Minggu, 23 Desember 2018

Pendidikan Aksara Bangsa - Seni Administrasi Membuat Sekolah Berkarakter


STRATEGI MENCIPTAKAN SEKOLAH BERKARAKTER


Sekolah merupakan sebuah institusi pendidikan yang berusaha memberi bekal kehidupan kepada siswa dengan melalui acara pengajaran dan pembelajaran. Bekal tersebut meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diharapkan sanggup membantu siswa dalam menghadapi kehidupan positif di masyarakat. Dalam hal ini kemampuan yang perlu dikembangkan pada diri siswa meliputi semua aspek, tidak hanya aspek berpikir (kognitif), tapi juga aspek keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif). Sehingga sekolah sanggup disebut sebagai tempat pengembangan diri siswa dan sebagai pusat pembudayaan bagi siswa.

Sekolah harus menjadi instrumen pendidikan yang bisa mencetak individu yang berkualitas. Dalam hal tersebut, tentu perlu adanya taktik dalam membangun Sekolah Berkarakter menyerupai Sekolah Kooperatif dan Sekolah Progresif Berbasis Karakter.

A.    Membangun Sekolah Demokratis

1.      Pengertian Demokrasi

Demokrasi yaitu adonan dari dua kata yaitu demos dan kratos yang diambil dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan. Kaprikornus demokrasi sanggup diartikan sebagai suatu pemerintahan dimana rakyat memegang suatu peranan yang sangat menentukan (Wuryo, Kasmiran, dkk. 1980:112).

Menurut tahapannya dikenal dua tahap demokrasi, yaitu demokrasi pribadi dan demokrasi tidak pribadi ( tim penyusun,1993:118 ). Dalam demokrasi pribadi rakyat ikut secara pribadi dalam menentukan pemerintahan. Hal ini terjadi pada tipe-tipe negara kota waktu zaman Yunani kuno, yakni ketika rakyat berkumpul pada tempat tertentu untuk membicarakan aneka macam masalah kewarganegaraan. Pada masa modern ini cara demikian tentu mustahil lagi lantaran selain negaranya semakin luas dan warganya semakin banyak, urusan-urusan kenegaraan juga semakin kompleks. Kaprikornus rakyat tidak lagi ikut dalam urusan pemerintahan secara pribadi melainkan melalui wakil-wakilnya yang ditentukan melalui pemilihan umum. Inilah yang disebut demokrasi tidak langsung.Yang melaksanakan kekuasaan Negara demokrasi yaitu wakil-wakil rakyat yang terpilih, di mana rakyat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh wakil rakyat dalam melaksanakan kekuasaan negara.
Adapun ciri khas demokrasi yaitu sebagai berikut :
1)      Adanya pembagian kekuasaan.
2)      Adanya undang-undang yang demokratis.
3)      Adanya rule of law, bukan rule of  power.
4)      Partai politik lebih dari satu.
5)      Pers yang bebas.
6)      Pemilu yang bebas.
Sedangkan pokok-pokok dalam pelaksanaan demokrasi yaitu sebagai berikut :
1)      Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat.
2)      Adanya pemerintahan perwakilan.
3)      Bersumber pada persetujuan bebas lebih banyak didominasi rakyat.
4)      Pelaksanaan hak-hak sosial dan politik.
5)      Kekuasan pemerintah yang terbatas dan diawasi.
6)      Penghargaan dan perlindungan  hak asasi insan (HAM).
7)      Tegaknya aturan bersamaan dengan tegaknya keadilan.

2.      Nilai-nilai Demokrasi
Henry B Mayo dalam bukunya “Introduction to Demokratic Theory” merinci beberapa nilai yang terdapat dalam demokrasi, yaitu :
1)      Menyelesaikan problem secara tenang dan melembaga.
2)      Menjamin terselenggaaranya perubahan secara tenang dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.
3)      Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur.
4)      Membatasi pemakaian kekerasan hingga taraf yang minimum.
5)      Mengakui serta menganggap masuk akal adanya keanekaragaman (diversity).
6)      Menjamin tegaknya keadilan.

Nilai-nilai demokrasi dipercaya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semangat egalitarian dibandingkan dengan ideologi non-demokrasi. Menurut Dahl laba pelaksanaan demokrasi sebagai berikut :
1)      Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik.
2)      Demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah HAM yang tidak diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratis.
3)      Demokrasi menjamin kebebasan yang lebih luas bagi warga negaranya.
4)      Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya.
5)      Hanya pemerintahan yang demokratis yang sanggup menawarkan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk memakai kebebasannya untuk menentukan nasibnya sendiri yaitu untuk hidup di bawah aturan yang mereka tentukan dan konsekwensikan sendiri.
6)      Hanya pemerintahan yang demokratis yang sanggup menawarkan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral.
7)      Demokrasi membantu perkembangan insan lebih total.
8)      Hanya pemerintahan yang demokratis yang sanggup membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.
9)      Negara-negara demokrasi perwakilan modern tidak berperang satu sama lain.
10)  Negara-negara demokratis yang konsekuen terhadap kedemokratisannya cenderung lebih makmur daripada Negara-negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.

Untuk sanggup menjamin tetap tegaknya nilai-nilai demokrasi tersebut maka perlu diselenggarakan lembaga-lembaga sebagai berikut :
1)      Pemerintah yang bertanggung jawab.
2)      Lembaga perwakilan rakyat yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengadakan pengawasan (kontrol) terhadap pemerintah.
3)      Pembentukan organisasi/partai politik.
4)      Pers dan media masa yang bebas untuk menyatukan pendapat.
5)      Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan.

3.      Pengertian Sekolah Demokratis
Dalam pendidikan, ada nilai-nilai seperti, tidak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama, dan bangsa. Nilai-nilai ini ditanamkan biar hubungan antara sesama penerima didik dengan gurunya saling menghargai dan menghormati.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan sanggup mengembangkan kemampuan anak atau penerima didik untuk berfikir dan memecahkan persoalan-persoalannya sendiri secara teratur, sistematis, dan komprehensif serta menumbuhkan kekritisan, sehingga anak didik mempunyai wawasan, kemampuan, dan kesempatan yang luas. Tentunya dalam proses menyerupai itu diharapkan sikap yang demokratis.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, sekolah demokratis yaitu mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang secara umum meliputi dua aspek yakni struktur organisasi dan mekanisme kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan bawah umur didik mempunyai aneka macam pengalaman perihal praktik-praktik demokratik. Dengan kata lain sekolah demokratis yaitu sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seterti pelibatan masyarakat (stake holder dan user sekolah ) dalam membahas program-program sekolah / madrasah, dan mekanisme pengambilan keputusan juga memperhatikan aneka macam aspirasi publik serta sanggup dipertanggung jawabkan implementasinya kepada publik.

4.      Prinsip-Prinsip Demokrasi Dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan niscaya ada prinsip-prinsip demokrasi yang tertanam di dalamnya. Dalam prinsip tersebut sanggup dipahami bahwa pandangan gres dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat dipengaruhi oleh fikiran, sifat, jenis masyarakat dimana mereka berada, lantaran dalam kenyataannya, bahwa pengembangan demokrasi pendidikan itu akan banyak dipengaruhi oleh kehidupan dan penghidupan masyarakat. Demokrasi dalam pendidikan mempunyai prinsip-prinsip ini begitu bermakna dalam dunia pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu :
1)      Keadilan dalam pemerataan kesempatan mencar ilmu bagi semua warga negara dengan cara adanya pembuktian kesetiaan dan konsisten pada sistem politik yang ada.
2)      Dalam rangka pembentukan abjad bangsa sebagai bangsa yang baik.
3)      memiliki suatu ikatan yang erat dengan cita-cita.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, sekolah demokratis yaitu mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah yang secara umum meliputi dua aspek yakni struktur organisasi dan mekanisme kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan bawah umur didik mempunyai aneka macam pengalaman perihal praktik-praktik demokratik. Dengan kata lain sekolah demokratis yaitu sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seterti pelibatan masyarakat (stake holder dan user sekolah) dalam membahas program-program sekolah/madrasah, dan mekanisme pengambilan keputusan juga memperhatikan aneka macam aspirasi publik serta sanggup dipertanggung jawabkan implementasinya kepada publik.

Sedangkan dalam Islam sendiri mempunyai pemahaman tersendiri mengenai demokrasi pendidikan yang bersumber dalam Al-Qur’an dan Al-Hadit’s. Di dalam Al-Qur’an antara lain terdapat dalam surat as-syura ayat dua yang artinya sedang urusan mereka (diputuskan ) dengan musyarah antara mereka-mereka.

Dari contoh ayat di atas sanggup dipahami adanya prinsip musyarah, persatuan dan kesatuan umat sebagai salah satu prinsip demokrasi. Dalam hadist nabi Muhammad bersabda : menuntut ilmu yaitu wajib bagi setiap muslim (baik pria maupun wanita)

Al-Qabisi yaitu salah seorang pemikir atau tokoh pendidikan Islam mengemukakan bahwa bawah umur yang masuk di Kattab tidak ada perbedaan derajat dan martabat. Baginya pendidikan yaitu hak semua orang tanpa ada pengecualian.

5.      Pengembangan Sekolah Demokratis Di Indonesia
Cara pengembangan sekolah demokratis yaitu dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus bisa menawarkan perhatian yang sama pada semua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pandai dengan yang belum pintar, tidak membedakan antara yang rajin dengan yang belum rajin, semua memperoleh perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pandai diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya disaat liburan umum, sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan menyerupai ini telah menawarkan pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara yang lebih banyak didominasi dengan minoritas dalam sekolahnya.

Setelah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 perihal otonomi tempat yang kemudian direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 yang meletakan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan, serta UU No. 20 tahun 2003 yang menawarkan penguatan pada paradigma pendidikan demokratis serta mendorong optimalisasi peranserta masyarakat, pendidikan memasuki kurun gres dengan semangat demokratis, lantaran undang-undang tersebut disambut oleh tempat dengan memberi peluang pada sekolah/madrasah untuk mengembangkan networking horizontalnya dengan stake holder dan user sekolah, dalam proses mengembangkan perencanaan sekolah, pengembangan kurikulum maupun penetapan aneka macam kebijakan fundamental dari sekolah, tidak terkecuali sekolah negeri, sementara pemerintah tempat hanya akan mengambil kiprah dan kewenangan fasilitatif, penyediaan sarana dan prasarana, pengajian dan pengembangan SDM serta koordinasi antar tempat kabupaten/kota, dan pemerintah pusat hanya pengembangan standar serta aneka macam sistem yang menawarkan jaminan kualitas keluaran sekolah.

Implikasi besar dengan lahirnya UU No. 33 Tahun 2004 dan UU No. 2003 yaitu perubahan radikal dalam otoritas pengembangan pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah pusat melalui Depdiknasnya, kini terdelegasikan pada sekolah dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Dan kini semangat perubahan radikal tersebut memperoleh tempat yang sangat berpengaruh dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini yaitu penegasan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, artinya, bahwa keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi pendukungnya akan lebih besar dari pemerintah pusat.

Menurut James A. Beane dan Michael W. Apple, menjelaskan bahwa kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis yaitu :
1)      Keterbukaan saluran pandangan gres dan gagasan, sehingga semua orang bisa mendapatkan informasi seoptimal mungkin.
2)      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menuntaskan aneka macam problem sekolah.
3)      Menyampaikan kritik sebagai analisis dalam proses penyampaian penilaian terhadap ide-ide, problem-problem, dan aneka macam kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4)      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5)      Kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6)      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7)      Terdapat sebuah institusi yang sanggup terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.

