Rabu, 04 Juli 2018

Milih Jurusan Ipa Atau Jurusan Ips

 Penjurusan di Sekolah Menengan Atas ini secara umum dibagi menjadi IPA  Milih Jurusan IPA atau Jurusan IPSBagi siswa yang duduk di dingklik SMA, niscaya tau dengan istilah “penjurusan”. Penjurusan di Sekolah Menengan Atas ini secara umum dibagi menjadi IPA [Ilmu Pengetahuan Alam] dan IPS [Ilmu Pengetahuan Sosial]. Tetapi ada juga beberapa sekolah yang masih menawarkan pilihan jurusan Bahasa. Beberapa tahun yang lalu, penjurusan di Sekolah Menengan Atas dibagi menjadi lebih spesifik, ada jurusan Matematika, Fisika, Kimia, Bahasa, dll. Tapi untuk pembahasan artikel kali ini, kita mau fokus untuk bahas perihal perbandingan jurusan IPA dan IPS.

Cerita kita perihal Jurusan IPA atau Jurusan IPS kali ini disajikan oleh A.R. Wibowo. Mari kita simak ceritanya;

Ngomong-ngomong soal penjurusan, bahu-membahu apa sih tujuan dari penjurusan? Katanya sih, penjurusan ini punya tujuan untuk bikin siswa jadi fokus sama salah satu rumpun ilmu pengetahuan tertentu. Berarti idealnya nih, lo yang berguru IPA akan lebih fokus berguru perihal ilmu-ilmu yang mempelajari bagaimana alam ini bekerja menyerupai Fisika, Kimia, dan Biologi. Sementara lo yang jurusan IPS akan lebih ngulik ilmu perihal interaksi sosial masyarakat menyerupai Sejarah, Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi. Cuma masalahnya, apakah betul pemisahan jurusan antar IPA dan IPS betul-betul merepresentasikan konsep itu?

Sebelum lanjut, gua mau kisah pengalaman kecil gua beberapa waktu yang kemudian dicurhatin sama sepupu yang gres aja memutuskan jurusannya. Berhubung sepupu gua ini seneng debat ngikutin perkembangan politik dan ekonomi mancanegara, ia menentukan IPS sebagai penjurusan di masa SMA-nya. Setelah sebulan menjalani kegiatan belajar-mengajar, sepupu gue mengeluh bahwa ia selalu dibanjiri dengan pertanyaan sama teman-temannya

“Eh kenapa sih masuk IPS? Padahal kan lo pinter!”

JREENG....!! Nah lho, pernah gak sih lo yang punya nilai akademis baiklah di jurusan IPS ditanyain hal yang sama? Emangnya kalau sepupu gue pinter, kenapa temen-temennya pada nanyain kenapa ia nggak masuk jurusan IPA? Emang kalau lo pinter harus masuk jurusan IPA, ya? Emangnya bawah umur di jurusan IPS itu nggak sepinter mereka yang di IPA yak?

Kalo mau bicara konsep ideal dari tujuan awal pemisahan antara dua rumpun ilmu tersebut, tentu saja jawabannya : nggak dong, anak IPA dan IPS kan punya ranahnya masing-masing. Tapi kalo kita balik ke realita, nggak bisa dipungkiri bahwa emang ada fenomena ganjil dalam dunia pendidikan kita, dimana jurusan IPS dinilai lebih inferior dibandingkan jurusan IPA. Bahkan kalo dibedah, jurusan IPA seperti dipandang sebagai jurusan yang berisi bawah umur yang rajin belajar, suka ngitung, anak baik-baik, pekerja keras, tapi kurang banyak bergaul alasannya kebanyakan waktunya dihabisin di kawasan les/bimbel. Sedangkan bawah umur IPS dipandang sebagai kumpulan anak yang males belajar, tukang main, lebih hebat hafalan, punya kemampuan bergaul yang lebih baiklah dibandingkan dengan bawah umur IPA.

