Tampilkan postingan dengan label Berita Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita Hukum. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 Maret 2018

Reglemen Aturan Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, sudah hampir 170 tahun Reglemen Hukum Acara dalam investigasi di muka pengadilan negeri itu berlaku. Khusus untuk investigasi program pidana memang sudah ada UU No. 8 Tahun 1981 ihwal Hukum Acara Pidana. Tetapi untuk aturan program perdata, masih jauh panggang dari api.

Orang mungkin tak ingat lagi nama J.M Kiveron, laki-laki Belanda yang membubuhkan tanda legalitas pada undang-undang itu. Sama halnya lupa terhadap nama Mr. HL Wichers dan JJ Rochussen. Mungkin tak banyak pula yang memperhatikan Menteri Kehakiman Wongsonegoro yang menetapkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 ihwal Tindakan-Tindakan untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Padahal nama-nama itu yaitu orang-orang yang terkait dengan HIR, aturan program perdata yang hingga kini masih berlaku di Indonesia.
 tahun Reglemen Hukum Acara dalam investigasi di muka pengadilan negeri itu berlaku Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini
Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto: RES
Pasal 6 UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diteken Wongsonegoro tadi tegas menyebutkan ‘Reglemen Indonesia yang dibaharui seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman’. Lebih dari 66 tahun setelah Wet itu terbit, ternyata apa yang disebut Reglemen Indonesia yang dibaharui itu masih berlaku. Orang lebih mengenalnya sebagai HIR. Mr. R. Tresna, salah satu tokoh aturan Indonesia yang menerjemahkan dan memberi komentar atas Reglemen itu lebih bahagia menggunakan kata HIR. “Istilah HIR itu telah lebih dikenal dan sudah biasa dipakai orang’, tulisnya pada tarikh Oktober 1955.

Karya Mr Tresna, ‘Komentar HIR’ salah satu karya klasik yang secara komprehensif mengungkap kembali kepada generasi kini bagaimana aturan program pengadilan negeri di Hindia Belanda disusun. Cerita lain sanggup disimak dari karya Prof. Soepomo ‘Hukum Acara Pengadilan Negeri’ atau karyaHukum Acara Perdata karya Prof. R. Subekti. Para mahir aturan itu mengungkapkan tanggal 1 Mei 1848 sebagai momentum penting dalam perjalanan sejarah aturan program perdata di Indonesia. Pada tanggal itulah mulai berlaku Reglemen Bumiputera (Inlands Reglement), Staatblad Tahun 1848 No. 16.

Belanda bergotong-royong membeda-bedakan aturan yang berlaku kepada golongan penduduk kala itu: Eropa dan yang dipermasakan, Timur Asing dan yang dipersamakan, serta orang bumiputera. Oleh alasannya yaitu aturan yang berlaku berbeda kepada golongan penduduk Hindia Belanda, maka pengadilan dan tata cara peradilannya juga berbeda. Bahkan dibedakan pula wilayahnya. Untuk Jawa dan Madura diberlakukan HIR, sedangkan di luar pulau itu berlaku Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).

HIR yaitu kependekan dari Herziene Indonesisch Reglement. Mr. H.L Wichers yaitu orang penting di balik penyusunan Reglemen untuk aturan program di muka pengadilan negeri ini. Sebagai Presiden Hooggerechtsshof, Wichers diminta bersama tim menyusun sebuah anutan atau aturan program yang berlaku di pengadilan Bumputera. Wichers dan tim menuntaskan reglemen berisi 432 pasal mengenai ‘administrasi, polisi, dan proses perdata serta proses pidana’ bagi golongan Bumiputera.

Pasal yang memantik perdebatan dikala itu yaitu Pasal 432, yang kini dikenal sebagai Pasal 393 HIR. Ayat (1) pasal ini menyebutkan ‘dalam hal mengadili masalah di hadapan Mahkamah Bumiputera dihentikan diperhatikan peraturan lain atau yang melebihi daripada yang ditentukan dalam reglemen ini’. Ayat (2) memungkinkan pengecualian, yakni menggunakan peraturan yang berlaku bagi golongan Eropa dalam hal-hal tertentu. Gubernur Jenderal Rochussen menolak rumusan ayat (2) tersebut alasannya yaitu seharusnya aturan program yang disusun harus lengkap. Pengecualian itu ia anggap menyimpang dari asas yang disebut pada ayat (1). Protes Gubernur Jenderal Rochussen diterima, sehingga rumusan yang terbaca dalam HIR kini sudah lain, dan tampak ada campur tangan Gubernur Jenderal.

Isi HIR

Sebenarnya, semenjak pertama kali diberlakukan pada tahun 1848, Inlands Reglement sudah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan penting terjadi pada tahun 1926 dan 1941. Salah satunya mengenai revisi peraturan penuntutan terhadap orang-orang yang bukan bangsa Eropa; investigasi persiapan dalam masalah pidana yang dilakukan Bumiputera dan Timur Asing. Staatsblad Tahun 1941 No. 32 menyebutkan keberlakuan Reglemen pada ayat (2), yaitu: “Reglemen Bumiputera, sebagaimana bunyinya setelah diadakan perubahan-perubahan di dalam Ordonansi ini, akan berlaku di dalam wilayah aturan Landraad-Landraad yang dimaksud di atas, sanggup disebut Herziene Inlandsh Reglement”. Salah satu yang membedakan IR dengan HIR yaitu pembentukan forum Kejaksaan sebagai penuntut umum (Openbaar ministerie).

HIR yang dikenal kini dan dianalisi Mr. Tresna, berisi 394 pasal, yaitu versi yang dimuat dalam Besluit Gubernur Jenderal No. 2, tertanggal 21 Februari 1941, dan dimuat dalam Staatblad Tahun 1941 No. 44. Terdiri dari 15 titel. Titel I mengenai hal melaksanakan pekerjaan polisi; disusul Titel II ihwal memeriksa kejahatan dan pelanggaran. Titel III hingga Titel VI bicara tentangkepala distrik, kepala jaksa dan jaksa; bupati dan patih; serta residen dan tangan kanan residen.

Titel VII mengenai pengadilan distrik; Titel VIII ihwal pengadilan kabupaten; disusul Titel IX mengenai perihal mengadili masalah sipil di pengadilan negeri; dan mengadili kejahatan di muka pengadilan negeri dalam Titel X. Selanjutnya, Titel XI mengenai masalah sumir; Titel XII mengenai mengadili masalah pelanggaran. Tahanan sementara dan kurungan sementara diatur dalam Titel XIII; sedangkan ihwal hal tiada berlaku lagi, berhenti atau terhapus penuntutan dan sanksi diatur pada Titel XIV. Terakhir, Titel XV mengatur peraturan rupa-rupa.

Nasibmu Kini

Tentu saja, sudah banyak rumusan HIR yang tak sesuai dengan kondisi kekinian. Indonesia sudah mempunyai UU No. 8 Tahun 1981, sebuah anutan penyelesaian masalah mulai dari penyelidikan dan proses di pengadilan hingga upaya aturan luar biasa dan sanksi putusan pidana. Sayang, tidak demikian halnya dengan aturan program dalam lapangan aturan perdata.

Padahal, semenjak Indonesia para pembentuk Undang-Undang dan para juristssebenarnya menginginkan adanya suatu aturan program perdata nasional. Semangat itu pula yang sanggup dibaca dari rumusan Pasal 68 UU No. 2 Tahun 1986 ihwal Peradilan Umum. Pasal ini menyebutkan ‘Ketentuan-ketentuan mengenai aturan program yang berlaku bagi peradilan diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Toh, hingga kini Undang-Undang tersendiri yang dimaksud belum ada.

Baca :
Apatah lagi kini, Mahkamah Agung sudah usang menganut pandangan bahwa suatu masalah perdata sanggup diselesaikan di luar pengadilan. Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009 ihwal Kekuasaan Kehakiman tegas mengatur ‘upaya penyelesaian sengketa perdata sanggup dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa’. Bahkan ketika masalah sudah diregistrasi dan mulai disidangkan, hakim wajib meminta para pihak bersengketa untuk melaksanakan mediasi. Mahkamah Agung mengatur tata cara mediasi itu melalui Perma No. 1 Tahun 2016 ihwal Mediasi di Pengadilan.