Inti dari teori James A. Beane dan Michael W. Apple di atas adalah, sekolah demokratis itu akan terwujud jikalau semua informasi penting sanggup dijangkau semua stake holder sekolah/madrasah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah atau madrasah, aneka macam problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh.

Menurut lyn Haas menjelaskan bahwa sekolah-sekolah kini harus sanggup memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yaitu :
1)      Pendidikan untuk semua, yaitu semua siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh pelajaran sehingga memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas, serta mempunyai basis skill dan keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta sesuai pula dengan kebutuhan pada tenaga kerja.
2)      Memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karna pasar menuntut setiap tenaga kerjanya mempunyai keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan jalan masuk pada pengetahuan.
3)      Penekanan pada kerjasama, yakni pemfokusan pada pengalaman para siswa dalam melaksanakan kerjasama dengan yang lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran sehingga mereka mempunyai pengalaman mengembangkan kerjasama, lantaran tren pasar ke depan yaitu mengembangkan kerjasama, baik antra perusahaan, atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya.
4)      Pengembangan kecerdasan ganda; yakni para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelijence mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang beragam, sehingga gampang melaksanakan penyesuaian di pasar tenaga kerja.
5)      Integrasi acara pendidikan dengan kegiatan dedikasi pada masyarakat, biar mereka mempunyai kepekaan sosial.

Kelima point di atas memperlihatkan adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progresiv, dan peka terhadap aneka macam kemajuan dan perkembangan teknologi di luar sekolah, sehingga jikalau kurikulum dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh struktur birokrasi yang kaku, sekolah bisa tertinggal oleh kemajuan, dan sekolah akan kehilangan relevansinya dengan aneka macam perubahan yang pada karenanya akan ditinggalkan oleh stake holdernya sendiri. Oleh alasannya yaitu itu, argumen-argumen di atas memperkuat bahwa model sekolah demokratis itu amat relevan untuk dikembangkan.

6.      Keunggulan Sekolah Demokratis Yaitu :
a.       Akuntabilitas, yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya sanggup dipertanggungjawabkan pada publik yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Guru yang diangka harus yang memilliki keahlian dalam bidang ilmu yang akan dijarkannya, mempunyai keterampilan mengajar yang memadai, serta mempunyai loyalitas keguruan yang teruji. Kemudian menejemen sekolah juga sanggup dipertanggungjawabkan pada publik, sanggup meminimalisir bias individual dalam aneka macam keputusan, dan promosi seseorang benar-benar didasarkan pada keahlian dan pengalaman yang memadai, dan dalam konteks akuntabilitas juga, sekolah demokratis selalu menjunjung tinggi collective judgement, yakni keputusan diambil bersama-sama.
b.      Pelaksanaan kiprah guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan menawarkan pelayanan pada siswa secara individual. Berbagai kesulitan siswa akan menjadi perhatian guru, dan dengan senang hati guru akan terus membantu sehingga siswa sanggup menuntaskan aneka macam kesulitannya.
c.       Keterlibatan masyarakat dalam sekolah, yaitu dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan merupakan refleksi dan keinginan masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan mempunyai rasa mempunyai terhadap sekolah, dan akan responsif dengan aneka macam problem sekolah. Dengan demikian para guru bekerja juga akan merasa tenang lantaran senantiasa gotong royong dengan masyarakatnya, keputusan pimpinan sekolah juga akan menjadi keputusan yang bulat, lantaran disepakati bersama oleh masyarakatnya, dan sekolah akan selalu terkontrol oleh mekanisme yang diatur dalam sistem penyelenggaraan sekolah tersebut.
Berbagai laba tersebut bisa menjadi perspektif untuk pengembangan sekolah ke depan, lantaran jikalau pendidikan di Indonesia berkualitas, penyelesaiannya yaitu perbaikan mendasar, yakni kurikulum, materi bimbing dan guru sebagai pengajar.

7.      Tujuan Pelaksanaan Demokrasi di Sekolah
Seperti sebuah negara, sekolah juga merupakan suatu organisasi, layaknya masyarakat mini yang mempunyai warga dan peraturan. Sekolah merupakan sebuah organisasi, yakni unit sosial yang sengaja dibuat oleh beberapa orang yang satu sama lain berkoordinasi dalam melaksanakan tujuannya untuk mencapai tujuan bersama. Tujuannya yaitu mendidik bawah umur dan mengantarkan mereka menuju fase kedewasaan, biar mereka sanggup berdiri diatas kaki sendiri baik secara psikologis, biologis, maupun sosial. Dalam pendidikan demokrasi menekankan pada pengembangan ketrampilan intelektual, ketrampilan pribadi dan sosial. Dalam dunia pendidikan haruslah ada tuntutan kepada sekolah untuk mentransfer pengajaran yang bersifat akademis ke dalam realitas kehidupan yang luas di masyarakat.

Demokrasi di sekolah sanggup diartikan sebagai pelaksanaan seluruh kegiatan di sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Mekanisme berdemokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, namun secara substantif, sekolah demokratis yaitu membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan penilaian penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan nilai-nilai Demokrasi Pancasila. Beane dan Apple (1995: 7) dalam Rosyada (2004: 16) mengemukakan bahwa kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis yaitu sebagai berikut.
1)      Keterbukaan saluran pandangan gres dan gagasan, sehingga semua orang bisa mendapatkan informasi seoptimal mungkin.
2)      Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menuntaskan aneka macam problem sekolah.
3)      Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian penilaian terhadap ide-ide, problem-problem dan aneka macam kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4)      Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5)      Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6)      Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.
7)      Terdapat sebuah institusi yang sanggup terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis

Ciri-ciri organisasi sekolah demokratis, sebagaimana dituliskan Rosyada (2004: 228-289) dary buku karangan Tony Bush (48-50) yaitu sebagai berkut:
1)      Sangat beorientasi negatif, yakni bahwa manajemen harus didasarkan pada kesepakatan, apapun progam yang hendak dikembangkan dan diimplementasikan harus didasarkan pada kesepakatan, dan tidak hanya menjadi values tapi juga sebagai sebuah keyakinan, bahwa model nilah yang terbaik.
2)      Pendekatan demokratis sangat layak untuk organisasi dengan para anggota dari kalangan professional, yakni mereka yang mempunyai kemampuan teknis dan keterampilan, mereka mempunyai otoritas dalam keahliannya. Organisasi sekolah harus dikelola oleh kalangan-kalangan profesional lantaran siswa memerlukan pembinaan dan pelayanan dari mereka yang mempunyai otoritas dalam bidangnya.
3)      Penanaman nilai, kultur dan kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi dilakukan oleh anggota organisasi itu sendiri, yang sudah dimulai semenjak dalam fase pendidikan dan tahun-tahun pertama mereka bekerja.
4)      Pengambilan putusan perihal aneka macam kebijakan penting dilakukan oleh sebuah komite dan tidak dilakukan secara individual oleh seorang kepala dengan memakai otoritas kepimpinannya. Dan semua unsur mempunyai wakil dalam komite tersebut, yang harus mempertanggungjawabkan keterlibatannya dalam komite terhadap konstituennya.
5)      Semua putusan ditetapkan dengan cara konsensus atau kompromi dan sedapat mungkin dihindari polarisasi organisasi lantaran perbedaan pendapat dan pandangan. Perbedaan dalam proses harus diakhiri dengan konsensus dan atau kompromi, walaupun terkadang harus menghargai kecenderungan masyarakat.

Secara prinsip demokrasi tercipta lantaran adanya saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Keadaan ini membuat suasana kesetaraan tanpa sekat-sekat kesukuan, agama, derajat atau status ekonomi. Dengan demikian insan mempunyai ruang untuk mengekspresikan diri secara bertanggung jawab. Situasi menyerupai inilah yang seharusnya dibangun dalam dunia pendidikan, anak diajak untuk mengembangkan potensi diri.

8.      Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi di Sekolah
Membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional menyerupai yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 perihal Sisdiknas. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan bunyi untuk membangun Indonesia gres yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa dan reformatif  justru banyak politisi yang berkarakter oportunis, angkuh dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengembangkan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Padahal harus diakui, mereka mempunyai kualifikasi pendidikan formal yang tinggi. Fenomena ini tentu sangat menarik untuk disimak, alasannya yaitu ada kecenderungan asumsi, tinggi-rendahnya tingkat pendidikan kurang mempunyai efek yang signifikan terhadap tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat.

Diperlukan upaya biar dunia pendidikan bisa menaburkan benih-benih demokrasi kepada penerima didik dan melahirkan demokrat-demokrat yang ulung, cerdas, dan andal.  Beratnya beban kurikulum yang harus dituntaskan telah membuat proses mencar ilmu mengajar menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Akibatnya sesudah lulus mereka menjadi absurd di tengah-tengah rakyat. Tidak mungkin out-put dari dunia pendidikan bisa menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang berdialog. Mustahil mereka bisa menghargai pendapat sebagai salah satu esensi demokrasi kalau iklim belajarnya berlangsung monoton. Sehingga dunia pendidikan perlu diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi penerima didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang rendah hati, berjiwa besar, toleran, mempunyai landasan etik moral dan spiritual. Apalagi di kurun millennium ketiga yang kini diyakini akan menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan akselerasi keluar masuknya aneka macam kultur dan peradaban gres dari aneka macam bangsa di dunia, ranah demokrasi tentu akan menjadi penentu citra, kredibilitas, dan akseptibilitas bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia. Itu artinya, dunia pendidikan dalam mencetak sumberdaya insan yang bermutu dan profesional harus menyiapkan generasi yang demokratis, sehingga mempunyai resistence yang kokoh di tengah-tengah konflik peradaban.

Selain pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam pembentukan mental penerima didik sesuai nilai-nilai demokrasi, demokrasi di sekolah juga meliputi proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Hal ini diantaranya yaitu untuk menyikapi problem yang tentunya tekait dengan nilai-nilai demokrasi dalam hal ilmu pengetahuan, mengenai industri dikala ini yang sering menimbulkan pencemaran lingkungan. Banyak pihak industri yang selalu berhadapan dengan kelompok-kelompok humanis yang anti pencemaran dan pengrusakan lingkungan, sehingga pendidikan harus merancang perubahan-perubahan ke depan yang tetap ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, dengan peningkatan solidaritas internasional, dan keseimbangan komitmen antara produktivitas, kemajuan sains dan teknologi, yang pada gilirannya sanggup mengembangkan sektor perekonomian, namun tetap memperhatikan pemeliharaan lingkungan, dan misi kemanusiaan, sehingga bisa menetralisir ketegangan-ketegangan sosial, dan bisa menjaga kelestarian alam yang tidak semata menjadi kebutuhan seluruh umat insan dengan keseimbangan ekosistemnya, tapi juga akan diwariskan pada generasi mendatang.

9.      Implementasi Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi dalam Proses Pembelajaran di Kelas
Kelas merupakan lembaga yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama mencar ilmu menegakkan pilar-pilar demokrasi. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, contohnya siswa dan guru mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjaga kebersihan kelas, kenyamanan kelas, terlaksananya kegiatan mencar ilmu mengajar yang kondusif. Tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi iklim pembelajaran di kelas dalam mata pelajaran apapun. Interaksi guru dan siwa bukan sebagai subjek-objek, melainkan subjek-subjek yang sama-sama membangun abjad dan jatidiri. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan lembaga yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama mencar ilmu menegakkan pilar-pilar demokrasi.

Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang pada dasarnya berporos pada proses pemberdayaan. Di sekolah guru senantiasa membangkitkan semangat bereksplorasi, berkreasi dan berprakarsa di kalangan siwa biar kelak tidak menjadi manusia-manusia yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian, kelas akan menjadi magnet demokrasi yang bisa menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam kehidupan sehari-hari.

