Sejarah Muhammadiyah – Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Nama Muhammadiyah diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Muhammadiyah sendiri dalam bahasa Republic of Indonesia berarti pengikut Nabi Muhammad SAW. Inilah Sejarah Muhammadiyah yang perlu anda tahu.
Masa Awal Berdiri (1918-1923)
Muhammadiyah berdiri pada xviii Nov 1918 atau 8 Dzulhijah 1330 Hijriah oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan yang sebelumnya bernama Muhammad Darwis ini mendirikan perserikatan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam yang banyak dipengaruhi hal-hal mistik yang sama sekali tidak berhubungan dengan ilmu agama.
Sebagai seorang pegawai kesultanan Yogyakarta, pedagang dan juga khotib waktu itu, Muhammad Darwis tergerak hatinya untuk mengajak masyarakat kembali ke Islam murni yang sebenar-benarnya berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadist. Ia merasa saat itu melihat umat muslim di sekitarnya dalam keadaan beku, tidak terarah dan dipenuhi dengan amalan-amalan bersifat mistik.
Darwis muda akhirnya sering mengadakan kajian tentang keagamaan di rumahnya di sela-sela waktu ia berdagang dan menjadi khotib. Meski awalnya ajarannya ditolak, bahkan sampai masjid yang didirikannya dihancurkan, Darwis tak patah semangat. Berkat kesabarannya, akhirnya ajaran Muhammadiyah dapat diterima secara luas.
Pekerjaannya sebagai pedagang juga mendukung tersebarnya ajaran Muhammadiyah yang diinisiasi Darwis.
Murid-murid Muhammad Darwis akhirnya semakin banyak. Tak hanya laki-laki, juga banyak perempuan. Muhammad Darwis sering memberikan pelajaran bagi para perempuan dan ibu-ibu muda dalam pengajian yang disebut sebagai Sidrotul Muntaha.
Sejarah Muhammadiyah masih berlanjut. Dari tahun 1913 hingga 1918, Muhammad Darwis sudah mendirikan five sekolah dasar (SD). Kemudian ia melanjutkan pada 1919 mendirikan sekolah lanjutan. Dalam bahasa Belanda, nama sekolah lanjutan itu ialah Hooge School Muhammadiyah.
Seiring perkembangan zaman namanya juga berubah-ubah, dari pada 1921 berubah menjadi Kweek School Muhammadiyah, pada 1923 dipecah menjadi dua untuk laki-laki dan perempuan, hingga pada 1930 menjadi Mu’alimin (untuk sekolah lanjutan laki-laki) dan Mu’alimat (untuk sekolah lanjutan perempuan).
K.H ahmad Dahlan menjadi pendiri sekaligus ketua pertama dari 1918 hingga 1923. Muhammadiyah dikenalkan dengan cara silaturahmi, diskusi, tausiyah, dan pemberian keteladanan dalam praktik pengamalan ajaran Islam.
Perserikatan Muhammadiyah era pimpinan K.H ahmad Dahlan mulai memperkenalkan perangkat awal organisasi di antaranya, Majelis Tabligh, Majelis Sekolahan dan Pengajaran, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), Majelis Taman Pustaka, Aisyiyah, Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (HW) dan juga penerbitan majalah Soeara Muhammadijah.
Pada masa awal berdiri ini, Muhammadiyah mengadakan eleven kali Muktamar yang semuanya diadakan di Yogyakarta. Saat itu, Muktamar lebih sering dikenal dengan algemen vergadering atau twelvemonth vergadering atas seruan pemerintah Hindia Belanda.
Masa Sebelum Kemerdekaan (1923-1942)
Masa Sejarah Muhammadiyah selanjutnya yaitu saat sebelum kemerdekaan. Periode ini berlangsung pada 1923 hingga 1942. Terdapat iii ketua umum yang menjabat di antara tahun-tahun tersebut setelah K.H ahmad Dahlan sudah tidak menjadi ketua. Kepemimpinan K.H Ahmad Dahlan dilanjutkan oleh K. H Ibrahim, yang merupakan adik iparnya, atau adik kandung istri Ahmad Dahlan, yakni Nyai Walidah.
Di bawah pimpinan K. H Ibrahim, Muhammadiyah mulai berkembang dan menyasar daerah-daerah di luar pulau Jawa, Sebagai ulama yang tak pernah mengenyam pendidikan model barat, K.H Ibrahim juga mulai mendirikan majelis tarjih sebagai unsur pembantu pimpinan Muhammadiyah.
Juga ada dua ordo organisasi Muhammadiyah dari golongan pemuda, yakni Nasyiatul Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah. Pada era kepemimpinan K. H Ibrahim juga mulai diadakan Muktamar selain di Yogyakarta, antara lain di Surabaya, Surakarta, Pekalongan, Bukittinggi, Ujung Pandang (Makassar) dan Semarang.