Dengan kata lain, aturan program perdata telah berkembang dalam praktek. Dan rumusan-rumusan dalam HIR sudah banyak yang tak sesuai dengan perundang-undangan di bidang peradilan, setidaknya telah tersebar dalam perundang-undangan lain.Apalagi lapangan aturan yang menggunakan aturan program perdata semakin berkembang. Tengok saja di peradilan agama, Pengadilan Hubungan Industrian, bahkan sengketa informasi. Demikian dilansir dari Hukumonline (***)

Sumber http://artonang.blogspot.com

Jumat, 09 Maret 2018

Apa Kabar Perubahan Aturan Program Perdata Nasional?

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Gagasan merevisi aturan program perdata sudah usang diusung. Perlu mengakomodasi perkembangan teknologi dan kompleksitas transaksi, khususnya dalam pembuktian dan sanksi putusan.

Pertemuan di salah satu ruangan Badan Pembinaan Hukum Nasional di daerah Cililitan Jakarta tak terpublikasi di media massa meskipun jadwal yang dibahas teramat penting untuk dilewatkan. Para pemangku kepentingan diundang dalam dua sesi diskusi untuk melaksanakan analisis dan penilaian aturan program perdata nasional. Wakil-wakil dari lembaga yang berkaitan datang, dan sebagian memberikan pandangan mereka. Mantan hakim yang kini jadi akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Teddy Anggoro, termasuk yang didaulat untuk bicara di lembaga akademis itu.
 Gagasan merevisi aturan program perdata sudah usang diusung Apa Kabar Perubahan Hukum Acara Perdata Nasional?
Gagasan revisi aturan program perdata sudah usang diusung. Foto ilustrasi buku acata perdata: HOL
Asep enggan diwawancarai terkait perkembangan materi aturan acara. Teddy Anggoro secara terbuka menyatakan pandangannya bahwa aturan program perdata nasional sudah waktunya direvisi. Gagasan ini pula yang terus didengungkan tak hanya di Badan Pembinaan Hukum Nasional, tetapi juga dalam perhelatan asosiasi pengajar aturan program perdata, dan di forum-forum akademik lainnya. Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN, Pocut Eliza, bahkan mengulang kembali pentingnya mengevaluasi dan merevisi aturan peninggalan kolonial, termasuk aturan program perdata, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional kerjasama BPHN dengan Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila, pekan terakhir Oktober lalu.

Meskipun Indonesia sudah lebih dari 70 tahun merdeka, masih banyak peninggalan aturan nasional yang dipakai, contohnya KUH Pidana, Burgerlijk Wetboek (BW) yang lebih dikenal orang sebagai KUH Perdata, dan aturan program perdata yang tersebar pada HIR (Herziene Inlandsch Reglement), RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten)dan RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering). Upaya mengubah peraturan aturan peninggalan Belanda memang terus dilakukan semenjak merdeka tetapi belum semua berhasil.

Perubahan dalam lingkup aturan pidana sanggup disebut lebih maju dibandingkan lapangan aturan perdata, termasuk aturan formilnya. Komisi III dewan perwakilan rakyat dan Pemerintah sudah berhasil menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam bidang aturan formil Indonesia sudah menghasilkan ‘karya agung’ berjulukan KUHAP, yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 wacana Hukum Acara Pidana. Sebaliknya, BW dan aturan program perdata nyaris tak tersentuh meskipun gagasan-gagasan perubahan sudah muncul semenjak puluhan tahun silam.

BPHN dan Direktorat Jenderal Perundang-Undangan dua satuan kerja yang banyak bergelut dalam pandangan gres perubahan aturan program perdata. Pada tahun 2001, misalnya, Direktorat Jenderal Perundang-undangan melansir informasi bahwa pembahasan RUU Hukum Acara Perdata sudah selesai, tinggal dibawa ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tiga tahun kemudian, RUU Hukum Acara Perdata memang termasuk satu dari 75 daftar RUU prioritas yang akan dibahas. Tetapi kemudian, tahun demi tahun terlewat, alih-alih dibahas RUU Hukum Acara Perdata itu lenyap dari daftar.

Belum ada gejala untuk membawa kembali RUU itu ke dalam list RUU prioritas. Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Widodo Ekatjahjana menjelaskan aturan program perdata nasional masih tersebar dalam banyak sekali undang-undang akhir belum adanya harapan yang berpengaruh dari pemegang kewenangan legislasi untuk menyatukannya. “Karena memang belum ada upaya menciptakan kodifikasi, mestinya harus ada kodifikasi di tingkat nasional,” jawabnya singkat ketika diwawancarai hukumonline di sela Konferensi Hukum Tata Negara Nasional di Jember, Jawa Timur, Sabtu (11/11).

Gagasan merevisi aturan program perdata nasional kian sulit lantaran ada pandangan yang menyebut aturan materilnya (yakni BW) harus diubah lebih dahulu, gres ke aturan formil. Dirjen Widodo juga punya pandangan yang sama. “Terutama KUH Perdata. Hukum materilnya dulu, nanti gres aturan formil,” ujarnya.

Teddy Anggoro, dosen aturan perdata bidang ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) justru menganggap aturan program perdata sangat mendesak untuk direvisi. Pasalnya, aturan formil dalam sengketa perorangan antar warga masyarakat berkaitan bersahabat dengan pemenuhan hak asasi mendapat keadilan. “Hukum program itu dihentikan kaku banget. Ini kan cara orang mendapat keadilan,” katanya ketika diwawancarai hukumonline.

Perubahan tak hanya dalam aturan program pada aturan perdata umum (HIR), tetapi juga aturan perdata khusus. Sebagai akademisi aturan ekonomi yang juga berpraktek advokat Teddy menilai ada dua isu penting dalam jadwal revisi aturan program perdata nasional. Pertama, mengenai aspek pembuktian yang harus menyesuaikan dengan kemajuan teknologi serta ragam model transaksi keperdataan. Kedua, mengenai sanksi hasil putusan pengadilan yang selama ini banyak gagal dihukum dengan tidak adanya keterlibatan pegawanegeri penegak hukum. Alasannya lantaran pegawanegeri penegak aturan merupakan alat negara dalam bidang aturan publik dan bukan aturan privat.

Teddy menilai ada banyak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang seharusnya dipertimbangkan sebagai metode bahkan alat bukti dalam mekanisme peradilan perdata. “Kalau ditanya apa yang perlu kita ubah: pembuktian, sudah berubah banget (kebutuhannya),” ujar Teddy melalui sambungan telepon.

Teddy menawarkan teladan mengenai kekuatan pembuktian sertifikat otentik yang dibentuk notaris dalam pembuktian di pengadilan perdata. “Contohnya, mana yang lebih kuat, sertifikat notaris atau rekaman video atau CCTV yang memperlihatkan orang bersepakat?” kata Teddy mengajukan pertanyaan.

Berdasarkan iman aturan perdata nasional peninggalan kolonial Belanda, kekuatan sertifikat otentik merupakan alat bukti kuat. Dengan keterlibatan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat negara untuk mengesahkan banyak sekali akta, setiap pihak yang mempunyai sertifikat otentik dari notaris akan dipertimbangkan hakim sebagai pihak yang meyakinkan.

Hal ini tidak terlepas dari iman aturan lainnya bahwa pembuktian pada peradilan perdata bersifat kebenaran formil sementara pada peradilan pidana bersifat materiil. Bahkan kiprah Hakim pun berbeda dimana Hakim akan bersifat aktif ikut meminta dihadirkannya bukti-bukti di persidangan masalah pidana. Jika Hakim merasa belum cukup bukti, mereka diharuskan ikut meminta dihadirkannya bukti-bukti lain untuk menawarkan keyakinan atas suatu perkara.

