Rabu, 10 Mei 2017

Masalah-Masalah Etika Terapan Dan Tantangannya


TERAPAN DAN TANTANGANNYA
BAGI ZAMAN KITA

Tugas Penelitian Mahasiswa Ini untuk Memenuhi
Persyaratan Perkuliahan Mata kuliah
Pengantar Kode Etik Psikologi








Kelompok 6:

Aulia Pratiwi                           168600107
Siti Resti Tri Ramahdani         168600163
Nurlailan                                 168600069
Siti Ramadhani                       168600097
Frans Panjaitan                        168600427




Fakultas Psikologi
Universitas Medan Area
Medan
2018

Kata Pengantar


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Masalah-Masalah Etika Terapan Dan Tantangannya Bagi Zaman Kita” tepat pada waktunya. Pada makalah ini penulis ingin memaparkan tentang Masalah Etika Terapan dan Tantangannya bagi zaman kita. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kode Etik Psikologi.
Kami menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.




   
                                                                                     Medan, 
27 April 2018

                                                     
                                                                        Penyusun   


Daftar Isi


Halaman Judul                                                                                    Halaman
Kata Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1  Latar Belakang................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3  Tujuan Penulisan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
2.1  Etika Sedang Naik Daun................................................................... 3
2.2  Beberapa Bidang Garapan bagi Etika Terapan.................................. 5
2.3  Etika Terapan dan Pendekatan Multidisipliner.................................. 6
2.4  Pentingnya Kasuistik......................................................................... 7
2.5  Kode Etik Profesi.............................................................................. 8
2.6  Etika di Depan Ilmu dan Teknologi................................................. 10
2.6.1        Ambivalensi Kemajuan Ilmiah............................................. 10
2.6.2        Masalah Bebas Nilai............................................................. 11
2.6.3        Teknologi Yang Tak Terkendali........................................... 12
2.6.4        Tanda-tanda yang Menimbulkan Harapan........................... 13
2.7  Model – model Memori Jangka Panjang.......................................... 14
2.7.1        Dari Sikap Awal menuju Refleksi........................................ 14
2.7.2        Informasi.............................................................................. 15
2.7.3        Normal-normal Moral........................................................... 15
2.7.4        Logika.................................................................................. 16
CONTOH STUDI KASUS............................................................................ 17
BAB III PENUTUP....................................................................................... 19
3.1  Kesimpulan...................................................................................... 19
3.2  Saran................................................................................................ 19
Daftar Pustaka................................................................................................ 20

PENDAHULUAN


Jika dipandang pada skala dunia, selama kira-kira tiga dawarsa terakhir ini wajah filsafat moral berubah cukup radikal. Tidak bisa disangkal, dalam situasi kita sekarang ini etika sedang naik daun. Hal itu terutama tampak dengan penampilannya sebagai etika terapan. Kadang-kadang disebut juga filsafat terapan. Namun sekarang dianggap biasa saja, jika etika membahas masalah-masalah yang sangat praktis, sedangkan sebelumnya ia justru agak segan menyinggung persoalan konkret dan aktual.
Aliran dalam filsafat moral ini menempatkan diri pada tahap lebih tinggi dari pada membahas masalah-masalah etis. Mereka tidak menyelidiki baik buruknya perbuatan-perbuatan manusia, melainkan mengarahkan segala perhatiannya kepada “bahasa moral” atau ungkapan-ungkapan kita tentang baik buruk.Di negara-negara berbahasa inggris metametika menjadi aliran filsafat moral yang dominan selama enam dekade pertama dalam abad ke-20. Baru pada akhir tahun 1960-an terlihat suatu tendensi lain. Sekitar saat itu etika mulai meminati masalah-masalah etis yang konkret. Dilihat secara retrospektif, bahwa perubahan ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pertama perkembangan pesat di bidang ilmu dan teknologi dan faktor kedua pada masyrakat 1960-an tercipta semacam “iklim moral” yang seolah-olah mengundang minat baru untuk etika.
Pentingnya etika terapan sekarang ini tampak juga karena tidak jarang jasa ahli etika diminta untuk mempelajari masalah-masalah yang berimplikasi moral. Hal itu terutama terjadi jika pemerintah suatu Negara ingin membuat peraturan hukum yang sedang berlaku. Gambaran tentang peranan dan kedudukan etika terapan yang diusahakan di atas tentu jauh dari lengkap. Tapi kiranya cukuplah untuk memperlihatkan bahwa dengan orientasi praktis ini etika sekarang tampak dalam cahaya baru. Dan tentu saja penampilan baru ini mempunyai konsekuensi juga untuk etika umum. Jika etika ini begitu disibukkan di bidang praktis, maka tidak bisa lain teori etika terkena juga. Terdapat pengaruh timbal balik antara etika teoritis dan etika terapan.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan  uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimana Masalah–Masalah Etika Terapan dan Tantangannya Bagi Zaman Kita?”