Pandangan menyerupai ini emang nggak cuma lo doang yang ngerasain di jaman kini ini. Miskonsepsi ini bahu-membahu udah jadi semacam stigma nggak tertulis selama bertahun-tahun dari generasi ke generasi. So, jangan heran kalo stereotype semacam ini nggak cuma ada di pikiran pelajar SMA, tapi juga hingga ke kalangan orangtua bahkan beberapa guru tertentu. Nah, dalam kesempatan kali ini, gua mau coba ngebahas beberapa miskonsepsi atau pandangan umum yang keliru antara jurusan IPA dengan jurusan IPS. Okay, pribadi aja yuk kita mulai pembahasannya:
Mitos #1: Jurusan IPA lebih superior dan bergengsi daripada jurusan IPS.
 Penjurusan di Sekolah Menengan Atas ini secara umum dibagi menjadi IPA  Milih Jurusan IPA atau Jurusan IPS

Penyebab adanya miskonsepsi menyerupai ini bisa jadi bermacam-macam, dari mulai kualitas soal dan tingkat kesulitan yang jomplang antara pelajaran-pelajaran IPA dengan IPS, kualitas/kemampuan guru IPA dan IPS yang berbeda, hingga gengsi dari kalangan orangtua murid. Hal-hal menyerupai inilah yang justru secara simultan menguatkan miskonsepsi ini dari waktu ke waktu. Tanpa sadar hal menyerupai ini yang membentuk stigma terhadap jurusan IPA maupun IPS. Sehingga siswa yang nilai akademisnya baiklah dituntut untuk masuk ke jurusan IPA, padahal mungkin bahu-membahu ketertarikan minat ia ialah topik-topik yang berbau sosial.

Cuma alasannya gak mau dicap sebagai "anak kurang rajin berguru jadi gak bisa masuk IPA" jadinya milih jurusan yang bahu-membahu bukan minat dia. Sebaliknya, siswa yang nilai akademisnya kurang baiklah jadi terpaksa masuk IPS alasannya standard nilai untuk masuk penjurusan IPA lebih tinggi daripada jurusan IPS, padahal mungkin bahu-membahu minat anak ini lebih suka topik yang berkaitan dengan ilmu alam, cuma alasannya ia males berguru aja jadi terpaksa masuk IPS.

Nah, berdasarkan gua sih idealnya baik lo yang mau masuk jurusan IPA atau IPS, dua-duanya harus punya standar sendiri-sendiri. Jadi, konsepnya bukan yang gak lulus jurusan IPA, pribadi dimasukin ke jurusan IPS. Tapi dilihat dulu, apakah anak tersebut emang layak untuk masuk jurusan IPS atau enggak. Intinya setiap siswa diberikan kebebasan untuk menentukan jurusan-nya sesuai dengan minat mereka masing-masing, yang tentu cermin yang paling praktis untuk melihat minat ialah nilai akademis masing-masing pelajaran. Terlepas dari nilai akademis itu, emang sebaiknya penjurusan itu dikembalikan lagi pada keputusan masing-masing siswa.

So, dengan ada standardisasi dan konsep menyerupai itu, bahu-membahu nggak perlu ada tuh jenjang superioritas-inferioritas di antara dua bidang tersebut. Baik IPA maupun IPS bahu-membahu sama-sama membutuhkan kompetensi yang berbeda-beda dan setiap pelajar bisa jadi bener-bener hebat di bidangnya masing-masing.
Mitos #2 :Anak IPA berpengaruh di hitungan, IPS lebih berpengaruh di hafalan
 Penjurusan di Sekolah Menengan Atas ini secara umum dibagi menjadi IPA  Milih Jurusan IPA atau Jurusan IPS
Ini ialah salah satu stereotype yang dari dulu sampe kini infinit banget nempelnya di masyarakat. Seolah-olah tingkat kecerdasan siswa itu cuma dibagi jadi dua tolak ukur doang: hitungan dan hafalan. Kalo lo hebat hitungan ya itu tandanya lo cocok masuk ke jurusan IPA, kalo lo hebat ngehafalin, berarti lo cocoknya masuk jurusan IPS. This is so wrong in so many ways!

