Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Gagasan merevisi aturan program perdata sudah usang diusung. Perlu mengakomodasi perkembangan teknologi dan kompleksitas transaksi, khususnya dalam pembuktian dan sanksi putusan.
Pertemuan di salah satu ruangan Badan Pembinaan Hukum Nasional di daerah Cililitan Jakarta tak terpublikasi di media massa meskipun jadwal yang dibahas teramat penting untuk dilewatkan. Para pemangku kepentingan diundang dalam dua sesi diskusi untuk melaksanakan analisis dan penilaian aturan program perdata nasional. Wakil-wakil dari lembaga yang berkaitan datang, dan sebagian memberikan pandangan mereka. Mantan hakim yang kini jadi akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Teddy Anggoro, termasuk yang didaulat untuk bicara di lembaga akademis itu.
Gagasan revisi aturan program perdata sudah usang diusung. Foto ilustrasi buku acata perdata: HOL |
Asep enggan diwawancarai terkait perkembangan materi aturan acara. Teddy Anggoro secara terbuka menyatakan pandangannya bahwa aturan program perdata nasional sudah waktunya direvisi. Gagasan ini pula yang terus didengungkan tak hanya di Badan Pembinaan Hukum Nasional, tetapi juga dalam perhelatan asosiasi pengajar aturan program perdata, dan di forum-forum akademik lainnya. Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN, Pocut Eliza, bahkan mengulang kembali pentingnya mengevaluasi dan merevisi aturan peninggalan kolonial, termasuk aturan program perdata, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional kerjasama BPHN dengan Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila, pekan terakhir Oktober lalu.
Meskipun Indonesia sudah lebih dari 70 tahun merdeka, masih banyak peninggalan aturan nasional yang dipakai, contohnya KUH Pidana, Burgerlijk Wetboek (BW) yang lebih dikenal orang sebagai KUH Perdata, dan aturan program perdata yang tersebar pada HIR (Herziene Inlandsch Reglement), RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten)dan RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering). Upaya mengubah peraturan aturan peninggalan Belanda memang terus dilakukan semenjak merdeka tetapi belum semua berhasil.
Perubahan dalam lingkup aturan pidana sanggup disebut lebih maju dibandingkan lapangan aturan perdata, termasuk aturan formilnya. Komisi III dewan perwakilan rakyat dan Pemerintah sudah berhasil menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam bidang aturan formil Indonesia sudah menghasilkan ‘karya agung’ berjulukan KUHAP, yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 wacana Hukum Acara Pidana. Sebaliknya, BW dan aturan program perdata nyaris tak tersentuh meskipun gagasan-gagasan perubahan sudah muncul semenjak puluhan tahun silam.
BPHN dan Direktorat Jenderal Perundang-Undangan dua satuan kerja yang banyak bergelut dalam pandangan gres perubahan aturan program perdata. Pada tahun 2001, misalnya, Direktorat Jenderal Perundang-undangan melansir informasi bahwa pembahasan RUU Hukum Acara Perdata sudah selesai, tinggal dibawa ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tiga tahun kemudian, RUU Hukum Acara Perdata memang termasuk satu dari 75 daftar RUU prioritas yang akan dibahas. Tetapi kemudian, tahun demi tahun terlewat, alih-alih dibahas RUU Hukum Acara Perdata itu lenyap dari daftar.
Belum ada gejala untuk membawa kembali RUU itu ke dalam list RUU prioritas. Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Widodo Ekatjahjana menjelaskan aturan program perdata nasional masih tersebar dalam banyak sekali undang-undang akhir belum adanya harapan yang berpengaruh dari pemegang kewenangan legislasi untuk menyatukannya. “Karena memang belum ada upaya menciptakan kodifikasi, mestinya harus ada kodifikasi di tingkat nasional,” jawabnya singkat ketika diwawancarai hukumonline di sela Konferensi Hukum Tata Negara Nasional di Jember, Jawa Timur, Sabtu (11/11).