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Masalah-Masalah Etika Terapan dan Tantangannya Bagi Zaman Kita.

BAB II

PEMBAHASAN


2.1  Etika Sedang Naik Daun
JIKA dipandang pada skala dunia, selama kira-kira lima dasawarsa terakhir ini wajah filsafat moral berubah cukup radikal. Tidak bisa disangkal, dalam situasi kita sekarang ini etika sedang naik daun. Hal itu terutama tampak dengan penampilannya sebagai etika terapan (applied ethics), kadang-kandang juga disebut filsafat terapan (applied philosophy). Pada awal abad ke-20 etika diperaktekkan sebagai “metaetika”
Bagi metaetika pertanyaan pokok adalah:apa yang kita maksudkan, jika suatu perbuatan disebut baik atau buruk? Apa artinya kategori-kategori seperti “Baik”, “Buruk”, “Layak” dan sebagainya, bila dipakai dalam konteks etis? Kiranya sudah jelas, dengan pendekatan seperti itu mereka justru menjauhi aktualitas di bidang moral.
Pertama, perkembangan pesat di bilang ilmu dan teknologi menimbulkan banyak persoalan etis yang besar, khususnya dalam sektor ilmu-ilmu biomedis. Sebentar lagi dalam pasal 6 kita kembali pada faktor pertama ini. Kedua, dalam masyarakat tahun 1960-an tercipta semacam “Iklim moral” yang seolah-olah mengundang minat baru untuk etika.
Di Amerika Serikat pada waktu itu berlangsung puncak perjuangan civil rights (hak-hak warga negara), khususnya persamaan hak bagi golongan kulit hitam. Mulai di dunia Barat (Tapi tidak terbatas di situ) waktu itu terlihat gerakan kuat yang menuntut persamaan hak wanita. Pada akhir tahun 1960-an dan permulaan 1970-an terjadi juga “revolusi mahasiswa” di beberapa negara Barat, dengan salah satu puncaknya di Prancis Mei 1968. “Revolusi” itu bisa dilihat sebagai semacam perjuangan  gak juga, terutama hak mahasiswa untuk diikutsertakan dalam pengurusan universitas dengan diwakili dalam organ-organ yang menentukan kebijakan akademis.
Etika terapan merupakan suatu istilah baru, tapi sebetulnya yang dimaksudkan dengannya sama sekali bukan hal baru dalam sejarah filsafat moral. Sejak Plato dan Aristoteles sudah ditekankan bahwa etika merupakan filsafat praktis, artinya, filsafat yang ingin memberikan penyuluhan kepada tingkah laku manusia dengan memperlihatkan apa yang harus kita lakukan.
Sekarang filsafat moral – khususnya dalam bentuk etikat trapan – mengalami suatu rhasa kejayaan.
Di banyak tempat di seluruh dunia setiap tahun di adakan kongres dan seminar tentang masalah-masalah etis. Telah didirikan cukup  banyak institut, di dalam maupun di luar kalangan perguruan tinggi, yang khusus mempelajari persoalan-persoalan moral, kerap kali dalam kaitan dengan bidang ilmiah tertentu(ilmu kedokteran, hukum, ekonomi, bisnis, dan lain-lain).
Pentingnya etika terapan sekarang ini tempak juga karena tidak jarang jasa ahli etika diminta untuk mempalajari masalah-masalah yang berimplikasi moral. Terutama terjadi jika pemerintahan suatu nergara ingin membuat peraturan hukum tentang suatu masalah baru atau mengubah ketentuan hukum yang sedang berlaku.
Suatu contoh adalah kelompok kerja tentang p0rn*grafi dan sensor film yang dibentuk oleh Kementrian Dalam Negeri Inggris di bawah pimpinan filsuf kawakan Bernard Wiliams. Contoh yang barang kali menarik paling banyak perhatian adalam komisi yang didirikan oleh Kementrian kesehatan Inggris tentang masalah-masalah di sekitar pembuahan in vitro (atau poluernya bayi tabung).
Mempelajari masalah-masalah mengenai ilmu-ilmu biomedis: The National commission for the Protection of Human Subjects of Biomedical and Behavioral Research (1974-1978) dan The President’s Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research (1980-1983).
Pada taraf internasional pun sekarang diberi banyak perhatian kepada etika terapan, khususnya dalam rangka United Nations Educational, scientific, and Cultural Organization (Unesco) yang sudah didirikan tahub 1945. Untuk pertama kali Unesco mulai membidik etika ilmu dan teknologi, dan khususnya bioetika, dengan membentuk  International Bioethics Committe (IBC), suatu kelompok interdisipliner dan multikultural yang terdiri atas 36 pakar yang diangkat oleh Direktur Umum dan menghasilkan laporan tentang berbagai masalah etis yang aktual. Pada tahun 1998 dibentuk lagi Intergovernamental Bioetchis Committee (IGBC) yang juga terdiri atas 36 anggota yang dipilih oleh Konfrensi Umum dan mewakili negara mereka masing-masing. Mereka bertugas mempelajari laporan dan rekomendasi dari IBC untuk menentukan apakah hal itu bisa dijadikan pedoman yang diterima oleh semua negara anggota Unesco.
Di antara banyak dokumen tentang etika terapan yang dihasilkan oleh Unesco, terutama ada dua yang pantas disebut, Yang pertama adalah Universal Declaration on the Human Genome and Human Rights (1997). Tujuannya adalah menyajikan prinsip-prinsip dasat yang dapat mendampingi perkembangan pesat di bidang genetik dan aplikasinya dalam teknologi genetis. Yang kedua adalah Universal Decalaration on Bioethics and Human Rights (2005) yang mempunyai perspektif lebih luas dari genetik saja.
Tantangan-tantangan etika dalam konteks ilmu dan teknologi, pada akhir tahun 2005 Unesco meluncurkan proyek Global Ethics Observatory yang dapat diakses melalui internet (www.unesco.org/shs/ethics/geobs). Proyek ini menyajikan enam database. Tentang pakar-pakar di bidang etika di seluruh dunia, tentang institusi, pusat penelitian, himpunan profesi dan sebagainya yang berkecimpung dalam etika terapan pada taraf regional, nasional, atau internasional, tentang program pengajaran etika ilmu dan teknologi, tentang kode etik di bidang itu, dan terakhir tentang resources in ethics.
Gambaran tentang  peranan dan kedudukan etika terapan yang diusahakan di atas tentu jauh dari lengkap. Jika etika kini begitu disibukkan di bidang praktis, tidak bisa lain teori etika terkena juga. Terdapat pengaruh timbal balik antara etika teoretis dan etika terapan. Ia menggunakan prinsip-prinsip dan teori moral yang diharapkan sudah mempunyai dasar kukuh. Hal etika terapan tidak bisa diandalkan, kecuali teori etika yang ada di belakangnya berbobot dan bermutu. Kualitas etika terapan turut ditentukan oleh kualitas teori etika yang digunakannya.