10.  Peran Guru                                                                                                                     
Implementasi pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam proses pembelajaran di kelas tentu tidak lepas dari kiprah guru. Terpenuhinya misi pendidikan sangat tergantung pada kemampuan guru untuk menanamkan seting demokrasi pada siswa, dengan menawarkan kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk belajar.  Menciptakan suasana yang hangat di sekolah sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal mungkin mereka belajar. Rosyada dalam bukunya Paradigma Pendidikan Demokratis (2004: 19) menyatakan bahwa sekolah bukan menjadi tempat pertunjukan bagi guru tetapi tempat bagi siswa untuk menambah dan memperkaya pengalaman belajarnya. Oleh alasannya yaitu itu, guru harus bisa mengembangkan taktik pembelajaran yang memberi peluang bagi siswa untuk belajar. Inilah makna lain dari sekolah demokratis, yaitu sekolah itu untuk siswa bukan untuk guru dan kepala sekolahnya. Sekolah harus menjadi second home bagi siswa, mereka betah menghabiskan waktunya di sekolah, dengan belajar, berdiskusi, menuntaskan tugas-tugas kelompok, membaca, dan melaksanakan acara lainnya.

Untuk mewujudkan KBM yang aman secara umum guru harus memiliki capability danloyality, yakni guru itu harus mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, mempunyai kemampuan teoritik perihal mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi, hingga evaluasi. Memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal terhadap tugas-tugas keguruan yang tidak hanya di dalam kelas. Seperti yang telah dikutip oleh Rosyada (2004: 113), dari Gilbert H. Hunt dalam bukunya Effective Teaching menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria yaitu:
1)      Sifat; guru yang baik harus mempunyai sifat-sifat antusias, stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi pada kiprah dan pekerja keras, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa dipercaya/ fleksibel dan gampang menyesuaikan diri/ demokratis, penuh harapan bagi siswa, tidak semata mencari reputasi pribadi, bisa mengatasi stereotipe siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan mencar ilmu siswa, bisa memberikan perasaannya, dan mempunyai telinga yang baik.
2)      Pengetahuan; guru yang baik juga mempunyai pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya itu.
3)      Apa yang disampaikan; guru yang baik juga bisa menawarkan jaminan bahwa materi yang disampaikannya meliputi semua unit bahasan yang diharapkan siswa secara maksimal.
4)      Bagaimana Mengajar; guru yang baik bisa menjelaskan aneka macam informasi secara jelas, dan terang, menawarkan layanan yang variatif, membuat dan memelihara momentum, memakai kelompok kecil secara efektif, mendorong semua siswa untuk berpartisipasi, memonitor dan bahkan sering mendatangi siswa, memonitor tempat duduk siswa, melibatkan siswa dalam tutorial atau pengajaran sebaya, menghindari kesukaran yang kompleks dengan menyederhanakan sajian informasi, memakai beberapa materi tradisional, memperlihatkan pada siswa perihal pentingnya bahan-bahan yang mereka pelajari, memperlihatkan proses berpikir yang penting untuk belajar/ berpartisipasi dan bisa menawarkan perbaikan terhadap kesalahan konsepsi yang dilakukan siswa.
5)      Harapan; guru yang baik bisa menawarkan harapan pada siswa, bisa membuat siswa akuntabel, dan mendorong partisipasi orang bau tanah dalam memajukan kemampuan akademik siswanya.
6)      Reaksi guru terhadap siswa; guru yang baik biasa mendapatkan aneka macam masukan, risiko, dan tantangan, selalu menawarkan dukungan pada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan dengan siswa, bijaksana terhadap kritik siswa, mengikuti keadaan dengan kemajuan-kemajuan siswa, pengajaran yang memperhatikan individu, bisa mem­berikan jaminan atas kesetaraan partisipasi siswa, bisa menyediakan waktu yang pantas untuk siswa bertanya, cepat dalam memberikan feed back bagi siswa dalam membantu mereka belajar, peduli dan sensitif terhadap perbedaan-perbedaan latar belakang sosial ekonomi dan kultur siswa, dan menyesuaikannya pada kebijakan-kebijakan menghadapi aneka macam perbedaan.
7)      Management; Guru yang baik juga harus bisa memperlihatkan keahlian dalam perencanaan, mempunyai kemampuan mengorganisasi kelas semenjak hari pertama beliau bertugas, cepat memulai kelas, melewati masa transisi dengan baik, mempunyai kemampuan dalam mengatasi dua atau lebih acara kelas dalam satu waktu yang sama, bisa memelihara waktu bekerja serta menggunakannya secara efisien dan konsisten, sanggup meminimalisasi gangguan, sanggup mendapatkan suasana kelas yang ribut dengan kegiatan pembelajaran, mempunyai teknik untuk mengontrol kelas, memberi eksekusi dengan bentuk yang paling ringan, sanggup memelihara suasana tenang dalam belajar, dan tetap sanggup menjaga siswa untuk tetap mencar ilmu menuju sukses.

Guru sebaiknya juga memakai model active learning atau mencar ilmu aktif, yaitu model pembelajaran yang memberi peluang sangat luas bagi siswa untuk mencar ilmu dengan mengurangi porsi guru untuk ceramah. Guru harus sanggup menawarkan penugasan yang bermakna bagi siswa, baik untuk diskusi, penyelasaian tugas, menyelasaikan masalah atau lainnya. Serta model cooperate learning (belajar secara kooperatif yang tidak hanya mencar ilmu bersama, namun saling membantu) melalui diskusi dalam kelompok-kelompok kecil, debat atau bermain peran. Biarkan siswa saling membantu satu sama lain serta saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari hasil jalan masuk informasinya. Melalui sebuah diskusi akan terpupuk nilai-nilai demokrasi lantaran pelaksanaan diskusi sangat memungkinkan siswa berinteraksi dengan siswa yang lain, mencar ilmu mengemukakan pendapatnya, menghargai setiap pendapat dan tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain.

Selain itu guru juga harus sanggup membantu siswa befikir. Siswa perlu diajak kritis terhadap materi pelajaran dan juga masalah yang dihadapi. Pikiran kritis ini sangat penting adlam membangun suasana demokratis di sekolah dan di masyarakat kini ini. Seperti yang dikutip Suparno (36-37) dari Raths dalam bukunya Teaching for Thinking yang menawarkan beberapa cara konkrit yang sanggup dibuat guru dalam membantu siswa berfikir kritis antara lain:
1)      Guru hendaklah mendengarkan gagasan dan pemikiran siswa
2)      Guru memajukan diskusi terbuka dimana siswa bebas mengungkapkan pikirannya
3)      Guru perlu menawarkan waktu bagi siswa untuk berfikir terlebih dahulu, apalagi bila mengajukan pertanyaan kepada siswa
4)      Guru memnupuk keyakinan sswa untuk berani tampil dengan gagasannya yang otentik
5)      Guru perlu menawarkan umpan balik yang memajukan pemikiran siswa, bukan yang mematikan
6)      Ruang majalah dinding yang sanggup diisi dengan macam-macam gagasan siswa perlu dibuat
7)      Siswa diberi kebebasan untuk mencari data dan masukan dari sumber-sumber lain menyerupai perpustakaan atau internet.

Kadang ada guru yang merasa rugi bila menawarkan waktu berfkir bagi siswa lantaran akan memperlambat penyelesaian bahan. Memeng secara sepintas tampaknya guru kehilangan banyak waktu, tetapi sesungguhnya guru untung besar. Karena dengan membiasakan siswa berfikir dan memperoleh informasi sendiri, mereka selanjutnya mereka akan sanggup mencar ilmu sendiri tanpa harus dipaksa oleh guru. Apalgi pemikiran-pemikiran kritis mereka yang dikembangkan itu dikemudian hari akan menjadi pemikiran dan kreativitas yang besar.

Dalam menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi guru sanggup menjadi sosok pemodelan, dimana segala perilakunya sanggup menjadi tauladan bagi siswa dalam pembentukan abjad demokratis dalam dirinya. Jika dalam KBM di dalam kelas tidak beriklimkan demokrasi, maka dalam diri siswa tidak akan tertanam sikap-sikap yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi.

11.  Peran Kurikulum (Mata Pelajaran)
Selain itu internalisasi nilai-nilai demokrasi sanggup disisipkan dalam kegiatan KBM contohnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan juga tidak menutup kemungkinan menanamkan materi demokrasi pada mata pelajaran yang lain. Contohnya, SAINS dengan menawarkan pegetahuan berbasis lingkungan, sehingga tertanam sikap kecintaan terhadap alam. Praktek pembelajaran dilakukan dengan materi yang substansial (konsep teori yang sangat selektif) tetapi kaya dalam implementasi.

Di masa kemudian pendidikan demokrasi tidak berkembang. Hal ini sanggup dicontohkan pada kasus PPKn/PKn yang sebelumnya dikembangkan secara indoktrinasi, mengakumulasi pengetahuan yang kurang bermakna, bersifat hegemonik, tidak partisipatoris, dan sering dikritik anti realitas. Seharusnya PKn memuat nilai-nilai pluralisme dan membentuk abjad bangsa, sehingga PKn harus menerapkan pendidikan multikultural (proses transformasi cara hidup menghormati, toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup dalam masyarakatnya yang plural, tanpa diskriminasi). (Azra, 2002: 159)

12.  Implementasi Pengembangan Nilai-nilai Demokrasi di luar KBM
Menanamkan pengetahuan demokrasi perlu disertai pengalaman hidup berdemokrasi yang tidak hanya dilakukan dalam KBM, tetapi juga d luar KBM. Misalnya saja dalam bergaul dengan sahabat sebaya. Pergaulan hidup dengan sahabat sebayapun perlu menerima perhatian yang sungguh-sungguh. Tata cara pergaulan yang baik sanggup meningkatkan kerukunan hidup bersama. Oleh lantaran itu perlu dikembangkan sikap saling menghormati, menghargai, tolong-menolong, tenggang rasa dan sikap positif lainnya. Dengan bersikap demikian sanggup dihindari terjadinya pertengkaran, percekcokan yang membawa atau mengakibatkan timbulnya perkelahian atau sikap negatif lainnya, sehingga dengan demikian terwujud pergaulan yang harmonis.

Saling menghargai dan menghormati antarsesama insan merupakan suatu keharusan lantaran insan telah diciptakan Tuhan dengan harkat dan derajat  yang sama.Sifat saling menghormati ini sangat sesuai dengan keadaan bangsaIndonesiayang beraneka ragam dan ini juga sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Budaya menghormati ini perlu ditanamkan semenjak kecil di dalam lingkungan keluarga yang selanjutnya kiprah sekolahlah yang bertugas untuk mengembangkannya.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai kiprah yang banyak, yang salah satunya yaitu mewariskan budaya-budaya bangsa kepada geberasi muda menyerupai budaya saling menghormati antarsesama. Budaya menghormati perlu disisipkan dan dikembangkan dalam setiap kegiatan di sekolah baik dalam kegiatan mencar ilmu mengajar maupun di luar kegiatan mencar ilmu mengajar. Untuk pengembangan sikap menghormati di dalam kegiatan mencar ilmu mengajar telah dijelaskan di penggalan depan selanjutnya di penggalan ini akan diberikan contoh menghormati di luar kegiatan mencar ilmu mengajar.
1)      Menyapa guru dan sahabat dikala berpapasan.
2)      Mengikuti upacara bendera dengan khidmat.
3)      Menggunakan tutur bahasa yang baik, benar dan sopan.
4)      Memprioritaskan musyawarah kelas untuk menetapkan kebijakan-kebijakan bekerjasama dengan kepentingan kelas.
5)      Tidak membedakan teman.

