Senin, 05 Maret 2018

Usai (Short Story)


 USAI


Ternyata benar hanya saya yang kehilangan.
Setelah sekian lama, saya tetap tidak ada artinya.
Baru saja kita selesai, kau bahagia. Hebat sekali.

Tidak ada yang perlu ditangisin, batin Ify untuk sekian kalinya. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Memang tidak ada yang perlu ditangisin lagi. Cerita mereka sudah selesai atau lebih tepatnya dongeng Ify dengannya lebih baik Ify akhiri. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Toh, pada kesannya beliau sudah bahagia.
            Ia, Alyssa Raifyna. Seorang gadis biasa saja tetapi menyimpan begitu banyak rahasia. Lebih menentukan mengiyakan daripada mengungkapkan. Lebih sering memendam untuk mengikhlaskan. Lebih sering menghela napas untuk tetap baik-baik saja.
            “Udah nggak apa-apa kan, Fy?” tanya Via, gadis chubby yang merupakan sahabat Ify dari kecil. Selalu bersama dari dingklik SD (SD) hingga Sekolah Menangah Atas (SMA). Ify dan Via sangat sering terlihat bersama. Toh, namanya juga sahabat. Selalu berisik, bahagia, sedih, susah, dan tertawa bersama-sama.
            “Semoga aja lah, Vi,” jawab Ify dengan senyum lebarnya. Tentu saja tidak bisa mengelabuhi Via dan gadis itu sudah tahu.
            “Jangan liat ke kanan ya, Fy,” peringat Via dikala bola matanya tidak sengaja menangkap sosok yang belum bisa diikhlaskan sahabatnya. Ia ingin marah. Ingin teriak. Ingin memberikan apa yang tidak bisa disampaikan oleh Ify kepada seseorang itu. Setelah sekian lama, Via kecewa sebab membiarkan Ify bersama dia. Via kecewa. Sungguh kecewa.
            Seharusnya Via tidak usah memperingatkannya lagi. Ify sendiri sudah melihat bagaimana sosok itu tiba menuju kantin melalui beling jendela. Senyum senang terpancar di wajahnya. Ify meringis. Mengapa beliau juga tidak bisa bahagia? Terlalu konyol, bukan?
            Helaan napas demi helaan terus Ify lakukan untuk meredamkan gemuruh di dalam dadanya. Tidak lucu untuk menangis di dalam keramaian kantin. Tidak lucu menangisi seseorang yang belum tentu peduli kepada dirinya. Tentu saja, Ify dilarang membiarkan dirinya menangis sebab duduk kasus ini. Bukankah sudah cukup berhari-hari yang lalu?
            “Mau pergi dari sini?” tawar Via hati-hati. Ia tidak ingin menyakiti sahabatnya dengan menganggap Ify lemah. Via terang tahu bahwa Ify yaitu seorang gadis tangguh.
            “Untuk apa pergi dari sini? Makanan kita aja belom sampe kali. Rugi banget kalo pergi dari sini ya kan?”
            Via menampilkan cengiran lebarannya. “Benar juga, Fy, rugi banget kan kita juga laper, lagian waktu istirahat masih panjang.”
            “Yoi, Vi. Bolehlah murung sama kecewa, tapi nggak ngerugiin diri sendiri juga,” timpal Ify dengan cengiran lebarnya. Tidak perlu bersedih. Toh, beliau sudah senang (bahagia bersama pemilik hatinya yang baru).

Aku terluka.
Jelas saya terluka.
Aku
            Terluka.
Kamu bahagia.
Terlihat betapa bahagianya kamu.
Selamat.

******

Bukankah semuanya sudah usai?
Dan mengapa rasa ini belum selesai?