2.2  Beberapa Bidang Garapan bagi Etika Terapan
Etika terapan berbicara tentang apa? Banyak sekali topik dibahas di dalamnya. Untuk sekedar menciptakan kejernihan dalam kerumunan pokok pembicaraan itu dapat kita bedakan antara dua wilayah besar diselidiki dalam etika terapan.
Jika ditanyakan  yang mana dari cabang-cabang etika terapan ini mendapat paling banyak perhatian pada zaman kita sekarang, barangkali perlu disebut terutama empat cabang berikut ini, dua di antaranya menyangkut profesi dan dua lagi mengenai masalah: etika kedokteran, etika bisnis, etika tentang perang dan damai (Termasuk di dalamnya persenjataan nuklir), dan etika lingkungan hidup
Cara lain untuk membagikan etika terapan adalah membedakan antara makroetika dan mikroetika. Makroetika membahas masalah-masalah moral pada skala besar, artinya, masalah-masalah ini menyangkut suatu bangsa seluruhnya bahkan seluruh umat manusia.
Supaya klasifikasi cabang-cabang etika terapan ini agak lengkap, akhirnya dapat disebut lagi sebuah pembagian lain, biarpun relevasinya sekarang sering diragukan. Di sini etika individual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, sedangkan etika sosial memandang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat. Tapi kesulitan tentang pembagian ini adalah bahwa manusia perorangan pun merupakan anggota masyarakat. Dan rupanya tidak ada satu masalah pun yang bisa dilepaskan dari konteks sosialnya, sehingga pembagian ke dalam etika individual dan etika sosial kehilangan relevasinya.

