Minggu, 21 Januari 2018

Pembangunan Ekonomi

Dalam klarifikasi ini diuraikan hasil pelaksanaan hingga dengan pertengahan 2004 banyak sekali kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi berdasarkan Propenas 2000–2004. Sebagaimana tercantum di dalam Prioritas Pembangunan Nasional, kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi tersebut ialah dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan ketiga Propenas, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Rumusan kegiatan ketiga tersebut mengambil acuan dari amanat GBHN 1999–2004 untuk pembangunan ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka menengah. Di dalam koordinasi penyelenggaraan Kabinet, kegiatan ketiga tersebut selanjutnya diterjemahkan kedalam satu kegiatan pokok berjulukan “normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat.”

Secara umum, pelaksanaan pembangunan banyak sekali kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi telah berhasil mengembalikan stabilitas ekonomi makro yang cukup berpengaruh bagi landasan kebangkitan ekonomi ke depan. Namun demikian, banyak sekali upaya pembangunan dalam rangka mewujudkan kebangkitan ekonomi masih tersendat lantaran beratnya permasalahan yang dihadapi jawaban krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagaimana disadari, krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter tahun 1997 tersebut menampakkan kelemahan mendasar di dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Kelemahan tersebut menjadikan banyak distorsi ekonomi yang memperburuk ketahanan ekonomi nasional di ketika menghadapi krisis, menimbulkan banyak sekali bentuk kesenjangan sosial yang rentan terhadap gejolak, serta menghambat penyebaran pemerataan pembangunan ke banyak sekali daerah.
Langkah untuk membuat normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat sanggup dipandang sebagai satu arah sekaligus komitmen untuk menuntaskan banyak sekali permasalahan ekonomi sebagaimana diuraikan di atas. Dalam jangka menengah kali ini (2000 – 2004), langkah tersebut berkenaan dengan tujuan yang titikberatnya ialah pada upaya: (1) menanggulangi kemiskinan dan banyak sekali bentuk kesenjangan sosial serta memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, (2) menyebarkan basis perekonomian bagi kelompok perjuangan skala kecil dan menengah, dan (3) membuat serta mempertahankan stabilitas ekonomi dan keuangan. Ketiga hal di atas selanjutnya menjadi spirit bagi penyelenggaraan banyak sekali upaya di dalam rangka membangun sekaligus memperkuat landasan pembangunan ekonomi jangka panjang ke arah peningkatan kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan, yang lebih berdaya tahan dan lebih berkeadilan.

Dalam rangka melaksanakan kegiatan ketiga Propenas, diselenggarakan sejumlah kebijakan dan program-program pembangunan yang pada prinsipnya menterjemahkan kebutuhan penyelesaian permasalahan jangka pendek dan jangka menengah-panjang sebagaimana diuraikan terdahulu. Kebijakan dan program-program pembangunan tersebut dikategorikan ke dalam 7 (tujuh) kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Menanggulangi kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat
2. Mengembangkan perjuangan skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi
3. Menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan
4. Memacu peningkatan daya saing
5. Meningkatkan investasi
6. Menyediakan sarana dan prasarana penunjang pembangunan ekonomi
7. Memanfaatkan kekayaan sumber daya alam secara berkelanjutan

Keseluruhan jumlah programnya sendiri ialah 39 program. Masing-masing kelompok kegiatan diarahkan untuk menuntaskan permasalahan jangka pendek (1-2 tahun), yang prioritaskan pada program-program percepatan pemulihan ekonomi, mengatasi masalah-masalah kemiskinan dan pengangguran yang meningkat pesat, serta permasalahan jangka menengah-panjang yaitu membangun kerangka dasar pembangunan ekonomi yang berkeadilan, berdaya tahan dan berdaya saing tinggi.

Pertama: menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Pemerintah telah secara tegas menetapkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2000 ihwal Propenas. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa target yang akan dicapai dalam lima tahun ialah berkurangnya jumlah penduduk miskin sewenang-wenang sebesar 4% dari tingkat kemiskinan tahun 1999. Upaya penurunan tersebut dilaksanakan melalui: (1) peningkatan pendapatan masyarakat miskin sehingga masyarakat miskin memperoleh peluang, kemampuan pengelolaan, dan proteksi untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam banyak sekali kegiatan ekonomi, social budaya, politik dan hokum, (2) pengurangan pengeluaran masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan dasar, menyerupai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah dan mendukung kegiatan sosial ekonomi.
 
