenaikan rasio SHU 1% mulai dari 0% nilai kredit ditambah 10 hingga dengan maksimum 100.
c. Nilai kredit dikalikan dengan bobot sebesar 5% diperoleh skor.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
0 | 0 | 5 | 0 |
1 | 10 | 5 | 0.5 |
2 | 20 | 5 | 1.0 |
3 | 30 | 5 | 1.5 |
4 | 40 | 5 | 2.0 |
5 | 50 | 5 | 2.5 |
6 | 60 | 5 | 3.0 |
7 | 70 | 5 | 3.5 |
8 | 80 | 5 | 4.0 |
9 | 90 | 5 | 4.5 |
10 | 90 | 5 | 5.0 |
Perhitungan nilai kredit dari rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional dalam periode satu tahun buku, ditetapkan sebagai berikut :
a. Untuk rasio 100 % atau lebih diberi nilai kredit 0.
b. Untuk setiap penurunan rasio sebesar 1% mulai dari 100%
nilai kredit ditambah 10 hingga dengan maksimum 100.
nilai kredit ditambah 10 hingga dengan maksimum 100.
c. Nilai kredit dikalikan dengan bobot sebesar 5% diperoleh skor.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
100 | 0 | 5 | 0 |
99 | 10 | 5 | 0.5 |
98 | 20 | 5 | 1.0 |
97 | 30 | 5 | 1.5 |
96 | 40 | 5 | 2.0 |
95 | 50 | 5 | 2.5 |
94 | 60 | 5 | 3.0 |
93 | 70 | 5 | 3.5 |
92 | 80 | 5 | 4.0 |
91 | 90 | 5 | 4.5 |
90 | 100 | 5 | 5.0 |
5. Penilaian Likuiditas
Penilaian kuantitatif terhadap likuiditas didasarkan rasio antara pinjaman yang diberikan terhadap dana yang diterima.
Dana yang diterima terdiri dari :
a. Modal sendiri;
b. Modal pinjaman;
c. Modal penyertaan;
d. Simpanan anggota (Tabungan Koperasi dan Simpanan Berjangka)
Cara perhitungan nilai kredit dari likuiditas dilakukan sebagai berikut :
a. Untuk rasio 90 % atau lebih, diberi nilai kredit 0;
b. Untuk rasio dibawah 90 % diberi nilai kredit 100;
c. Nilai kredit dikalikan bobot sebesar 10 % diperoleh skor likuiditas.
Contoh perhitungan sebagai berikut :
Rasio modal (dinilai dalam %) | Nilai Kredit | Bobot (dinilai dalam %) | Skor |
> 90 | 0 | 10 | 0 |
<> | 100 | 10 | 10.0 |
G. Penetapan Hasil Evaluasi Kinerja Penilaian Kesehatan Koperasi
Berdasarkan hasil perhitungan penilaian terhadap 5 komponen sebagaimana dimaksud pada angka 1 s/d 5, diperoleh skor secara keseluruhan. Skor dimaksud dipergunakan untuk memutuskan predikat tingkat kesehatan KSP/USP yang dibagi dalam 4 (empat) golongan yaitu sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat.
Penetapan predikat tingkat kesehatan KSP/USP tersebut yakni sebagai berikut :
SKOR | PREDIKAT |
81 - 100 | SEHAT |
66 - <> | CUKUP SEHAT |
51 - <> | KURANG SEHAT |
0 - <> | TIDAK SEHA |
H. Faktor Lain Yang Mempengaruhi Penilaian Koperasi
Meskipun kuantifikasi dari komponen-komponen penilaian tingkat kesehatan menghasilkan skor tertentu, masih perlu dianalisa dan diuji lebih lanjut dengan komponen lain yang tidak termasuk dalam komponen penilaian dan atau tidak sanggup dikuantifikasikan. Apabila dalam analisa dan pengujian lebih lanjut terdapat inkonsistensi atau ada dampak secara materiil terhadap tingkat kesehatan KSP dan USP maka hasil dari penilaian yang telah dikuantifikasikan tersebut perlu dilakukan penyesuaian sehingga sanggup mencerminkan tingkat kesehatan yang sebenarnya.
