Rabu, 14 Maret 2018

Prolog Truffleland




 Truffleland


Prolog

Suasana di ruangan tersebut sangat gelap, hitam, dan mengitimidasi. Sosok yang tidak dikenal dan tidak diketahui itu duduk di singgasana besarnya yang terbuat dari banyak sekali tulang tengkorak dan dikelilingi dengan duri-duri tajam yang diyakini berasal dari gigi taring hewan buas yang sangat mematikan.

Demi coklat rasa mint, itu benar-benar mengerikan.

“Bagaimana dengan tikus-tikus itu?” tanya bunyi yang menggema di ruang gelap tersebut.

“Sepertinya mereka mulai bergegas, Nyonya. Tidak usang lagi mereka akan memulai permainan konyol mereka,” jawab bunyi seseorang –mungkin–.

Sinar cahaya yang berasal dari satu-satunya sumber mengenai wajah insan yang berbicara tadi. Jika kamu melihatnya, jangan tanya padaku di mana toilet, lantaran kamu tak akan sempat ke sana untuk sekedar melepas rasa takut melalui buang air kecil alasannya yaitu makhluk yang dibilang insan tadi, tidak dapat dikatakan sebagai manusia. Karena apa??? Tidak mungkin insan mempunyai kepala berjumlah enam dengan jumlah kaki sebanyak dua belas. Ditambah lagi dengan ukuran badannya yang terbilang besar hampir ibarat raksasa dan kuku-kuku jarinya yang amat panjang dan hitam-hitam. Demi coklat kodok di tengah jalan, itu tidak mungkin. Wajah yang menunjukkan aura penuh balas dendam dan penuh dengan infeksi di sekeliling hidungnya, benar-benar menjijikan itu mustahil seorang manusia.

Makhluk itu menunduk seraya mengatakan, “Nyonya cukup memantau dari singgasana saja. Semua sudah bersiap pada posisi masing-masing. Dan nyonya akan mendapat apa yang harusnya memang sudah ditakdirkan untuk Nyonya.”

Suara tawa dengan gema seakan ingin mencekik dan gaungan tak terang yang memberi efek seolah-olah racun mulai menggerogoti pembuluh darah terdengar memenuhi ruangan gelap tersebut. Benar-benar tawa yang sungguh sangat mengintimidasi. Mengerikan.

“Bagaimana dengan pinjaman dari keluarga-keluarga di luar?”

“Nyonya hening saja. Semua kondusif terkendali. Para Ogre sudah berjaga di perbatasan.”

“Bagus… bagus… lembaran yang ada simpan baik-baik dan jangan hingga hilang. Inti dari buku itu sempurna ada di lembaran yang telah susah-susah saya curi dari si Bodoh Delphina.”

Delphina cantik, bukan bodoh, pikir makhluk berkepala enam itu. “Serahkan semua padaku, Nyonya. Nyawaku sebagai taruhannya.”

Seringai licik niscaya terukir pada wajah sosok tak terlihat itu. Sungguh hitam, hingga mata tidak dapat menembus sama sekali untuk sekedar melihat saja. “Baiklah. Aku…,” desis makhluk itu. “Percaya. Padamu. Pyxis.”

HAHAHAHAHA……..

Suara tawa sempurna menggema memenuhi ruangan yang penuh dengan kegelapan. Sungguh gelap, hitam, mengerikan, dan penuh aura pembantaian.

Sumber http://sagita-shelly.blogspot.com


EmoticonEmoticon