Realisasi untuk mewujudkan kegiatan pemerintah tersebut dalam tahun anggaran 2003, ditangani melalui banyak sekali sektor yaitu: pendidikan, kesehatan, kemampuan usaha, proteksi sosial, dan perbaikan kebijakan yang menyangkut kepentingan penduduk miskin. Oleh lantaran itu, pemerintah tidak akan bisa menangani sendiri maslah kemiskinan tersebut maka pemerintah tetap harus mendorong sektor swasta untuk turut serta dalam penanganan kemiskinan menyerupai perbankan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat miskin, perjuangan besar untuk sanggup menarik tenaga kerja masyarakat miskin atau melalui kemitraan usaha. Disamping itu pemerintah juga harus memperlihatkan peluang kepada keterlibatan masyarakat luas untuk memperlihatkan perhatian kepada masyarakat miskin menyerupai jalur proteksi sosial yang selama ini telah berjalan menyerupai dompet dhuafa, dll.

Dalam pelaksanaannya, banyak sekali kegiatan penanggulangan kemiskinan dihadapkan pada tantangan yang terkait dengan beberapa permasalahan operasional menyerupai belum adanya sistem pendataan yang akurat dan terintegrasi, ketidaktepatan sasaran, belum berjalannya sistem pemantauan dan penilaian yang menyeluruh terhadap banyak sekali program, lemahnya keterpaduan antar program, masih tersendatnya desentralisasi urusan penanggulangan kemiskinan dan kurang memadainya taktik keberlanjutan yang konkrit. Hal ini terkait dengan belum terpenuhinya prasarat yang ada dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan yang holistik dan terpadu, yakni: mekanisme koordinasi pengelolaan banyak sekali kegiatan penanggulangan kemiskinan antar sektor maupun antara perdesaan dengan perkotaan, prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dalam perencanaan dan pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan, sistem data yang akurat dan terintegrasi serta gampang diakses banyak sekali pihak terkait, dan sistem pemantauan dan penilaian secara berkelanjutan.

Rencana tindak lanjut untuk mempercepat pengurangan kemiskinan ialah (i) optimalisasi pemanfaatan APBN dan APBD, (ii) penajaman program, (iii) sinkronisasi kegiatan perencanaan, target program, pelaksanaan program, dan pemantauan kegiatan pribadi penanggulangan kemiskinan, (iv) pelibatan ornop dan sekolah tinggi tinggi dalam kegiatan pemantauan, dan (v) percepatan pelaksanaan penyediaan kredit mikro, kecil dan menengah oleh bank atau forum keuangan lainnya, serta penyediaan sumbangan teknis/program pendampingan dan penguatan kelembagaan, sebagai hasil dari kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia.

Ketahanan pangan merupakan hal yang paling esensial untuk menjamin ketahanan nasional. Berkenaan dengan itu, kebijakan pokok pembangunan pertanian ialah kebijakan promosi dan proteksi, yang diarahkan untuk memantapkan ketahanan pangan nasional yang terutama disandarkan pada produksi pangan dalam negeri, meningkatkan daya saing produk pertanian serta kesejahteraan petani. Kebijakan promosi dilaksanakan melalui banyak sekali dukungan dan fasilitasi Pemerintah kepada masyarakat untuk mendorong peningkatan produktivitas dan produksi padi dan materi pangan lainnya, sehingga efisiensi dan daya saing beras di pasar dalam negeri meningkat sehingga sanggup menurunkan tingkat ketergantungan konsumsi pangan dari produk impor. Dalam jangka pendek, upaya tersebut telah berhasil meningkatkan produksi padi dan materi pangan lainnya. Produksi padi dalam tahun 2004 mencapai 53,67 juta ton gabah, yang merupakan angka produksi tertinggi dalam sejarah pertanian Indonesia.

Di samping itu, kebijakan proteksi diterapkan untuk melindungi petani dari dampak negatif atas produk impor yang merugikan produsen. Dalam hal ini Pemerintah menerapkan kebijakan tarif bea masuk bagi impor beras sebesar Rp 430/kg, dan dalam tahun 2004 telah diterapkan instrumen kebijakan pelarangan impor beras selama periode sebulan sebelum dan dua bulan sehabis masa panen raya, atau dari Januari hingga Agustus 2004.

Upaya membatasi impor gula juga dilakukan guna memperlihatkan proteksi bagi petani tebu lantaran masih adanya impor gula terutama pada ketika demam isu giling. Kebijakan yang diambil untuk membatasi impor gula tersebut sebagai berikut. Pertama, hanya importir produsen (IP) gula yang boleh mengimpor gula kristal mentah atau gula garang (raw sugar) dan gula kristal rafinasi (refined sugar). Kedua jenis gula tersebut hanya boleh dipergunakan sebagai materi baku proses industri yang dimiliki oleh importir produsen gula dan gula impor tersebut dihentikan diperjual-belikan ataupun dipindah-tangankan. Kedua, impor hanya diperbolehkan kalau harga gula di tingkat petani sudah mencapai Rp3.100 per kilogram dan importir yang diperbolehkan ialah perusahaan yang 75 persen materi bakunya diperoleh dari petani tebu atau merupakan hasil kerjasamanya dengan petani setempat.