Dalam persidangan masalah perdata kiprah hakim pasif hanya menunggu para pihak menghadirkan bukti-bukti untuk dipertimbangkan. Hakim hanya akan memutus masalah sebatas pada alat bukti yang dihadirkan padanya. Sebagian besar alat bukti yang diterima pada pengadilan perdata ialah alat bukti surat. Bagi Teddy, konsep tersebut bekerjsama mempunyai ruh kolonialisme yang disisipkan dalam mekanisme mencari keadilan. “Perdata harus (kebenaran) formil, pidana (kebenaran) materil, itu dulu digunakan Belanda untuk merebut tanah kita, kekayaan kita, dipaksakan pembuktian formil sehingga niscaya orang kita kalah,” tandasnya.

Teddy merujuk kenyataan bahwa di masa penjajahan, yang sanggup mengakses pembentukan akta-akta hanyalah kalangan yang bersekutu dengan kolonial Belanda. Banyak rakyat kecil yang harus rela kehilangan haknya atas tanah perkebunan sampai tempat tinggal lantaran tidak memegang surat bukti kepemilikan. Padahal manajemen yang ada sepenuhnya dalam kendali pemerintahan kolonial Belanda kala itu.

Kembali pada soal sertifikat notaris, di masa kini Teddy menilai bahwa transfomasi teknologi juga harus menjadi media pembuktian yang berpengaruh dalam pengadilan perdata. “Apa coba arti sertifikat notaris dibanding dengan faktual orang merekam saya dengan kau berjanji, ini saya bayar gitu kan,” lanjutnya. Karena itu, Teddy berharap transformasi penting ibarat yang ia contohkan harusnya diakomodasi dalam Hukum Acara Perdata.

Mengenai eksekusi, Teddy beropini seharusnya pegawanegeri penegak aturan sanggup dilibatkan dalam pelaksanaan putusan pengadilan untuk masalah perdata. “Harusnya penegak aturan ibarat jaksa dan polisi sanggup digunakan untuk eksekusi, mereka kan (tugasnya) menjaga ketertiban,” ujarnya.

“Kita ketika ini kalaupun sudah menang, eksekusinya susah,” tambah akademisi yang juga berpraktek sebagai kurator ini.

Lebih lanjut Teddy mendorong pembuat undang-undang untuk tidak ragu berinovasi dengan mengambil banyak sekali konsep yang ada dalam sistem aturan dunia. “Kita nggak usah juga kayak kini ter-stigma common law-civil law. ‘Ah itu kan pola common law’. Kita ini sudah usang mendikotomikan keduanya tapi jadinya nggak ada,” ungkapnya.

Baca :
Dengan kenyataan globalisasi hukum, berdasarkan Teddy sudah tidak relevan bersikap kaku soal pengadopsian konsep aturan dari banyak sekali sistem aturan yang ada. “Sudah nggak relevan bicara common law-civil law. Hukum program itu harus dinamis,” imbuhnya ketika dikutip dari Hukumonline.

Ketika ditanya apa sebabnya sampai ketika ini aturan program perdata nasional belum juga mendapat perhatian serius untuk direvisi—mengingat aturan program pidana telah diganti dengan KUHAP semenjak 1981—Teddy mengaku tidak sanggup memastikan. Padahal dalam sengketa perdata yang terlibat berkepentingan ialah antar anggota masyarakat secara langsung. “Kalau pidana memang orang mengadu kepada negara, jikalau perdata kan orang per orang yang memperjuangkan dirinya, harusnya lebih prioritas,” kata Teddy.

Ia menduga sanggup jadi lantaran dalam sengketa perdata tidak berkaitan eksklusif dengan kerja instansi pemerintah, maka kurang mendapat perhatian. “Kita ini mentang-mentang nggak ada institusi (pemerintah) yang berkepentingan jadi santai-santai,” tutupnya. (***)

Sumber http://artonang.blogspot.com

Hukum Bila Terdapat Kemiripan Merek (Brand) Produk Makanan

Hukum Dan Undang Undang Merek, jenama atau merek dagang (simbol: ™ atau ®) ialah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan produk/jasa dan menjadikan arti psikologis/asosiasi.

Ada tiga jenis merek, yaitu :
  • Merek Dagang
Merek dagang ialah merek yang dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara gotong royong atau tubuh aturan untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
  • Merek Jasa
Merek jasa ialah merek yang dipakai pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara gotong royong atau tubuh aturan untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
  • Merek Kolektif
Merek kolektif ialah merek yang dipakai pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau tubuh aturan secara gotong royong untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.

Berbeda dengan produk sebagai sesuatu yang dibentuk di pabrik, merek dipercaya menjadi motif pendorong konsumen menentukan suatu produk, lantaran merek bukan hanya apa yang tercetak di dalam produk (kemasannya), melainkan juga merek termasuk yang ada di dalam hati konsumen dan bagaimana konsumen mengasosiasikannya.
 ialah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan produk Hukum Jika Terdapat Kemiripan Merek (Brand) Produk Makanan
Ilustrasi Kemiripan Merek (Brand) Produk Makanan

Menurut David A. Aaker, merek ialah nama atau simbol yang bersifat membedakan (baik berupa logo,cap/kemasan) untuk mengidentifikasikan barang/jasa dari seorang penjual/kelompok penjual tertentu. Tanda pembeda yang dipakai suatu tubuh usaha sebagai penanda identitasnya dan produk barang atau jasa yang dihasilkannya kepada konsumen, dan untuk membedakan perjuangan tersebut maupun barang atau jasa yang dihasilkannya dari tubuh perjuangan lain.

Merek merupakan kekayaan industri yang termasuk kekayaan intelektual. Secara konvensional, merek sanggup berupa nama, kata, frasa, logo, lambang, desain, gambar, atau kombinasi dua atau lebih unsur tersebut.

Di Indonesia, hak merek dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Jangka waktu pertolongan untuk merek ialah sepuluh tahun dan berlaku surut semenjak tanggal penerimaan permohonan merek bersangkutan dan sanggup diperpanjang, selama merek tetap dipakai dalam perdagangan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 perihal Merek dan Indikasi Geografis telah memperlihatkan aba-aba yang terang bagi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM biar menolak permohonan registrasi merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:
  • Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • Merek populer milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • Merek populer milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
  • Indikasi Geografis terdaftar.

Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya ialah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang mayoritas antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menjadikan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam Merek tersebut.

Kami tidak sanggup memastikan apakah Kebab Turki Baba Rafi mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Kebab Turki Abahanif. Untuk memastikan itu, silakan Anda konsultasikan ke konsultan Hak Kekayaan Intelektual. Yang sanggup memastikan ialah pengadilan kalau terjadi sengketa.

Penjelasan lebih lanjut sanggup Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Sebelumnya, perlu kami jelaskan terlebih dahulu perihal Paten dan Merek, dimana keduanya masuk dalam kategori hak kekayaan intelektual yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbeda.

Perbedaan Paten dan Merek

Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 perihal Paten (“UU Paten”). Paten ialah hak ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invesinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melakukan sendiri invensi tersebut atau memperlihatkan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Sementara, Merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 perihal Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”). Merek ialah tanda yang sanggup ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau tubuh aturan dalam aktivitas perdagangan barang dan/atau jasa.

Berdasarkan definisi di atas sanggup kita ketahui bahwa terdapat perbedaan antara Paten dan Merek, dimana Paten terkait dengan invensi di bidang teknologi sedangkan merek ialah sebagaimana didefinisikan dalam ketentuan UU MIG.

Oleh lantaran itu, kami luruskan bahwa nama pada suatu produk masakan tersebut bukanlah berkaitan dengan paten, melainkan berkaitan dengan merek suatu produk makanan.

Arti Persamaan Pada Pokoknya

UU MIG telah memperlihatkan aba-aba yang terang bagi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM biar menolak permohonan registrasi merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:

  • Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • Merek populer milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • Merek populer milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
  • Indikasi Geografis terdaftar.

Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya ialah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang mayoritas antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menjadikan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam Merek tersebut.

