Jangan masuk ITB, goresan pena yang mungkin secara sengaja di share oleh teman, saudara sekaligus sahabat yang juga merupakan alumni ITB pada status sosial medianya. Sedikit tertarik melihat judulnya, kemudian aku pribadi masuk ke link yang dituju dan ternyata goresan pena tersebut juga goresan pena seorang alumni ITB jurusan Farmasi [*bacanya di ].
Pengalaman-pengalaman dari alumni universitas (bukan hanya ITB) sangat penting di bagikan alasannya sangat diharapkan oleh siswa-siswa kelas XII SMA, paling tidak bawah umur kelas XII Sekolah Menengan Atas sanggup citra sederhana bagaimana gotong royong kuliah di universitas. Untuk goresan pena kali ini bagaimana citra sederhana bagaimana kuliah di kampus favorit ialah ITB, mari kita simak ceritanya;
Sebentar lagi ada ujian nasional dan seleksi nasional masuk perguruan tinggi tinggi negeri, bawah umur Sekolah Menengan Atas kelas 12 mungkin banyak yang ingin masuk kampus-kampus favorit ibarat UGM, ITB atau UI, sama ibarat 6 tahun kemudian ketika aku kelas 12 SMA. Saat itu dalam menentukan kampus, yang terpikir di otak aku cuma 2, aku suka pelajaran apa dan dimana yang passing gradenya paling tinggi, kenapa paling tinggi? alasannya perkiraan saya, kalau aku masuk di grade paling tinggi di Indonesia, maka akan gampang mencari kerja.
Karena aku suka pelajaran kimia, kebetulan juga alumni olimpiade kimia maka aku menentukan tiga jadwal studi yang sangat berafiliasi dengan kimia, ialah teknik kimia, farmasi dan kimia [murni]. Saya coba-coba cari informasi, di bimbingan belajar, di situs online dan sebagainya, ternyata ketiga jadwal studi itu passing grade paling tingginya semua ada di ITB. Singkat dongeng aku masuk farmasi ITB, lulus S-1 4 tahun 3 bulan kemudian pendidikan profesi setahun. Ini sekilas citra yang mungkin juga dihadapi oleh adik-adik yang ketika ini akan masuk perguruan tinggi tinggi.
Saya akan lebih banyak dongeng sesuai judul, ini dongeng ketika aku dan beberapa sobat alumni kumpul, ada yang sudah kerja di oil & gas company, ada yang bisnis, ada yang S-2, ada yang kerja di bidang programming dan sebagainya. Teman aku yang S-2 cerita, bahwa perbandingan ketika ia kuliah S-2 dengan S-1 di ITB beda jauh, sama-sama di ITB, namun dengan effort berguru yang sama kini IPK nya selalu tinggi, mendekati 4, berbeda ketika ia dulu S-1 di matematika, menerima IP 3 itu butuh usaha berat, memang S-2 & S-3 di ITB kualitasnya masih jauh dibanding S1. ITB sendiri saja tidak mau mendapatkan dosen kalau S-3 nya masih di ITB.
Lalu ada satu lagi sobat yang bercerita, ia punya sobat anak kimia ITB dulunya, ketika di ITB IP-nya hanya sekitar 2 koma, padahal ia dulu lulusan terbaik di Sekolah Menengan Atas nya. Lalu anak ini pindah ke teknik mesin suatu kampus negeri di depok dan hingga ketika ini IPKnya 4 bulat!. Saya pun punya cerita, ada dua sobat aku yang juga lulusan terbaik di Sekolah Menengan Atas nya, satu orang dari cirebon, ia dulu peraih medali perunggu olimpiade sains nasional, satu lagi anak lampung, peringkat 31 olimpiade sains nasional, namun sayang kedua sobat aku ini DO [Drop Out] dari ITB.
Adik kandung aku juga aneh, ia ikut SNMPTN 2 kali dan keduanya tidak diterima di ITB, pada kesudahannya ia menentukan kampus negeri lain di Bandung dan ternyata IPKnya mendekati 4. Ini segelintir contoh, ada gotong royong referensi yang sukses juga, sobat aku yang sudah lulus dari ITB lebih gampang memang hidupnya, ada yang S-2 di jepang, belanda, jerman, kerja di pertamina, unilever, cevron, biofarma, bisnis dsb.
Apa yang ingin aku pesankan kepada adik-adik yang ingin masuk perguruan tinggi tinggi? masuk perguruan tinggi tinggi bukan duduk perkara gengsi atau pujian semata, jadwal studi dan universitas yang akan kita masuki harus sesuai dengan minat, potensi dan passion kita. Khususnya di ITB, alasannya jumlah mahasiswa yang diterima disini jauh lebih sedikit dibanding universitas lain dan jadwal studinya hampir semua IPA, maka persaingan pun ketat.
Sampai sanggup masuk pun belum tentu sukses, banyak referensi bawah umur yang dulu lulusan terbaik di Sekolah Menengan Atas nya, juara olimpiade sains dan sebagainya, namun tidak hingga sanggup lulus. Bukan alasannya bodoh, namun alasannya memang persaingan, lingkungan dan dosen yang ketat. Jangan heran bila kau yang kini paling terpelajar di SMA, nanti pernah tidak lulus satu atau dua mata kuliah dan harus mengulang.
Pesan saya, jangan masuk S-1 ITB, kalau memang tidak siap untuk bekerja keras.
Begitulah dongeng salah satu alumni ITB dan untuk alumni yang lain punya dongeng yang berbeda, kita tunggu goresan pena dari alumni universitas-univeritas [bukan hanya ITB] yang ada di Indonesia ini untuk generasi emas Indonesia.
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Bagaiamana kisah sukses Cristiano Ronaldo sanggup kita jadikan pelajaran yang berharga, mari kita simak;
EmoticonEmoticon