Nggak ada satu pun pelajaran hitungan di IPA, baik Fisika, Kimia, dan Biologi itu sama sekali bukan pelajaran berhitung. Kalau pun ada yang namanya pelajaran berhitung, yang paling deket itu ya pelajaran Akuntansi, itu pun malah ia lebih pas masuk ke jurusan IPS.

Nggak ada satu pun pelajaran di IPS yang menuntut hafalan, kalo kini lo yang di jurusan IPS masih banyak ngehafalin materi pelajaran, berarti cara berguru lo yang keliru. Baik Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, maupun Geografi itu pelajaran yang menuntut pemahaman konseptual yang komprehensif. Sementara kalo lo udah ngerti konsepnya, dengan sendirinya juga lo akan hafal sama istilah-istilah yang digunakan.

Nih ya, gua mau bahas sedikit pembedahan tingkat kecerdasan yang jauh lebih bener daripada pembagian hafalan-hitungan. Berdasarkan Bloom’s Taxonomy, kemampuan insan dalam domain kognitif terbagi menjadi tiga aspek, yaitu:
Level 1: Knowledge, yang termasuk dalam knowledge ialah pengetahuan kita mengenai fakta-fakta atau terminologi yang spesifik, pengetahuan mengenai metode-metode tertentu, dan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan teori-teori universal.

Level 2: Comprehension, Sedangkan comprehension merupakan kemampuan kognitif yang melibatkan kemampuan untuk memahami konsep, membandingkan konsep, menginterpretasikan suatu fenomena atau abstraksi tertentu, dan sanggup menyimpulkan main idea dari pembahasan-pembahasan tertentu.

Level 3: Critical Thinking, terdiri dari beberapa dimensi, yaitu: analysis, evaluation, synthesis.
  • Analysis : menguji dan menguraikan gosip dan/atau pengetahuan dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen dari gosip tersebut [misalnya: penyebab, efek, dan prevalensi]
  • Evaluation: mengajukan dan mempertahankan opini dengan cara menciptakan evaluasi mengenai gosip dari gagasan berdasarkan dengan kriteria-kriteria tertentu.
  • Synthesis: mengumpulkan informasi-informasi terkait suatu gagasan tertentu untuk menciptakan suatu kesimpulan dan menghasilkan gagasan alternatif

Suatu acara pembelajaran sanggup dikatakan efektif dan menawarkan manfaat dikala acara tersebut sanggup membawa kita ke level 3: kognisi critical thinking. Ketika kita cuma itung-itungan dengan ngehafal rumus, atau tau istilah-istilah dengan cara ngehapal, maka lo hanya hingga ke level kognitif knowledge doang.

Nah untuk bisa berguru dengan cara yang bener, lo justru jangan cuma hingga ke level-1 doang, tapi lo juga dituntut untuk mengolah knowledge itu menjadi level 2: comprehension hingga ke level 3: analysis, evaluation, dan synthesis. Konsep inilah yang selama ini dibahas sama Glenn di artikel sebelumnya perihal perbedaan studying dengan learning.

So, berdasarkan gue, baik dikala lo masuk jurusan IPA ataupun jurusan IPS, hapalan dan itungan itu bukanlah hal yang patut lo pusingin. Justru hal yang harus lo pastikan ialah apakah lo paham dengan apa yang disampaikan oleh guru/apa yang sedang lo pelajarin. Ketika lo udah paham sama suatu konsep, secara otomatis lo akan familiar dengan konsep tersebut, dan tanpa intensi untuk menghafal, lo akan hafal istilah-istilah dan rumus-rumus itu dengan sendirinya. Pas SMA, gue punya prinsip “Yang penting ngerti dulu, kalau hafal mah itu bonus buat gue.”

Mitos #3: Anak IPA itu emang udah seharusnya lebih hebat matematika daripada anak IPS
Miskonsepsi ini bahu-membahu salah satu yang paling parah, bahkan di terjadi di kalangan guru sekalipun. Lo tau nggak sih kalo bahu-membahu matematika ini bukanlah cabang dari bidang IPA [natural science], dan bukan juga IPS [social science].