Pemilik Merek terdaftar dan/atau akseptor Lisensi Merek terdaftar sanggup mengajukan somasi terhadap pihak lain yang secara tanpa hak memakai Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:

Sanksi bagi setiap orang yang memakai merek orang lain yang mempunyai persamaan pada pokoknya diatur dalam Pasal 100 ayat (2) UU MIG yang berbunyi:

Setiap Orang yang dengan tanpa hak memakai Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling usang 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Kami tidak sanggup memastikan apakah Kebab Turki Baba Rafi mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Kebab Turki Abahanif. Untuk memastikan itu, konsultasikan ke konsultan Hak Kekayaan Intelektual. Yang sanggup memastikan ialah pengadilan kalau terjadi sengketa.

Namun demikian kami ingin memperlihatkan dua pola sebagai perbandingan kepada Anda. Pertama, kasus merek AQUA dan AQUALIVA. Mahkamah Agung dalam putusannya (perkara No. 014 K/N/HaKI/2003) menyatakan bahwa pembuat merek Aqualiva mempunyai itikad tidak baik dengan mendompleng ketenaran nama Aqua.

Kedua, terkait dengan pertanyaan Bapak perihal kalimat dan kata yang didaftarkan. Salah satu kasus yang pernah diputus MA ialah merek CORNETTO dan CAMPINA CORNETTO (perkara No. 022 K/N/HaKI/2002). Dalam kasus ini, MA menyatakan penggugat sebagai pemilik merek Cornetto. Dalam pertimbangannya, MA memakai parameter berupa:
a.    Persamaan visual;
b.    Persamaan jenis barang; dan
c.    Persamaan konsep.

Jika pendaftar pertama merasa dirugikan oleh merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya, tentu ia sanggup menggugat peniadaan merek dimaksud. Demikian dilansir dari Hukumonline.

Dasar hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 perihal Paten;
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 perihal Merek dan Indikasi Geografis.


  • Pasal 1 angka 1 UU Paten
  • Pasal 1 angka 1 UU MIG
  • Pasal 21 ayat (1) UU MIG
  • Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG
  • Pasal 83 ayat (1) UU MIG

Sumber http://artonang.blogspot.com

Rabu, 07 Maret 2018

Tantangan Menghadirkan Barang Bukti Digital Di Pengadilan Pada Masa Ekonomi Digital

Hukum Dan Undang Undang Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian aturan program pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang yang sanggup dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak sanggup dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara terang perihal apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang sanggup disita, yaitu:
  • benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
  • benda yang telah dipergunakan secara eksklusif untuk melaksanakan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  • benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
  • benda yang khusus dibentuk atau diperuntukkan melaksanakan tindak pidana;
  • benda lain yang mempunyai hubungan eksklusif dengan tindak pidana yang dilakukan,

 disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah Tantangan Menghadirkan Barang Bukti Digital di Pengadilan Pada Era Ekonomi Digital
Ilustrasi Barang Bukti Digital Era Ekonomi Digital/ilmuforensikadigital.blogspot.co.id

Atau dengan kata lain benda-benda yang sanggup disita ibarat yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP sanggup disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang digunakan untuk melaksanakan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:
  • Barang-barang yang menjadi target tindak pidana (corpora delicti)
  • Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
  • Barang-barang yang dipergunakan untuk melaksanakan tindak pidana (instrumenta delicti)
  • Barang-barang yang pada umumnya sanggup dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan kepercayaan oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam kasus pidana ialah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang digunakan untuk melaksanakan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang sanggup menjadi barang bukti :
  • Merupakan objek materiil
  • Berbicara untuk diri sendiri
  • Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
  • Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti ialah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuanberpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melaksanakan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas sanggup disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti ialah :
  • Barang yang dipergunakan untuk melaksanakan tindak pidana.
  • Barang yang dipergunakan untuk membantu melaksanakan suatu tindak pidana.
  • Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana.
  • Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana.
  • Benda tersebut sanggup memperlihatkan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara.
  • Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu kasus pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu kasus pidana, alasannya ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, ibarat tindak pidana penghinaan secara verbal (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law ibarat di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan jodicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti berdasarkan aturan program pidana kita.

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Jadi, sanggup kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan ialah sebagai berikut:
  1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);
  2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas kasus sidang yang ditangani;
  3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut sanggup menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.
Barang bukti digital sangat ‘ringkih’ dibandingkan bukti fisik. Perlu standar penanganan bukti digital biar nilai pembuktiannya sempurna.

Defenisi Bukti Digital Dari Berbagai Sumber :

1) Bukti Digital ialah data yang disimpan atau dikirimkan memakai komputer yang sanggup mendukung atau menyangkal sebuah pelanggaran tertentu, atau bisa juga juga disebut sebagai petunjuk yang mengarahkan kepada elemen-elemen penting yang berkaitan dengan sebuah pelanggaran (Chisum, 1999). Sumber : “Digital Evidence and Computer Crime Forensic Science, Computers and the Internet 3rd Edition”.

Analisa: Bukti digital yang di dalamnya terdapat elemen – elemen penting (temuan bukti digital) sanggup dijadikan sebagai bukti yang sanggup mendukung atau menjerumuskan terdakwa di dalam persidangan. Maksudnya bila bukti digital mendukung berarti bukti digital tersebut sanggup menolong terdakwa dari hukuman, namun bila bukti digital tersebut menjerumuskan berarti bukti digital tersebut sanggup menciptakan terdakwa dijatuhi eksekusi sesuai pelanggaran yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Dasar KUHP.

2) Bukti Digital merupakan abstraksi dari beberapa objek digital atau kejadian. Ketika seseorang mengoperasikan komputer untuk melaksanakan banyak sekali hal ibarat mengirim e-mail, atau kegiatan lainnya maka kegiatan itu akan menghasilkan jejak-jejak data yang sanggup memperlihatkan sebagian citra dari kejadian yang sudah terjadi sebelumnya. (Venema & Farmer, 2000). Sumber : “Digital Evidence and Computer Crime Forensic Science, Computers and the Internet 3rd Edition”.

Analisa: Dalam setiap masalah kejahatan teknologi informasi (cyber crime), maka akan ditemukan banyak sekali barang bukti yang terdapat dilokasi kejadian kasus (TKP). Barang bukti tersebut kemudian akan dijadikan bukti digital yang di dalamnya terdapat rekam (jejak) pelaku selama cyber crime yang dilakukan. Rekam jejak tersebut ibarat e-mail, browser, direcroty file, internet actifity, dan lain sebagainya

3) Muhammad Nuh Al-Azhar dalam buku “Digital Forensic Panduan Mudah Investigasi Komputer” menjelaskan bahwa bukti digital ialah barang bukti yang bersifat digital yang diekstrak atau di recover dari barang bukti elektronik. Sumber: Al-Azhar,M.N. “Digital Forensic Panduan Mudah Investigasi Komputer”. Jakarta: Salemba Infotek. 2012

Analisa: Dalam setiap masalah cyber crime, maka akan ditemukan bukti elektronik ibarat komputer / laptop, kemudian bukti elektronik tersebut akan di ekstrak (didetail / diperinci) yang menghasilkan bukti digital. Bukti digital tersebut ibarat Live data, Deleted data, SWAP (data yang terekam di RAM), dan Sleek space (data yang tertimpa di hardisk)

4) Dalam pasal 1 butir 1 UU ITE disebutkan bahwa “informasi elektronik ialah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang mempunyai arti atau sanggup dipahami oleh orang yang bisa memahaminya.”

Analisa: Informasi Elektronik merupakan bab dari bukti elektronik yang di dalamnya terdapat sekumpulan data (EDI), elektronik mail, isyarat akses, dan lain sebagainya, yang hanya sanggup dipahami oleh beberapa orang saja. Orang tersebut biasa disebut dengan saksi ahli. Saksi jago merupakan orang yang paham akan secara detail ilmu dibidang teknologi informasi yang ke-ilmuannya harus selalu dikembangkan, biar menjadi saksi jago yang mempunyai susila dan professionaisme yang memadai sebagai saksi ahli

5) Dalam pasal 1 butir 4 UU ITE menjelaskan bahwa “dokumen elektronik ialah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang sanggup dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang mempunyai makna atau arti atau sanggup dipahami oleh orang yang bisa memahaminya.”