Walaupun perekonomian tumbuh sebesar 4,1 persen pada tahun 2003, namun pertumbuhan ekonomi ini masih belum bisa mengurangi jumlah penganggur terbuka sebagaimana yang diharapkan. Pada tahun 2003, jumlah penganggur terbuka yang tidak sanggup diserap dalam pasar kerja sebanyak 9,5 juta orang, dengan tingkat pengangguran sebesar 9,5 persen. Jumlah setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per ahad pada tahun 2003 berjumlah 28,5 juta orang atau sekitar 31,4 persen dari jumlah pekerja keseluruhan.

Salah satu upaya untuk ekspansi kesempatan kerja ialah pengiriman Tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Namun, pengiriman TKI ini cenderung menimbulkan dilema lantaran disatu sisi sanggup memperlihatkan manfaat bukan hanya dalam bentuk penerimaan devisa saja dan sanggup mengurangi jumlah pengangguran, tetapi disisi lain pengiriman TKI ke luar negeri masih banyak mengalami hambatan, bahkan menimbulkan persoalan. Persoalan yang sering terjadi lantaran lemahnya sistem warta lowongan pekerjaan, kurang berjalannya koordinasi antar instansi, dan lemahnya perangkat aturan menimbulkan banyak permasalahan.

Permasalahan lain yang masih mewarnai situasi ketenagakerjaan ketika ini ialah suasana korelasi industrial yang belum berjalan secara harmonis. Meningkatnya gejolak unjuk rasa, mulai dari tuntutan terhadap kenaikan upah dan peningkatan kesejahteraan, hingga penolakan terhadap peraturan perundang-undangan, memperlihatkan bahwa peraturan perundang-undangan belum memperlihatkan rasa keadilan bagi semua pihak.

Untuk mengurangi dampak negatif yang timbul, pemerintah berupaya mengerahkan segala potensi yang ada dalam rangka membuat kesempatan kerja gres seluas-luasnya. Dalam kaitan itu, setidaknya terdapat 3 aspek kebijakan penting yang dilakukan pemerintah. Pertama, mengupayakan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang didorong oleh seruan domestik serta ekspor, merupakan sumber ekspansi kesempatan kerja. Kedua, percepatan penyelesaian restrukturisasi perusahaan sangat menghipnotis terhadap pulihnya kegiatan di sektor formal, yang akan mendorong perbaikan upah di sektor informal, yang hingga ketika ini masih menyerap sebagian besar angkatan kerja. Ketiga, mendorong perbaikan kegiatan ekonomi dan produktivitas di sektor pertanian, perjuangan kecil menengah (UKM), serta industri berorientasi ekspor yang menyerap tenaga kerja melalui banyak sekali kebijakan yang sanggup mengurangi kendala investasi dan perdagangan.

Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004 Propenas 2000-2004 menyatakan perlu dikembangkan suatu sistem dana jaminan sosial untuk mencapai kehidupan yang layak bagi masyarakat, terutama untuk fakir miskin dan anak terlantar. Sistem ini dikembangkan secara sedikit demi sedikit untuk menggantikan kegiatan Sistem Jaring Pengaman Sosial yang lebih bersifat darurat selama masa krisis. Pengembangan Sistem Dana Jaminan Sosial bertujuan untuk memperlihatkan proteksi masa depan bagi keluarga dan kelompok masyarakat yang miskin, terkena musibah peristiwa alam, pemutusan korelasi kerja, serta yang menderita jawaban perubahan sosial ekonomi, kecelakaan dan korban kejahatan. Berdasarkan instruksi kebijakan tersebut dilaksanakan dua kegiatan pokok, yaitu kegiatan pengembangan sistem jaminan sosial dan kegiatan asuransi sosial.

Selama beberapa tahun pelaksanaan Propenas, disimpulkan bahwa dua kegiatan pokok di atas, memerlukan penyesuaian, oleh lantaran suatu sistem proteksi sosial diharapkan untuk memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan HAM, sementara suatu sistem jaminan sosial nasional diharapkan sebagai suatu payung pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan, tanpa menghilangkan sama sekali skema-skema asuransi yang telah ada. Kekuatan sistem ini justru pada kemantapan denah asuransi sosial yang telah ada baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun berdasarkan kearifan lokal.

Kedua: pemberdayaan perjuangan skala mikro, kecil, menengah dan koperasi (UKMK). Kebijakan ini merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia. Kebijakan umum yang dilaksanakan untuk memberdayakan UKMK meliputi: (1) kebijakan penciptaan iklim perjuangan yang aman dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, menjamin adanya kepastian usaha, dan meningkatkan efisiensi ekonomi sebagai prasyarat utama untuk berkembangnya UKMK; (2) kebijakan peningkatan kanal kepada sumberdaya produktif untuk meningkatkan kemampuan pengusaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (PKMK) dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; serta (3) kebijakan pengembangan kewirausahaan dan PKMK berkeunggulan kompetitif, dalam rangka menyebarkan sikap kewirausahaan serta meningkatkan daya saing UKMK.
 