Gagasan merevisi aturan program perdata nasional kian sulit lantaran ada pandangan yang menyebut aturan materilnya (yakni BW) harus diubah lebih dahulu, gres ke aturan formil. Dirjen Widodo juga punya pandangan yang sama. “Terutama KUH Perdata. Hukum materilnya dulu, nanti gres aturan formil,” ujarnya.
Teddy Anggoro, dosen aturan perdata bidang ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) justru menganggap aturan program perdata sangat mendesak untuk direvisi. Pasalnya, aturan formil dalam sengketa perorangan antar warga masyarakat berkaitan bersahabat dengan pemenuhan hak asasi mendapat keadilan. “Hukum program itu dihentikan kaku banget. Ini kan cara orang mendapat keadilan,” katanya ketika diwawancarai hukumonline.
Perubahan tak hanya dalam aturan program pada aturan perdata umum (HIR), tetapi juga aturan perdata khusus. Sebagai akademisi aturan ekonomi yang juga berpraktek advokat Teddy menilai ada dua isu penting dalam jadwal revisi aturan program perdata nasional. Pertama, mengenai aspek pembuktian yang harus menyesuaikan dengan kemajuan teknologi serta ragam model transaksi keperdataan. Kedua, mengenai sanksi hasil putusan pengadilan yang selama ini banyak gagal dihukum dengan tidak adanya keterlibatan pegawanegeri penegak hukum. Alasannya lantaran pegawanegeri penegak aturan merupakan alat negara dalam bidang aturan publik dan bukan aturan privat.
Teddy menilai ada banyak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang seharusnya dipertimbangkan sebagai metode bahkan alat bukti dalam mekanisme peradilan perdata. “Kalau ditanya apa yang perlu kita ubah: pembuktian, sudah berubah banget (kebutuhannya),” ujar Teddy melalui sambungan telepon.
Teddy menawarkan teladan mengenai kekuatan pembuktian sertifikat otentik yang dibentuk notaris dalam pembuktian di pengadilan perdata. “Contohnya, mana yang lebih kuat, sertifikat notaris atau rekaman video atau CCTV yang memperlihatkan orang bersepakat?” kata Teddy mengajukan pertanyaan.
Berdasarkan iman aturan perdata nasional peninggalan kolonial Belanda, kekuatan sertifikat otentik merupakan alat bukti kuat. Dengan keterlibatan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat negara untuk mengesahkan banyak sekali akta, setiap pihak yang mempunyai sertifikat otentik dari notaris akan dipertimbangkan hakim sebagai pihak yang meyakinkan.
Hal ini tidak terlepas dari iman aturan lainnya bahwa pembuktian pada peradilan perdata bersifat kebenaran formil sementara pada peradilan pidana bersifat materiil. Bahkan kiprah Hakim pun berbeda dimana Hakim akan bersifat aktif ikut meminta dihadirkannya bukti-bukti di persidangan masalah pidana. Jika Hakim merasa belum cukup bukti, mereka diharuskan ikut meminta dihadirkannya bukti-bukti lain untuk menawarkan keyakinan atas suatu perkara.
Dalam persidangan masalah perdata kiprah hakim pasif hanya menunggu para pihak menghadirkan bukti-bukti untuk dipertimbangkan. Hakim hanya akan memutus masalah sebatas pada alat bukti yang dihadirkan padanya. Sebagian besar alat bukti yang diterima pada pengadilan perdata ialah alat bukti surat. Bagi Teddy, konsep tersebut bekerjsama mempunyai ruh kolonialisme yang disisipkan dalam mekanisme mencari keadilan. “Perdata harus (kebenaran) formil, pidana (kebenaran) materil, itu dulu digunakan Belanda untuk merebut tanah kita, kekayaan kita, dipaksakan pembuktian formil sehingga niscaya orang kita kalah,” tandasnya.