Beberapa aktivitas yang menjadi unggulan antara lain pendirian “Fonds Dachlan” yakni sebuah yayasan untuk membiayai sekolah anak-anak kurang mampu pada 1924, mengadakan khitanan massal untuk pertama kali pada 1925, pemakaian tahun Islam dalam pencatatan surat- menyurat dan Sholat Hari Raya di lapangan pada Muktamar 1926 Surabaya.
Juga keputusan Muhammadiyah tidak berpolitik namun hanya memperbaiki akhlak orang yang berpolitik (tidak melarang anggotanya untuk berpolitik praktis) pada Muktamar 1927 di Pekalongan. K.H Ibrahim menjadi ketua Muhammadiyah hingga 1932.
Setelah era kepemimpinan K.H Ibrahim, Muhammadiyah dipimpin oleh K.H Hisyam dari 1932 hingga 1936. K.H Hisyam merupakan murid langsung dari K.H Ahmad Dahlan dan diresmikan menjadi ketua umum Muhammadiyah dalam muktamar di Yogyakarta pada 1934.
Pada masa kepemimpinan K.H Hisyam, pendidikan menjadi salah satu hal yang paling menonjol karena menjadi fokus utama program-programnya. Pada muktamar 1934 misalnya, pengubahan nama sekolah berbahasa Belanda menjadi bahasa Indonesia, Volkschool menjadi Sekolah Rakyat. Pada 1936, juga diputuskan untuk mendirikan sekolah tinggi dan mendirikan Majelis Pertolongan & Kesehatan Muhammadiyah (MPKM). K. H Hisyam juga menertibkan administrasi organisasi seperti daftar anggota, buku notulen rapat, buku keuangan dan sebagainya.
Pada Oktober 1936, era kepemimpinan beralih ke K.H Mas Mansyur. K.H Mas Mansyur dikenal sebagai tokoh yang kreatif serta pemberani sehingga aktif dalam pemurnian kembali paham agama yang menjadi garis besar di Muhammadiyah.
Dua programme yang menonjol dari K.H Mas Mansyur adalah pemanfaatan Majelis Tarjih dengan membuat “Masalah Lima” (Dunia, Agama, Qiyas, Sabilillah, dan Ibadah) serta “Langkah Dua Belas” untuk mengggerakkan Muhammadiyah lebih dinamis dan berbobot. Program ini begitu penting dalam sejarah muhammadiyah di Indonesia.
Beberapa kegiatan yang menjadi unggulannya yaitu, pembentukan Bank Muhammadiyah pada muktamar 1937, ikut mempelopori MIAI (Majelisul Islam A’la Indonesia), menentang pelarangan guru mengajar di sekolah Muhammadiyah oleh Belanda (Ondewijs Ordonansi) hingga mengeluarkan gerakan menghimpun dana untuk kaum dhu’afa (Franco Amal). K.H Mas Mansyur memimpin Muhammadiyah hingga 1942.
Masa Kemerdekaan (1942-1952)
Sejarah Muhammadiyah masa ini, Muhammadiyah dipimpin oleh Ki Bagus Hadikusuma mulai 1942 hingga 1952. Bangsa Republic of Indonesia sedang menghadapi masuknya Jepang, awal kemerdekaan dan juga mempertahankan kemerdekaan.
Oleh karena itu, kegiatan Muhammadiyah juga berfokus pada perjuangan negara seperti mempersiapkan kemerdekaan, mendirikan badan perjuangan untuk membela Republik Indonesia. Salah satunya adalah mendirikan pasukan Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Republic of Indonesia (Masyumi) dan Asykar Perang Sabil (APS).
Muhammadiyah juga berani menentang pemerintahan Jepang yang mewajibkan Seikerei (upacara memuja dewa matahari dari agama Shinto).
Ki Bagus Hadikusuma menjadi tokoh yang juga berkontribusi besar membentuk jiwa Muhammadiyah. Di bawah kepemimpinannya, lahir Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, yang berisi gagasan pokok pemikiran-pemikiran K.H Ahmad Dahlan yang digali melalui murid-muridnya.
Ki Bagus juga menjadi salah satu orang yang turut merumuskan dasar negara. Hal ini ditunjukkan melalui kehadirannya dalam BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI. Polemik muncul saat Piagam Djakarta yang salah satu isinya “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Saat itu opsir Jepang yang mewakili Republic of Indonesia Timur meminta kata tersebut dihapuskan karena bisa menyebabkan Republic of Indonesia Timur memisahkan diri dari Indonesia. Di situlah, Ki Bagus Hadikusumo tetap bersikukuh mempertahankan sila tersebut dan menggantinya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Masa Setelah Kemerdekaan (1952-1968)
Setelah Ki Bagus Hadikusumo, kepemimpinan Muhammadiyah berlanjut ke Ahmad Rasyid Sutan Mansyur. Ia memimpin Muhammadiyah sejak 1952 hingga 1959. Periode ini, Sutan Mansyur memperkuat Ruh Tauhid, salah satunya dengan adanya Khittah Palembang.