Hasil yang dicapai atas pelaksanaan kebijakan tersebut telah ditunjukkan oleh peranan perjuangan kecil dan menengah (UKM) yang besar dan memperlihatkan peningkatan ditinjau dari jumlah unit perjuangan dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap pendapatan nasional, serta penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, jumlah UKM sebanyak 42,4 juta unit usaha, yang potongan terbesarnya berupa perjuangan skala mikro, dan menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja. Jumlah unit perjuangan dan tenaga kerja ini rata-rata per tahunnya meningkat masing-masing 3,15 persen dan 3,1 persen per tahun dari tahun 2000. Kontribusi UKM dalam PDB pada tahun 2003 ialah sebesar 56,7 persen total PDB nasional. Pada tahun 2000 kontribusinya gres mencapai 54,5 persen PDB nasional. Sementara itu hingga dengan tahun 2003, jumlah koperasi meningkat 11.8 persen dibandingkan selesai tahun 2001 yang berjumlah 110 ribu unit, dengan jumlah anggota bertambah 15.4 persen menjadi 27.283 ribu orang dari 23.644 ribu orang pada selesai tahun 2001. Jumlah koperasi yang aktif bertambah 4.800 unit dari 89 ribu unit atau sekitar 80,9 persen dari jumlah koperasi pada tahun 2001 menjadi 93.8 ribu unit atau sekitar 76,3 persen dari jumlah koperasi pada tahun 2003.

Perkembangan kuantitas tersebut belum diimbangi oleh perkembangan kualitas UKMK yang masih menghadapi permasalahan klasik yaitu rendahnya produktivitas. Produktivitas tenaga kerja perjuangan kecil gres mencapai Rp2,6 juta per tenaga kerja pada tahun 2003, sedangkan perjuangan menengah sebesar Rp8,7 juta per tenaga kerja. Angka tersebut sangat jauh tertinggal dibandingkan produktivitas tenaga kerja perjuangan besar yang mencapai Rp1,8 miliar per tenaga kerja. Tingkat produktivitas ini berkaitan dekat dengan: (a) rendahnya kualitas SDM terutama dalam manajemen, penguasaan teknologi, dan pemasaran; (b) lemahnya kompetensi kewirausahaan; dan (c) terbatasnya kapasitas UKMK untuk mengakses permodalan, warta teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Selain itu, terdapat beberapa perkara eksternal UKMK, terutama: (a) besarnya biaya transaksi jawaban kurang kondusifnya iklim usaha; (b) praktik persaingan perjuangan yang tidak sehat; dan (c) keterbatasan warta dan jaringan pendukung usaha.

Kemampuan UKMK untuk bersaing di periode perdagangan bebas, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor, sangat ditentukan oleh dua kondisi utama yang perlu dipenuhi. Pertama, lingkungan internal UKMK mesti kondusif, yang meliputi aspek kualitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan informasi, struktur organisasi, sistem manajemen, kultur/budaya bisnis, kekuatan modal, jaringan bisnis dengan pihak luar, dan tingkat kewirausahaan (entrepreneurship). Kedua, lingkungan eksternal harus juga kondusif, yang terkait dengan kebijakan pemerintah, aspek hukum, kondisi persaingan pasar, kondisi ekonomi-sosial-kemasyarakatan, kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan masyarakat, dan perubahan ekonomi global.

Di samping itu, otonomi kawasan yang diharapkan bisa menumbuhkan iklim perjuangan yang aman bagi UKMK, pelaksanaannya ternyata belum memperlihatkan kemajuan yang merata. Sejumlah kawasan telah berusaha meningkatkan pelayanan kepada UKMK, sementara di beberapa kawasan lain memandang UKMK sebagai sumber pendapatan orisinil kawasan melalui pengenaan pungutan-pungutan gres sehingga biaya perjuangan UKMK meningkat.