Penyesuaian dimaksud yakni sebagai berikut :
1. Koreksi Penilaian
Faktor-faktor yang sanggup menurunkan satu tingkat kesehatan KSP dan USP antara lain :
a. pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan intern maupun ekstern.
b. salah pembukuan tertunda pembukuan.
c. pemberian pinjaman yang tidak sesuai dengan prosedur.
d. tidak memberikan laporan tahunan atau laporan bersiklus 3 kali berturut-turut.
e. mempunyai volume pinjaman diatas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) tetapi tidak diaudit oleh akuntan publik.
f. manajer USP belum diberikan wewenang penuh untuk mengelola usaha.
2. Kesalahan fatal
Faktor-faktor yang sanggup menurunkan tingkat kesehatan KSP dan USP pribadi menjadi tidak sehat antara lain :
a. adanya persediaan intern yang diperkirakan akan menimbulkan kesulitan dalam koperasi yang bersangkutan.
b. adanya campur tangan pihak diluar koperasi atau kerjasama yang tidak masuk akal sehingga prinsip Koperasi tidak dilaksanakan dengan baik.
c. rekayasa pembukuan atau window dressing dalam pembukuan sehingga menimbulkan penilaian yang keliru terhadap koperasi.
d. melakukan kegiatan perjuangan koperasi tanpa membukukan dalam koperasinya.
I. Penyebab Penurunan Kinerja Koperasi
Jika dicermati, ada beberapa kemungkinan penyebab penurunan kinerja pengurus koperasi.. Pertama, masih kuatnya budaya nepostisme yang secara tidak sadar diyakini sebagai wujud azas kekeluargaan. Nepotisme ini menimbulkan pengangkatan, pemilihan dan pemberian amanah kepada pengurus dan atau pegawai kurang mempertimbangkan kompetensi sehingga kapabilitas mereka rendah. Kedua, belum adanya performance measure (ukuran prestasi) para pengurus koperasi secara jelas. Jika tidak dirumuskan ukuran dan standar prestasi yang jelas, bagaimana bisa diketahui bahwa si pengurus berhasil dan gagal. Ketiga, masih rendahnya profesionalisme dan spesialisasi tugas. Dengan alasan efisiensi tenaga kerja, sering seorang pengurus koperasi harus merangkap pekerjaan sehingga justru semua pekerjaan tidak ada yang diselesaikan secara optimal. Keempat, lambannya proses adopsi dan pembiasaan teknologi maju. Ketertinggalan sebagian koperasi dalam menerapkan teknologi maju menimbulkan kegiatan operasi tidak efisien, tidak produktif dan sistem informasi kurang relevan.
Untuk memperbaiki kinerja pengurus koperasi dibutuhkan beberapa upaya kongkrit.
1. Penegakan disiplin harus dilaksanakan secara maksimal. Hal ini salah satunya ditandai dengan kejelasan akan hukuman dan punishment atas kesalahan yang diperbuat oleh oknum pengurus koperasi. Hendaknya disadari bahwa pengurus koperasi, baik secara bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, berkewajiban menanggung kerugian yang diderita koperasi, lantaran tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kelalaiannya, dan apabila dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi Penuntut Umum untuk melaksanakan penuntutan. Semua acara pengurus yang telah diberi amanah mengelola koperasi (agent) harus dipertanggungjawabkan di depan para anggota sebagai pihak pemberi amanah (principal). Rapat Anggota Tahunan (RAT) harus dijadikan wahana penilaian hasil kinerja tahunan para pengurus koperasi sebagai wujud akuntabilitas. Namun, gagasan tersebut mungkin terlalu ideal jika relasi pengurus dengan anggota bukan merupakan relasi agent dengan principal. Meskipun Koperasi berazas kekeluargaan, pertanggungjawaban para pengurus tidak bisa ditempuh secara “kekeluargaan” dengan memperlihatkan toleransi yang tinggi atas penyimpangan yang dilakukan pengurus. Mekanisme reward and punishment terhadap pengurus harus diperbaiki dengan berlandaskan pada anggaran dasar dan kriteria kinerja yang jelas.
