Minggu, 23 Desember 2018

Membongkar Irasionalitas Insan Dengan Ilmu Behavioral Economics

Copass dari sebelah
Sharing Prof. Richard Thaler pemenang nobel ekonomi 2017.     Membongkar Irasionalitas Manusia dengan Ilmu Behavioral Economics

Oleh: Yodhia Antariksa

Manusia itu, saya dan Anda semua, pada dasarnya suka berpikir secara tidak rasional atau irasional. Begitu ujar Prof Dan Ariely – pakar behavioral economics – dalam bukunya yang populer berjudul Predictably Irrational.

Selama ini, kita selalu merasa selalu berpikir rasional dan obyektif. Sayangnya, perasaan ini hanya fantasi.

Kita sebagai insan ternyata punya begitu banyak bias atau thinking error yang acap tak kita sadari, dan menciptakan keputusan kita dalam banyak hal menjadi kacau.

Apa saja thinking error itu? Mari kita ulik di pagi yang cerah ini.

Pagi ini, saya terinspirasi menulis artikel wacana ilmu Behavioral Economics lantaran ahad kemudian salah satu pakarnya, Prof Richard Thaler dinobatkan sebagai pemenang nobel ekonomi 2017.

Prof Richard Thaler yang juga dosen di Fakultas Ekonomi University of Chicago, yakni sosok yang dianggap sebagai the Father of Behavioral Economics.

Ilmu behavioral economics sendiri yakni salah satu cabang gres dalam ilmu ekonomi. Premis dasar ilmu behavioral economics yakni : insan itu tidak rasional, dan suka memasukkan elemen emosi dalam economic decision making.

Pandangan itu tentu saja antitesa dari ilmu ekonomi konvensional yang selama ini punya perkiraan : insan selalu rasional dalam mengambil keputusan ekonomi.

Itulah kenapa banyak ekonom konvensional yang agak jengah dengan ilmu behavioral economics : lantaran pendekatan ini menciptakan perkiraan ekonomi klasik menjadi roboh dan terpelanting.

Ilmu behavioral economics sendiri dibangun melalui kombinasi antara ilmu ekonomi dan psikologi. Itulah kenapa dewa-dewa dalam ilmu behavioral economics kebanyakan yakni para jago psikologi ibarat Prof Daniel Kahneman (yang juga menang nobel ekonomi tahun 2002), dan Prof Richard Thaler sendiri.

Melalui riset yang dilakukan para jago behavioral economics, ditemukan bermacam-macam “bias” atau “systematic thinking eror” yang acap menyelinap dibalik sanubari kita.

Diam-diam bermacam-macam bias itu ini menciptakan decision making kita menjadi tidak lagi obyektif dan rasional. Bias itu menciptakan kita – saya dan kau – berulang kali melaksanakan error yang bersifat sistematis, dan acap menciptakan hidup kita nyungsep dalam kegelapan nasib.

Ada banya jenis error thinking yang dilacak dalam riset-riset behavioral economics. Saya akan coba mengulas 5 diantaranya. Mari kita lacak sambil ditemani secangkir teh hangat.

Error Thinking # 1 : LOSS AVERSION
Puluhan studi dalam ilmu behavioral economics menandakan ternyata kita insan itu cenderung terlalu takut dengan potensi kerugian, dibanding potensi laba yang akan diraih.

Fenomena itu disebut sebagai loss aversion – atau terlalu khawatir dengan potensi kerugian.

Manusia dimanapun di dunia ini ternyata memang cenderung takut untuk mengambil risiko. Kita semua lebih gentar menghadapi potensi kerugian; daripada bersemangat menjemput peluang keuntungan.

Dalam sebuah studi bahkan terungkap : rasa sakit kita akan kehilangan ternyata lebih membekas didalam hati daripada rasa bahagia tanggapan mendapat keuntungan.

Dengan kata lain : pengalaman rugi 10 juta ternyata jauh lebih usang membekas dalam hati, dibanding perasaan bahagia tanggapan sanggup untung 10 juta.

LOSS AVERSION mungkin yang sanggup menjelaskan kenapa lebih banyak didominasi orang agak ragu untuk memulai perjuangan gres secara mandiri.

Bahkan sebelum memulai menjalankan usaha, kebanyakan orang sudah takut duluan. Takut jangan-jangan nanti malah rugi. Jangan-jangan perjuangan saya gagal.

Loss aversion yang juga mungkin sanggup menjelaskan kenapa kebanyakan orang agak pesimis dengan peluang keberhasilan yang akan mereka miliki.

Error thinking semacam ini yang sanggup menciptakan hidup kita kelak jadi termehek-mehek.

Error Thinking # 2 : ENDOWMENT EFFECT
Efek ini pada dasarnya bermakna : Anda terlalu menghargai berlebihan barang yang Anda sudah beli atau yang sudah Anda miliki.

Begitu Anda membeli atau mempunyai sesuatu, mendadak muncul rasa cinta pada barang itu, dan karenanya Anda menawarkan value yang lebih tinggi dibanding harga pasaran atau nilai sebenarnya.

Misal : Anda mempunyai kendaraan beroda empat Honda Jazz baru. Setelah beberapa lama, Anda ingin menjualnya kembali. Anda kemungkinan besar akan menawarkan harga penawaran yang jauh lebih tinggi dibanding harga pasaran. Anda yang mempunyai kendaraan beroda empat tersebut cenderung menawarkan evaluasi harga yang lebih tinggi dibanding harga pasaran yang sebenarnya.