"Lha, bukannya selama ini gua pikir matematika itu identik dengan jurusan IPA?"

Nope. IPA maupun IPS ialah science. Maksudnya science, itu artinya ilmu mempelajari hal yang konkrit, sedangkan matematika itu ialah ilmu abstrak, bukan konkrit. Makara sekali lagi, matematika itu bukan science

Istilah science artinya kita mempelajari ilmu yang bisa diamati dan bisa direpresentasikan dalam dunia nyata, pembuktiannya disebut dengan evidence. Sedangkan inti dari matematika itu ialah abstract modeling dari nalar dimana pembuktiannya biasa disebut dengan proof. Makara matematika merupakan ilmu pengetahuan murni yang bersifat abnormal dan ia bisa bangun sendiri tanpa sokongan ilmu-ilmu lain.

So, Matematika itu sama sekali nggak identik sama hitungan apalagi jurusan IPA. Matematika itu gak nyambung sama sekali sama ilmu alam maupun hitungan. Makara bahu-membahu baik jurusan IPA maupun IPS harus sama-sama menguasai pelajaran matematika dengan baik, alasannya konsep-konsep dasar dari matematika bisa diterapkan untuk membantu cabang-cabang ilmu lainnya dalam proses pengembangan ilmu tersebut.

Mitos #4: Anak IPA bisa masuk semua jurusan kuliah, anak IPS cuma bisa soshum
 Penjurusan di Sekolah Menengan Atas ini secara umum dibagi menjadi IPA  Milih Jurusan IPA atau Jurusan IPS

Ketika gue SBMPTN, banyak temen gue yang ngeluh alasannya bawah umur IPA dianggap sering “mengambil lahan” bawah umur IPS dikala memasuki jurusan-jurusan pas mau kuliah.

Sebetulnya sih, hal ini ada benernya juga, mengingat banyak banget bawah umur yang dulunya berada di jurusan IPA tapi pas SBMPTN ngambil jurusan IPC supaya bisa ambil jurusan IPS pas kuliahnya. Termasuk gue juga dari jurusan IPA emang hasilnya milih ngambil Psikologi di UI, hehe..

Terus biasanya kalo bawah umur IPA yang ngambil IPC ada yang lulus pas SBMPTN-nya dalam ngambil jurusan menyerupai Psikologi, Ekonomi, atau Hubungan Internasional, pribadi pada menggerutu menyerupai ini.

"Halah anak IPA kenapa sih masih ngerebut aja lahan anak IPS!? Padahal kan mereka udah punya jurusannya sendiri, kenapa gak dari awal aja kalo gitu mereka ambil jurusan IPS? Mereka kan pinter-pinter jadi praktis aja kalo mau ngambil soshum, sedangkan kita yang di IPS kan gak bisa segampang itu ngambil jurusan IPA."

Nggak sedikit juga lho, lo ngedengerin komentar menyerupai ini, terutama nanti begitu lo yang di kelas 12 Sekolah Menengan Atas udah mulai mikirin jurusan kuliah. Sebenernya perilaku menyerupai ini mungkin lo anggep sebagai celotehan biasa aja, tapi jangan salah lho. Sikap menyerupai ini tuh bisa diterjemahkan sebagai perilaku inferior yang juga berperan menambah pupuk paradigma yang salah perihal pembagian IPA maupun IPS.

Kita semua bahu-membahu juga tau kan, kalo jurusan IPA mupun jurusan IPS bahu-membahu bisa aja kok daftar IPC pas SBMPTN. Tinggal seberapa niat aja lo berguru sebelum SBMPTN dan seberapa siap elo untuk ngehadapin persaingan untuk mendapat jurusan di universitas tersebut. Makara seharusnya nih, baik jurusan IPA maupun IPS ya kembali pada kompetisi yang fair dan sejajar sebagai sesama intelektual muda untuk bisa mendapat jurusan kuliah dan universitas yang diinginkan.

