Rencananya mau mencar ilmu nulis, nah.. supaya rencana ini semakin baik, maka yang pertama dilakukan "katanya" ialah banyak membaca. Membaca tulisan-tuilsan ihwal apa saja, bahkan membaca ihwal bidang yang tidak kita mengerti sama sekali, ayo membaca!.
Setelah buka file-file lama, dan berakhir pada folder yang sudah cukup usang tersimpan rapi di daerah penyimpan file. Ya folder kumpulan artikel Bapak Prof.Hendra Gunawan, salah seorang Guru Besar di Institute Teknologi Bandung. Tulisan Bapak Prof.Hendra Gunanwan ini bercerita ihwal kritikan terhadap goresan pena yang menyampaikan "Matematika Sekumpulan Rumus Belaka?".
Ketika membaca goresan pena ini, pengetahuan kita ihwal matematika pastinya akan semakin baik. Sehingga sangat tidak baik kalau artikel ini tidak kita sampaikan kepada masyarakat luas terkhusus kepada guru-guru matematika. Seperti apa artikelnya, mari membaca;
Pada Kompas 29 April 1997 J. Drost SJ mengemukakan permasalahan pengajaran sains di sekolah menengah dan di akademi tinggi. Berdasarkan pengamatannya, sains sebagai ilmu murni termasuk mata pelajaran atau mata kuliah yang tidak disukai oleh siswa atau mahasiswa.
Nilai paling rendah selalu untuk sains, dan bahkan mahasiswa sains pun cenderung menentukan mata kuliah fisika teoritis dan kimia teoritis, yang lebih bersahabat dengan matematika. Matematika, berdasarkan kesimpulannya, bukanlah momok. Kebanyakan pengajar sains pun malah mematematikakan sains. Mekanika gaya usang dikatakannya sebagai matematika bergambar hias.
Membaca goresan pena Drost tersebut, muncul kesan bahwa matematika seperti hanya merupakan sekumpulan aksioma, rumus, dan dalil belaka. Matematika, ibarat halnya bidang-bidang studi lain selain sains, hanya merupakan sekumpulan fakta (what) dan cara bertindak (how) yang sanggup dihafalkan tanpa harus memahami mengapa (why) semua itu sanggup terjadi.
Sebagai seorang matematikawan, saya tergelitik untuk menanggapi goresan pena tersebut, khususnya mengenai matematika itu sendiri dan permasalahan sekitar pengajarannya.
Jika sains memang telah diajarkan sebagai "matematika bergambar hias", apalagi diajarkan oleh seorang pengajar yang tidak begitu mendalami matematika, maka saya turut prihatin. Namun, kalau benar bahwa siswa atau mahasiswa lebih menyukai matematika daripada sains, walaupun matematika baginya hanyalah merupakan sekumpulan rumus dan dalil yang tidak perlu dipusingkan mengapa semua itu berlaku, maka saya ---sebagai matematikawan--- merasa agak lega. Karena selama ini justru saya beranggapan bahwa matematika termasuk momok yang mengerikan bagi siswa semenjak di sekolah dasar hingga di akademi tinggi.
Berdasarkan pengalaman saya mengajar di akademi tinggi selama beberapa tahun, nilai matematika justru selalu paling rendah, lebih rendah daripada nilai fisika atau kimia, misalnya. Apa masalahnya?
Permasalahan dalam pengajaran matematika muncul semenjak di sekolah dasar. Matematika hanya diajarkan bahkan sebagai simbol-simbol tak bermakna, tak berguna, dan tak ada hubungannya dengan dunia nyata. Keempat operasi aritmetika dasar diajarkan, lebih tepatnya dijejalkan kepada siswa, lengkap dengan sifat-sifat dasarnya, pada tahun-tahun pertama.