Selain menghormati, sikap demokratis yang perlu dimiliki yaitu rasa tanggung jawab. Dalam hal pengambilan keputusan, siswa harus dilatih menetapkan dan melaksanakan keputusan secara bertanggung jawab. Dalam mengajarkan hal ini kepada siswa guru sebaiknya menawarkan contoh dalam kehidupan sehari-hari di dalam kelas, contohnya dalam pemilhan ketua kelas. Setelah terpilih menjadi ketua kelas, selanjutnya ketua kelas itu mengatur kelasnya masing-masing, contohnya :
1)      Ketua kelas: mengadakan rapat kelas yang dipimpin ketua kelas. Dalam rapat ketua kelas akan menerima banyak saran, pendapat, dan tidak tertutup kemungkinan pendapat tadi ada yang bertentangan dengan pendapatnya. Pendapat tadi kemudian dibicarakan dalam rapat secara musyawarah, dengan peretimbangan yang disepakati sejujur-jujurnya dan penuh tanggung jawab melaksanakan keputusan yang diambil secara bersama itu.
2)      Hasil keputusan tersebut harus dipatuhi dan ditaati oleh setiap siswa dan keputusan yang berupa peraturan itu harus dibuat secara tertulis, sehingga setiap siswa sanggup mengetahui apa yang boleh dan dihentikan dilakukan. Sehingga apabila siswa melanggar mereka akan melaksanakan hukuman tersebut secara konsekwen dan penuh kesadaran.
3)      Setiap siswa harus mengetaui tugasnya masing-masing, siapa yang bertugas merapikan meja, siapa yang bertugas mengambil dan menyiapkan kapur, penghapus, dan sebagainya.

Selain itu guru juga harus menjadi contoh dalam pengembangan sikap saling menghormati. Guru harus bisa memperlihatkan sikap menghormati sekalipun pada orang yang lebih muda. Misalnya dalam menghadapi siswa yang melaksanakan kesalahan harus diberi kesempatan melaksanakan pembelaan diri. Jangan memposisikan siswa sebagai pihak yang paling bersalah sehingga harus mendapatkan hukuman tanpa melaksanakan kontrak sosial bersama siswa.

B.     Membangun Sekolah Berdisiplin Moral

1.      Peranan Sekolah Dalam Pembangunan Manusia Berkarakter Moral
Peranan pendidikan berkarakter moral di sekolah pernah dilakukan oleh Berkowitz & Bier (2003). Mereka menyatakan bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral menghipnotis peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan abjad menunjukan penurunan drastis pada sikap negatif siswa yang sanggup menghambat keberhasilan akademik. Hal ini disebabkan salah satu tujuan pendidikan abjad yaitu untuk pengembangan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai atau aturan yang ada. Ketika individu mempunyai integritas maka ia akan mempunyai keyakinan terhadap potensi diri (self efficacy) untuk menghadapi hambatan dalam belajar.

Beberapa tema-tema moral yang bekerjasama dengan kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006). Peserta didik yang mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Praktis memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah moral yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, (d). Mampu memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan sosial. Oleh lantaran itu, negara-negara maju turut menekankan pendidikan berkarakter moral tersebut sebagai soft-skill yang mengikuti kompetensi pembelajaran. Dengan demikian, lulusan dunia pendidikan akan lebih siap berkompetisi dalam kurun global dikala ini.

Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi penerima didik dalam pembentukan abjad namun sekolah merupakan komunitas untuk melakukan sharing nilai dengan guru, sahabat sebaya dan sivitas akademika. Apalagi, fenomena kurikulum kini yang sarat beban bagi penerima didik mengakibatkan ia tinggal lebih usang di sekolah daripada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh lantaran itu, pemakalah menawarkan usulan terhadap kiprah sekolah dalam membangun insan yang berkarakter moral sebagai berikut :
a.      Menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan terhadap kasus/ fenomena. 
Dalam hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah (syari’at) tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama inilah yang menjadi penggalan dari pembentukan abjad moral penerima didik. Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan syari’at sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh bagi insan itu sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Katolik Protestan tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan Etika Protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Juga The Golden Role dalam anutan agama Katholik biar insan berbagi kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa jago pemikir Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk abjad moral lantaran nilai agama yang universal juga mengatur hubungan antara insan dengan Tuhan, hubungan insan dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan insan dengan lingkungan sosialnya (interpersonal). Tidak ada agama yang tidak mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa ciri insan yang religius yaitu :
a.       Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua ajaranNya. Pada elemen ini, insan yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, insan yang mengaku beragama harus mempunyai pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan efek anutan agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai seorang Muslim maka ia tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai sesama muslim dan anutan Islam dijadikannya sebagai identitas dirinya.
c.       Meyakini dan memelihara hubungan dengan mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam semesta. Sebagai insan yang beragama maka kita dituntut untuk membina hubungan dengan orang lain, mahluk ghaib dan alam semesta.
d.      Keyakinan terhadap hari depan, yaitu keyakinan yang harus dimiliki oleh insan religius terhadap kehidupan masa depan, kehidupan sesudah kehidupan di dunia, menyerupai kematian, alam kubur, hari berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh lantaran itu, insan yang religius menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai investasi dalam kehidupan di masa mendatang, termasuk kehidupan darul abadi kelak.

Berdasarkan ciri insan yang religius atau mempunyai nilai-nilai agama tersebut maka sesungguhnya sama dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh penerima didik berdasarkan pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).
b.      Menyiapkan guru, abang kelas, sivitas akademika, alumni sebagai role model,
Definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka dibutuhkan figur teladan dalam menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini sesuai dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodho (seorang guru harus bisa menawarkan keteladanan sikap dan tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan sosokdigugulan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya menawarkan pengajaran moral tanpa mendidik (memberi keteladanan moral) maka akan terjadi kebingungan pada diri penerima didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang bermoral. Ketika guru melaksanakan tindakan amoral, menyerupai pelecahan secual, kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun melaksanakan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, abang kelas dan alumni pun sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika abang kelas dan alumni berkomitmen untuk membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka acara yang tidak bermoral, menyerupai kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran sanggup diminimalisasi.
c.       Menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan konsisten. 
Sekolah yang mempunyai aturan terperinci mengakibatkan tidak ada ambiguitas penerima didik dalam memahaminya. Aturan yang terperinci juga dimaksudkan biar penerima didik tidak mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain itu, yang dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang rasional ialah segala aturan tersebut bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau melarang suatu tindakan tetapi lebih kepada penguatan alasan mengapa aturan atau nilai tersebut ditegakkan. Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi kepada penerima didik dan sivitas akademika biar memahami latar belakang ditegakkannya nilai atau aturan tersebut. Rasionalitas atau alasan perihal penegakan nilai moral tersebut perlu dilakukan lantaran dalam psikologi perkembangan, seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap tindakan. Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka penerima didik akan menjalankan aturan dan nilai tersebut lantaran terdorong untuk kebaikan mereka sendiri. Hal ini pertanda aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang sempurna akan menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua pihak diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama (keadilan distributif).
d.      Membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah. 
Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak sanggup dijalankan jikalau tidak ada sinergi antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan berkarakter moral di lingkungan mencar ilmu namun hal ini tidak akan efektif jikalau tidak didukung keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan suatu PROSES. Maknanya, pendidikan berkarakter moral merupakan transfer secara sedikit demi sedikit dan berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah perihal ujian nasional (UNAS) mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan kepada hasil suatu sistem dan bukan kepada proses. Padahal sesungguhnya pendidikan lebih menekankan kepada proses suatu sistem. Oleh lantaran itu, disarankan biar pemerintah tidak membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.
e.       Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra, ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden curriculum
Dalam kegiatan intra-kurikuler dan ko-kurikuler, setiap mata pelajaran perlu menawarkan pesan moral khusus berkaitan dengan topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi perihal reproduksi insan perlu diberikan sosialisasi perihal dampak negatif sec pra-nikah jikalau organ reproduksi belum siap digunakan. Jadi, tidak sekedar pengetahuan sec tetapi juga menyisipkan pesan moral yang rasional.  Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak acara yang membina abjad moral penerima didik, menyerupai Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah Raga dan lain sebagainya. Bahkan pandangan gres untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin Kejujuran” perlu diwujudkan.
f.       Menyajikan story telling melalui multi media dengan melibatkan kiprah sebagai role model karakter moral.
Menurut Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang sempurna untuk memberikan pesan moral melalui kiprah tokoh-tokoh dalam suatu dongeng sebagai role model. Dengan demikian, story telling memiliki kemampuan untuk memberikan nilai-nilai moral lantaran anak dan remaja lebih gampang mendapatkan informasi melalui audio-visual. Oleh lantaran itu, disarankan story telling disajikan dalam multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan kognisi penerima didik dalam menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Sebagai contoh, story telling dengan tema budaya lokal, menyerupai Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi sehingga pesan

C.    Membangun Sekolah Kooperatif

1.      Pengertian Sekolah Kooperatif
Sekolah Kooperatif yaitu sekolah yang memberikan kebebasan kepada siswa baikmengenai pendidikan maupun biaya yang disesuaikan dengan kemampuan orang bau tanah tanpa merendahkan derajat sama sekali.

Sekolah Kooperatif menempatkan pemfokusan yang tinggi pada sekolah , guru dan masyarakat bekerja sama untuk menyediakan lingkungan yang terbaik yang mereka bisa untuk generasi muda. Perkembangan generasi muda menjadi warga negara global yang aktif dan berkarakter merupakan inti dari filosofi Sekolah Kooperatif.

2.      Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) merupakan salah satu taktik pembelajaran yang membelajarkan siswa secara berkelompok dan saling bekerja sama atau membantu untuk memecahkan suatu permasalahan. Model pembelajaran kooperatif tidak sekedar mencar ilmu dalam kelompok, namun harus memenuhi unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif supaya pengelolaan kelas lebih efektif (Lie, 2004: 29). Metode ini bukan sekedar diskusi yang dikuasai atau didominasi oleh beberapa orang saja. Kebanyakan yang lain hanya suka menjadi penonton yang pasif namun di sini guru harus mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Cilstrap dan Martin bekerja secara kelompok menawarkan pengertian sebagai kegiatan sekelompok siswa yang biasanya berjumlah kecil, yang diorganisir untuk kepentingan mencar ilmu (Roestiyah, 1998: 15). Keberhasilan kerja kelompok ini menuntut kegiatan kooperatif yang dimenuntut kegiatan yang kooperatif dari beberapa individu tersebut.

Dalam pembelajaran konstruktivisme, siswa diharapkan sanggup membangun dan membentuk pengetahuannya sendiri, bukan hanya mendapatkan informasi sepihak dari seorang guru. Pembentukan pengetahuan tersebut sanggup berasal dari diri yang bersifat individu, sanggup pula diperoleh secara berkelompok / bekerja sama dengan siswa lain. Dalam hal ini sangat berkaitan dengan masyarakat mencar ilmu (Learning Community), yang karenanya melahirkan pendekatan pembelajaran kooperatif.

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mana siswa mencar ilmu dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda. Dalam melaksanakan kiprah belajarnya, tiap anggota kelompok saling bekerja sama dan membantu untuk memahami materi yang sedang dipelajari. Salah satu kelebihan pembelajaran kooperatif yaitu menawarkan siswa ketrampilan untuk bekerja sama dan kerja sama dengan siswa lain, dengan aneka macam kemampuan dan abjad yang berbeda. Dengan pembelajaran kooperatif, acara siswa baik secara kelompok maupun individu akan sangat tinggi. Hal ini akan membuat pembelajaran lebih aktif dan dinamis. Karena setiap anggota kelompok mempunyai kiprah dan dan tanggung jawab yang harus dilakukan untuk kelompoknya.

