Hukum Dan Undang Undang Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian aturan program pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang yang sanggup dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak sanggup dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara terang perihal apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang sanggup disita, yaitu:
- benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
- benda yang telah dipergunakan secara eksklusif untuk melaksanakan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
- benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
- benda yang khusus dibentuk atau diperuntukkan melaksanakan tindak pidana;
- benda lain yang mempunyai hubungan eksklusif dengan tindak pidana yang dilakukan,
|
Ilustrasi Barang Bukti Digital Era Ekonomi Digital/ilmuforensikadigital.blogspot.co.id |
Atau dengan kata lain benda-benda yang sanggup disita ibarat yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP sanggup disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).
Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang digunakan untuk melaksanakan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:
- Barang-barang yang menjadi target tindak pidana (corpora delicti)
- Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
- Barang-barang yang dipergunakan untuk melaksanakan tindak pidana (instrumenta delicti)
- Barang-barang yang pada umumnya sanggup dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan kepercayaan oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam kasus pidana ialah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang digunakan untuk melaksanakan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang sanggup menjadi barang bukti :
- Merupakan objek materiil
- Berbicara untuk diri sendiri
- Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
- Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti ialah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuanberpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melaksanakan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.
Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas sanggup disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti ialah :
- Barang yang dipergunakan untuk melaksanakan tindak pidana.
- Barang yang dipergunakan untuk membantu melaksanakan suatu tindak pidana.
- Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana.
- Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana.
- Benda tersebut sanggup memperlihatkan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara.
- Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu kasus pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu kasus pidana, alasannya ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, ibarat tindak pidana penghinaan secara verbal (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law ibarat di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan jodicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti berdasarkan aturan program pidana kita.
Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi, sanggup kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan ialah sebagai berikut:
- Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);
- Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas kasus sidang yang ditangani;
- Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut sanggup menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.
Barang bukti digital sangat ‘ringkih’ dibandingkan bukti fisik. Perlu standar penanganan bukti digital biar nilai pembuktiannya sempurna.
Defenisi Bukti Digital Dari Berbagai Sumber :
1) Bukti Digital ialah data yang disimpan atau dikirimkan memakai komputer yang sanggup mendukung atau menyangkal sebuah pelanggaran tertentu, atau bisa juga juga disebut sebagai petunjuk yang mengarahkan kepada elemen-elemen penting yang berkaitan dengan sebuah pelanggaran (Chisum, 1999). Sumber : “Digital Evidence and Computer Crime Forensic Science, Computers and the Internet 3rd Edition”.
Analisa: Bukti digital yang di dalamnya terdapat elemen – elemen penting (temuan bukti digital) sanggup dijadikan sebagai bukti yang sanggup mendukung atau menjerumuskan terdakwa di dalam persidangan. Maksudnya bila bukti digital mendukung berarti bukti digital tersebut sanggup menolong terdakwa dari hukuman, namun bila bukti digital tersebut menjerumuskan berarti bukti digital tersebut sanggup menciptakan terdakwa dijatuhi eksekusi sesuai pelanggaran yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Dasar KUHP.
2) Bukti Digital merupakan abstraksi dari beberapa objek digital atau kejadian. Ketika seseorang mengoperasikan komputer untuk melaksanakan banyak sekali hal ibarat mengirim e-mail, atau kegiatan lainnya maka kegiatan itu akan menghasilkan jejak-jejak data yang sanggup memperlihatkan sebagian citra dari kejadian yang sudah terjadi sebelumnya. (Venema & Farmer, 2000). Sumber : “Digital Evidence and Computer Crime Forensic Science, Computers and the Internet 3rd Edition”.