So, in the end, gue cuma mau nekenin kalau sebenernya IPA dan IPS itu bukanlah dua disiplin ilmu yang berlainan satu sama lain, bukan juga dua disiplin ilmu yang berada di satu kontinum yang sama [maksudnya gak bisa dibandingin kalo ilmu X lebih baik dari pada ilmu Y]. Setiap cabang ilmu pengetahuan berdasarkan gue mempunyai landasan berpikir masing-masing tapi ilmu-ilmu tersebut juga bisa terintegrasi satu sama lain dalam menjelaskan segala hal yang terjadi di alam semesta ini. Pemisahan antara "alam" dan "sosial" bahu-membahu hanyalah simplifikasi dan label untuk melihat suatu fenomena dari satu sudut pandang tertentu.

Misalnya gini deh, dikala kita meninjau kembali perihal fenomena wabah Black Death yang terjadi di Eropa pada periode 14, kita bisa meninjau fenomena ekstrim ini dari banyak sekali sudut pandang disiplin ilmu. Buat lo yang belum tau, Black Death merupakan pandemi [wabah penyakit] pertama di dunia, dengan total maut diperkirakan hingga 200 juta jiwa! [itu hampir sama banyaknya dengan jumlah populasi penduduk Indonesia kini lho].

Penyebabnya cuma basil yang namanya Xenopsylla cheopis. Hal ini mungkin bisa ditinjau dari sudut pandang biologi perihal bagaimana wabah ini menyebar dengan sistem benalu 2 level. Tikus [Rattus ratus] yg diparasiti oleh Pinjal [Xenopsylla cheopsis] dan diparasiti lagi oleh basil pes [Yersinia pestis]. Tapi, fenomena ini juga bisa ditinjau dari sudut pandang lain menyerupai perubahan sosiologi masyarakat Eropa yang berubah drastis. Sampai dalam sudut pandang politik dengan mulai dari berkurangnya kepercayaan terhadap otoritas Kerajaan Roma.

Nah, dari pola fenomena wabah Black Death yang gua sedikit kupas di atas, kita jadi punya citra komprehensif terkait fenomena-fenomena tertentu di lingkungan kita dengan melihat dari banyak sekali macam sudut pandang, baik segi alam maupun sosial.

Selain itu, kita juga bisa mengambil kesimpulan yang sempurna terkait suatu fenomena kalau kita bisa menganalisisnya dari banyak sekali sudut pandang dan menentukan sudut pandang mana yang paling pas dan bisa menjelaskan fenomena-fenomena yang kita analisis.

Akhir kata pesen gua cuma satu, bahwa bahu-membahu yang namanya ilmu itu gak bisa kita kategoriin sebagai IPA atau IPS, itu bahu-membahu cuma label semoga memudahkan untuk dipelajari doang. Karena pada hakikatnya, alam semesta ini bekerja dan berinteraksi dalam satu kesatuan sebagaimana adanya kita lihat kini ini, dan pembagian ilmu itu hanyalah budi sehat kita untuk memudahkan cara kita memandang suatu fenomena yang terjadi.

Keterangan Sumber :
  • Huitt, W. [2004]. Bloom et al.'s taxonomy of the cognitive domain. Educational Psychology Interactive, 22.
  • Carey, S. [2009], "Where our number concepts come from", Journal of Philosophy 106 [4]: 220–254
  • [https://www.zenius.net/blog/5483/jurusan-ipa-ips-saintek-soshum]
CATATAN EDITOR
Kalo ada di antara kau yang mau ngobrol atau diskusi atau mau sharing pengalaman lo jadi anak IPA atau IPS, gak usah malu-malu pribadi aja tinggalin comment di bawah artikel ini.

Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Masih menganggap matematika hanya hitung-hitungan semata, mari kita lihat kreativitas siswa ini;
 Penjurusan di Sekolah Menengan Atas ini secara umum dibagi menjadi IPA  Milih Jurusan IPA atau Jurusan IPS


Sumber http://www.defantri.com


EmoticonEmoticon