Secara umum tujuan penerapan kerja kelompok ini yaitu untuk memupuk kemampuan kerja sama diantara penerima didik (siswa) dalam menuntaskan suatu kiprah sehingga dalam kelompok tersebut terjadi keterlibatan sosio-emosional dan intelektual penerima didik dalam proses mencar ilmu mengajar. Kemampuan bekerja sama dan saling mendukung akan teruji, menjadikan mobilitas yang tinggi dalam proses pembelajaran.

Ada lima prinsip mendasari pembelajaran kooperatif, yaitu:
a.       positive interdependence: anggota kelompok perlu bekerjasama untuk mencapai tujuan,
b.      face to face interaction: semua anggota berinteraksi dengan saling berhadapan,
c.       individual accountability: setiap anggota harus mencar ilmu dan menyumbang demi pekerjaan dan keberhasilan kelompok,
d.      use of collaborative/social skills: keterampilan bekerjasama dan bersosialisasi diperlukan, untuk ini diharapkan bimbingan guru biar siswa sanggup berkolaborasi,
e.       group processing: siswa perlu menilai bagimana mereka bekerja secara efektif.

3.      Unsur-Unsur Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif mempunyai banyak bentuk pelaksanaan, baik yang sesuai dengan definisi yang dimaksud di atas atau yang bersifat parsial saja. Keterlaksanaan pembelajaran kooperatif gres sanggup diangap berjalan dengan baik apabila telah dipenuhinya unsur-unsur sebagai berikut :
a.       Para siswa harus mempunyai persepsi bahwa mereka harus merasa “tenggelam dan berenang bersama-sama”. Artinya para siswa harus berusaha untuk memahami materi, memperluas materi, mendalami materi dan menyimpulkan hasil mencar ilmu secara bersama-sama. Nilai kebersamaan menjadi ukuran penentu untuk keberhasilan mencar ilmu diantara mereka semuanya.
b.      Para siswa harus seia sekata dan mempunyai tujuan yang sama. Maksudnya mengawali mencar ilmu dengan tujuan mencar ilmu yang sama dan pendapatnya merupakan kesimpulan dari hasil-hasil mencar ilmu masing-masing anggota kelompok.
c.       Para siswa harus mempunyai tanggung jawab yang maksimal terhadap diri sendiri dan terhadap setiap siswa lain dalam kelompoknya dalam mempelajari materi yang dihadapinya. Apabila ada siswa lain yang kurang bisa maka siswa anggota kelompok yang lain harus menggantikannya untuk menuntaskan beban kiprah dari siswa yang tidak bisa tersebut. Selain itu ia juga harus sanggup menuntaskan tugas-tugas pribadinya dengan baik dan benar.
d.      Para siswa harus bisa membagi kiprah dan tanggung jawab yang sama besarnya diantara para anggota kelompok. Sama besar disini dimaksudkan semuanya menerima beban kiprah dan tanggung jawab secara adil dan merata untuk setiap anggota kelompok melalui jalur musyawarah dengan mengedepankan tujuan pembelajaran yang disiapkan pada awal belajar. Diharapkan tidak terjadi adanya siswa yang menuntaskan beban kiprah dan tanggung jawabnya secara keseluruhan sehingga diharapkan terjadi pencarian materi mencar ilmu secara bersama-sama.
e.       Adanya pembagian kepemimpinan sementara untuk memperoleh ketrampilan dan bekerja sama dengan baik selama belajar. Kaprikornus sebelum kegiatan mencar ilmu dimulai masing-masing kelompok diadakan pembagian kiprah yang berfungsi untuk mengatur jalannya proses pembelajaran dimaksud.
f.       Setelah proses kegiatan mencar ilmu mengajar selesai, anggota kelompok harus sanggup mempertanggung-jawabkan materi mencar ilmu secara individual meskipun proses pembelajaran dilakukan secara berkelompok. Disinilah kesiapan masing-masing individu anggota kelompok secara pribadi untuk mengikuti proses pembelajaran sepenuhnya dengan penuh tanggung jawab dan berusaha semaksimal mungkin untuk sanggup menguasai materi dengan sebaik-baiknya.
g.      Keenam unsur pembelajaran kooperatif tersebut harus ada secara lengkap untuk menilai proses pembelajaran kooperatif tersebut sudah sanggup berjalan dengan baik atau belum. Dan unsur-unsur tersebut merupakan penentu masing-masing individu untuk memperoleh hasil mencar ilmu yang maksimal. Apabila salah satu unsur tidak tercapai atau hanya terealisasi untuk sebagian saja, maka kegiatan pembelajaran kooperatif tersebut tak mungkin sanggup menghasilkan prestasi secara baik. Disinilah letak kejelian guru untuk sanggup mengarahkan masing-masing siswa biar sanggup diplot sesuai dengan petunjuk-petunjuk guru yang semestinya. Guru menjadi sentral pemecah problem dari pelaksanaan pembelajaran kooperatif. Fungsi guru yaitu semacam motivator, perantara dan sumber materi yang diharapkan siswa dari pendalaman materi yang dilakukan oleh masing-masing kelompok.

4.      Manfaat  Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif ternyata telah menerima perhatian yang demikian luas dikalangan para praktisi pendidikan, peneliti pendidikan maupun dikalangan para stakeholder dunia pendidikan dibanyak negara, termasuk di Indonesia. Mereka menganggap pembelajaran kooperatif ini menjadi penting sebagai salah satu hal untuk sanggup memajukan dunia pendidikan menyerupai yang kita harapkan bersama. Mereka telah banyak melaksanakan pengamatan dan penelitian untuk memperoleh formula yang sempurna didalam menelaah pembelajaran kooperatif tersebut.

Dari pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh para praktisi pendidikan, para jago pendidikan, maupun oleh para penentu kebijakan didunia pendidikan mereka telah sanggup menemukan sekian banyak kelebihan-kelebihan dari pembelajaran kooperatif yang beraneka ragam jenisnya tersebut. Secara garis besar dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan para jago pendidikan sanggup kami simpulkan bahwa manfaat yang sanggup diambil dari pembelajaran kooperatif antara lain yaitu sebagai berikut :
a.       Mempercepat peningkatan kemajuan mencar ilmu siswa. (Pencapaian standar akademik mencapai nilai yang tinggi)
b.      Absensi siswa bertambah baik. Artinya sanggup mempertinggi tingkat kehadiran siswa, berkurangnya kenakalan-kenakalan siswa, dan berkurangnya jumlah siswa yang membolos.
c.       Menimbulkan sikap siswa kearah yang lebih positif.
d.      Menumbuhkan rasa senang para siswa untuk berada di sekolahnya.
e.       Mampu menambah motivasi dan rasa percaya diri siswa dalam kegiatan mencar ilmu mengajar. Elaborasi siswa meningkat.
f.       Menumbuhkan rasa senang dan saling membutuhkan diantara para siswa.
g.      Pembelajaran kooperatif gampang diterapkan dan sangatlah murah.

Manfaat-manfaat tersebut diatas sanggup tercapai, lantaran dengan menerapkan taktik pembelajaran kooperatif pada siswa, sanggup diartikan bahwa sekolah (yaitu guru dan siswa) telah melaksanakan hal- hal sebagai berikut :
a.       Berusaha dengan baik untuk sanggup mengembangkan dan memakai ketrampilan berpikir kritis dan kerjasama secara kelompok.
b.      Menyuburkan hubungan yang sangat positif diantara para siswa yang berasal dari latar belakang (suku, tingkat sosial ekonomi, kepandaian, beban hidup, da lain-lain) yang berbeda satu sama lainnya.
c.       Menerapkan bimbingan oleh sahabat (peer coaching), lantaran terjadi interaksi yang positif diantara para siswa dalam kelompoknya sehingga terjadi siswa yang memahami materi akan membimbing siswa lainnya yang belum memahami materi hingga dengan siswa tersebut sanggup memahami materi.
d.      Menciptakan lingkungan yang saling menghargai dan saling menghormati secara ilmiah diantara para siswa dalam kelompoknya, lantaran mereka berusaha menyatu dan terikat oleh satu tujuan yang sama.
e.       Berusaha membangun sekolah dalam suasana kerjasama., yaitu diawali dari kerjasama yang terjadi diantara para siswa dalam satu kelompok tersebut.

Kecuali itu, dengan taktik pembelajaran kooperatif ini mempunyai dampak positif terhadap siswa yang bermasalah atau mempunyai hasil mencar ilmu yang rendah. Karena dengan pembelajaran kooperatif ini mereka akan dilatih untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dalam menuntaskan tugas-tugasnya, melatih mempunyai rasa harga diri, meningkatkan kebaikan budi, meningkatkan kepekaan dan toleransi diantara para siswa, serta hal-hal lain yang lebih menguntungkan bagi perkembangan diri dan prestasi siswa tersebut.

Akan tetapi perlu disimak bahwa apabila pembelajaran kooperatif ini belum dilakukan disekolah atau masih berupa barang baru, maka akan muncul beberapa kemungkinan yang kurang menguntungkan. Kemungkinan-kemungkinan jelek tersebut antara lain sanggup berupa  para siswa bertambah resah dalam belajar, para siswa kehilangan rasa percaya diri, atau bahkan lebih parah lagi terjadi kejadian saling mengganggu diantara para siswa.

Sehingga pembelajaran kooperatif ini pemberlakuannya perlu diadaptasikan terlebih dahulu, dikaji bentuknya yang paling sempurna dan disesuaikan dengan kondisi siswa secara keseluruhan. Yang niscaya tak ada salahnya untuk mencoba lantaran keuntungannya yang demikian banyak. Kita akan tahu hasil dan keuntungannya sesudah kita mencobanya dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati disertai rasa tanggung jawab yang nrimo sebagai seorang pendidik.

D.    Membangun Sekolah Progresif Berbasis Karakter

1.      Sekolah Progresif Berbasis Karakter
Sekolah Progresif Berbasis Karakter yaitu sekolah yang menerapkan pendidikan progresif dengan berdasar pada implementasi nilai-nilai abjad supaya menjadi budaya sekolah yang berkarakter. Pembelajaran di sekolah ini menyediakan pengalaman-pengalaman mencar ilmu siswa biar potensi siswa sanggup berkembang secara optimal dalam segala aspek terutama aspek afektifnya sehingga tercipta budaya sekolah berkarakter.

2.      Pandangan Pendidikan Progresif
Paradigma pendidikan terdahulu yaitu pencerdasan siswa dalam bidang kognitip saja, para pendidik hanya berorientasi pada bagaimana cara mentransfer materi-materi pelajaran kepada siswanya. Proses pendidikan dikala itu hanya berorientasi pada perolehan nilai akademik yang tinggi bagi para siswa, yang pada puncaknya mereka akan menuntaskan proses pendidikan serta “gelar-gelar pendidikan” yang tinggi pula. Dengan kondisi yang demikian maka tidaklah salah jikalau pendidikan terpisah dari masyarakat, pendidikan hanya mengasah kemampuan intelektual. Sehingga pendidikan dipandang tidak bisa menuntaskan masalah – masalah yang ada di masyarakat.

Pendidikan yang kita jalani dikala itu dianggap oleh sebagian masyarakat hanya bisa melahirkan gelar-gelar saja. Mereka kecewa dengan pendidikan yang telah mereka jalani. Mereka tidak sanggup memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya, bahkan tidak sedikit pula diantara mereka yang berpendidikan tinggi karenanya hanya jadi pengangguran.