Sore itu langit sangat bersahabat. Setelah adzan ashar berkumandang dengan indah, sang langit semakin bersahabat. Warna jingga mendominasi permukaan biru yang mulai tenggelam. Gradasi warna yang sungguh menawan.
            Di sebuah rumah yang dikelilingi dengan aneka macam macam bunga terdengar sedikit berisik. Seorang gadis lengkap dengan celana katun panjang dan jaket abu-abu serta topi hitam yang membungkus penampilannya. Rambut panjang hitamnya yang sedikit bergelombang diujung dibiarkan saja dengan kunciran ekor kuda.
            “Ify mau ke mana sore-sore gini? Asharnya sudah, Nak?” tanya seorang perempuan berumur 40-an tahun dengan wajah keibuan. Dia yaitu Anita, ibunya Ify.
            “Mau sepedaan sama Via, Nda. Udah dong,” jawab Ify. Gadis itu menjawab sambil memasang sepatu olahraga di kedua kakinya. Sepeda warna biru hitam sudah nangkring dengan manis di halaman rumahnya tidak jauh dari teras di mana gadis itu bersiap-siap.
            “Via-nya mana?” tanya Anita sambil melihat ke segala arah. Mencari keberadaan sahabat putrinya.
            “Katanya tadi udah di jalan sih, Nda,” jawab Ify santai dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lebar dan kedua bola matanya bersinar ceria melihat sosok yang gres tertangkap fokus lensa matanya. “Haiii adek Reiii,” sapa Ify kelewat ceria. Ify sangat menyukainya. Dia yaitu Rei. Balita berumur lima tahun yang merupakan tetangga Ify. Anak dari Mbak Rara dan Mas Iel.
            Balita itu tertawa-tawa sambil memegang pagar rumah Ify. Secepat mungkin Ify meraih Rei dalam dekapannya. Beruntunglah Ify sebab Rei juga menyukai keberadaan Ify.
            “Hati-hati, Fy, ntar jatuh si Rei-nya,” peringat Anita takut ia melihat tingkah putrinya yang terlalu senang melihat Rei. Bukan diam-diam lagi jikalau Ify sangat menyukai Rei. Tetangga di dekat rumahnya pun tahu jikalau Ify kelewat senang jikalau ada Rei. Dan Anita pun menyadari itu.
            “Oke, Nda.”
            “Adek Rei mau ikut Kak Ify sepedaan?” tanya Ify gemes sambil menoel-noel pipi tembemnya Rei. Balita itu hanya tertawa. “Naik ini lho,” ujar Ify sambil menuju sepedanya. Rei menganggung-ngangguk bahagia.
            “Ntar jatuh lho, Fy. Mbak Raranya mana? Izin dulu gih.” Anita masih khawatir. Memang bukan sekali ini Rei ikut Ify bersepeda. Hanya saja rasa khawatir selalu muncul.
            “Tenang kok, Nda. Pasti nggak apa-apa. Ntar sebelum jalan ke rumah Rei dulu bilang sama Mbak Rara. Lagian Ify heran deh, Nda, kok Rei bisa lepas gini?” cerocos Ify tak lupa sambil bercanda dengan Rei dan menciptakan Anita geleng-geleng kepala.
           
Saat ini, Ify dan Via sedang istirahat di taman depan kompleks. Setelah berkeliling tanpa ada Rei, keduanya menentukan untuk beristirahat di taman sambil menunggu waktu untuk pulang. Ify sedikit menyayangkan sebab Rei tidak ikut. Ini bukan sebab Mbak Rara yang pelit, hanya saja keluarga kecil nan lucu itu akan pergi. Pantas saja Rei bisa lepas dari pengawasan Mbak Rara, toh Mbak Rara lagi berkemas-kemas dan balita lucu itu keluar rumah sendirian.
            “Gimana perasaan lo sekarang, Fy?” tanya Via sembari menikmati udara sore yang mulai sejuk. Jingganya langit perlahan-lahan mulai muncul.
            “Selalu baik-baik aja setiap ketemu Rei. Lo tahu kan?” jawab Ify santai dan tenang. Dia selalu merasa baik-baik saja dikala Rei ada. Balita lucu dan menggemaskan itu selalu berhasil menciptakan mood-nya kembali bagus. Seperti tidak ada yang perlu beliau khawatirkan dan sedihkan lagi, terutama wacana dia.
            “Gue beneran kali, Fy. Bener sih lo baik-baik aja tiap udah ketemu Rei.”
            “Makanya, Vi, gue bilang kalo gue baik-baik aja.”
            Via tetap tidak mendapatkan tanggapan Ify. Sahabatnya itu suka sekali berteka-teki. Menutup segala kesedihannya. Dia menciptakan kesedihan itu menyerupai gas ideal. Tidak akan pernah ada, kecuali dalam kondisi tertentu. Bukan menyerupai tekanan yang menekan ke segala arah. Ify tidak akan membiarkan kesedihan memperlihatkan imbas negatif dalam semua bidang kehidupannya.
            Seseorang bisa saja menipu orang lain. Ia bisa membalut kesedihan dengan senyuman. Ia bisa menutupi kekecewaan dengan penerimaan. Tetapi, ia tidak bisa menipu diri sendiri. Ify sadar betul akan hal itu. Ia tahu persis bagaimana kondisi hatinya. Tetapi, bukankah lebih baik Via tahu jikalau beliau ‘baik-baik saja’? Via memang sahabatnya, berhak tahu kerisauan hatinya, akan tetapi tetap saja Ify menentukan untuk terlihat baik-baik saja.

Terluka. Kecewa. Sedih.
Semua itu bisa saja bukan pilihan.
Tetapi, untuk terlihat baik-baik saja yaitu sebuah keputusan.

******

Untuk Kamu, Penyuka Fajar.

Nyanyian kenari mulai terdengar, apakah kau masih menyukainya?
Pertemuan yang tidak sengaja di pagi hari, bukankah itu wacana kita (dulu)?
Bagaimana kabar kau pagi ini?
Kukira, kabarmu secerah mentari dikala menyapa.
Desauan angin selalu kau dengar, jadi maukah kau mendengar ceritaku?