Contoh lain endowment effect : Anda membeli saham Telkom misalnya. Setelah beberapa bulan ternyata harganya jeblok. Namun lantaran efek endowment effect, Anda tidak segera cut loss. Anda terus saja menawarkan evaluasi berlebihan dan membenarkan pembelian Anda, meski makin usang harga makin jatuh.

Contoh lain lagi : Anda terlibat dalam sebuah projek. Setelah beberapa usang projek ini bekerjsama merugi, namun Anda tetap saja menginvestasikan tenaga, pikiran dan dana yang tersisa untuk meneruskan projek yang merugi ini.

Kenapa Anda tak segera cut? Karena ada imbas endowment : Anda merasa “sayang” jika projek yang bekerjsama merugi ini Anda putus ditengah jalan.

Endowment effect inilah yang juga menciptakan Nokia dan Kodak dulu mati ditelan sejarah.

Mereka terjebak endownent effect : terlalu mengasihi produknya sendiri secara berlebihan. Terlalu besar hati dan menawarkan evaluasi berlebihan terhadap produknya sendiri, sehingga abai dengan perubahan mendadak disekelilingnya.

Too much love will kill you. Ternyata ungkapan romantis ini benar adanya, yang dibuktikan melalui studi-studi dalam ilmu behavioral economics.

Error Thinking #3 : CONFIRMATION BIAS
Error ini pada dasarnya Anda terjebak pada pilihan favorit yang Anda miliki; sehingga mengabaikan alternatif pilihan. Anda hanya mau membaca informasi yang meng-konfirmasikan kebenaran pilihan favorit Anda.

Contoh : Anda sudah suka smartphone brand tertentu. Maka dikala browsing mencari informasi wacana smartphone baru, Anda menseleksi informasi yang Anda mau baca. Anda cenderung lebih fokus untuk mencari informasi yang membenarkan kekuatan smartphone favorit Anda; dan mengabaikan informasi yang mengkritisi kekuatan smartphone tersebut.

Confirmation bias ini amat masif terjadi dikala Pilpres atau Pilgub. Saat Anda sudah punya pilihan favorit, maka Anda hanya akan mau membaca informasi yang membenarkan pilihan Anda; dan enggan membaca atau mendadak emosi dikala membaca informasi yang tidak sesuai pilihan Anda.

Semua kubu terjebak confirmation bias. Maka pilihan yang rasional dan obyektif menjadi sulit dilakukan dikala semua orang terjebak error thinking semacam ini.

Error Thinking # 4 : HERD BEHAVIOR
Studi-studi dalam ilmu behavioral economics menemukan fakta kelam ini : manusia, saya dan kau semua, ternyata suka bertindak ibarat kerumunan bebek. Belok kiri satu, belok semua. Ada yang ke kanan, ke kanan semua.

Kita semua itu memang suka latah. Punya sikap ibarat kerumunan yang gampang latah dengan sikap orang-orang disekitar kita.

Herd behavaior ini yang memunculkan mania, tren sesaat atau kehebohan akan sesuatu. Keramaian makin mengundang keramaian.

Warung makan pinggir jalan yang ramai, niscaya akan makin ramai. Penjual obat jalanan yang ramai didengar orang, niscaya akan makin banyak pengunjungnya.

Buku yang diberi label best seller, niscaya akan makin meningkat penjualannya. Toko roti yang antriannya panjang, niscaya akan makin heboh pembelinya. Investasi yang lagi hot, niscaya akan makin banyak yang tertarik ikut.

Itu semua yakni fenomena herd behavior. Sebab kau dan saya memang suka latah dan ingin tau dengan apa yang disukai banyak orang.

Error Thinking # 5 : SURVIVOR BIAS
Bias ini terjadi dikala kita mengambil kesimpulan berdasar data yang tidak valid. Kenapa tidak valid, lantaran yang sering kita baca hanya yang survive atau sukses bertahan. Yang gagal jarang diberitakan.

Contoh : Steve Jobs, Bill Gates dan Mark Zuckerberg semua yakni mahasiswa drop out atau DO. Tapi sukses. Kemudian ada yang bilang, nggak usah takut DO, lantaran Anda sanggup sukses juga ibarat mereka.

Pernyataan ibarat itu yakni teladan pikiran yang terjebak survivor bias. Pernyataan ini menganggap kasus Bill Gates dkk yang DO tapi sukses yakni “kebenaran umum”.

Faktanya : orang DO yang sukses ibarat mereka mungkin hanya 1%. Mayoritas lainnya ya tetap jadi pengangguran atau jadi orang miskin.

Survivor bias yakni cermin kebodohan dalam memahami ilmu statistik. Kasus tertentu yang mungkin hanya terjadi pada 1 – 2% orang, dianggap mewakili SELURUH populasi.

Kesalahan generalisasi ibarat itu sering terjadi. Hanya lantaran baca satu atau dua kasus di media atau di grup WA, mendadak menganggap semuanya akan ibarat yang ada dalam kasus tersebut. Ini namanya kegoblokan statistik.

DEMIKIANLAH, lima jenis bias atau error thiking yang berhasil diungkap dalam bermacam-macam riset ilmu Behavioral Economics. Lima error thinking ini yakni :

1. Loss aversion : gue takut rugi ah
2. Endowment effect : too much love will kill you
3. Confirmation bias : pilihan gue yang paling hebat
4. Herd behavior : kita semua suka latah
5. Survivor bias : kepalsuan statistik

Harap dikenang selalu 5 bias diatas. Sebab kita semua mungkin akan selalu terjebak didalamnya.


Sumber http://ekonominator.blogspot.com


EmoticonEmoticon