Dengan kondisi yang ada menyerupai diatas muncul pertanyaan di benak kita, “Sesungguhnya apa kekurangan dari sistem pedidikan yang telah kita jalani selama ini ?”
Berdasarkan studi pikologi mencar ilmu serta sosiologi pendidikan, maka masyarakat pendidikan menghendaki biar proses pembelajaran harus sanggup memperhatikan minat, kebutuhan, dan kesiapan anak didik untuk belajar, serta dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial sekolah. Salah satu teori yang mendukung gagasan ini yaitu teori mencar ilmu Progresif yang dikemukakan oleh John Dewey. Teori Progresivisme sebetulnya merupakan ekspansi pikiran-pikiran pragmatisme pendidikan. Teori ini memandang penerima didik sebagai makhluk sosial yang aktif, dan beliau percaya bahwa penerima didik ingin memahami perihal lingkungan dimana beliau berada, baik lingkungan personal (individu) ataupun kolektip (sosial).

Menurut Dewey terdapat tiga tingkatan kegiatan yang bisa dipergunakan di sekolah. Tingkatan pertama untuk anak pada pendidikan prasekolah, pada anak tingkatan ini diharapkan latihan berkenaan dengan pengembangn kemampuan panca indra dan pengembanan koordinasi fisik. Tingkatan kedua pembelajaran haruslah memakai materi – materi mencar ilmu yang bersumber pada lingkungan. Diperlukan aneka macam variasi materi mencar ilmu yang sanggup menumbuhkan minat dan kreatifitas siswa dalam belajar. Tingkatan ketiga yaitu tingkatan dimana anak akan menemukan pandangan gres – pandangan gres atau gagasan, mengujinya, dan memakai pandangan gres – pandangan gres atau gagasan tersebut untuk memecahkan problem atau masalah - masalah yang sejenis.

Pandangan Dewey di atas tentunya tidak jauh berbeda dengan pandangan beberapa jago pendidikan yang lain, sebut saja Piaget (Sumantri M, & Syaodin N ; hal.1.15 ) yang mengkategorikan perkembangan mencar ilmu anak dalam 4 tingkatan, yaitu :
1)      Tahap sensori motor ( 0;0 - 2;0 tahun )
2)      Tahap praoprasional ( 2;0 – 7;0 tahun )
3)      Tahap oprasional kongkrit ( 7;0 – 11;0 )
4)      Tahap oprasional formal ( 11;0 – 15;0 )

Sedangkan berdasarkan Bruner ( Sumantri M. dan Permana J. hal. 24 ), guru mengembangkan mencar ilmu anak dengan cara menyediakan situasi positif bagi terjadinya eksplorasi yang aktif di pihak anak; dimolai dari format atau bentuk bentuk yang berada disekitar kehidupan si anak, kiprah dan kegiatan– kegiatan kemudian yang telah biasa dilakukan si anak itu, untuk kemudian memakai bahasa yang lebih kompleks.

Dewey ( Tilaar: 2000 ) juga mengemukakan bahwa, Pendidikan merupakan proses sosial bagi orang yang belum sampaumur ( Anak-anak ) untuk menjadi penggalan yang aktif dan partisipatif dalam masyarakat. Sekolah yaitu lingkungan khusus yang dibuat oleh anggota masyarakat dengan tujuan untuk menyederhanakan, memudahkan dan menyatukan pengalaman – pengalaman sosial biar sanggup dipahami, diuji dan dipakai oleh anak itu sendiri dalam kehidupan sosial.

Pendidikan haruslah bisa mengembangkan kemampuan personal dan sosial penerima didik. Oleh lantaran itu kiprah pendidikan yaitu membangun kembali pengalaman yang bisa menawarkan makna terhadap kehidupan penerima didik dan yang sanggup meningkatkan kemampuan penerima didik dalam memecahkan problem – problem yang dihadapi dimasa kini dan masa yang akan datang.

Menurut Dewey, harus terjadi perubahan dalam situasi pendidikan. Dia ingin adanya perubahan dalam beberapa hal dengan jalan :
1)      Memberikan kesempatan kepada murid untuk mencar ilmu secara perorangan.
2)      Memberikan kesempatan kepada murid untuk mencar ilmu melalui pengalaman.
3)      Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti menawarkan tujuan yang sanggup menjelaskan arah kegiatan mencar ilmu yang merupakan kegiatan pokok anak didik.
4)      Mengikutsertakan murid di dalam setiap aspek kehidupan sekolah (mencakup pengajaran, administrasi, dan bimbingan)
5)      Menyadarkan murid, bahwa hidup itu dinamis. Karena itu murid harus dihadapkan dengan dunia yang selalu berubah dengan kemerdekaan beraktivitas, dengan orientasi kehidupan masa kini.
   
3.      Pembelajaran Progresif Berbasis Karakter
Pembelajaran Progresif Berbasis Karakter yaitu pembelajaran yang didasarkan pada kepentingan siswa dengan mengimplementasikan nilai-nilai karakter. Pembelajaran yang dilaksanakan berbasis pengalaman dan menekankan pada pemecahan masalah yang terjadi di masyarakat. Pembelajaran Progresif timbul sebagai reaksi terhadap kekurangan-kekurangan Pembelajaran Tradisional. Program pendidikan progresif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)      Penekanan pada learning by doing, pembelajaran ekspedisi, pengalaman belajar
2)      Kurikulum terpadu difokuskan pada unit tematik
3)      Integrasi kewirausahaan dalam pendidikan
4)      Penekanan berpengaruh pada pemecahan masalah dan berpikir kritis
5)      Kelompok kerja dan pengembangan keterampilan sosial
6)      Memahami dan tindakan sebagai tujuan mencar ilmu sebagai lawan pengetahuan hafalan
7)      Proyek pembelajaran kolaboratif dan kooperatif
8)      Pendidikan untuk tanggung jawab sosial dan demokrasi
9)      Pemilihan isi pelajaran dengan melihat ke depan untuk meminta keterampilan apa yang akan dibutuhkan dalam masyarakat masa depan
10)  Penekanan pada buku teks yang mendukung sumber daya bervariasi pembelajaran
11)  Penekanan pada mencar ilmu seumur hidup dan keterampilan sosial
12)  Penilaian oleh penilaian proyek dan produksi anak (berfokus pada proses)
13)  Berpusat pada murid (student center)
14)  Pendidikan untuk dikala ini
15)  Positif disiplin
16)  Berorientasi pada proses
17)  Memanfaatkan bermacam-macam cara belajar
18)  Konsep yang disajikan untuk penyelidikan oleh murid
Salah satu contoh pelaksanaan Pembelajaran Progresif Berbasis Karakter yaitu Program “We the Peple..Project Citizen” dengan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut :
a.      Mengidentifikasi masalah kebijakan publik yang ada dalam masyarakat
Pada langkah ini kelas difasilitasi untuk sanggup mengidentifikasi aneka macam masalah yang ada di lingkungan masyarakat dengan melalui pengamatan, interview, dan studi dokumentasi yang dilakukan secara kelompok.
b.      Memilih masalah sebagai fokus kajian kelas
Pada langkah ini, kelas difasilitasi untuk mengkaji aneka macam masalah itu dan kemudian menentukan satu masalah yang paling layak untuk dipecahkan.
c.       Mengumpulkan informasi terkait masalah yang menjadi fokus kajian kelas
Pada langkah ini kelas difasilitasi untuk mengumpulkan informasi yang diharapkan dalam rangka pemecahan masalah tersebut dari aneka macam sumber informasi yang relevan dan tersedia, menyerupai perpustakaan, media massa, kalangan profesional dan ahli, pejabat pemerintah, organisasi non pemerintah, dan tokoh serta anggota masyarakat.
d.      Mengembangkan suatu portfolio kelas
Pada langkah ini, kelas mengembangkan portfolio berupa himpunan hasil kerja kelompok dalam rangka pemecahan masalah tersebut dan menyajikannya secara keseluruhan dalam bentuk panel festival yang sanggup dilihat bersama, yang melukiskan saling keterkaitan masalah, alternatif kebijakan, dukungan atas alternatif kebijakan, dan planning tindakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
e.       Menyajikan portfolio kelas dalam suatu simulasi dengar pendapat
Pada langkah ini, keseluruhan portfolio yang telah dikembangkan kemudian disajikan dan dipamerkan kepada sivitas akademika dan masyarakat.
f.       Melakukan kajian reflektif atas pengalaman mencar ilmu yang dilakukan
Pada langkah terakhir, kembali ke kelas untuk melaksanakan refleksi atau pengendapan dan perenungan mengenai hasil mencar ilmu yang dicapai melalui seluruh kegiatan tersebut.

E.     Strategi Mendidik Anak Berkarakter di Sekolah

Penerapan pendidikan abjad di sekolah dasar dilakukan pada ranah pembelajaran (kegiatan pembelajaran), pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler, dan kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat. Adapun klarifikasi masing-masing ranah tersebut yaitu sebagai berikut.

1.   Kegiatan pembelajaran                                                   
Penerapan pendidikan abjad pada pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan dengan memakai taktik yang tepat.Strategi yang sempurna yaitu taktik yang memakai pendekatan kontekstual.Alasan penggunaan taktik kontekstual yaitu bahwa taktik tersebut sanggup mengajak siswa menghubungkan atau mengaitkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata.Dengan sanggup mengajak menghubungkan materi yang dipelajari dengan dunia nyata, berati siswa diharapkan sanggup mencari hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan itu, siswa lebih mempunyai hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga) (Puskur, 2011 : 8).                

Adapun beberapa taktik pembelajaran kontekstual antara lain,
1)      pembelajaran berbasis masalah,
2)      pembelajaran kooperatif,
3)      pembelajaran berbasis proyek,
4)      pembelajaran pelayanan, dan
5)      pembelajaran berbasis kerja.

Puskur (2011 : 9) menjelaskan bahwa kelima taktik tersebut sanggup memberikan nurturant effect pengembangan abjad siswa, seperti: abjad cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, rasa ingin tahu.

2.   Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar
Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan mencar ilmu dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan, pengkondisian.Adapun hal-hal tersebut yaitu sebagai berikut.
a.                     Kegiatan rutin
           Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang rutin atau ajeg dilakukan setiap saat. Kegiatan rutin sanggup juga berarti kegiatan yang dilakukan siswa secara terus menerus dan konsisten setiap dikala (Puskur, 2011: 8). Beberapa contoh kegiatan rutin antara lain kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, investigasi kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdoa sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman.
b.                     Kegiatan spontan
            Kegiatan impulsif sanggup juga disebut kegiatan insidental.Kegiatan ini dilakukan secara impulsif tanpa perencanaan terlebih dahulu.Contoh kegiatan ini yaitu mengumpulkan sumbangan ketika ada sahabat yang terkena tragedi alam atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana.
c.                      Keteladanan
           Keteladanan merupakan sikap “menjadi contoh”.Sikap menjadi contoh merupakan sikap dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan siswa dalam menawarkan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi siswa lain (Puskur, 2011: 8).Contoh kegiatan ini contohnya guru menjadi contoh pribadi yang bersih, rapi, ramah, dan supel.
d.         Pengkondisian
Pengkondisian berkaitan dengan upaya sekolah untuk menata lingkungan fisik maupun nonfisik demi terciptanya suasana mendukung terlaksananya pendidikan karakter.Kegiatan menata lingkungan fisik contohnya yaitu mengkondisikan toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas (Puskur, 2011: 8).Sedangkan pengkondisian lingkungan nonfisik contohnya mengelola konflik antar guru supaya tidak menjurus kepada perpecahan, atau bahkan menghilangkan konflik tersebut.