Soal ibarat “25 keping uang Rp 5,- bernilai sama dengan 5 keping uang Rp ...?” ditanyakan kepada siswa kelas I SD yang belum mengenal perkalian! Maksudnya barangkali menerapkan sifat komutatif perkalian dalam kehidupan sehari-hari, namun si Guru lupa bahwa keping uang Rp 5,- sudah hilang dari peredaran, sementara keping uang Rp 25,- pun semakin sulit dicari kini ini. Siswa kemudian menganggap bahwa matematika itu jauh dari dunia nyata, alasannya soal-soalnya sering mengada-ada.
Mengajar matematika, baik di sekolah dasar maupun di akademi tinggi, sanggup menjadi pekerjaan yang sulit, apalagi bila pengajar tidak memiliki wawasan yang luas ihwal matematika.
Dalam mengajar acap kali kita perlu memberi motivasi kepada siswa atau mahasiswa dan untuk itu kita harus mencari soal-soal yang menarik dan relevan dengan kehidupan sehari-hari (atau dengan bidang ilmu yang sedang dituntut oleh mahasiswa).
Pekerjaan ini sanggup dikatakan gampang-gampang susah. Dengan beban kurikulum yang begitu berat, guru sering kali terjebak mengejar bahan ajar. Akhirnya, yang terjadi ialah matematika diajarkan sebagai sekumpulan rumus dan dalil belaka, disertai dengan contoh-contoh soal apa adanya.
Matematika, sesungguhnya, ada di sekitar kita. Bilangan, objek matematika yang paling mendasar, digunakan di mana-mana untuk menandai tanggal, menyatakan usia, ukuran, peringkat, menomori rumah, kendaraan bermotor, rekening bank, halaman buku, dan sebagainya.
Keempat operasi aritmetika dasar, yakni penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, banyak muncul dalam dilema sehari-hari. Perkalian, misalnya, dilakukan apabila kita ingin menghitung dengan cepat banyaknya bangku yang berjejer dalam 6 baris, masing-masing terdiri dari 8 kursi, katakan. Banyaknya bangku tersebut sanggup dihitung sebagai 6 x 8 atau 8 x 6, dan sifat komutatif pun naik ke permukaan.
Kuadrat dan akar juga tidak jauh dari dilema sehari-hari. Jika panjang ruas garis AB ialah x cm, dan panjang ruas garis BC yang tegak lurus pada ruas garis AB ialah y cm, maka panjang ruas garis AC sanggup dihitung dengan memakai rumus Pythagoras, yakni $ \left (x^2+y^2 \right )^{\frac{1}{2}} $cm.
Matematika tingkat tinggi tersembunyi di balik pesawat telepon, televisi, komputer, kulkas, dan peralatan lainnya di dalam rumah kita sendiri. Matematika, dalam perkataan sederhana, tidak lain ialah pemodelan (simbolisasi, kuantisasi, dan/atau matematisasi) dari banyak sekali fenomena alam dan dilema nyata.
Di dalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan apa (what), mengapa (why), dan bagaimana (how). Rumus dan dalil tidak begitu saja turun dari langit, namun sering kali diperoleh melalui proses yang panjang dan berliku. Rumus dan dalil ini menjadi penting alasannya fungsinya sebagai jembatan: dikala kita berada di lisan jembatan, maka dengan rumus atau dalil tersebut kita hingga di seberang jembatan, tanpa harus meniti jembatan tersebut!
- Matematika merupakan cara berpikir atau bernalar (atau cara berhitung untuk anak sekolah dasar), cara atau bahasa untuk memahami banyak sekali pola, struktur, gejala, atau fenomena.
- Matematika mutlak diharapkan untuk memahami sains, bukan untuk mengubah sains menjadi matematika bergambar hias!
- Matematika sendiri juga bertumbuh sebagai ilmu yang kaya dengan banyak sekali teori. Ada yang sanggup diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, ada pula yang tidak atau belum diketahui penerapannya.
Teori bilangan, aljabar Boole (Boolean algebra), dan matematika kabur (fuzzy mathematics) ialah beberapa di antaranya, yang penerapannya sanggup dijumpai dalam kriptografi atau teori sandi, komputer, dan kulkas.
Pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana juga muncul dalam matematika teoritis sekalipun. Misalnya, dalam teori matriks, kita bertanya apa itu determinan, mengapa atau untuk apa kita mempelajari determinan, bagaimana menghitung determinan sebuah matriks?
Katakan kita memiliki sebuah matriks n x n, kemudian kita hitung determinannya. Setelah itu kita tambahkan k kali baris ke-i ke baris ke-j, sehingga kita peroleh sebuah matriks baru, kemudian kita hitung pula determinannya. Ternyata hasilnya sama dengan perhitungan sebelumnya. Apa yang telah terjadi? Apakah itu hanya suatu kebetulan atau suatu fenomena umum? Adakah fenomena yang lain? Dalam mencar ilmu matematika, ibarat mungkin dalam mencar ilmu ilmu lainnya juga, seseorang mesti pernah melalui tahapan mengalami (experiencing), mencoba-coba (experimenting), merenungkan (reflection), dan konseptualisasi (conceptualization).
Tidak ibarat kebanyakan bidang ilmu lainnya, matematika justru sarat dengan perenungan dan konseptualisasi. Namun sayangnya tidak demikian dalam praktek pengajarannya. Di sekolah dasar, siswa sebaiknya lebih banyak mencar ilmu melalui mencoba-coba dan mengalami. Walaupun demikian, sekali-kali siswa sanggup pula diajak merenungkan mengapa, misalnya, $8 \times 6 = 6 \times 8$, kemudian dibawa ke konseptualisasi sifat komutatif perkalian dua buah bilangan, yakni $a \times b = b \times a$.
Sementara itu di akademi tinggi, mahasiswa seharusnya lebih banyak diajak merenungkan dan konseptualisasi. Bila diajarkan dengan baik dan benar, matematika tolong-menolong merupakan mata pelajaran yang melatih siswa kritis, kreatif, berpikir alternatif, berargumentasi ketat, menyatakan buah pikirannya baik dalam lisan maupun goresan pena secara sistematis, logis, dan lugas.
Dalam matematika juga sanggup diajarkan pola berpikir deduktif dan induktif. Bernalar kontradiktif, guna menerangkan bahwa sesuatu tidak mungkin terjadi, juga sanggup diperkenalkan kepada siswa kelas III SMU atau mahasiswa tahun pertama.
Namun semua ini tidak akan tercapai bila pengajaran matematika terjebak pada simbol-simbol yang tak bermakna dan tak berguna, sehingga siswa merasa ibarat seorang awam dihadapkan pada sebuah lukisan abstrak. Walaupun indah, katanya, siapa yang akan mau "membelinya"?
Matematika ada bertebaran di sekitar kita, tidak perlu mencari ke awang-awang nun jauh di sana. Ini yang sering dilupakan oleh para pengajar matematika, baik di sekolah dasar, sekolah menengah, maupun di akademi tinggi. Ketika ini terjadi, maka ---lebih parah daripada sains--- matematika kesudahannya menjadi sesuatu berisikan simbol-simbol yang tak bermakna, dengan atau tanpa gambar hias! personal.fmipa.itb.ac.id.
Hendra Gunawan, Lahir di Bandung pada tahun 1964, ialah seorang matematikawan. Beliau menjadi dosen di Institut Teknologi Bandung semenjak tahun 1988 dan menerima gelar doktor dalam bidang Matematika dari University of New South Wales Sydney, pada tahun 1992. Selain sering menulis di media massa, dia juga mengasuh beberapa blog untuk memopulerkan matematika dan sains, antara lain indonesia2045.com | anakbertanya.com | bersains.wordpress.com | bermatematika.net/
Suka matematika tapi tidak kenal dengan Bapak Hendra Gunawan kurang seru, yuk mengenal salah satu matematikawan Indonesia melalui video berikut;
EmoticonEmoticon