Analisa: Di dalam dokumen elekronik terdapat informasi elektronik, di dalam informasi elektronik terdapat bentuk digital yang sanggup di dengar melalui komputer/sistem elektronik. Bentuk digital tersebut ibarat tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang orang tertentu saja yang sanggup mengartikannya. Orang tersebut biasa dikenal dengan saksi ahli. Saksi jago merupakan orang yang paham akan secara detail ilmu dibidang teknologi informasi yang ke-ilmuannya harus selalu dikembangkan, biar menjadi saksi jago yang mempunyai susila dan professionaisme yang memadai sebagai saksi ahli.

Jadi, bukti digital ialah bukti yang sah dan sanggup dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Sehingga bukti digital mempunyai sifat mendukung maupun menjerumuskan terdakwa di dalam persidangan. Di dalam persidangan (kasus cyber crime) memerlukan bukti elektronik yang diperoleh dari kawasan kejadian kasus (TKP), bukti elektronik tersebut kemudian akan di ekstrak menjadi bukti digital. Bukti digital tersebut mencakup tulisan, suara, foto, gambar, isyarat akses, simbol, dan sebagainya. Ekstrakan tersebut hanya sanggup dimengerti oleh saksi jago yang mempunyai susila dan profesionalisme kerja yang tersertifikasi.
Penanganan bukti digital menjadi informasi penting dalam periode ekonomi digital. Selain menjadi tantangan bagi penegakan hukum, upaya merekam bukti digital oleh setiap penyelenggara sistem elektronik menjadi tantangan di depan mata yang harus dihadapi, terlebih di sektor jasa keuangan.

Pakar IT Universitas Gunadarma, I Made Wiryana, menyampaikan bahwa bukti digital jauh lebih ringkihketimbang bukti fisik atau otentik lainnya alasannya memerlukan standar khusus saat menanganinya. Selama ini, penanganan bukti digital oleh penegak aturan atau perusahaan penyedia jasa masih belum seragam sehingga dikhawatirkan mengurangi nilai pembuktian itu sendiri. Padahal, pemerintah telah menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk penanganan bukti digital (ISO 27037) yang semestinya dijadikan petunjuk teknis bagi pihak terkait.

“Pemerintah sudah mulai maju menangani digital forensik. Di Indonesia sudah ada standar nasional Indonesia (SNI) untuk penangangan bukti digital. [Nanti] akan ada lagi standar penyidikan digital yang sedang diolah dan sedang disepakati para Penegak Hukum untuk menjadi juknis,” kata Made kepada Hukumonline di Jakarta, Selasa (19/12).

Hanya saja, tidak semua penyelenggara sistem khususnya di sektor jasa keuangan punya sistem yang ‘ramah’ ketka dilakukan forensik digital atau tidak siap diaudit sehingga sistem tersebut tidak bisa memperlihatkan rekam (logs) yang sanggup digunakan penegak aturan sebagai salah satu alat bukti ke persidangan. Sistem yang tidak ‘forensic sound’, istilah bagi sistem yang tidak dibangun untuk forensik, kata Made, akan sangat sulit untuk mengambil bukti-bukti untuk kemudian disimpan selama proses berjalan.

Kelemahan lain dari sistem yang ‘tidak ramah forensik’, lanjut Made, sistem tersebut harus terlebih dulu dimatikan sebelum dilakukan audit sehingga bagi industri jasa keuangan hal tersebut sangat merugikan penyelenggara dan nasabah. Seharusnya, sistem yang wajib dimiliki bagi penyelenggara jasa keuangan termasuk penyelenggara financial technology atau fintech ialah sistem yang tergolong dependability.

“Menurut saya, kalau beliau berikan layanan ke publik, ada yang namanya fungtionality, itu hanya berfungsi. Kedua, secure terdiri dari tiga, confidence, integrity, dan avaibility. Dan keempat sovereignity(kedaulatan) atau beberapa bergantung pada pihak lain. Dan yang terpenting dependability, yakni seberapa cepat untuk maintain, safety yang baik. Perbankan [atau jasa keuangan lain] harusnya di level dependability,” kata Made.

Selain itu, Made juga menyoroti penggunaan teknologi cloud oleh penyelenggara fintech dikhawatirkan akan berdampak terhadap aspek keamanan data. Meskipun penyedia cloud telah bersertifikat, namun Made menilai akta ISO yang dikantongi terbatas semisal ISO 27000 series. Menurut Made, penyelenggara fintech semestinya membangun sistem dan database sendiri alasannya susukan terhadap rekaman atau log sanggup lebih gampang dibanding saat memakai cloud.

“Apakah sistem yang dibangun teman-teman fintech sudah forensic sound? Kalau ada apa-apa bagaimana menelusurinya. Kalau tidak forensic sound, log tidak ada, tidak disimpan di dua tempat, log tidak di digital signature, gres timbul masalah. Tapi kalau dari awal sistem sudah forensic aware, log tidak pernah bisa diubah, log yang berubah bisa terjejaki, itu dalam sistemnya,” kata Made.

Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, M Ajisatria Suleiman, menyampaikan soal standarisasi menjadi informasi terkini di kalangan penyelenggara fintech terutama pasca OJK menerbitkan POJK No.77/POJK.01/2016 perihal Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Asosasi Fintech Indonesia sendiri berada di posisi mendukung penuh kebijakan pemerintah karena anggota asosiasi secara umum sadar pentingnya keamanan data bagi perusahaan digital.

“Posisi kita bukan untuk menurunkan standarisasi,” kata Aji kepada Hukumonline.

Hanya saja, kata Aji, Asosiasi Fintech Indonesia dalam beberapa diskusi punya pandangan kenapa standarisasi keamanan data oleh penyelenggara fintech diperbolehkan menerapkan sharinginfrastructure, salah satunya dengan cloud. Penggunaan cloud sama sekali tidak akan mengurangi aspek keamanan data karena fintech sanggup menentukan penyedia cloud yang sudah bersertifikat. Sehingga, penyelenggara fintech cukup melampirkan bukti akta tersebut kepada regulator sebagai bentuk kepatuhan pada regulasi.

“Cara yang paling baik untuk bisa jaga keamanan data tanpa menambah beban ialah memperbolehkan infrastruktur cloud. Kominfo minta ISO 27001 diterapkan di fintech, itu sama saja minta perusahaan fintech beli ‘Mercy’, ini kan boros. Daripada itu, lebih baik perbolehkan mereka (fintech) menyewa. Itukan konsep cloud, kita tidak buat infrastruktur tapi sewa infrastruktur,” kata Aji.

Patut dicatat, informasi atau dokumen elektronik sebagaimana Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2008 ke dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 perihal Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 perihal Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) biasanya tidak berdiri sendiri. Lazimnya, informasi atau dokumen elektronik hanya akan mendokumentasikan sebagian kejadian aturan tertentu dalam sebuah perikatan antara para pihak. Namun, hal itu sangat bergantung juga dari jenis sengketanya.

Dalam beberapa kasus, bukti elektronik tidak menjadi satu-satunya alat bukti dalam kasus yang berkaitan dengan transaksi keuangan. Tentunya, akan ada bukti transaksi lainnya yang bisa digunakan ibarat contohnya transaksi yang melibatkan pihak lain atau setidaknya pihak lainnya itu mengetahui secara eksklusif bahwa ada perpindahan barang yang menjadi objek transaksi.

Dari transaksi yang melibatkan pihak lainnya itu, maka alat bukti lainnya bisa didapatkan. Ambil tumpuan misalnya, perbuatan aturan yang terdokumentasi itu biasanya disertai dengan alat bukti fisik dan melibatkan orang-orang yang melihat secara eksklusif atau bisa sebagai keterangan saksi.