Pada tahun 2003 tercatat laju pertumbuhan PDB UKM menyumbang 60 persen dari laju PDB nasional yang tercatat sebesar 4,1 persen. Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional ke depan serta mengurangi pengangguran dan sekaligus untuk bisa bersaing dalam pasar global dan dinamika perubahan situasi dalam negeri, maka pengembangan UKM perlu mempertimbangkan aspek potensial yang ada, yaitu: (1) pengembangan UKM yang secara proporsional menerapkan pengembangan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi penerapan teknologi; (2) UKM di sektor agribisnis dan agroindustri, yang lantaran prospeknya sangat strategis perlu didukung peningkatan kanal dalam pengelolaan usaha, menyerupai status kepemilikan tanah, teknologi, warta pasar dan sumberdaya insan serta oleh berkembangnya wadah organisasi perjuangan bersama yang sesuai dengan kebutuhan; (3) ekspansi sumber permodalan UKM yang mempunyai kapasitas dukungan lebih besar menyerupai perbankan; (4) pengembangan perjuangan menengah yang kuat, yang merupakan pilihan strategis yang sanggup dipercaya untuk mendukung proses industrialisasi, perkuatan keterkaitan industri, percepatan pengalihan teknologi, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Peran ini juga diharapkan sanggup mengurangi ketergantungan industri besar nasional terhadap impor input antara; (5) penyederhanaan mekanisme registrasi perjuangan dan penyediaan insentif bagi perjuangan informal, khususnya yang berskala mikro, yang diprioritaskan dalam rangka perlindungan, kesetaraan berusaha dan kontinuitas peningkatan pendapatan; dan (6) pengintegrasian pengembangan perjuangan dalam konteks pengembangan regional.

Ketiga: membuat stabilitas ekonomi dan keuangan. Program ini bertujuan untuk membuat iklim yang aman bagi peningkatan investasi dan ekspor yang sangat penting bagi percepatan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Koordinasi dan sinkronisasi dari program-program ekonomi telah berperan pada menguatnya nilai Rupiah dan menurunnya laju inflasi. Pada periode tahun 2001 – 2003, nilai Rupiah menguat dari rata-rata tahunan sebesar Rp 10.210 (tahun 2001) menjadi Rp 8.572/US$ (2003). Pada periode yang sama, menguatnya nilai Rupiah telah membantu menurunkan laju inflasi dari 11,9% menjadi 5,06%. Seiring dengan itu, tingkat suku bunga juga menurun. Tingkat suku bunga SBI (3 bulan) menurun sekitar separuh dari 17,6% (2001) menjadi 8,3%(2003). Adapun tingkat suku bunga kredit modal kerja dan investasi juga menurun, meskipun dengan laju yang lebih lambat, yaitu masing-masing dari 19,2% dan 17,9% (2001) menjadi 15,1% dan 15,7% (2003).

Stabilitas makro telah memperlihatkan pondasi bagi pemulihan ekonomi. Namun di samping itu diharapkan restrukturisasi perbankan, guna menyehatkan kembali perbankan dan penyelesaian utang perusahaan biar kegiatan perjuangan perusahaan-perusahaan tersebut sanggup bergerak kembali. Dengan demikian akan terjadi sinergi antara sektor keuangan dengan sektor riil dalam mendorong perekonomian.

Restrukturisasi utang swasta antara lain ditempuh melalui Prakarsa Jakarta dan restrukturisasi yang dilaksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Prakarsa Jakarta bertugas hingga dengan selesai Desember 2003 dan berhasil melaksanakan restrukturisasi sebanyak 96 perkara dengan nilai utang US$ 20,5 miliar dari 102 perkara yang terdaftar dengan total utang sebesar US$ 26,9 miliar. Dari 96 perkara yang sanggup diselesaikan tersebut, perinciannya ialah 20 perkara senilai US$ 4,2 miliar mencapai tahap MOU dan 76 perkara senilai US$ 16,3 miliar mencapai perjanjian restrukturisasi hutang yang legally bindding (kreditor dan debitor sudah terikat dalam sebuah perjanjian yang berkekuatan hukum).

Sementara itu, jumlah kredit yang dialihkan dan harus direstrukturisasi oleh BPPN ialah sebanyak lebih dari 370.000 ribu rekening milik lebih dari 200.000 debitur. Dalam pelaksanaannya, gejolak iklim politik dan ekonomi makro sepanjang 1999 – 2001 mengakibatkan restrukturisasi berjalan tersendat. Oleh lantaran itu, pada tahun 2002 melalui SK Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) no. Kep.01/K.KKSK/05/2002 tanggal 13 Mei 2002. Terobosan BPPN menekankan pada perlunya diberikan fokus penyelesaian restrukturisasi khusus bagi aset-aset yang bersifat strategis, yaitu pinjaman yang mempunyai dampak nasional yang cukup besar. Pencapaian penyelesaian asset kredit oleh Aset Manajemen Kredit (AMK) hingga tahun 2003 mencapai total penerimaan sebesar Rp77,09 triliun dengan total pengalihan awal sebesar Rp270,43 triliun. Khusus untuk penyelesaian kredit Usaha Kecil dan Menegah (UKM) hingga tahun 2003 mencapai 98% meliputi 239.440 debitur dengan nilai ATK sebesar Rp29,02 triliun.