Pada suatu masa saya terluka. Benar-benar terluka.
Memaksa dengan berpengaruh biar semuanya menghilang secara instan.
Sungguh sulit. Kau tahu, sangat sulit.
Air mata terus mendorong untuk menitik, tetapi selalu kubendung.
Sakit. Sakit berkali-kali dikala menahannya.
Terlihat baik-baik saja yaitu pilihan yang harus diambil. Aku harus memperlihatkan jikalau saya bisa baik-baik saja. Berat. Sangat berat. Apakah kau pernah merasakannya?

Aku ingin menyerah. Meruntuhkan perisaiku dan pergi mencari si pembuat luka. Sungguh konyol bukan? Konyol dikala beliau sudah senang dan saya tiba tiba-tiba. Hei... saya mau dianggap apa? Untung saja, kesadaran itu masih ada.

Kamu tahu, saya selalu bertanya-tanya, mengapa beliau bisa senang sementara saya tidak? Ternyata hanya saya yang kehilangan, sedangkan beliau tidak. Miris bukan?

Setelah diselami, ternyata ini bukan hanya wacana saya yang kehilangan ataupun beliau yang (mungkin) tidak pernah menganggapku ada. Ternyata, ini yaitu wacana kesalahan cara, cara untuk melupakannya.

Aku benar-benar terluka dan itu terjadi berminggu-minggu yang lalu.

Kamu pernah melihat Monumen Nasional? Monas?
Begitulah keadaanku sekarang.
Begitu berpengaruh dan kokoh.

Aku tidak lagi terluka untuk setiap kenangan yang terlintas.
Aku tidak lagi meratapi untuk setiap rasa yang masih ada.
Aku tidak lagi bersedih untuk setiap kebahagian beliau yang terlihat olehku.
Aku tidak lagi kecewa untuk perpisahan yang telah terjadi.

Begitu hebatnya bukan?

Memaksa untuk menghilangkan yaitu pilihan yang salah.
Menangisi perasaan berlarut-larut yaitu hal yang sia-sia.
Mengharapkan kebersamaan kembali yaitu hal yang konyol dilakukan.

Sekarang saya menemukan caraku.

Rasa ini masih ada, saya yakin waktu akan mengikisnya.
Kenangan itu masih sering terbayang-bayang, saya yakin dengan membiarkannya akan menguburnya.
Keinginan untuk kembali ke masa itu masih muncul, saya yakin keikhlaskan akan meleyapkannya.
Kekecawaan masih terasa, saya yakin penerimaan akan meleburkannya.

Bagaimana pendapatmu? Luar biasa bukan?

Hei... Bintang Orion.
Selalu senang ya.
Jangan pernah kembali sebab kita tidak akan bersama.
Kamu penyuka fajar dan saya penyuka senja.
Fajar dan senja tidak pernah dipertemukan.

Dan untuk kamu, terima kasih telah mendengarkan. Terima kasih untuk sebuah pengalaman.

Pagi ini pelajaran olahraga untuk kelas XI IPA 3. Ify dan Via bersama teman-teman sekelasnya tengah melaksanakan jogging pagi mengelilingi lapangan basket. Pelajaran olahraga ini bersamaan dengan kelas XI IPA 5, kelasnya dia, Bintang Orion. Jika kelas XI IPA 3 menguasai lapangan basket, maka kelas XI IPA 5 berpusat pada lapangan voli. Kelas tersebut sedang melaksanakan pemanasan yang diinstruksikan oleh Pak Faisal. Beliau yaitu guru olahraga senior di Sekolah Menengan Atas Tunas Bangsa.
            Lagi-lagi mata Ify menangkap sosok Rio yang lagi asyik bermain voli bersama teman-temannya dan sesekali melambaikan tangan kepada Rasel. Ify tahu bahwa Rasel yaitu gadis yang sangat dekat dengan Rio dikala perpisahan mereka. Jika dulu Ify merasa sakit maka kini beliau bisa tersenyum lebar. Pelajaran olahraga pagi ini benar-benar asyik bagi Ify, meskipun Pak Darma meminta lari tiga keliling lapangan basket dan mengambil nilai shooting, tetap saja Ify menyukainya. Ia tidak perlu merasa sesak, sedih, dan kecewa. Dia benar-benar sudah baik-baik saja.
            “Senyum-senyum terus sih, Fy,” tegur Agni, sobat sekelas Ify, dikala mereka beristirahat di pinggir lapangan.
            “Dia berhasil move on tuh, Ag,” sambar Via dan diberi hadiah jitakan yang dilayangkan oleh Ify.
            “Via ngayal mulu. Gue lagi senang aja, Ag. Hari ini benar-benar indah,” koreksi Ify dan tetap tersenyum lebar.
            Gadis itu sungguh menyukai perasaan gres yang dirasakannya. Bahagia. Lapang. Ikhlas. Alyssa Raifyna sungguh sudah baik-baik saja.

“Selesai dengan nggak jelasnya”

Terima kasih sudah membaca :)
-S Sagita D-


Sumber http://sagita-shelly.blogspot.com


EmoticonEmoticon