Siapa yang kaya dan siapa yang miskin yaitu pertanyaan yang sangat gampang dijawab tetapi sulit menemukan tanggapan yang tepat. Kenapa ya,... kabarnya sebab kaya itu relatif dan miskin itu mutlak.
”Seberapa kaya Anda sekarang?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Cukup kaya untuk ukuranku,” kata Iin.
”Masih jauh dari kaya,” jawab Toni.
”Tergantung definisi kaya itu apa dulu,” kata Herlina.
”Yah, sedang-sedang saja,” ujar Didi
”Kalau tabungan sepuluh jutaan sih punya,” terang Diah.
”Dibanding Ciputra saya miskin banget,” kata Rudy.
”Di antara kawan-kawan se-SMA dulu, saya paling kaya,” gagas Yuyun.
”Sedikit lebih kaya dibandingkan ayahku ketika seusiaku,” ujar Lilik.
”Aku sih nggak kaya, tapi suamiku yang kaya,” papar Dewi.
”Cukuplah untuk hidup tanpa bekerja 20 tahun ke depan,” kata Indra.
***
Untuk memulai perjalanan menuju suatu tempat, Anda sebaiknya tahu di mana posisi Anda ketika ini _____Pandir KaryaSeorang wanita dengan tinggi tubuh 170 sentimeter, bisa diterima umum kalau disebut ”tinggi”. Sementara seorang lelaki dengan tinggi tubuh yang sama, mungkin masih belum dianggap cukup ”tinggi”. Lelaki bisa dianggap ”tinggi” kalau ukurannya 175 sentimeter ke atas. Itu pun kalau di Indonesia. Di Amerika Utara, Eropa Barat, Afrika Selatan, atau di Asia Timur boleh jadi patokan untuk disebut berbadan tinggi itu berbeda-beda lagi angkanya. Kaprikornus yang disebut ”berbadan tinggi” meski sudah terukur secara kuantitatif, tetap saja bisa dianggap relatif [tidak mutlak niscaya sama 100 persen]. Paling tidak batas minimum untuk disebut ”tinggi” itu masih bervariasi antar wilayah di aneka macam kepingan dunia ini.
Hal yang sama berlaku bila kita berbicara soal ”orang kaya”. Pengertian ”kaya” menjadi sangat relatif, kecuali kita setuju menetapkan suatu ukuran kuantitatif sebagai kriteria atau indikator utama untuk menilai. Misalnya, kita bisa memakai jumlah penghasilan tahunan untuk memilih kaya tidaknya seseorang. Dengan indikator ini, data yang pernah dikutip Handi Irawan cukup menarik untuk disimak. Sebab Konsultan Pemasaran terkemuka yang sukses membuatkan Frontier Consulting Group itu memperlihatkan data bahwa 85 persen penduduk dunia mengumpulkan penghasilan tahunan sekitar Rp 21.820.000,- [atau Rp 59.800,- per hari].
Mereka yang berpenghasilan di atas Rp 254 juta per tahun [atau 695.000,- per hari], sudah termasuk dalam kelompok top 10 persen. Jika penghasilan per tahunnya naik menjadi Rp 337 juta [atau Rp 923.300,- per hari], maka orang tersebut akan masuk kelompok 5 persen yang teratas. Dan hanya sekitar 1 persen penduduk dunia yang bisa mengumpulkan penghasilan di atas Rp 475 juta per tahun [atau Rp 1.301.400,- per hari].
Jika jumlah penghasilan tahunan hendak kita jadikan indikator untuk memilih kaya tidaknya seseorang, maka angka manakah yang akan kita pergunakan sebagai penghasilan minimum dari mereka yang kita kelompokkan sebagai ”orang kaya”? Lalu, menurut angka tersebut, seberapa kayakah Anda [dan saya]?
Jumlah penghasilan tahunan bisa membantu kita mengukur seberapa kaya diri kita kini ini. Namun, jikalau indikatornya memakai jumlah dana likuid yang dimiliki—yakni dana yang gampang dicairkan ibarat tabungan, deposito, dan produk perbankan lainnya—maka orang dengan penghasilan tinggi belum tentu pantas di sebuat ”kaya”. Sebab, jikalau penghasilan yang tinggi habis dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup mewah, atau untuk membantu sanak saudara yang banyak jumlahnya, atau habis untuk biaya pengobatan penyakit tertentu, maka jumlah dana likuid yang benar-benar tersimpan di bank boleh jadi tak terlalu besar.