Dengan membaiknya stabilitas makro dan kemajuan dalam penyelesaian utang perusahaan, telah memungkinkan laju pertumbuhan kredit mencapai 11,9% (2001), 14,4%(2002), dan 15,9% (2003). Seiring dengan itu, loan to deposit ratio (LDR) meningkat meskipun belum mencapai tingkat pra krisis, yaitu dari 33,0% (2001) menjadi 43,2% (2003). Secara lebih menyeluruh, melalui kegiatan restrukturisasi perbankan, kondisi bank telah menjadi lebih sehat. Rasio kecukupan modal selama 2001-2003 (capital adequacy ratio/CAR) mencapai sekitar 20% dengan non-performing loans (NPL-gross) menurun dari 12,1% 2001 menjadi 6,8%. Kinerja forum keuangan bukan bank, menyerupai asuransi dan forum pembiayaan juga memperlihatkan perbaikan, antara lain tercermin dari meningkatnya premi bruto untuk asuransi dari 1,6% PDB (2001) menjadi 1,9% PDB (2002), naiknya kegiatan perjuangan forum pembiayaan dari Rp30,8 triliun (2001) menjadi Rp 40,4 triliun (2003) serta omzet perum pergadian dari Rp6,0 triliun (2001) menjadi Rp8,8 triliun (2003).

Kedepan, perlu dilakukan langkah untuk memperkokoh kinerja dan ketahanan sektor keuangan melalui banyak sekali penyempurnaan pengaturan dan kelembagaan yang diharapkan guna mencapai tujuan tersebut. Sementara itu, stabilitas makro harus tetap terjaga biar iklim perjuangan lebih kondusif. Untuk itu, di samping melalui koordinasi dan sinkronisasi program-program ekonomi menyerupai diuraikan di atas, konsolidasi fiskal juga perlu dilanjutkan.

Selama 3 tahun terakhir, melalui konsolidasi fiskal telah diturunkan defisit anggaran secara sedikit demi sedikit dari 2,8% PDB (2001) menjadi 2,1% PDB (2003) dan direncanakan menjadi 1,2% PDB pada tahun 2004. Sementara itu, rasio stok hutang pemerintah terhadap PDB (tidak termasuk pinjaman kepada IMF) sanggup diturunkan dari sekitar 87% pada selesai 2001 menjadi sekitar 69% PDB (2003) dan direncanakan menjadi sekitar 60% PDB (2004). Dalam kaitan ini, pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan kawasan perlu dikelola biar di satu sisi meningkatkan kemampuan kawasan dalam melaksanakan kewenangannya namun di sisi lain tetap selaras dengan upaya menjaga ketahanan fiskal.

Keempat: memacu peningkatan daya saing. Tujuan utamanya ialah untuk meningkatkan ekspor nonmigas, termasuk pariwisata, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Untuk itu dalam jangka pendek dilakukan langkah-langkah untuk memacu pemanfaatan kapasitas industri yang menganggur melalui pengurangan kendala perdagangan dalam dan luar negeri serta peningkatan pembiayaan perdagangan. Dalam jangka menengah dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing, antara lain, dengan terus memperkuat institusi pasar, serta menyebarkan industri berkeunggulan kompetitif berlandaskan keunggulan komparatif didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Sampai dengan pelaksanaan tahun ke-4 Propenas 2000-2004, diperoleh indikasi pemanfaatan kapasitas industri nasional terpasang belum optimal, walaupun terdapat peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan utilisasi kapasitas produksi yang masih sekitar 61,7 persen pada tahun 2000, sedangkan pada tahun 2003 kondisinya relatif membaik lantaran terdapat peningkatan menjadi sebesar 65,3 persen. Sedangkan utilisasi pada industri kimia, agro dan hasil hutan pada tahun 2003 mencapai 75,5 persen, dengan rata-rata perumbuhan dalam emapat tahun terkhir mencapai 1,9 persen per tahun. Pada industri logam, mesin, elektro dan aneka tingkat utilisasinya pada tahun 2003 mencapai 55,2 persen dengan tingkat pertumbuhan rata-rata hanya mencapai 0,4 persen per tahun dalam empat tahun terakhir.

Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, kebijakan pembangunan Iptek akan diarahkan pada upaya (1) Perumusan kebijakan pembangunan iptek selaras dengan kebijakan industri dan kebijakan lainnya, (2) Penyempurnaan teladan insentif dan pembiayaan litbang; (3) pembentukan mekanisme intermediasi untuk mempercepat difusi hasil riset ke dalam kegiatan ekonomi (4) Pengembangan kelembagaan untuk meningkatkan kapasitas forum litbang dan memperlancar transaksi hasil litbang, dan (5) Pengembangan Instrumen Analisis Pencapaian Teknologi dalam bentuk statistik iptek dan indikator Iptek.

Kelima: meningkatkan investasi. Krisis ekonomi yang terjadi semenjak pertengahan tahun 1997 menurunkan investasi. Dalam tahun 1998, investasi, berupa pembentukan modal tetap bruto, turun 33 persen dan menyumbang sekitar 80 persen bagi penurunan pertumbuhan ekonomi.