2. Birokrasi yang berbelit-belit seharusnya dipangkas. Prosedur dan tatacara perizinan, pelaporan maupun pertanggungjawaban, baik secara teknis maupun administratif yang terlalu panjang sering justru mematikan kreatifitas perjuangan sehingga menurunkan kinerja. Bila kreativitas perjuangan dihambat oleh kepentingan birokrasi, maka besar kemungkinan koperasi tersebut sulit untuk bisa berkembang. Eksistensi sebuah koperasi juga membutuhkan santunan dan partisipasi aktif seluruh anggota. Jangan hingga mereka hanya namanya saja yang tercantum sebagai anggota, tetapi tidak pernah berpartisipasi lantaran rumitnya mekanisme baku koperasi. Bureaucracy reengineering semestinya segera dilakukan dalam rangka memicu peningkatan kinerja para pengurus dan atau pegawai koperasi.
3. Menumbuhkan budaya berdasarkan Misi. Mengubah koperasi yang digerakkan oleh peraturan dan birokrasi menjadi koperasi yang digerakkan oleh misi. Cita-cita mulia dari pendirian sebuah koperasi yaitu membangun dan menyebarkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, harus diterjemahkan secara kongkrit dalam bentuk budaya organisasi. Budaya yang terbentuk sering menyimpang dari misi sebuah koperasi lantaran sebagian pengurus berusaha hanya meningkatkan kesejahteraan kelompoknya dan bukan kesejahteraan anggota lainnya apalagi masyarakat. Pola pikir (mindset) pengurus mirip ini berorientasi jangka pendek dan secara organisasi merugikan koperasi itu sendiri.
4. koperasi berorientasi pada anggota dan masyarakat. Pertanggungjawaban pengurus pada ketika RAT mestinya bukan sekedar untuk memenuhi kepentingan birokrasi tetapi penilaian terhadap seberapa berhasil para pengurus memenuhi kebutuhan dan harapan anggota atau masyarakat selain anggota koperasi. Pada umumnya pengurus koperasi salah dalam mengidentifikasikan variabel apa saja yang harus dipertanggungjawabkan pada ketika RAT. Orientasi pengurus yakni bagaimana supaya laporan pertanggungjawabannya sanggup diterima oleh sebagian besar anggota koperasi meskipun dalam jangka panjang kemungkinan bisa mengurangi daya saing ekternal. Dalam kondisi mirip ini, pengurus akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan pada masyarakat dan bisnis, mereka seringkali tidak care. Selayaknya, pengurus koperasi mengidentifikasikan siapa pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara mirip ini, tidak berarti pengurus tidak bertanggungjawab pada anggota, tetapi sebaliknya, mereka membuat sistem pertanggungjawaban ganda (dual accountability): kepada anggota dan kepada masyarakat atau pelanggan lain yang secara pribadi maupun tidak pribadi membutuhkan jasa koperasi.
5. Berorientasi pada mekanisme pasar. Koperasi harus menyebarkan prinsip-prinsip perusahaan dan pasar secara maksimal. Penerimaan pegawai harus mengikuti seleksi ketat sesuai kemampuannya masing-masing sehingga bisa direkrut karyawan yang benar-benar kompeten dan trampil secara professional. Mekanisme administratif (sistem mekanisme dan pemaksaan) yang umumnya masih kental diterapkan pada lingkungan koperasi harus segera diganti dengan mekanisme pasar (sistem insentif) yang cukup fleksibel mengikuti dinamika pasar.
6. Penerapan teknologi maju. Computerized system terbukti bisa meningkatkan kinerja operasional suatu perjuangan sehingga koperasi tidak bisa menghindar dari kondisi dinamis mirip ini. Pelatihan dan pemberdayaan pengurus serta pegawai harus dilakukan secara terus menerus supaya mereka tidak gagap teknologi. Kompetisi harus menjadi sarana untuk memicu penemuan para pengurus untuk eksis dan selalu berkembang.
J. Sisa Hasil Usaha (SHU)
1. Pengertian Sisa Hasil Usaha (SHU)
Ditinjau dari aspek ekonomi manajerial, Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yakni selisih dari seluruh pemasukan atau penerimaan total (total revenue [TU]) dengan biaya-biaya atau biaya total (total cost [TC]) dalam satu tahun buku.
Sedangkan dari aspek legalistik, pengertian SHU berdasarkan UU No. 25/1992, wacana Perkoperasian, Bab IX, pasal 45 yakni sebagai berikut :
1) SHU koperasi yakni pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
2) SHU sesudah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding jasa perjuangan yang dilakukan masing-masing anggota koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan koperasi, sesuai keputusan Rapat Anggota.