Analisa: Dalam setiap masalah kejahatan teknologi informasi (cyber crime), maka akan ditemukan banyak sekali barang bukti yang terdapat dilokasi kejadian kasus (TKP). Barang bukti tersebut kemudian akan dijadikan bukti digital yang di dalamnya terdapat rekam (jejak) pelaku selama cyber crime yang dilakukan. Rekam jejak tersebut ibarat e-mail, browser, direcroty file, internet actifity, dan lain sebagainya
3) Muhammad Nuh Al-Azhar dalam buku “Digital Forensic Panduan Mudah Investigasi Komputer” menjelaskan bahwa bukti digital ialah barang bukti yang bersifat digital yang diekstrak atau di recover dari barang bukti elektronik. Sumber: Al-Azhar,M.N. “Digital Forensic Panduan Mudah Investigasi Komputer”. Jakarta: Salemba Infotek. 2012
Analisa: Dalam setiap masalah cyber crime, maka akan ditemukan bukti elektronik ibarat komputer / laptop, kemudian bukti elektronik tersebut akan di ekstrak (didetail / diperinci) yang menghasilkan bukti digital. Bukti digital tersebut ibarat Live data, Deleted data, SWAP (data yang terekam di RAM), dan Sleek space (data yang tertimpa di hardisk)
4) Dalam pasal 1 butir 1 UU ITE disebutkan bahwa “informasi elektronik ialah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang mempunyai arti atau sanggup dipahami oleh orang yang bisa memahaminya.”
Analisa: Informasi Elektronik merupakan bab dari bukti elektronik yang di dalamnya terdapat sekumpulan data (EDI), elektronik mail, isyarat akses, dan lain sebagainya, yang hanya sanggup dipahami oleh beberapa orang saja. Orang tersebut biasa disebut dengan saksi ahli. Saksi jago merupakan orang yang paham akan secara detail ilmu dibidang teknologi informasi yang ke-ilmuannya harus selalu dikembangkan, biar menjadi saksi jago yang mempunyai susila dan professionaisme yang memadai sebagai saksi ahli
5) Dalam pasal 1 butir 4 UU ITE menjelaskan bahwa “dokumen elektronik ialah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang sanggup dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang mempunyai makna atau arti atau sanggup dipahami oleh orang yang bisa memahaminya.”
Analisa: Di dalam dokumen elekronik terdapat informasi elektronik, di dalam informasi elektronik terdapat bentuk digital yang sanggup di dengar melalui komputer/sistem elektronik. Bentuk digital tersebut ibarat tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang orang tertentu saja yang sanggup mengartikannya. Orang tersebut biasa dikenal dengan saksi ahli. Saksi jago merupakan orang yang paham akan secara detail ilmu dibidang teknologi informasi yang ke-ilmuannya harus selalu dikembangkan, biar menjadi saksi jago yang mempunyai susila dan professionaisme yang memadai sebagai saksi ahli.
Jadi, bukti digital ialah bukti yang sah dan sanggup dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Sehingga bukti digital mempunyai sifat mendukung maupun menjerumuskan terdakwa di dalam persidangan. Di dalam persidangan (kasus cyber crime) memerlukan bukti elektronik yang diperoleh dari kawasan kejadian kasus (TKP), bukti elektronik tersebut kemudian akan di ekstrak menjadi bukti digital. Bukti digital tersebut mencakup tulisan, suara, foto, gambar, isyarat akses, simbol, dan sebagainya. Ekstrakan tersebut hanya sanggup dimengerti oleh saksi jago yang mempunyai susila dan profesionalisme kerja yang tersertifikasi.
Penanganan bukti digital menjadi informasi penting dalam periode ekonomi digital. Selain menjadi tantangan bagi penegakan hukum, upaya merekam bukti digital oleh setiap penyelenggara sistem elektronik menjadi tantangan di depan mata yang harus dihadapi, terlebih di sektor jasa keuangan.