Dalam praktiknya, juga masih sering terjadi kekeliruan sewaktu menghadirkan suatu bukti elektronik. Dalam persidangan, biasanya para pihak hanya membawa bukti elektronik berupa hasil capture (gambar) contohnya dari sebuah laman ibarat Facebook atau E-mail yang berisikan informasi yang diduga melanggar tindak pidana. Sementara, Facebook atau E-mail yang dimaksud biasanya sudah tidak bisa diakses karena telah tidak aktif kembali (deactive).

Padahal, kunci utama dari sebuah bukti elektronik terdapat pada frasa ‘hasil cetakannya’. Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 tegas menyebutkan bahwa setiap informasi/dokumen elektronik gres dianggap sah sebagai alat bukti sepanjang sanggup diakes, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan sanggup dipertanggungjawabkan sehingga menandakan suatu keadaan.

Kekeliruan kedua, baik pengacara maupun penuntut umum biasanya menghadirkan bukti elektronik dengan membuka informasi atau dokumen elektronik yang orisinil secara eksklusif dengan membawa perangkat elektronik ke muka pengadilan. Padahal, kaidah ilmu forensik digital tegas melarang bukti orisinil elektronik dibuka dalam suatu persidangan.

Menurut SOP ilmu forensik, bukti elektronik gres bisa ditampilkan di muka pengadilan sesudah data orisinil tersebut dilakukan kloning. Hasil kloning data yang telah dianalisa itulah yang disampaikan oleh jago digital forensik di muka pengadilan. Data orisinil tidak sanggup ditampilkan karena saat perangkat elektronik itu dinyalakan, maka Log (catatan susukan ke perangkat) akan berubah dimana hal itu besar lengan berkuasa terhadap nilai pembutian yang menjadi rendah. Namun, tidak ada kewajiban menghadirkan jago digital forensik dalam setiap masalah yang berkaitan dengan informasi atau dokumen elektronik.

Untuk bisa memastikan bahwa suatu informasi atau dokumen elektronik sanggup diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan sanggup dipertanggungjawabkan sehingga menandakan suatu keadaan sebagaimana Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008, sanggup dilakukan dengan menguji secara ilmiah bukti elektronik tersebut. Keberadaan jago digital forensik dalam pembuktian suatu masalah yang berkaitan dengan bukti elektronik, mestinya dinilai sebagai sesuatu yang meningkatkan nilai pembuktian dari suatu alat bukti mengingat kompetensi dan kewenangan serta derma perangkat yang memadai dari jago digital forensik.

Baca : 

Rawan Makara Sarana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme

Era ekonomi digital pun menjadi perhatian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) alasannya berpotensi menjadi sarana penyalahgunaan untuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) maupun pendanaan pidana t3r0risme.Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa semenjak tahun 2017 pihaknya telah membentuk divisi (desk) fintech dan cybercrime yang fungsinya melaksanakan pendalaman dan pengayaan pengetahuan sekaligus berkoordinasi dengan pegawanegeri penegak aturan lainnya.

“Pertumbuhan fintech yang begitu cepat perlu diantisipasi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan konsumen terkait keamanan dana dan data serta kepentingan nasional terkait pencegahan pembersihan uang, pendanaan t3r0risme, dan stabilitas sistem keuangan,” kata Dian.

Dian melanjutkan, pihaknya intens berkoordinasi dengan kementerian/lembaga teknis ibarat Bank Indonesia dan OJK untuk memitigasi risiko-risiko yang mungkin muncul. Dari pertemuan yang dijalin, PPATK mengapresiasi karena OJK misalnya, telah memperbaharui beleid terkait APU-PPT melalui POJK Nomor 12/POJK.01/2017 perihal Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan.

PPATK berharap potensi besar perdagangan elektronik (e-commerce), peer to peer lending, dan model bisnis lain tidak dimanfaatkan pelaku pembersihan uang karena ada celah aturan yang terbuka. Ekonomi digital begitu dinamis terlebih dengan tumbuhnya komoditas gres berjulukan Bitcoin, yang merupakan salah satu mata uang digital (cryptocurrency). Dian mengatakan, PPATK semenjak awal 2017 telah mengamati perkembangan Bitcoin untuk melihat titik-titik rawan yang mungkin disalahgunakan.

Sepanjang pengamatan yang dilakukan PPATK, Dian menyebutkan memang ada sejumlah titik rawan yang sanggup digunakan pelaku untuk melaksanakan pembersihan uang bahkan pendanaan t3r0risme. Baik Bitcoin maupun fintech peer to peer lending, keduanya berpotensi dijadikan sarana TPPU dan pendanaan t3r0risme. Diang mengungkapkan, dari hasil identifikasi mengharuskan adanya pengaturan lebih lanjut untuk menjaga dua model bisnis tersebut digunakan untuk TPPU dan pendanaan t3r0risme. Sayangnya, Dian belum bisa menjelaskan lebih detil pengaturan ibarat apa yang akan dilakukan.

“Kita sedang merumuskan, kami belum bisa publish. Titik-titik rawan sudah kita identifikasi, nanti tinggal regulasi di bab ini. Kita kalau seandainya perlu, kita akan keluarkan Peraturan Kepala PPATK. Tapi seandainya cukup, oleh forum yang membawahi. Kalau dalam konteks integritas sistem keuangan, kita tidak bisa menunggu. Terkait integritas sektor keuangan, kita itu leading sektor, kita bisa lebih dulu. Kita mustahil menunggu hingga sistem itu dimanfaatkan, kita harus preventif justru,” kata Dian. (Sumber: Hukumonline)


Dasar hukum:
  1. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)
  2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 perihal Hukum Acara Pidana

Sumber http://artonang.blogspot.com

Selasa, 06 Maret 2018

Rkuhp: Berikut Alasan Layak Ditolak Dan Tidak Disahkan

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Aliansi Nasional Reformasi kitab undang-undang hukum pidana menuntut pemerintah semoga menarik draf Revisi Undang-Undang kitab undang-undang hukum pidana dan membahasnya kembali dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin dengan melibatkan aneka macam pihak.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mewakili 37 ormas dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ketika konferensi pers, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018).

“Hentikan seluruh perjuangan mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial,” kata Erasmus.

 Aliansi Nasional Reformasi kitab undang-undang hukum pidana menuntut pemerintah semoga menarik draf Revisi Undang RKUHP: Berikut Alasan Layak Ditolak Dan Tidak Disahkan
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi kitab undang-undang hukum pidana menawarkan tujuh alasan mengapa publik harus menolak RUU kitab undang-undang hukum pidana disahkan/Tirto.


Selain itu, kata Erasmus, aliansi masyarakat sipil ini juga menuntut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) semoga menolak RUU kitab undang-undang hukum pidana menjadi dagangan politik partai-partai di DPR.

Mengapa RKUHP Harus Ditolak?

Setidaknya terdapat 7 alasan yang disampaikan oleh aliansi ini sebagai dasar tuntutan mereka. Pertama, RUU kitab undang-undang hukum pidana dianggap sangat represif dengan persepektif pemenjaraan melebihi kitab undang-undang hukum pidana produk kolonial.

Asril, perwakilan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LEIP), dalam kesempatan yang sama menyatakan, dari 1.251 perbuatan pidana dalam draf RUU KUHP, 1.198 di antaranya diancam dengan pidana penjara. Menurut dia, kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan forum pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas.

“Kami mau menghilangkan kolonialisasi, salah satunya dengan mengurangi ancaman hukuman. Saat ini kita malah menaikkan ancaman eksekusi melebihi Belanda itu sendiri," kata Asril.

Ia mencontohkan, pasal penghinaan presiden yang ancaman hukumannya naik satu tahun, dari 4 tahun penjara menjadi 5 tahun yang sanggup menciptakan pelakunya eksklusif ditahan. “Di Belanda itu tidak hingga 5 tahun,” kata Asril.

Kedua, aliansi ini berpandangan draf RUU kitab undang-undang hukum pidana yang ketika ini disusun dewan perwakilan rakyat dan pemerintah belum berpihak pada kelompok rentan, terutama perempuan. Menurut Khotimun Sutanti atau yang dekat disapa Imun, perwakilan LBH APIK, hal ini terlihat dalam pasal perzinaan dan “samenleven.”