Beberapa kegiatan yang yang penting antara lain Sidang Tanwir yang membahas Konsepsi Negara Islam di Pekajangan, Pekalongan pada 1955, Sidang Tanwir pada 1956 yang salah satu isinya masalah politik bagi Muhammadiyah diserahkan pada partai Masyumi. Partai ini menjadi bagian terpenting dalam perkembangan sejarah Muhammdiyah.
Pada 1959, Ketua umum Muhammadiyah kembali berganti ke HM Yunus Anis. Yunus Anis dikenal sebagai organisator yang ulung. Ia sempat menjadi Pembina Hizbul Wathan hingga menjadi Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah di era kepemimpinan Sutan Mansyur.
Pada periode kepemimpinan Yunus Anis, negara mengalami goncangan sosial politik yang cukup besar, namun ia berhasil membawa Muhammadiyah terus berjalan menetap pada jati dirinya. Majelis Pustaka menjadi salah satu yang paling menonjol perannya dalam periode ini. Muhammadiyah mulai membenahi dokumentasi, juga penulisan yang ditujukan untuk penelitian. Selain mengumpulkan arsip-arsip, Majelis Pustaka juga menghasilkan penerbitan buku riwayat hidup dan Almanak Muhammadiyah. HM Yunus menjadi ketua Muhammadiyah hingga 1962.
Berlanjut pada 1962, Muhammadiyah menunjuk KHA Badawi sebagai ketua umum. Kiai Haji Ahmad Badawi merupakan tokoh yang luas wawasannya dan pengetahuan agamanya dapat diterima semua kalangan. Di bawak kepemimpinannya, Muhammadiyah dengan tegas bersikap memerangi PKI dan antek-anteknya.
Pada masa itu, negara sedang menghadapi teror PKI. Sementara keadaan politik tidak menentu dan kondisi sosial ekonomi sangat buruk, dibuktikan dengan potret kemiskinan yang ada dimana-mana. KHA Badawi secara tegas menyatakan “Membubarkan PKI adalah Ibadah”.
Dua pasukan yang disiapkan Muhammadiyah saat G thirty southward PKI pecah adalah Tapak Suci dan KOKAM (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah). Muhammadiyah diberikan fungsi politis oleh pemerintah untuk dapat duduk di DPR dan MPR sehingga bisa memerangi PKI. Namun setelah keadaan mereda, Muhammadiyah kembali ke khittahnya menjadi organisasi keagamaan yang bergerak di bidang sosial. KHA Badawi memimpin Muhammadiyah hingga 1968.
Masa Orde Baru (1968-1995)
Setelah memerangi PKI dan antek-anteknya, Muhammadiyah masuk ke periode Orde Baru yang saat itu Republic of Indonesia dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada Muktamar ke-37 1968, Muhammadiyah telah menetapkan KH Fakih Usman sebagai ketua umum. Namun tak lama kemudian beliau wafat dan digantikan oleh wakil ketua I, H. Ar Fakhrudin berdasarkan Sidang Tanwir.
H. Ar Fakhrudin menjadi ketua umum Muhammadiyah terlama sepanjang sejarah karena ia menjabat hingga 1990. Sosok yang sering disapa sebagai “Pak AR” ini dikenal sebagai pribadi sederhana, bersahaja, dan memberikan ceramah yang menyejukkan. Pada periode kepemimpinannya, Pak AR menonjolkan untuk “Me-Muhammadiyahkan lagi Muhammadiyah”.
Pada masa ini, Pak AR ditantang untuk mengubah asas Islam dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi di Indonesia. Muhammadiyah akhirnya mengambil sikap “Siasat Jalur Helem” yang berarti untuk sementara, namun berdasarkan Islam. Beberapa kegiatan yang penting dalam periode ini antara lain ikut membidani lahirnya Partai Muslimin Republic of Indonesia (Parmusi), konsep kaderisasi dan pedoman pembinaan yang tersusun, dan juga pengukuhan Khittah Muhammadiyah di Ponorogo pada Muktamar ke-40.
Muktamar Muhammadiyah di Semarang tahun 1990 menghasilkan ketua umum baru. Dia adalah KH Azhar Basyir. Sosoknya dikenal sebagai tokoh kharismatik p0juang perang sabil, namun sekaligus ulama yang sederhana. Periode kepemimpinannya menghasilkan programme jangka panjang Muhammadiyah 25 tahun yang terdiri dari bidang Konsolidasi Gerakan, bidang Pengkajian dan Pengembangan, dan bidang Kemasyarakatan.