Pakar IT Universitas Gunadarma, I Made Wiryana, menyampaikan bahwa bukti digital jauh lebih ringkihketimbang bukti fisik atau otentik lainnya alasannya memerlukan standar khusus saat menanganinya. Selama ini, penanganan bukti digital oleh penegak aturan atau perusahaan penyedia jasa masih belum seragam sehingga dikhawatirkan mengurangi nilai pembuktian itu sendiri. Padahal, pemerintah telah menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk penanganan bukti digital (ISO 27037) yang semestinya dijadikan petunjuk teknis bagi pihak terkait.
“Pemerintah sudah mulai maju menangani digital forensik. Di Indonesia sudah ada standar nasional Indonesia (SNI) untuk penangangan bukti digital. [Nanti] akan ada lagi standar penyidikan digital yang sedang diolah dan sedang disepakati para Penegak Hukum untuk menjadi juknis,” kata Made kepada Hukumonline di Jakarta, Selasa (19/12).
Hanya saja, tidak semua penyelenggara sistem khususnya di sektor jasa keuangan punya sistem yang ‘ramah’ ketka dilakukan forensik digital atau tidak siap diaudit sehingga sistem tersebut tidak bisa memperlihatkan rekam (logs) yang sanggup digunakan penegak aturan sebagai salah satu alat bukti ke persidangan. Sistem yang tidak ‘forensic sound’, istilah bagi sistem yang tidak dibangun untuk forensik, kata Made, akan sangat sulit untuk mengambil bukti-bukti untuk kemudian disimpan selama proses berjalan.
Kelemahan lain dari sistem yang ‘tidak ramah forensik’, lanjut Made, sistem tersebut harus terlebih dulu dimatikan sebelum dilakukan audit sehingga bagi industri jasa keuangan hal tersebut sangat merugikan penyelenggara dan nasabah. Seharusnya, sistem yang wajib dimiliki bagi penyelenggara jasa keuangan termasuk penyelenggara financial technology atau fintech ialah sistem yang tergolong dependability.
“Menurut saya, kalau beliau berikan layanan ke publik, ada yang namanya fungtionality, itu hanya berfungsi. Kedua, secure terdiri dari tiga, confidence, integrity, dan avaibility. Dan keempat sovereignity(kedaulatan) atau beberapa bergantung pada pihak lain. Dan yang terpenting dependability, yakni seberapa cepat untuk maintain, safety yang baik. Perbankan [atau jasa keuangan lain] harusnya di level dependability,” kata Made.
Selain itu, Made juga menyoroti penggunaan teknologi cloud oleh penyelenggara fintech dikhawatirkan akan berdampak terhadap aspek keamanan data. Meskipun penyedia cloud telah bersertifikat, namun Made menilai akta ISO yang dikantongi terbatas semisal ISO 27000 series. Menurut Made, penyelenggara fintech semestinya membangun sistem dan database sendiri alasannya susukan terhadap rekaman atau log sanggup lebih gampang dibanding saat memakai cloud.
“Apakah sistem yang dibangun teman-teman fintech sudah forensic sound? Kalau ada apa-apa bagaimana menelusurinya. Kalau tidak forensic sound, log tidak ada, tidak disimpan di dua tempat, log tidak di digital signature, gres timbul masalah. Tapi kalau dari awal sistem sudah forensic aware, log tidak pernah bisa diubah, log yang berubah bisa terjejaki, itu dalam sistemnya,” kata Made.
Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, M Ajisatria Suleiman, menyampaikan soal standarisasi menjadi informasi terkini di kalangan penyelenggara fintech terutama pasca OJK menerbitkan POJK No.77/POJK.01/2016 perihal Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Asosasi Fintech Indonesia sendiri berada di posisi mendukung penuh kebijakan pemerintah karena anggota asosiasi secara umum sadar pentingnya keamanan data bagi perusahaan digital.
“Posisi kita bukan untuk menurunkan standarisasi,” kata Aji kepada Hukumonline.