Imun menilai, dua pasal tersebut dibentuk tanpa pertimbangan yang matang dan berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat tabiat dan 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan mempunyai dokumen perkawinan resmi.

"Ini sanggup meningkatkan angka kawin di anak-anak yang sudah dialami 25 persen anak wanita di Indonesia. Data BPS 5 persen dari anak yang kawin di anak-anak itu putus sekolah," kata Imun.

Selanjutnya, kata Imun, dua pasal tersebut juga rentan menjerat korban kekerasan secual dengan pidana dan membatasi hak mereka terhadap jalan masuk kesehatan.

“Korban kekerasan secual akan takut untuk melapor. Karena ia sanggup justru dipidanakan ketika tidak sanggup menunjukan dirinya sebagai korban. Ketika mereka memeriksakan kerusakan organ tubuhnya akhir kekerasan juga malah sanggup dipidana," kata Imun.

Lagi pula, kata Imun, pemerintah tidak sempurna memidanakan ranah privat. Dua pasal tersebut justru memperlihatkan lemahnya tugas pemerintah dalam menanggulangi kekerasan secual.

"Pidana itu ultimum remidium yang harusnya menjadi penyelesaian paling selesai dari sebuah persoalan. Apakah tugas agama, budaya dan pendidikan sudah segagal itu hingga ranah privat dipidanakan," kata Imun.

Ketiga, aliansi ini juga berpandangan RUU kitab undang-undang hukum pidana mengancam jadwal pembangunan pemerintah, terutama jadwal kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan.

Ricky Gunawan, perwakilan dari LBH Masyarakat, dalam kesempatan yang sama mengatakan, larangan penyebaran informasi perihal kontrasepsi, menyerupai yang termaktub dalam pasal 534 RUU kitab undang-undang hukum pidana berpotensi menghambat jadwal pencegahan HIV/AIDS.

“Ini wujud miskoordinasi antarlembaga pemerintah. Ada kriminalisasi terhadap k0nd0m. Kalau k0nd0m dikriminalisasi akan menghambat jadwal penanganan HIV/AIDS," kata Ricky.

Keempat, aliansi ini beropini RUU kitab undang-undang hukum pidana mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Ade Wahyudin, perwakilan dari LBH Pers menyatakan, salah satu bukti dalam hal ini yakni pasal 309 RUU kitab undang-undang hukum pidana perihal “Berita Bohong” dan pasal 328-329 perihal contempt of court.

Ade menyoroti pasal 309 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang menyiarkan gosip bohong atau pemberitahuan bohong yang menjadikan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling usang 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".

Menurut Ade, frasa "mengakibatkan keonaran" pada ayat (1) tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan untuk mengkriminalisasi wartawan yang kesehariannya mencari berita.

Ade mencontohkan multitafsir ayat tersebut ketika ada wartawan meliput suatu kasus korupsi, kemudian mewawancarai KPK dan mewawancarai narasumber lain untuk mendapat cover both side sesuai etika jurnalistik. Namun, ketika gosip tersebut sudah disiarkan dan ternyata narasumber tidak akurat dan tidak betul memberi informasinya, maka wartawanlah yang akan dianggap memberitakan kebohongan.

"Ini sanggup teman-teman kena pasal tersebut," kata Ade.

Hal yang sama, kata Ade, juga sanggup berlaku bagi pasal contempt of court. Menurut dia, ketika wartawan meliput di pengadilan, hakim atau pihak manapun sanggup memperkarakan dengan alasan menghipnotis integritas hakim alasannya yakni gosip yang tersiar dianggap tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.

Terkait ini, Ade merujuk pada Pasal 329 karakter (d) yang berbunyi "Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akhir yang sanggup menghipnotis sifat tidak memihak Hakim dalam sidang pengadilan."

Sementara, kata Ade, apabila merujuk pada pasal 328, maka wartawan sanggup dikenakan pidana 5 tahun penjara alasannya yakni perbuatan tersebut.

Pasal lain yang sanggup membungkam kebebasan berekspresi yakni pasal 494 Tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia yang berbunyi “Setiap orang yang membuka diam-diam yang wajib disimpannya alasannya yakni jabatan atau profesinya baik diam-diam yang kini maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling usang 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".

Ade menilai, maksud diam-diam di sini masih multitafsir. Sedangkan wartawan dalam melaksanakan wawancara kerap mendapat informasi yang bersinggungan dengan diam-diam instansi tertentu, namun diungkapkan oleh narasumber secara terbuka.

"Jadi nanti ketika teman-teman wartawan mempublikasikan diam-diam jabatan, yang ketika ini memang belum terang apa itu diam-diam jabatan yang berada di RKUHP, teman-teman sanggup juga kena pasal ini," kata Ade ketika dilansir dari Tirto.

Kelima, aliansi ini juga menilai RUU kitab undang-undang hukum pidana masih memuat banyak pasal karet dan tak terang yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat. Erasmus, perwakilan dari ICJR mengatakan, bukti atas hal ini yakni masuknya unsur living law atau peraturan yang hidup di masyarakat dalam RUU KUHP, yakni pasal 2.

"Yang ancaman itu aturan itu tidak diinterpretasikan oleh pemangku adat, tapi oleh KUHP. Penegakan hukumnya juga oleh aparat. Ini sanggup menciptakan Anda yang tidak tahu tabiat suatu kawasan terkena pidana alasannya yakni dianggap melanggar hal itu," kata Erasmus.


Anggota Brimob Penembak Kader Gerindra Bekas Ajudan Cagub Maluku
  • Dalil Saksi Ahli Sultan Soal Dasar Larangan Cina Punya Tanah di DIY
  • Hukum Jika Terdapat Kemiripan Merek (Brand) Produk Makanan
  • Pengelolaan Dana Desa: Kemenkeu Sebut 200 Desa Terkena OTT
  • Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini
  • Langkah Awal Robert Pakpahan Nakhodai Direktorat Jenderal Pajak
  • Tugas Luky Sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
  • KPK Cocokan Bukti Aliran Dana Korupsi e-KTP ke Anggota DPR
  • Wejangan Menteri Keuangan untuk Direktur Jenderal Pajak yang Baru
  • Robert Pakpahan Dirjen Pajak Baru


  • Perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Tama S. Langkun menilai, adanya delik-delik pidana korupsi dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana sanggup menciptakan KPK tidak berfungsi dan melemah. Karena, kitab undang-undang hukum pidana nantinya akan menuntut UU Pemberantasan Korupsi No 28 tahun 1999 dan UU KPK nomor 30 tahun 2002 menyesuaikan yang berpotensi menghilangkan beberapa pasal penindakan korupsi yang spesifik.

    "Penyesuaian dalam kitab undang-undang hukum pidana itu tidak tepat. Makara lebih baik UU Korupsi yang diperkuat," kata Tama.

    Ketujuh, merujuk pada enam alasan sebelumnya, aliansi ini menganggap RUU kitab undang-undang hukum pidana telah faktual dibahas tanpa melibatkan forum pemerintah dalam sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya.

    "Presiden Jokowi harus hati-hati, alasannya yakni kalau RKUHP ini disahkan kini sanggup merugikan pemerintahannya alasannya yakni dianggap membangkang konstitusi," kata Erasmus. (***)

    Sumber http://artonang.blogspot.com

    Minggu, 11 Februari 2018

    Reglemen Aturan Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini

    Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, sudah hampir 170 tahun Reglemen Hukum Acara dalam investigasi di muka pengadilan negeri itu berlaku. Khusus untuk investigasi program pidana memang sudah ada UU No. 8 Tahun 1981 ihwal Hukum Acara Pidana. Tetapi untuk aturan program perdata, masih jauh panggang dari api.