3) Besarnya pemupukan modal dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
Perlu diketahui bahwa penetapan besarnya pembagian kepada para anggota dan jenis serta jumlahnya untuk keperluan lain, ditetapkan oleh Rapat Anggota sesuai dengan AD/ART Koperasi. Dalam hal ini, jasa perjuangan meliputi transaksi perjuangan dan partisipasi modal.
Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka besarnya SHU yang diterima oleh setiap angota akan berbeda, tergantung besarnya partisipasi modal dan transaksi anggota terhadap pembentukan pendapatan koperasi. Dalam pengertian ini juga dijelaskan bahwa ada relasi linear antara transaksi perjuangan anggota dan koperasinya dalam perolehan SHU. Artinya, semakin besar transaksi (usaha dan modal) anggota dengan koperasinya, maka semakin besar SHU yang akan diterima. Hal ini berbeda dengan perusahaan swasta, dimana deviden yang diperoleh pemilik saham yakni proporsional, sesuai dengan besarnya modal yang dimiliki. Hal ini merupakan salah satu pembeda koperasi dengan tubuh perjuangan lainnya.
Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka besarnya SHU yang diterima oleh setiap angota akan berbeda, tergantung besarnya partisipasi modal dan transaksi anggota terhadap pembentukan pendapatan koperasi. Dalam pengertian ini juga dijelaskan bahwa ada relasi linear antara transaksi perjuangan anggota dan koperasinya dalam perolehan SHU. Artinya, semakin besar transaksi (usaha dan modal) anggota dengan koperasinya, maka semakin besar SHU yang akan diterima. Hal ini berbeda dengan perusahaan swasta, dimana deviden yang diperoleh pemilik saham yakni proporsional, sesuai dengan besarnya modal yang dimiliki. Hal ini merupakan salah satu pembeda koperasi dengan tubuh perjuangan lainnya.
2. Informasi Dasar Sisa Hasil Usaha (SHU)
Penghitungan SHU cuilan anggota sanggup dilakukan bila beberapa informasi dasar diketahui sebagai berikut :
1) SHU Total Koperasi pada satu tahun buku
2) Bagian (persentase) SHU anggota
3) Total simpanan seluruh anggota
4) Total seluruh transaksi perjuangan (volume perjuangan atau omzet) yang bersumber dari anggota
5) Jumlah simpanan per anggota
6) Omzet atau volume perjuangan per anggota
7) Bagian (persentase) SHU untuk simpanan anggota
8) Bagian (persentase) SHU untuk transaksi perjuangan anggota
3. Rumus Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU)
Acuan dasar untuk membagi SHU yakni prinsip-prinsip dasar koperasi yang menyebutkan bahwa pembagian SHU dilakukan secara adil sebanding denagn besarnya jasa perjuangan masing-masing anggota. Untuk koperasi Indonesia, dasar hukumnya yakni pasal 5 ayat 1 ; UU No. 25 Tahun 1992 wacana Perkoperasian yang dalam penjelasannya menyampaikan bahwa “pembagian SHU kepada anggota dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki seseorang dalam koperasi, tetapi juga berdasarkan perimbangan jasa perjuangan anggota terhadap koperasi. Ketentuan ini merupakan perwujudan kekeluargaan dan keadilan”.
Dengan demikian, SHU koperasi yang diterima oleh anggota bersumber dari 2 kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota sendiri, yaitu :
Dengan demikian, SHU koperasi yang diterima oleh anggota bersumber dari 2 kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota sendiri, yaitu :
a. SHU atas jasa modal
Pembagian ini juga sekaligus mencerminkan anggota sebagai pemilik ataupun investor, lantaran jasa atas modalnya (simpanan) tetap diterima dari koperasinya sepanjang koperasi tersebut menghasilkan SHU pada tahun buku yang bersangkutan.
b. SHU atas jasa usaha
Jasa ini menegaskan bahwa anggota koperasi selain pemilik juga sebagai pemakai atau pelanggan. Secara umum SHU Koperasi dibagi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pada Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga Koperasi sebagai berikut :
1) Cadangan koperasi
2) Jasa anggota
3) Dana pengurus
4) Dana karyawan
5) Dana pendidikan
6) Dana sosial
7) Dana untuk pembangunan lingkungan
Tentunya tidak semua komponen di atas harus diadopsi koperasi dalam membagi SHU-nya. Hal ini sangat tergantung dari keputusan anggota yang ditetapkan dalam rapat anggota.