Keenam: menyediakan sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi. Konstitusi kita telah mengamanatkan bahwa bumi, air dan tanah serta kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Oleh lantaran itu, pemenuhan kebutuhan energi dalam jumlah dan mutu yang memadai serta harga yang terjangkau merupakan kiprah pemerintah sebagai bentuk pelayanan publik.

Selain merupakan salah satu sumber devisa negara yang penting, energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi yang menghipnotis pertumbuhan sektor lainnya. Pada dasarnya, kebijakan pembangunan energi diarahkan untuk terpenuhinya kemandirian dalam bidang energi, baik untuk kepentingan konsumsi dalam negeri maupun kepentingan ekspor. Sasaran yang hendak dicapai ialah menurunnya pangsa minyak bumi dalam penyediaan energi dan meningkatnya pangsa energi non minyak bumi, khususnya gas bumi dan batubara, serta berkembangnya pemanfaatan energi gres dan terbarukan (EBT). Untuk mencapai target tersebut, kebijakan pembangunan energi, termasuk ketenagalistrikan, difokuskan untuk meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya energi; meningkatkan sarana dan prasarana; meningkatkan fungsi kelembagaan; meningkatkan kualitas sumber daya insan dan penguasaan teknologi; serta meningkatkan partisipasi masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan dalam pemanfaatan energi.
 
Di bidang ketenagalistrikan, hingga dengan selesai tahun 2003, cadangan kapasitas tenaga listrik untuk Sistem Jawa Madura Bali (Jamali) telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan yaitu hanya sekitar 7% sedangkan beberapa kawasan di Sistem Luar Jamali semenjak tahun 2001 telah mengalami krisis tenaga listrik lantaran beban puncak lebih besar dari kapasitas terpasang dan cadangan listrik (reserved margin).

Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi krisis tersebut melalui peningkatan kapasitas pembangkit yang ada, pembangunan pembangkit gres serta jaringan distribusi dan transmisi, dan pengembangan pembangkit skala kecil dengan memanfaatkan potensi energi setempat/lokal terutama untuk kawasan terpencil, terisolasi dan perbatasan (remote area) yang belum terinterkoneksi jaringan listrik (off-grid).

Upaya peningkatan kapasitas pembangkit dan pembangunan pembangkit gres dilakukan melalui upaya penyelesaian pembangunan pembangkit gres baik di Sistem Jamali yaitu PLTA Wonorejo maupun di Sistem Luar Jamali yaitu PLTA Besai (2x14 MW), PLTA Sipansihaporas Unit I, PLTA Renun, PLTU Tarahan dan PLTP Lahendong serta pembangkit skala kecil untuk kawasan perdesaan menyerupai pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH).

Terkait dengan restrukturisasi dan reformasi di bidang ketenagalistrikan telah dikeluarkan UU No. 20 Tahun 2002 ihwal Ketenagalistrikan sebagai pengganti undang-undang yang usang serta penyusunan 8 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk mendukung pelaksanaan UU Ketenagalistrikan tersebut. Hasil lain yang tampak ialah penyelesaian re-negosiasi 26 proyek listrik swasta Adapun hasil dari kegiatan peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap infrastruktur ketenagalistrikan tampak dengan bertambahnya jaringan listrik untuk kawasan perdesaan sehingga rasio desa terlistriki telah mencapai 78,5% pada tahun 2003.

Selama tahun 2000-2003, pada subsektor pos, telekomunikasi, informatika dan penyiaran, upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 4-5% serta mengembalikan kemampuan penyediaan jasa pelayanan sarana dan prasarana yang sempat terganggu jawaban krisis ekonomi dilaksanakan diantaranya melalui rehabilitasi serta pembangunan sarana dan prasarana untuk menunjang pertumbuhan seruan jasa pelayanan yang telah melebihi kapasitas (bottleneck) menyerupai pembangunan 1,79 juta satuan sambungan (ss) telepon tetap, 3.016 ribu ss telepon di kawasan pedesaan, dan 6 stasiun pemancar radio.

Disamping itu, pemerintah juga melaksanakan restrukturisasi penyelenggaraan perjuangan pelayanan jasa sarana dan prasarana. Kebijakan ini dilakukan diantaranya melalui pembukaan pasar secara terbatas (duopoli) dalam penyelenggaraan telekomunikasi tetap yang sekaligus menterminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom dan PT Indosat pada tahun 2002 dan 2003, perkuatan kelembagaan TVRI dan RRI, serta penyempurnaan dan penyusun banyak sekali peraturan terkait dengan pelaksanaan restrukturisasi sektor.