Hanya saja, kata Aji, Asosiasi Fintech Indonesia dalam beberapa diskusi punya pandangan kenapa standarisasi keamanan data oleh penyelenggara fintech diperbolehkan menerapkan sharinginfrastructure, salah satunya dengan cloud. Penggunaan cloud sama sekali tidak akan mengurangi aspek keamanan data karena fintech sanggup menentukan penyedia cloud yang sudah bersertifikat. Sehingga, penyelenggara fintech cukup melampirkan bukti akta tersebut kepada regulator sebagai bentuk kepatuhan pada regulasi.
“Cara yang paling baik untuk bisa jaga keamanan data tanpa menambah beban ialah memperbolehkan infrastruktur cloud. Kominfo minta ISO 27001 diterapkan di fintech, itu sama saja minta perusahaan fintech beli ‘Mercy’, ini kan boros. Daripada itu, lebih baik perbolehkan mereka (fintech) menyewa. Itukan konsep cloud, kita tidak buat infrastruktur tapi sewa infrastruktur,” kata Aji.
Patut dicatat, informasi atau dokumen elektronik sebagaimana Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2008 ke dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 perihal Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 perihal Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) biasanya tidak berdiri sendiri. Lazimnya, informasi atau dokumen elektronik hanya akan mendokumentasikan sebagian kejadian aturan tertentu dalam sebuah perikatan antara para pihak. Namun, hal itu sangat bergantung juga dari jenis sengketanya.
Dalam beberapa kasus, bukti elektronik tidak menjadi satu-satunya alat bukti dalam kasus yang berkaitan dengan transaksi keuangan. Tentunya, akan ada bukti transaksi lainnya yang bisa digunakan ibarat contohnya transaksi yang melibatkan pihak lain atau setidaknya pihak lainnya itu mengetahui secara eksklusif bahwa ada perpindahan barang yang menjadi objek transaksi.
Dari transaksi yang melibatkan pihak lainnya itu, maka alat bukti lainnya bisa didapatkan. Ambil tumpuan misalnya, perbuatan aturan yang terdokumentasi itu biasanya disertai dengan alat bukti fisik dan melibatkan orang-orang yang melihat secara eksklusif atau bisa sebagai keterangan saksi.
Dalam praktiknya, juga masih sering terjadi kekeliruan sewaktu menghadirkan suatu bukti elektronik. Dalam persidangan, biasanya para pihak hanya membawa bukti elektronik berupa hasil capture (gambar) contohnya dari sebuah laman ibarat Facebook atau E-mail yang berisikan informasi yang diduga melanggar tindak pidana. Sementara, Facebook atau E-mail yang dimaksud biasanya sudah tidak bisa diakses karena telah tidak aktif kembali (deactive).
Padahal, kunci utama dari sebuah bukti elektronik terdapat pada frasa ‘hasil cetakannya’. Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 tegas menyebutkan bahwa setiap informasi/dokumen elektronik gres dianggap sah sebagai alat bukti sepanjang sanggup diakes, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan sanggup dipertanggungjawabkan sehingga menandakan suatu keadaan.
Kekeliruan kedua, baik pengacara maupun penuntut umum biasanya menghadirkan bukti elektronik dengan membuka informasi atau dokumen elektronik yang orisinil secara eksklusif dengan membawa perangkat elektronik ke muka pengadilan. Padahal, kaidah ilmu forensik digital tegas melarang bukti orisinil elektronik dibuka dalam suatu persidangan.
Menurut SOP ilmu forensik, bukti elektronik gres bisa ditampilkan di muka pengadilan sesudah data orisinil tersebut dilakukan kloning. Hasil kloning data yang telah dianalisa itulah yang disampaikan oleh jago digital forensik di muka pengadilan. Data orisinil tidak sanggup ditampilkan karena saat perangkat elektronik itu dinyalakan, maka Log (catatan susukan ke perangkat) akan berubah dimana hal itu besar lengan berkuasa terhadap nilai pembutian yang menjadi rendah. Namun, tidak ada kewajiban menghadirkan jago digital forensik dalam setiap masalah yang berkaitan dengan informasi atau dokumen elektronik.