3.   Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler
Kegiatan ko dan ekstra kurikuler merupakan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan pembelajaran. Meskipun di luar kegiatan pembelajaran, guru sanggup juga mengintegrasikannya dalam pembelajaran.Kegiatan-kegiatan ini sesungguhnya sudah mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Namun demikian tetap diharapkan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian yang baik atau merevitalisasi kegiatan-kegiatan ko dan ekstra kurikuler tersebut biar sanggup melaksanakan pendidikan abjad kepada siswa.

F.     Membangun Kemitraan Sekolah dan Orang Tua dalam Pengembangan Karakter Anak

Keberhasilan jangka panjang akan pendidikan nilai-nilai yang gres bergantung pada kekuatan diluar sekolah pada taraf ketika keluarga dan komunitas bergabung dengan sekolah dalam perjuangan bersama unutk memenuhi kebutuhan akan bawah umur dan membantu perkembangan kesehatan mereka. Pada dikala banyak masalah moral, krisis dalam keluaraga yaitu masalah yang paling serius dalam keluaraga.

Bagaimana kita mendukung dan memperkuat  keluarga dalam kiprah yang menghormati waktu sebagai pemberi perhatian dan guru  moral pada bawah umur . para orang tua  memerlukan informasi dan gambaran yang berkaitan dengan semua cara dimana mereka sanggup menghipnotis kesehatan, kebahagiaan, rasa percaya diri, dan abjad pada anak mereka.
Departemen isyarat public meluncurkan kampanye nasional diseluruh Negara tahun 1987 yang disebut sebagai Tahun Pendidikan Keluarga.

Orang bau tanah sebagai guru yang sukarela dan bersedia tanpa biaya atau tanpa batas melaksanakan acara kampanye menyerupai tiap bulan pendidik melaksanakan kunjungan kepada orang tua untuk menawarkan kiprah ringan untuk dilakukan bawah umur menyerupai bermain puzzle. Orang bau tanah mengamati anak bermain dan membantu mereka untuk belajar. Selain itu,  acara kampanye melaksanakan pertemuan sharing antar orang tuaanak dengan orang tua anak sebayanyaa.

Adapun tujuan dari kemitraan sekolah ini diantarnya :
1)      Mendidik para guru perihal peranan mereka dalam mempromosikan keterlibatan orang bau tanah secara lebih besar
2)      Berbagi informasi dengan sekolah mengenai bagaimana mereka sanggup meningkatkan komunikasi antara rumah dan sekolah
3)      Mendapatka informasi secara pribadi dri orang bau tanah mengenai kiprah mereka dalam pendidikan anak mereka.

Disamping perjuangan yang disebar luaskan untuk membantu orang bau tanah dan anak, banyak hal yang sanggup dilakukan sekolah untuk merekrut orang bau tanah sebagai partner baik kiprah khusus maupun mengembangkan nilai moral dan abjad yang baik. Tantangan ini terdiri dari 2 hal, yakni :
1)      Mendorong dan membantu orang bau tanah untukmelaksanakn kiprah mereka sebagai pendidik utama moral anak dan
2)      Membuat orang bau tanah mendukung ssekolah dalam usahanya untuk mengerjakan moral positif .

Dari kemitraan sekolah dan orang tua, diperoleh urutan  10 nilai abjad anak yang akan dikembangkan diantaranya :
1)      Menjadi percaya diri
2)      Menjadi bertanggung jawab dan sanggup diandalkan
3)      Menjadi ingin tahu dan ingin belajar
4)      Manjadi diri sendiri dan bisa mengarahkan diri sendiri
5)      Mampu berkerja sama dengan temannya
6)      Menjadi sensitif dengan orang lain
7)      Menjadi baik dan penuh perhatian
8)      Menjadi pekerja keras
9)      Mendapatkan nilai yang baik
10)  Menjadi ramah dan bertempramen baik

Memberikan komunitas untuk kebutuhan bangsa
Bagaimana kemitraan sekolah dan orang bau tanah serta komunitas  sanggup berkerjasama membuat keluarga abjad sanggup diuraikan melalui beberapa kiprah sekolah dan orang bau tanah diantaranya sebagai berikut :
1)      Sebuah kampanye nasional yang menyoroti semua cara dimana orang bau tanah yaitu distributor penting  bagi anak-anak
2)      Kebijakan pemerintah, menyerupai cuti orang bau tanah yang mendukung ikatan antara ornag bau tanah dan kehidupan keluarga
3)      Menyajikan survei nilai dari ornag bau tanah untuk mengidentifikasi kualitas abjad yang mereka ingin kembangkan dalam anak mereka
4)      Mengadakan loka karya berbasis sekolah bagi keahlian menjadi orang bau tanah (mengajarkan orang bau tanah begaimana membantu anak meraka melaksanakan lebih baik dari sekedar yang dilakukan di sekolah)
5)      Adanya materi pembahasan nilai berbasis rumah, diberikan pada orang bau tanah yang membangun pelajaran di kelas
6)      Sekolah membantu jaringan orang bau tanah untuk membahas urusan-urusan umum

Sebagaimana dikemaukakan sebelumnya telah dibahas penerapan pendidikan abjad pada pendidikan dasar dan menengah. Namun demikian pendidikan abjad tidak bisa hanya dilakukan dalam lingkungan sekolah, tetapi juga harus dilakukan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Suasana kehidupan di sekolah dan di rumah menghipnotis perkembangan kepribadian anak, lantaran hal itu merupakan wahana penyemaian nilai-nilai yang akan dijadikan contoh oleh anak dalam setiap tindakannya.

Oleh karenanya perlu  dibangun kemitraan sekolah dan keluarga dalam pendidikan karakter. Hal ini untuk menghindari terjadinya pertentangan atau ketidakselarasan  antara nilai-nilai  yang harus dipegang teguh oleh bawah umur di sekolah  dan yang harus mereka ikuti di lingkungan keluarga atau masyarakat. Apabila terjadi konflik nilai, bawah umur mungkin akan merasa resah sehingga tidak mempunyai pegangan nilai yang menjadi contoh dalam berperilaku, dan dikhawatirkan tidak bisa mengontrol diri dalam menghadapi pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan sekitar mereka.

Masih dengan gaya berpikir andalan, "otak atik gatuk", berdasarkan saya ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam membentuk jaringan kemitraan sekolah dan keluarga dalam pendidikan karakter, yaitu :
1)      Mengubah cara pandang orang bau tanah mengenai lembaga pendidikan. Ada sebagian orang bau tanah yang berpandangan bahwa sekolah yaitu satu-satunya lembaga yang bisa mencetak pribadi berkarakter, sehingga terkesan menyerahkan tanggung jawab penanaman nilai-nilai abjad kepada sekolah. Cara pandang tersebut harus dirubah, lantaran keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Selain itu, sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah. Nilai-nilai abjad yang ditanamkan di sekolah tidak akan bisa secara efektif merubah sikap dan abjad anak, apabila tidak didukung dengan penanaman nilai-nilai yang sama dalam keluarga.
2)      Mensosialisasikan konsep pendidikan abjad dalam lingkungan keluarga. Orang bau tanah penting untuk memahami bahwa pendidikan abjad tidak bisa hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga harus dilakukan juga dalam kehidupan di keluarga. Secara praktis, pendidikan abjad sanggup dipahami melalui tiga proses, yaitu "knowing the good, loving the good, dan acting the good". Orang bau tanah harus melaksanakan sosialisasi nilai-nilai karakter, menjadikan anak menyayangi nilai-nilai tersebut, serta membiasakan anak melaksanakan nilai-nilai tersebut. Beberapa taktik sanggup dilakukan orang untuk melakukannya, menyerupai membuat iklim dialogis dalam keluarga, keteladanan, pembiasaan, dan dalam segala acara kehidupan dalam lingkungan keluarga. Orang bau tanah sanggup mengadopsi taktik yang diterapkan di sekolah untuk coba diterapkan di rumah.
3)      Mendiskusikan nilai-nilai abjad yang harus dikembangkan pada anak. Nilai-nilai abjad yang hendak dikembangkan di sekolah, yang juga diprogramkan untuk dikembangkan di lingkungan keluarga hendaknya merupakan hasil diskusi pihak sekolah dan perwakilan orang tua, dan selanjutnya disosialiasikan kepada seluruh orang bau tanah siswa. Penentuan nilai-nilai abjad yang dikembangkan tersebut hendaknya sanggup disesuaikan dengan kondisi siswa dan juga efek negatif lingkungan yang sanggup menghipnotis siswa.  Keselarasan dalam pengembangan nilai-nilai karakter, diharapkan bisa meningkatkan efektivitas penanaman nilai abjad dalam lingkungan sekolah dan keluarga.

Pada harapan selanjutnya pendekatan pendidikan abjad secara komprehensif dengan melibatkan sekolah dan keluarga, apalagi ditambah dengan lingkungan, maka etika mulia sanggup terukir menjadi "habit of the mind" atau kebiasaan berpikir, dan menjadi dasar dalam setiap tindakannya. Apabila anak dihadapkan pada situasi yang menawarkan kesempatan untuk berbuat curang yang akan menguntungkannya, maka anak akan berpikir bahwa hal itu bertentangan dengan nilai-nilai abjad yang positif, sehingga tetap menentukan untuk berbuat jujur apapun konsekuensinya.

G.    Strategi Pemberdayaan Keluarga bagi Pendidikan Karakter Anak

Sekolah dengan dukungan orang bau tanah yang berpengaruh pada acara nilai, biasanya mempunyai orang bau tanah yang berfungsi dalam kiprah kepemimpinan. Strategi yang diasanya dilakukan dalam pemberdayaan pendidikan abjad oleh keluarga yang didukung oleh sekolah sering disebut 

Proyek Pengembangan Anak. Bagi setiap sekolah yang berpartisipasi terdapat kelompok orang bau tanah yang merencanakan bagaimana keluarga sanggup mengimplementasikan tujuan yang sama antara guru dan orang bau tanah di ruang kelas. Dalam sebuah survei pada Proyek Pengembangan Anak di sekolah, kira-kira 50% orang bau tanah menyampaikan mereka melaksanakan perubahan yang positif dalam hidup berkeluarga sebagai hasil partisipasi mereka di kegiatan festival sains keluarga. Namun sayangnya, ini merupakan pengamatan yang dianggap biasa bahwa menjadi orang bau tanah merupakan pekerjaan terberat di dunia dan tidak ada pelatihannya.

Proyek Pengembangan Anak  berdasarkan San Ramon menyampaikan bahwa “Setiap dua hingga dengan tiga ahad , para guru mengirim ke rumah pekerjaan rumah keluarga melalui bawah umur menyerupai membacakan dongeng pendek atau puisi secara bersamaan bersama keluarga”.

Salah satu pekerjaan rumah keluarga lainnya menyerupai mengurutkan empat aturan yang harus diikuti anak di rumah, kemudian di diskusikan dengan orang bau tanah dan alasan di tiap aturan.

Tugas pertama seorang anak disekolah yaitu untuk mencar ilmu dan dukungan paling fundamental yang dibutuhkan sekolah dari para orang bau tanah yaitu dukungan untuk pembelajaran tersebut. Keterlibatan orang bau tanah dalam pembelajaran anak-anaknya merupakan sisi terdepan dari pembaharuan sekolah dikala ini.

1.      Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam

Dalam al-Quran ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan abjad atau etika yang sanggup dipakai untuk membedakan sikap seorang Muslim, menyerupai perintah berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr), menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut pada Allah Swt., beramal di jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. al-Qashash [28]: 77; QS. al-Baqarah [2]: 177; QS. al-Muminun (23): 1–11; QS. al-Nur [24]: 37; QS. al-Furqan [25]: 35–37; QS. al-Fath [48]: 39; dan QS. Ali ‘Imran [3]: 134).