Sedangkan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan pos, telekomunikasi dan penyiaran, pemerintah melaksanakan peningkatan kapasitas dan ekspansi jangkauan wilayah hingga ke daerah-daerah yang secara ekonomi kurang memadai, termasuk daerah-daerah terpencil dan perbatasan, melalui kegiatan kewajiban pelayanan umum (Public/Universal Service Obligation).

Sektor transportasi, meterologi dan geofisika sangat penting dan stretegis bagi perekonomian nasional lantaran sektor ini memungkinkan terjadinya perdagangan baik nasional maupun internasional, kegiatan industri, serta pariwisata. Sarana dan prasarana transportasi juga sangat diharapkan untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan, serta meningkatkan mobilitas penumpang dan barang antarwilayah, antarperkotaan dan antarperdesaan. Selain itu, semakin banyaknya permasalahan sosial politik yang timbul di wilayah perbatasan, memerlukan tindakan pencegahan dan pemecahan segera. Oleh lantaran itu, ketersediaan prasarana dan sarana transportasi di wilayah perbatasan dan wilayah terisolasi sangat diharapkan untuk mendorong kelancaran mobilitas barang dan orang serta mempercepat pengembangan wilayah dan mempererat korelasi antarwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu faktor keamanan dan keselamatan operasional transportasi merupakan aspek yang perlu menerima perhatian tidak saja oleh regulator dan operator tetapi juga pengguna jasa transportasi.

Ketujuh: memanfaatkan kekayaan sumber daya alam nasional dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) dan kelestarian lingkungan. Dalam jangka pendek, antara lain dilakukan upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya alam, peningkatan pengawasan dan pengamanan pemanfaatannya, serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan penegakannya untuk menjamin kepastian aturan bagi investor dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Dalam jangka menengah dilakukan upaya rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, peningkatan kanal warta sumber daya alam, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengawasi pemanfaatan sumber daya alam. Oleh lantaran itu, pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan dalam Bab Pembangunan Ekonomi ini sangat terkait dekat dengan program-program yang ada di dalam Bab Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

Sementara itu, pembangunan bidang kelautan dan perikanan dalam tiga tahun terakhir telah memperlihatkan kemampuannya dalam memperlihatkan sumbangan bagi pembangunan ekonomi nasional. Dalam kurun waktu 2000-2001, Produk Domestik Bruto (PDB) sub-sektor perikanan, mengalami peningkatan rata-rata sebesar 15,65 persen per tahun. Pada tahun 2001, PDB sub-sektor perikanan mencapai sekitar Rp34,67 triliun atau sekitar 2,33 persen terhadap PDB nasional, dan pada tahun 2002 bantuan tersebut meningkat menjadi sebesar Rp46,61 triliun atau sekitar 2,89 persen dari PDB nasional, dan pada tahun 2003 bantuan tersebut meningkat menjadi sebesar Rp44,79 triliun atau sekitar 3,1 persen dari PDB nasional. Sementara itu dalam bidang pembangunan kehutanan, beberapa hasil penting ialah meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, khususnya dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, tersusunnya planning dan sistem pengelolaan hutan dan lahan yang efisien dan lestari, peningkatan dalam ketersediaan dan keterbukaan data dan informasi, serta peningkatan koordinasi dalam penyusunan dan penyempurnaan peraturan-peraturan di bidang kehutanan.

Dalam pengelolaan sumber daya air, pelaksanaan pembangunan ditekankan pada upaya mengembalikan fungsi pelayanan sumber-sumber air yang menurun jawaban kerusakan kawasan anutan sungai (DAS) dan kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan dan rehabilitasi sumber-sumber air; serta meningkatkan efisiensi kelembagaan. Di samping itu juga ditekankan pada upaya mengurangi dampak peristiwa banjir dan kekeringan yang berkelanjutan. Oleh lantaran itu, pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber air diprioritaskan pada kegiatan operasi dan pemeliharaan, rehabilitasi, serta pengembangan waduk, danau, embung, situ dan bendungan; penyusunan peraturan perundangan di bidang sumber daya air, penataan kelembagaan dengan memperhatikan kearifan dan budaya setempat, serta kegiatan yang sifatnya non fisik dengan memperlihatkan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi sehingga sanggup memperkecil dampak sosial. Selanjutnya, dalam pemanfaatan sumberdaya mineral, biar diperoleh hasil yang optimal dan meminimalkan dampak jelek yang terjadi dengan menekankan pada administrasi eksploitasi ataupun pengelolaan sumberdaya mineral secara sempurna dan sesuai dengan kaidah good mining practices. Penerapan kaidah ini akan menunjang upaya konservasi pertambangan dan meningkatkan/menambah umur tambang secara nyata. Dengan demikian, sumberdaya mineral dan pertambangan akan memperlihatkan kemanfaatan secara berkelanjutan dalam mendukung pembangunan nasional.

Sumber http://belajarilmukomputerdaninternet.blogspot.com


EmoticonEmoticon