Dalam hal ini, jikalau kita menyimak data-data yang sering disampaikan para praktisi perbankan, terutama yang menangani wealth management, sering disebutkan bahwa Indonesia ketika ini mempunyai sekitar 200.000 orang pemilik dana likuid di atas Rp 1 miliar [kurang dari 0,1 persen dari total penduduk yang 220 juta jiwa]. Dari jumlah tersebut, sekitar 40.000 di antaranya mempunyai dana likuid lebih dari Rp 5 miliar [kurang dari 0,02 persen penduduk]. Dan 10.000 di antaranya bahkan mempunyai dana likuid di perbankan di atas Rp 10 miliar [kurang dari 0,005 persen penduduk].
Jadi, jikalau dilihat dari dana likuid yang kita miliki, maka seberapa kayakah Anda kini ini?
Selanjutnya, pada tingkat internasional, sejumlah literatur biasanya mendefinisikan orang kaya sebagai orang yang mempunyai harta kekayaan bersih—bukan dana likuid—senilai minimum US $ 1 juta, atau sekitar Rp 9-10 miliar. Dengan indikator ini, lebih dari 10.000 orang Indonesia termasuk dalam kelompok orang kaya dunia [total jumlahnya 7,7 juta dari 6 miliar penduduk bumi].
Ketiga indikator di atas, yakni jumlah penghasilan, jumlah dana likuid yang dimiliki, atau jumlah harta kekayaan bersih, memang bisa dipergunakan untuk menilai seberapa bersahabat atau seberapa jauh kita [Anda] dari kriteria untuk disebut sebagai ”orang kaya”. Dan menurut pemahaman terhadap posisi kita hari ini, bisa dipikirkan kemudian seni administrasi yang bagaimana yang perlu ditempuh untuk meraih kekayaan yang dicita-citakan.
Namun demikian, masih ada cara lain yang mungkin lebih menarik untuk kita gunakan mengukur seberapa kaya diri kita [Anda] kini ini. Cara ini dipergunakan oleh Stanley dan Danko, penulis buku laku The Millionaire Next Door. Dengan memakai faktor umur, jumlah penghasilan tahunan, dan jumlah kekayaan bersih, kedua peneliti kaum kaya Amerika itu menawarkan petunjuk dengan ”rumus” berikut:
Kalikan Usia Anda dengan Penghasilan Tahunan sebelum Pajak dari semua sumber, kecuali warisan. Bagi dengan sepuluh. Angka ini, dikurangi kekayaan sebab warisan, yaitu kekayaan higienis yang seharusnya sudah Anda kumpulkan/miliki ketika ini.
Misalnya, Indra berusia 40 tahun, berpenghasilan kotor Rp 100 juta per tahun—jumlah ini termasuk gaji, THR, bonus, bunga deposito, pendek kata semuanya. Jumlah harta kekayaan higienis Indra seharusnya yaitu [40 x Rp 100 juta] dibagi 10 = Rp 400 juta. Atau bila Dewi berpenghasilan kotor Rp 80 juta per tahun, dan usianya 35 tahun, maka harta kekayaan higienis yang seharusnya dimiliki Dewi yaitu [35 x Rp 80 juta] dibagi 10 = Rp 280 juta. Kekayaan higienis itu sendiri dihitung dengan menjumlah total aset [seluruh harta benda] di kurangi total hutang.
Dengan rumus di atas, apabila jumlah harta kekayaan higienis kita sekitar angka yang seharusnya, maka kita dianggap Average Accumulator of Wealth [Pengumpul Kekayaan Rata-rata]. Jika harta kekayaan higienis kita dibawah angka yang seharusnya, maka kita dikelompokkan sebagai Under Accumulator of Wealth [Pengumpul Kekayaan yang Bodoh]. Sementara jikalau harta kekayaan higienis kita ternyata jauh di atas angka yang seharusnya—setidaknya dua kali lipat dari itu—maka kita akan disebut sebagai Predigious Accumulator of Wealth [Pengumpul Kekayaan yang Luar Biasa].
Jadi, bisakah Anda mengukur seberapa kaya Anda sekarang? [Andrias Harefa yaitu seorang motivator, trainer, dan penulis 30 buku laris. Ia sanggup dihubungi di: aharefa@cbn.net.id]
Video pilihan khusus untuk Anda 😊 Pesan Bapak Anies Baswedan ketika menjabat sebagai Menteri;
EmoticonEmoticon