Jumat, 06 Juli 2018

Perkembangan Islam Di Indonesia

Sejak dahulu bangsa Indonesia populer sebagai bangsa yang ramah dan suka bergaul dengan bangsa lain. Oleh lantaran itu, banyak bangsa lain yang tiba ke wilayah Nusantara untuk menjalin hubungan dagang. Ramainya perdagangan di Nusantara yang melibatkan para pedagang dari banyak sekali negara disebabkan melimpahnya hasil bumi dan letak Indonesia pada jalur pelayaran dan perdagangan dunia. Pada sekitar kurun ketujuh, Selat Malaka telah dilalui oleh pedagang Islam dari India, Persia, dan Arab dalam pelayarannya menuju negara-negara di Asia Tenggara dan Cina. Melalui hubungan perdagangan tersebut, agama dan kebudayaan Islam masuk ke wilayah Indonesia. Pada kurun kesembilan, orang-orang Islam mulai bergerak mendirikan perkampungan Islam di Kedah (Malaka), Aceh, dan Palembang.

Ilustrasi

Waktu kedatangan Islam di Indonesia masih ada perbedaan pendapat. Sebagian andal menyatakan bahwa agama Islam itu masuk ke Indonesia semenjak kurun ke-7 hingga dengan kurun ke-8 Masehi. Pendapat itu didasarkan pada isu dari Cina zaman Dinasti T’ang yang menyebutkan adanya orang-orang Ta Shih (Arab dan Persia) yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Ho Ling di bawah pemerintahan Ratu Sima (674).

Sebagian andal yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia gres kurun ke-13. Pernyataan ini didasarkan pada masa runtuhnya Dinasti Abbassiah di Bagdad (1258). Hal itu juga didasarkan pada isu dari Marco Polo (1292), isu dari Ibnu Batuttah (abad ke-14), dan Nisan Kubur Sultan Malik al Saleh (1297) di Samudera Pasai. Pendapat itu diperkuat dengan masa penyebaran fatwa tasawuf. Sebenarnya kita perlu memisahkan pengertian proses masuk dengan berkembangnya agama Islam di Indonesia, menyerupai berikut:

1. masa kedatangan Islam (kemungkinan sudah terjadi semenjak kurun ke-7 sampai
dengan kurun ke-8 Masehi);

2. masa penyebaran Islam (mulai kurun ke-13 hingga dengan kurun ke-16
Masehi, Islam menyebar ke banyak sekali penjuru pulau di Nusantara);

3. masa perkembangan Islam (mulai kurun ke-15 Masehi dan seterusnya melalui
kerajaan-kerajaan Islam).

Terdapat banyak sekali pendapat pula mengenai negeri asal pembawa agama serta kebudayaan Islam ke Indonesia. Ada yang menyampaikan bahwa kebudayaan dan agama Islam tiba dari Arab, Persia, dan India (Gujarat dan Benggala). Akan tetapi, para andal menitikberatkan bahwa golongan pembawa Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat (India Barat). Hal itu diperkuat dengan bukti-bukti sejarah berupa nisan makam, tata kehidupan masyarakat, dan budaya Islam di Indonesia yang banyak mempunyai persamaan dengan Islam di Gujarat.

Pembawanya yaitu para pedagang, mubalig, dan golongan andal tasawuf. Ketika Islam masuk melalui jalur perdagangan, pusat-pusat perdagangan dan pelayaran di sepanjang pantai dikuasai oleh raja-raja daerah, para bangsawan, dan penguasa lainnya, contohnya raja atau adipati Aceh, Johor, Jambi, Surabaya, dan Gresik. Mereka berkuasa mengatur kemudian lintas perdagangan dan memilih harga barang yang diperdagangkan. Mereka itu yang mula-mula melaksanakan hubungan dagang dengan para pedagang muslim. Lebih-lebih sesudah suasana politik di sentra Kerajaan Majapahit mengalami kekacauan, raja-raja tempat dan para adipati di pesisir ingin melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Oleh lantaran itu, hubungan dan kolaborasi dengan pedagang-pedagang muslim makin erat. Dalam suasana demikian, banyak raja tempat dan adipati pesisir yang masuk Islam. Hal itu ditambah dengan tunjangan dari pedagang-pedagang Islam sehingga bisa melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

Setelah raja-raja daerah, adipati pesisir, para bangsawan, dan penguasa pelabuhan masuk Islam rakyat di tempat itu pun masuk Islam, contohnya Demak (abad ke-15), Ternate (abad ke-15), Gowa (abad ke-16), dan Banjar (abad ke-16).

Proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia berlangsung secara sedikit demi sedikit dan dilakukan secara hening sehingga tidak mengakibatkan ketegangan sosial. Cara penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia melalui banyak sekali susukan berikut ini.

1. Saluran Perdagangan

Saluran yang dipakai dalam proses islamisasi di Indonesia pada awalnya melalui perdagangan. Hal itu sesuai dengan perkembangan kemudian lintas pelayaran dan perdagangan dunia yang ramai mulai kurun ke-7 hingga dengan kurun ke- 16, antara Eropa, Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Cina.

Proses islamisasi melalui susukan perdagangan ini dipercepat oleh situasi politik beberapa kerajaan Hindu pada ketika itu, yaitu adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah sentra di Majapahit. Pedagang-pedagang muslim itu banyak menetap di kota-kota pelabuhan dan membentuk perkampungan muslim. Salah satu contohnya yaitu Pekojan.