Untuk bisa memastikan bahwa suatu informasi atau dokumen elektronik sanggup diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan sanggup dipertanggungjawabkan sehingga menandakan suatu keadaan sebagaimana Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008, sanggup dilakukan dengan menguji secara ilmiah bukti elektronik tersebut. Keberadaan jago digital forensik dalam pembuktian suatu masalah yang berkaitan dengan bukti elektronik, mestinya dinilai sebagai sesuatu yang meningkatkan nilai pembuktian dari suatu alat bukti mengingat kompetensi dan kewenangan serta derma perangkat yang memadai dari jago digital forensik.
Baca :
Rawan Makara Sarana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
Era ekonomi digital pun menjadi perhatian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) alasannya berpotensi menjadi sarana penyalahgunaan untuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) maupun pendanaan pidana t3r0risme.Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa semenjak tahun 2017 pihaknya telah membentuk divisi (desk) fintech dan cybercrime yang fungsinya melaksanakan pendalaman dan pengayaan pengetahuan sekaligus berkoordinasi dengan pegawanegeri penegak aturan lainnya.
“Pertumbuhan fintech yang begitu cepat perlu diantisipasi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan konsumen terkait keamanan dana dan data serta kepentingan nasional terkait pencegahan pembersihan uang, pendanaan t3r0risme, dan stabilitas sistem keuangan,” kata Dian.
Dian melanjutkan, pihaknya intens berkoordinasi dengan kementerian/lembaga teknis ibarat Bank Indonesia dan OJK untuk memitigasi risiko-risiko yang mungkin muncul. Dari pertemuan yang dijalin, PPATK mengapresiasi karena OJK misalnya, telah memperbaharui beleid terkait APU-PPT melalui POJK Nomor 12/POJK.01/2017 perihal Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan.
PPATK berharap potensi besar perdagangan elektronik (e-commerce), peer to peer lending, dan model bisnis lain tidak dimanfaatkan pelaku pembersihan uang karena ada celah aturan yang terbuka. Ekonomi digital begitu dinamis terlebih dengan tumbuhnya komoditas gres berjulukan Bitcoin, yang merupakan salah satu mata uang digital (cryptocurrency). Dian mengatakan, PPATK semenjak awal 2017 telah mengamati perkembangan Bitcoin untuk melihat titik-titik rawan yang mungkin disalahgunakan.
Sepanjang pengamatan yang dilakukan PPATK, Dian menyebutkan memang ada sejumlah titik rawan yang sanggup digunakan pelaku untuk melaksanakan pembersihan uang bahkan pendanaan t3r0risme. Baik Bitcoin maupun fintech peer to peer lending, keduanya berpotensi dijadikan sarana TPPU dan pendanaan t3r0risme. Diang mengungkapkan, dari hasil identifikasi mengharuskan adanya pengaturan lebih lanjut untuk menjaga dua model bisnis tersebut digunakan untuk TPPU dan pendanaan t3r0risme. Sayangnya, Dian belum bisa menjelaskan lebih detil pengaturan ibarat apa yang akan dilakukan.
“Kita sedang merumuskan, kami belum bisa publish. Titik-titik rawan sudah kita identifikasi, nanti tinggal regulasi di bab ini. Kita kalau seandainya perlu, kita akan keluarkan Peraturan Kepala PPATK. Tapi seandainya cukup, oleh forum yang membawahi. Kalau dalam konteks integritas sistem keuangan, kita tidak bisa menunggu. Terkait integritas sektor keuangan, kita itu leading sektor, kita bisa lebih dulu. Kita mustahil menunggu hingga sistem itu dimanfaatkan, kita harus preventif justru,” kata Dian. (Sumber: Hukumonline)
Dasar hukum:
- Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 perihal Hukum Acara Pidana
Sumber http://artonang.blogspot.com