Ayat-ayat ini merupakan ketentuan yang mewajibkan pada setiap Muslim melaksanakan nilai abjad mulia dalam aneka macam aktivitasnya

Secara singkat prinsip-prinsip etika atau abjad dalam rangka melaksanakan hubungan antar insan (hablun minallah) dalam keluarga bisa dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu 1) bekerjasama dengan orang tua, 2) bekerjasama dengan orang yang lebih tua, 3) bekerjasama dengan orang yang lebih muda, 4) bekerjasama dengan sahabat sebaya, 5) bekerjasama dengan lawan jenis.

a.      Karakter dengan orang tua
Al-Quran menggambarkan penderitaan orang bau tanah yang sangat berat ketika melaksanakan pengasuhan terhadap anak-anaknya (QS. Luqman [31]: 14). Di antara bentuk penghormatan kepada orang bau tanah yaitu :
1)      Memanggil orang bau tanah dengan panggilan yang memperlihatkan rasa hormat, menyerupai bapak, ayah, papa, dan lain sebagainya
2)      Berbicara dengan orang bau tanah dengan lemah lembut (baik bahasanya maupun suaranya)
3)      tidak mengucapkan kata-kata bernafsu atau kata-kata lain yang menyakitkan hati orang tua
4)      Membantu kedua orang bau tanah secara fisik dan material
5)      Selalu mendoakan kedua orang tua

b.      Karakter dengan orang yang lebih tua
Dalam rangka pembinaan hubungan baik (berkarakter) dengan orang yang lebih tua, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah: 1) Jika orang-orang yang lebih bau tanah itu yaitu saudara kita, maka kita harus menawarkan penghormatan yang sebaik-baiknya menaati perintahnya (yang tidak melanggar anutan agama), membantunya, menjenguknya jikalau sakit, dan sebagainya; 2) Jika orang-orang yang lebih bau tanah itu bukan saudara kita, maka kita tetap harus menghormatinya.

c.       Karakter dengan orang yang lebih muda
Yang harus kita lakukan dalam rangka bekerjasama dengan orang-orang yang lebih  muda yaitu sebagai berikut :
1)      Jika mereka itu saudara kita, maka kita harus menawarkan kasih sayang kita yang sepenuhnya dengan ikut merawatnya, membimbingnya, mendidiknya, dan membantunya jikalau mereka membutuhkan sumbangan kita. Tentu saja apa yang kita lakukan ini dalam rangka membantu orang bau tanah dalam mengasuh dan membesarkan mereka
2)      Jika mereka bukan saudara kita, kita tetap harus menyayangi mereka dengan memperlihatkan kasih sayang kita kepada mereka. Jangan sekali-kali kita menyakiti mereka dan melaksanakan sesuatu yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka, baik dari segi fisik maupun mental atau kejiwaan mereka.

d.      Karakter dengan sahabat sebaya
Teman sebaya yaitu orang-orang yang mempunyai usia yang hampir sama dengan usia kita dan menjadi sahabat atau sahabat kita. Kepada mereka ini kita harus sanggup bergaul dengan sebaik-baiknya. Mereka ini yaitu orang-orang yang sehari-harinya bergaul dengan kita dan menemani kita baik di kala suka maupun di kala duka.

Hal-hal yang sanggup kita lakukan dalam rangka bekerjasama dengan sahabat sebaya
di antaranya yaitu :
1)      Saling memberi salam setiap bertemu dan berpisah dengan mereka dan dilanjutkan saling berjabat tangan, kecuali jikalau mereka itu lawan jenis kita. Kepada yang lain jenis tidak diperbolehkan berjabat tangan, kecuali terhadap mahram (orang yang merupakan kerabat dekat)-nya
2)      Saling menyambung tali silaturrahim dengan merekadengan mempererat persahabatan dengan mereka
3)      Saling memahami kelebihan dan kekurangan serta kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk kesalahfahaman sanggup dihindari
4)      Saling tolong-menolong. Yang berpengaruh menolong yang lemah dan yang mempunyai kelebihan menolong yang mempunyai kekurangan
5)      Bersikap rendah hati dan dihentikan bersikap sombong kepada temanteman sebaya kita
6)      Saling mengasihi dengan mereka, sehingga terhindar dari permusuhan yang sanggup menghancurkan hubungan persahabatan di antara sahabat yang seumur
7)      Memberi perhatian terhadap keadaan mereka, apalagi jikalau mereka benar-benar berada dalam kondisi yang memprihatinkan
8)      Selalu membantu keperluan mereka, apalagi jikalau mereka meminta kita untuk membantu
9)      Ikut menjaga mereka dari gangguan orang lain
10)  Saling memberi nasihat dengan kebaikan dan kesabaran

e.       Karakter dengan lawan jenis
Karakter yang harus kita bangun dalam rangka bekerjasama dengan orang-orang yang menjadi lawan jenis kita adalah: 1) Tidak melakukan khalwat, 2) Tidak boleh menampakkan aurat di hadapan lawan jenisnya dan juga dihentikan saling melihat aurat satu sama lain
Untuk melengkapi uraian ini perlu dicermati nasihat-nasihat al-Ghazali dalam rangka pendidikan abjad anak. Al-Ghazali memberi nasihat dengan empat hal, yaitu :
1)      Hendaknya bawah umur dibiasakan dengan abjad yang terpuji dan perbuatan yang baik serta dijauhkan dari perbuatan yang jelek dan rendah. Hendaklah ditanamkan dalam diri bawah umur tersebut sifat-sifat pemberani, sabar, dan rendah hati, menghormati sahabat dan orang yang lebih tua, sedikit bicara, suka mendengarkan hal-hal yang baik, taat kepada kedua orang bau tanah dan kepada guru serta pendidikannya. Di samping itu, hendaklah diajarkan pada bawah umur biar menjauhi perkataan yang tak mempunyai kegunaan dan kotor, congkak terhadap teman-teman mereka, atau melaksanakan suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh kedua orang tua.
2)      Hendaknya abjad baik dan perbuatan yang baik anak didorong untuk berkembang dan ia selalu dimotivasi untuk berani berbuat baik dan berkarakter mulia. Dalam hubungan ini al-Ghazali menegaskan, bila dalam diri anak itu nampak terperinci abjad dan perbuatan terpuji, maka hendaklah ia dipuji dan diberi hadiah (rewards) yang menyenangkannya serta disanjung.
3)      Hendaknya jangan mencela anak dan hendaknya membuat jera berbuat kesalahan (dosa). Al-Ghazali menegaskan, jangan banyak berbicara terhadap anak dengan umpatan dan celaan pada sekali waktu, lantaran itu akan mengakibatkan ia meremehkan bila mendengar celaan dan menganggap remeh perbuatan jelek yang dilakukannya serta mengakibatkan hatinya kebal terhadap ucapan atau meremehkannya, akan tetapi hendaknya orang bau tanah menjaga wibawanya dalam berbicara dengannya dan janganlah sekali-kali mengahardiknya.
4)      Kepada bawah umur yang sudah sampaumur (baligh) hendaknya diajarkan hukum-hukum syariah dan masalah-masalah keagamaan. Jangan sekali-kali orang bau tanah atau pendidik mentolelir anak meninggalkan shalat dan bersuci. Jika anak semakin dewasa, maka ia harus diberikan pendidikan perihal diam-diam syariah atau nasihat dari ajaran-ajaran agama yang diberikan kepadanya.

2.      Potensi Keberhasilan Keluarga Dalam Pendidikan Holistik Berbasis Karakter
Kihajar Dewantara (2004) menjelaskan arti penting keluarga dalam membantu perkembangan anak lantaran anak masih belum mempunyai budi pekerti tertentu, belum mempunyai jiwa yang tetap, dan masih bersifat global. Anak masih gampang mendapatkan pengeruh dari linkungan yang akan membentuk dasar perkembangan mereka. Perkembangan anak secara utuh (holistik) meliputi dimensi sosial, emosional, bahasa dan kognitif, fisik serta kreatifitas. Shocib (1998) menjelaskan bahwa pola asuh dalam keluarga dua kiprah pokok , yaitu mengembangkan abjad dan kompetensi anak. Pendidikan anak usia dini harus dilakukan secara holistik. Stimulasi yang diberikan oleh keluarga terhadap anak bertujuan mempercepat atau meningkatkan perkembangannya secara akuratberbentuk stimulasi auditif, visual, maupun taktil (Baumrind, 1996).

Hasil penelitian menunjunjukan bahwa keluarga berpotensi mengembangkan abjad anak melaluiikatan emosi yang berpengaruh antara orang bau tanah dan anak, prinsip ornag bau tanah yang menentukan apresiasi anak dalam nilai disiplin diri yang ditanamkan. Pada pihak lain ditemukan sebesar 80% keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh EQ (Emosional Quotient) dan hanya 20% ditentukan faktor lain termasuk IQ (Intellegence Quotient). Prinsip-prinsip pengasuhan tersebut meliputi: keteladanan diri, kebersamaan dengan anak dalam merealisasikan nilai moral, sikap demokratis dan terbuka dalam kehidupan keluarga, kemampuan menghayati kehidupan anak dan kesatuan kata dalam tindakan (Sugito, 2007). Tingkat intensitas penggunaan prinsip pengasuhan orangtua akan menghasilkan tingkat kepercayaan dan kewibawaan yang akan menghasilkan apresiasi nilai disiplin diri yang berbeda pula.

Deskripsi ini mengarahkan pada suatu hipotesis bahwa potensi keluarga dalam bentuk sikap pengasuhan orangtua, mempunyai efek yang berpengaruh terhadap intensitas perkembangan anak secara holistik berbasis karakter. Potensi keluarga terkendala oleh beberapa unsur antara lain :
a.       Faktor sosial ekonomi
b.      Faktor sosial budaya
c.       Dalam pelaksanaan pendidikan keluarga melibatkan unsur lain dari keluarga inti dan keluarga batih, mereka ditunjuk keluarga untuk menggantikan posisi orang tua, contohnya pembantu rumah tangga, tetangga.

Pada pihak US Departement Health and Human Services (2001) menjelaskan ciri dari keberhasilan pengembangan abjad anak yang dipengaruhi oleh kematangan sosial emosi sanggup dideskripsikan sebagai berikut :
a.       Memiliki rasa percaya diri (confidence)
b.      Rasa ingin tahu (curiosity)
c.       Kemampuan kontrol diri (self-control)
d.      Kemampuan bekerja sama (cooperation)
e.       Mudah bergaul dengan sesamanya
f.       Mampu berkonsentrasi
g.      Rasa empati
h.      Kemampuan berkomunikasi
i.        Memiliki motivasi. 

REFERENSI :
1.      Lickona, T.(2002) Character Matters. Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara. Lickona, T.(2002) Educating for Character.
2.      Terjemahan oleh Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara.
3.      Abidin, Y. (2012). Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika
4.      Aditama Megawangi, R. (2004). Pendidikan Karakter: Solusi yang sempurna untuk membangun bangsa. Jakarata.
5.      BP Migas dan Star Energy. Kemendiknas (2010a), Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa, Jakarta:
6.      Kemendiknas . Kemendiknas (2011), Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta
7.      Alexandria: ASCD Samani, M. & Hariyanto, (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosda Karya


Sumber Lain :
giletules.blogspot.com/search?q=penerapan-pendidikan-karakter-pada_6
giletules.blogspot.com/search?q=penerapan-pendidikan-karakter-pada_6



Sumber http://ekonominator.blogspot.com


EmoticonEmoticon