Untuk mempermudah pemahaman rumus pembagian SHU koperasi, berikut ini disajikan salah satu kasus pembagian SHU di salah satu koperasi (selanjutnya disebut Koperasi A).
K. Prinsip-Prinsip Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi
Telah diuraikan pada teori koperasi bahwa anggota berfungsi ganda yaitu sebagai pemilik (owner) dan sekaligus pelanggan (customer). Sebagai pemilik, seorang enggota berkewajiban melaksanakan investasi. Dengan demikian, sebagai investor, anggota berhak mendapatkan hasil investasinya. Di sisi lain, sebagai pelanggan, seorang anggota berkewajiban berpartisipasi dalam setiap transaksi bisnis di koperasinya. Seiring dengan prinsip-prinsip koperasi, maka anggota berhak mendapatkan sebagian laba yang diperoleh koperasinya.
Agar tercermin asas keadilan, demokrasi, transparansi, dan sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip pembagian SHU sebagai berikut :
1) SHU yang dibagi yakni bersumber dari anggota.
2) SHU anggota yakni jasa dari modal da transaksi perjuangan yang dilakukan anggota sendiri.
3) Pembagian SHU anggota dilakukan secara transparan.
4) SHU anggota dibayar secara tunai.
L. Pembagian SHU per Anggota
Untuk memperjelas pemahaman wacana penerapan rumus SHU per anggota dan prinsip-prinsip pembagian SHU mirip diuraikan di atas, di bawah ini disajikan data Koperasi A, yang datanya sudah diperbaharui dan disederhanakan.
1) Perhitungan SHU (Laba/Rugi) Koperasi A Tahun Buku 1998 (Rp 000)
2) Sumber SHU
Catatan :
Data ini sanggup diperoleh bila koperasi melaksanakan pembukuan transaksi anggota dan non anggota. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka tidak mungkin koperasi sanggup melaksanakan pembagian SHU yang transparan, demokratis, dan adil. Dan itu semua yakni biaya, yang kelihatannya kurang efisien tetapi harus dilakukan oleh koperasi sebagai tubuh perjuangan yang dibatasi dengan prinsip-prinsip koperasi.
3) Pembagian SHU berdasarkan Pasal 15, AD/ART Koperasi A
4) Jumlah Anggota, Simpanan dan Volume Usaha Koperasi
5) Kompilasi Data Simpanan, Transaksi Usaha, dan SHU Per Anggota (dalam ribuan)
REFERENSI :
1. Ropke, J. 2000. Ekonomi Koperasi, Teori dan Manajemen. Diterjemahkan oleh Hj. Sri Djatnika S. Arifin. SE. M.Si. Penerbit Salemba Empat
2. Hendar dan Kusnadi. 1999. Ekonomi Koperasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
3. Baswir, R. 2000. Koperasi Indonesia BPFE Yogyakarta.
4. UU Nomor 17 tahun 2012 terntang Perkoperasian
5. UU Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
6. Peraturan Pemerintah RI No 44 tahun 1997 wacana Kemitraan
Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2005), Pengembangan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Jakarta.
Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2005), Pengembangan Usaha Skala Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Jakarta.
7. Firmansyah, 2001. Dinamika Usaha Kecil dan Menengah. LIPI. Jakarta.
8. Hendar, kusnadi 2005 Ekonomi Koperasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi
9. Drs. Sitio Arifin,M.Sc.,Ir.Tamba Halomoan, M.B.A,2001.Koperasi Teori dan Praktek.Jakarta : Erlangg
10. Pristiyanto Blog EVALUASI KINERJA KOPERASI SIMPAN PINJAM BERDASARKAN PENILAIAN KESEHATAN KOPERASI.htm
11. SISA HASIL USAHA (SHU) & PRINSIP-PRINSIP KOPERASI Ekonomi - AndaiKata.com.htm
SUMBER LAIN :
giletules.blogspot.com/search?q=kinerja-koperasi-dan-shu
http://www.pibi-ikopin.com/index.php/artikel-bisnis/91-kewirakoperasian
giletules.blogspot.com/search?q=kinerja-koperasi-dan-shu
EmoticonEmoticon