    Orang mungkin tak ingat lagi nama J.M Kiveron, laki-laki Belanda yang membubuhkan tanda legalitas pada undang-undang itu. Sama halnya lupa terhadap nama Mr. HL Wichers dan JJ Rochussen. Mungkin tak banyak pula yang memperhatikan Menteri Kehakiman Wongsonegoro yang menetapkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 ihwal Tindakan-Tindakan untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Padahal nama-nama itu yaitu orang-orang yang terkait dengan HIR, aturan program perdata yang hingga kini masih berlaku di Indonesia.
     tahun Reglemen Hukum Acara dalam investigasi di muka pengadilan negeri itu berlaku Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini
    Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto: RES
    Pasal 6 UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diteken Wongsonegoro tadi tegas menyebutkan ‘Reglemen Indonesia yang dibaharui seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman’. Lebih dari 66 tahun setelah Wet itu terbit, ternyata apa yang disebut Reglemen Indonesia yang dibaharui itu masih berlaku. Orang lebih mengenalnya sebagai HIR. Mr. R. Tresna, salah satu tokoh aturan Indonesia yang menerjemahkan dan memberi komentar atas Reglemen itu lebih bahagia menggunakan kata HIR. “Istilah HIR itu telah lebih dikenal dan sudah biasa dipakai orang’, tulisnya pada tarikh Oktober 1955.

    Karya Mr Tresna, ‘Komentar HIR’ salah satu karya klasik yang secara komprehensif mengungkap kembali kepada generasi kini bagaimana aturan program pengadilan negeri di Hindia Belanda disusun. Cerita lain sanggup disimak dari karya Prof. Soepomo ‘Hukum Acara Pengadilan Negeri’ atau karyaHukum Acara Perdata karya Prof. R. Subekti. Para mahir aturan itu mengungkapkan tanggal 1 Mei 1848 sebagai momentum penting dalam perjalanan sejarah aturan program perdata di Indonesia. Pada tanggal itulah mulai berlaku Reglemen Bumiputera (Inlands Reglement), Staatblad Tahun 1848 No. 16.

    Belanda bergotong-royong membeda-bedakan aturan yang berlaku kepada golongan penduduk kala itu: Eropa dan yang dipermasakan, Timur Asing dan yang dipersamakan, serta orang bumiputera. Oleh alasannya yaitu aturan yang berlaku berbeda kepada golongan penduduk Hindia Belanda, maka pengadilan dan tata cara peradilannya juga berbeda. Bahkan dibedakan pula wilayahnya. Untuk Jawa dan Madura diberlakukan HIR, sedangkan di luar pulau itu berlaku Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).

    HIR yaitu kependekan dari Herziene Indonesisch Reglement. Mr. H.L Wichers yaitu orang penting di balik penyusunan Reglemen untuk aturan program di muka pengadilan negeri ini. Sebagai Presiden Hooggerechtsshof, Wichers diminta bersama tim menyusun sebuah anutan atau aturan program yang berlaku di pengadilan Bumputera. Wichers dan tim menuntaskan reglemen berisi 432 pasal mengenai ‘administrasi, polisi, dan proses perdata serta proses pidana’ bagi golongan Bumiputera.

    Pasal yang memantik perdebatan dikala itu yaitu Pasal 432, yang kini dikenal sebagai Pasal 393 HIR. Ayat (1) pasal ini menyebutkan ‘dalam hal mengadili masalah di hadapan Mahkamah Bumiputera dihentikan diperhatikan peraturan lain atau yang melebihi daripada yang ditentukan dalam reglemen ini’. Ayat (2) memungkinkan pengecualian, yakni menggunakan peraturan yang berlaku bagi golongan Eropa dalam hal-hal tertentu. Gubernur Jenderal Rochussen menolak rumusan ayat (2) tersebut alasannya yaitu seharusnya aturan program yang disusun harus lengkap. Pengecualian itu ia anggap menyimpang dari asas yang disebut pada ayat (1). Protes Gubernur Jenderal Rochussen diterima, sehingga rumusan yang terbaca dalam HIR kini sudah lain, dan tampak ada campur tangan Gubernur Jenderal.

    Isi HIR

    Sebenarnya, semenjak pertama kali diberlakukan pada tahun 1848, Inlands Reglement sudah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan penting terjadi pada tahun 1926 dan 1941. Salah satunya mengenai revisi peraturan penuntutan terhadap orang-orang yang bukan bangsa Eropa; investigasi persiapan dalam masalah pidana yang dilakukan Bumiputera dan Timur Asing. Staatsblad Tahun 1941 No. 32 menyebutkan keberlakuan Reglemen pada ayat (2), yaitu: “Reglemen Bumiputera, sebagaimana bunyinya setelah diadakan perubahan-perubahan di dalam Ordonansi ini, akan berlaku di dalam wilayah aturan Landraad-Landraad yang dimaksud di atas, sanggup disebut Herziene Inlandsh Reglement”. Salah satu yang membedakan IR dengan HIR yaitu pembentukan forum Kejaksaan sebagai penuntut umum (Openbaar ministerie).

    HIR yang dikenal kini dan dianalisi Mr. Tresna, berisi 394 pasal, yaitu versi yang dimuat dalam Besluit Gubernur Jenderal No. 2, tertanggal 21 Februari 1941, dan dimuat dalam Staatblad Tahun 1941 No. 44. Terdiri dari 15 titel. Titel I mengenai hal melaksanakan pekerjaan polisi; disusul Titel II ihwal memeriksa kejahatan dan pelanggaran. Titel III hingga Titel VI bicara tentangkepala distrik, kepala jaksa dan jaksa; bupati dan patih; serta residen dan tangan kanan residen.

    Titel VII mengenai pengadilan distrik; Titel VIII ihwal pengadilan kabupaten; disusul Titel IX mengenai perihal mengadili masalah sipil di pengadilan negeri; dan mengadili kejahatan di muka pengadilan negeri dalam Titel X. Selanjutnya, Titel XI mengenai masalah sumir; Titel XII mengenai mengadili masalah pelanggaran. Tahanan sementara dan kurungan sementara diatur dalam Titel XIII; sedangkan ihwal hal tiada berlaku lagi, berhenti atau terhapus penuntutan dan sanksi diatur pada Titel XIV. Terakhir, Titel XV mengatur peraturan rupa-rupa.

    Nasibmu Kini

    Tentu saja, sudah banyak rumusan HIR yang tak sesuai dengan kondisi kekinian. Indonesia sudah mempunyai UU No. 8 Tahun 1981, sebuah anutan penyelesaian masalah mulai dari penyelidikan dan proses di pengadilan hingga upaya aturan luar biasa dan sanksi putusan pidana. Sayang, tidak demikian halnya dengan aturan program dalam lapangan aturan perdata.

    Padahal, semenjak Indonesia para pembentuk Undang-Undang dan para juristssebenarnya menginginkan adanya suatu aturan program perdata nasional. Semangat itu pula yang sanggup dibaca dari rumusan Pasal 68 UU No. 2 Tahun 1986 ihwal Peradilan Umum. Pasal ini menyebutkan ‘Ketentuan-ketentuan mengenai aturan program yang berlaku bagi peradilan diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Toh, hingga kini Undang-Undang tersendiri yang dimaksud belum ada.

    Baca :
    Apatah lagi kini, Mahkamah Agung sudah usang menganut pandangan bahwa suatu masalah perdata sanggup diselesaikan di luar pengadilan. Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009 ihwal Kekuasaan Kehakiman tegas mengatur ‘upaya penyelesaian sengketa perdata sanggup dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa’. Bahkan ketika masalah sudah diregistrasi dan mulai disidangkan, hakim wajib meminta para pihak bersengketa untuk melaksanakan mediasi. Mahkamah Agung mengatur tata cara mediasi itu melalui Perma No. 1 Tahun 2016 ihwal Mediasi di Pengadilan.

    Dengan kata lain, aturan program perdata telah berkembang dalam praktek. Dan rumusan-rumusan dalam HIR sudah banyak yang tak sesuai dengan perundang-undangan di bidang peradilan, setidaknya telah tersebar dalam perundang-undangan lain.Apalagi lapangan aturan yang menggunakan aturan program perdata semakin berkembang. Tengok saja di peradilan agama, Pengadilan Hubungan Industrian, bahkan sengketa informasi. Demikian dilansir dari Hukumonline (***)

    Sumber http://artonang.blogspot.com

    Ads 970x90