Masa Reformasi dan Pasca Reformasi (1995-2015)
KH Azhar Basyir tidak sampai akhir periode kepemimpinan karena ia meninggal dunia pada 28 Juni 1994. Jabatan Ketua Umum Muhammadiyah kemudian dilanjutkan oleh Dr H Amien Rais yang dikukuhkan pada Muktamar 1995 di Yogyakarta. Amien Rais di periode selanjutnya juga terpilih kembali ketua umum yakni periode 1995-2000. Tidak bisa dipungkiri aktivitas Amien Rais di Muhammadiyah dilatari keprihatinannya atas kondisi politik nasional yang menurutnya perlu direformasi.
Setelah rezim Soeharto lengser, Amien Rais mendirikan Majelis Amanah Rakyat (MARA) sebagai bentuk solusi pasca-reformasi. Ia lantas membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) yang secara fenomenal mampu sukses di pemilu 1999. Berkat kesuksesan PAN berada di five besar perolehan suara nasional, Amien Rais didapuk menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Republic of Indonesia (MPR RI). Namun konsekuensinya, Amien harus melepas jabatan Ketua Umum Muhammadiyah.
Posisi Amien Rais digantikan oleh Prof.Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif hingga tahun 2005. Pria yang akrab disapa Buya Safi’i ini dikenal sebagai tokoh yang pluralis dan tak sedikit menyumbang gagasan-gagasan keislaman untuk Muhammadiyah dan Indonesia.
Pada masa kepemimpinannya, Buya Safi’i mengedepankan proses dinamisasi Muhammadiyah agar secara optimal menggerakkan usaha-usaha tajdid dan cita-cita pencerahan yang ingin diraihnya. Salah satunya adalah mendorong kebangkitan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) sebagai pelaku sejarah masa depan yang disiapkan Muhammadiyah.
Ketua Umum Muhammadiyah berganti lagi pada 2005. Dalam muktamar ke-44 di Jakarta, terpilihlah nama Prof. MD KH Din Syamsuddin. Din Syamsuddin dikenal sebagai politisi partai Golongan Karya (Golkar) sebelum menjadi ketua. Din mempunyai pemikiran kritis terhadap pemerintah. Ia juga dikenal sebagai sosok yang plural, toleran terhadap agama lain, namun masih memegang prinsip Islam secara kuat.
Di bawah kepemimpinan Din, Muhammadiyah mampu tampil di kancah internasional. Hal ini ditunjukkan melalui
aktifnya Muhammadiyah dalam isu perdamaian, multikulturalisme, dialog antaragama, dan resolusi konflik. Sebagai contoh, Muhammadiyah turut memprakarsai World Peace Forum bersama Center for Dialogue together with Cooperation with Civilisations (CDCC).
Muhammadiyah juga aktif sebagai anggota ICG (International Contact Group) dalam penyelesaian konflik Filipina. Din Syamsuddin sukses menjadi ketua umum Muhammadiyah dalam dua periode. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-45, ia kembali terpilih menjadi ketua umum untuk periode 2010-2015.
Masa Sekarang (2015-sekarang)
Tepatnya pada Muktamar ke-47 Makassar, vii Agustus 2015, Din Syamsuddin mendapat pengganti sebagai ketua umum Muhammadiyah. Dia adalah MD KH Haedar Nashir. Haedar sendiri bukan nama baru di kalangan Muhammadiyah.
Ia merintis dari menjadi ketua PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Sekretaris PP Muhammadiyah dan akhirnya menjadi ketua umum. Haedar dikenal sebagai sosok cerdas, dan sering memberikan ide-ide soal pembaruan Islam. Hal ini tercermin dalam salah satu bukunya berjudul “Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharuan”.
Di era sekarang ini, Muhammadiyah bertekad mendudukan Islam lebih maju, bukan hanya Islam yang hanya mengusung toleransi dan kemanusiaan, tetapi juga Islam yang objektif dan Islam yang membangun adab bangsa. Muhammadiyah di bawah pimpinan Haedar Nashir berupaya agar hadir dan menyentuh isu-isu publik yang menyangkut kehidupan banyak orang.
Selain itu, Muhammadiyah juga berupaya untuk tetap menjaga khittah dan prinsipnya, agar tak terlibat dalam politik praktis. Seperti diketahui memasuki tahun politik 2019, Muhammadiyah diguncang isu keberpihakan politik. Namun, melalui Haedar Nashir, Muhammadiyah menegaskan tetap akan kembali ke khittah dan kepribadian organisasi, yaitu organisasi sosial keagamaan. Itulah sejarah Muhammadiyah di Indonesia. Semoga kita bisa belajar dari perkembangan tersebut.
Sumber https://olympics30.comBoleh re-create paste, tapi jangan lupa cantumkan sumber. Terimakasih
EmoticonEmoticon