Teddy merujuk kenyataan bahwa di masa penjajahan, yang sanggup mengakses pembentukan akta-akta hanyalah kalangan yang bersekutu dengan kolonial Belanda. Banyak rakyat kecil yang harus rela kehilangan haknya atas tanah perkebunan sampai tempat tinggal lantaran tidak memegang surat bukti kepemilikan. Padahal manajemen yang ada sepenuhnya dalam kendali pemerintahan kolonial Belanda kala itu.
Kembali pada soal sertifikat notaris, di masa kini Teddy menilai bahwa transfomasi teknologi juga harus menjadi media pembuktian yang berpengaruh dalam pengadilan perdata. “Apa coba arti sertifikat notaris dibanding dengan faktual orang merekam saya dengan kau berjanji, ini saya bayar gitu kan,” lanjutnya. Karena itu, Teddy berharap transformasi penting ibarat yang ia contohkan harusnya diakomodasi dalam Hukum Acara Perdata.
Mengenai eksekusi, Teddy beropini seharusnya pegawanegeri penegak aturan sanggup dilibatkan dalam pelaksanaan putusan pengadilan untuk masalah perdata. “Harusnya penegak aturan ibarat jaksa dan polisi sanggup digunakan untuk eksekusi, mereka kan (tugasnya) menjaga ketertiban,” ujarnya.
“Kita ketika ini kalaupun sudah menang, eksekusinya susah,” tambah akademisi yang juga berpraktek sebagai kurator ini.
Lebih lanjut Teddy mendorong pembuat undang-undang untuk tidak ragu berinovasi dengan mengambil banyak sekali konsep yang ada dalam sistem aturan dunia. “Kita nggak usah juga kayak kini ter-stigma common law-civil law. ‘Ah itu kan pola common law’. Kita ini sudah usang mendikotomikan keduanya tapi jadinya nggak ada,” ungkapnya.
- Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini
- Langkah Awal Robert Pakpahan Nakhodai Direktorat Jenderal Pajak
- Tugas Luky Sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
- KPK Cocokan Bukti Aliran Dana Korupsi e-KTP ke Anggota DPR
- Wejangan Menteri Keuangan untuk Direktur Jenderal Pajak yang Baru
- Robert Pakpahan Dirjen Pajak Baru
- Pengamat Nilai Dirjen Pajak Baru Harus Bisa Dipercaya Masyarakat
- Kemenkeu Undang Online Travel Agent Asing yang Tak Bayar Pajak
- Dirjen Pajak: Target Penerimaan Pajak di Bulan November Sebesar Rp126 Triliun
- Jejak Dugaan Personel Tentara Nasional Indonesia AU dalam Penyelundupan Miras di Papua
Dengan kenyataan globalisasi hukum, berdasarkan Teddy sudah tidak relevan bersikap kaku soal pengadopsian konsep aturan dari banyak sekali sistem aturan yang ada. “Sudah nggak relevan bicara common law-civil law. Hukum program itu harus dinamis,” imbuhnya ketika dikutip dari Hukumonline.
Ketika ditanya apa sebabnya sampai ketika ini aturan program perdata nasional belum juga mendapat perhatian serius untuk direvisi—mengingat aturan program pidana telah diganti dengan KUHAP semenjak 1981—Teddy mengaku tidak sanggup memastikan. Padahal dalam sengketa perdata yang terlibat berkepentingan ialah antar anggota masyarakat secara langsung. “Kalau pidana memang orang mengadu kepada negara, jikalau perdata kan orang per orang yang memperjuangkan dirinya, harusnya lebih prioritas,” kata Teddy.
Ia menduga sanggup jadi lantaran dalam sengketa perdata tidak berkaitan eksklusif dengan kerja instansi pemerintah, maka kurang mendapat perhatian. “Kita ini mentang-mentang nggak ada institusi (pemerintah) yang berkepentingan jadi santai-santai,” tutupnya. (***)
Sumber http://artonang.blogspot.com
EmoticonEmoticon