2. Saluran Perkawinan

Kedudukan ekonomi dan sosial para pedagang yang sudah menetap makin baik. Para pedagang itu menjadi kaya dan terhormat, tetapi keluarganya tidak dibawa serta. Para pedagang itu kemudian menikahi gadis-gadis setempat dengan syarat mereka harus masuk Islam. Cara itu pun tidak mengalami kesulitan. Saluran islamisasi lewat perkawinan ini lebih menguntungkan lagi apabila para saudagar atau ulama Islam berhasil menikah dengan anak raja atau adipati. Kalau raja atau adipati sudah masuk Islam, rakyatnya pun akan gampang diajak masuk Islam.

Misalnya, perkawinan Maulana Iskhak dengan putri Raja Blambangan yang melahirkan Sunan Giri; perkawinan Raden Rahmat (Sunan Ngampel) dengan Nyai Gede Manila, putri Tumenggung Wilatikta; perkawinan putri Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon; perkawinan putri Adipati Tuban (R.A. Teja) dengan Syekh Ngabdurahman (muslim Arab) yang melahirkan Syekh Jali (Jaleluddin).

3. Saluran Tasawuf

Tasawuf yaitu fatwa ketuhanan yang telah bercampur dengan gaib dan hal-hal magis. Oleh lantaran itu, para andal tasawuf biasanya mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan menyembuhkan. Kedatangan andal tasawuf ke Indonesia diperkirakan semenjak kurun ke-13, yaitu masa perkembangan dan penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India yang sudah beragama Islam.

Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, para ulama dalam mengajarkan agama Islam di Indonesia menyesuaikan dengan pola pikir masyarakat yang masih berorientasi pada agama Hindu dan Buddha sehingga gampang dimengerti. Itulah sebabnya, orang Jawa begitu gampang mendapatkan agama Islam. Tokoh-tokoh tasawuf yang terkenal, antara lain Hamzah Fansyuri, Syamsuddin as Sumatrani, Nur al Din al Raniri, Abdul al Rauf, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Panggung.

4. Saluran Pendidikan

Lembaga pendidikan Islam yang paling bau tanah yaitu pesantren. Murid-muridnya (santri) tinggal di dalam pondok atau asrama dalam jangka waktu tertentu berdasarkan tingkatan kelasnya. Pengajarnya yaitu para guru agama (kiai atau ulama). Para santri itu jikalau sudah selesai belajar, pulang ke tempat asal dan mempunyai kewajiban mengajarkan kembali ilmunya kepada masyarakat di sekitar. Dengan cara itu, Islam terus berkembang memasuki daerah-daerah terpencil.

Pesantren yang telah berdiri pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, antara lain Pesantren Sunan Ampel di Surabaya yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Pesantren Sunan Giri yang santrinya banyak berasal dari Maluku (daerah Hitu). Raja-raja dan keluarganya serta kaum darah biru biasanya mendatangkan kiai atau ulama untuk menjadi guru dan penasihat agama. Misalnya, Kiai Ageng Selo yaitu guru Jaka Tingkir; Kiai Dukuh yaitu guru Maulana Yusuf di Banten; Maulana Yusuf yaitu penasihat agama Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Saluran Seni Budaya

Berkembangnya agama Islam sanggup melalui seni budaya, contohnya seni bangunan (masjid), seni pahat (ukir), seni tari, seni musik, dan seni sastra. Seni bangunan masjid, mimbar, dan ukir-ukirannya masih menyampaikan seni tradisional bermotifkan budaya Indonesia–Hindu, menyerupai yang terdapat pada candi-candi Hindu atau Buddha. Hal itu sanggup dijumpai di Masjid Agung Demak, Masjid Sendang Duwur Tuban, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid Baiturrahman Aceh, dan Masjid Ternate. Pintu gerbang pada kerajaan Islam atau makam orang-orang yang dianggap keramat menyampaikan bentuk candi bentar dan kori agung. Begitu pula, nisan-nisan  makam kuno di Demak, Kudus, Cirebon, Tuban, dan Madura menyampaikan budaya sebelum Islam. Hal itu dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa Islam tidak meninggalkan seni budaya masyarakat yang telah ada, tetapi justru ikut memeliharanya. Seni budaya yang tetap dipelihara dalam rangka proses islamisasi itu banyak sekali, antara lain perayaan Garebek Maulud (Sekaten) di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.

Islamisasi juga dilakukan melalui pertunjukkan wayang yang telah dipoles dengan unsur-unsur Islam. Menurut cerita, Sunan Kalijaga juga pandai memainkan wayang. Islamisasi melalui sastra ditempuh dengan cara menyadur buku-buku tasawuf, hikayat, dan babad ke dalam bahasa pergaulan (Melayu).

6. Saluran Dakwah

Gerakan penyebaran Islam di Jawa tidak sanggup dipisahkan dengan peranan Wali Songo. Istilah wali yaitu sebutan bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkat pengetahuan dan penghayatan agama Islam yang sangat dalam dan sanggup berjuang untuk kepentingan agama tersebut. Oleh lantaran itu, para wali menjadi sangat akrab dengan Allah sehingga menerima gelar Waliullah (orang yang sangat dikasihi Allah). Sesuai dengan zamannya, wali-wali itu juga mempunyai kekuatan magis lantaran sebagian wali juga merupakan andal tasawuf.

Para Wali Sanga yang berjuang dalam penyebaran agama Islam di banyak sekali tempat di Pulau Jawa yaitu sebagai berikut.

  1. Maulana Malik Ibrahim
  2. Sunan Ampel
  3. Sunan Drajad
  4. Sunan Bonang
  5. Sunan Giri
  6. Sunan Kalijaga
  7. Sunan Kudus
  8. Sunan Muria
  9. Sunan Gunung Jati


Referensi :

  • Suryandari. 2007. Sejarah untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Sumber http://softilmu.blogspot.com


EmoticonEmoticon