2.3  Etika Terapan dan Pendekatan Multidispliner
Salah satu ciri khas etika terapan sekarang ini adalah kerja sama erat antara etika dan ilmu-ilmu lain. Etika terapan tidak bisa dijalankan dengan baik tanpa kerja sama itu, karena ia harus membentuk pertimbangan tentng bidang-bidang yang sama sekali diluar keahlianya. Di sini kita bisa membedakan antara pendekatan multidisipliner dan pendekatan interdispliner. Pendekatan multidispliner adalah usaha pembahasan tentang tema yang sama oleh berbagai ilmu, sehingga semua ilmu itu memberikan sumbangannya yang satu di samping yang lain. Misalnya, kita bisa membayangkan pembuatan buku tentang etika lingkungan hidup,dimana berbagai ahli memberi kontribusinya dari sudut pandang masing-masing. Ada ahli biokimia, ahli ekonomi, ahli masalah kependudukan, ahli meterelogi, dan ahli etika yang masing-masing menulis sebuah bab. Pendekatan interdisipliner adalah kerja sama antara beberapa ilmu tentang tema yang sama dengan maksud mencapai suatu pandangan terpadu. Pendekatan interdisipliner dijalankan dengan cara cara lintas disiplin.
Jean Bernard, biologi prancis terkemuka dan anggota akademi ilmu prancis, menulis buku bermutu tentang masalah-masalah etis di bidang ilmu-ilmu biomedis. Ditanah air kita sendiri seorang ketua ikatan Dokter indonesia pernah menulis buku tentang dampak teknologi bagi etika.

2.4  Pentingnya Kasuistik
Dengan kasuistik dimaksudkan usaha memecahkan kasus-kasus konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum jadi, kasuistik ini sejalan dengan maksud umum etika terapan. Tidak mengherankan bila dalam suasana etis yang menandai zaman kita sekarang, timbul minat baru untuk kasuistik. Jika kita memandang sejarah etika, kauistik mempunyai suatau tradisi panjang dan kaya yang sesbenarnya sudah dimulai dengan pengertian Aristoteles mengenai etika sabagai ilmu praktis. Karena sifatnya praktis, setiap uraian tentang etika dengan sendirinya disertai contoh-contoh mengenai situasi konkret. Tekanan pada contoh-contoh konkret yang sudah terlihat sejak permulaan sejarah etika itu mudah berkembang ke arah kasuistik. Tapi dalam perekmbanganya kasuistik sering mengalami naik turun. Zaman kejayaan kauistik disusul zaman kemunduran dan kecurigaan.
Uraian-uraian tentang etika terapan kerap kali disertai dengan pembahasankasus.salah satu cabang di mana kasuistik sekarang paling banyak dipergunakan adalah etika biomedis. Dalam buku pegangan dan majalah tentang etika biomedis sudah menjadi kebiasaan agak umum membicarakan kasus-kasus konkret. Malah beberapa buku diterbitkan yang diisi selurhnya dengan pembahasaan kasus,yang menarik ialah bahwa praktek kasuistik ini cocock sekali dengan bidang kedokteran itu sendiri. Suatu bidang lain dimana kasuistik sudah lama diprktekkan adalah hukum. Disitu juga ketentuan-ketentuan yang umum diterapkan pada kasus-kasuskonkret. Dan di situ pun situasi khusus si klien memainkan peranan penting. Dalam konteks kehakiman sering dibicarakan tentang faktor-fakor yang meringankan atau memberatkan. Suatu wilayah yang masih agak baru bagi kasuistik adalah bisnis, seperti cabang terapan itu sendiri masih sesuatu yang baru.
Mengapa kasuistik bisa menjadi cara yang paling begitu populer untuk menangani masalah-masalah moral? karena ternyata kasuistik diakui sebagai metode yang efisein untuk mencapai kesepakatan di bidang moral. Jika orang berangkat dari teori, jauh lebih sulit untuk sampai pada kesepakatan seperti itu.

2.5  Kode Etik Profesi
Kode etik sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah “Sumpah Hippokrates” yang bisa dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter. Hippokrates adalah dokter Yunani kuno yang digelari”bapak ilmu kedokteran”dan hidup dalam abad ke-5M.
Dalam konteks ini etika terapan memegang peranan penting.kode etik bisa dilihat sebagai produk etika terapan, sebab dihasilkan berkat penerapan pemikirang etis atas suatu wilayah tertentu,yaitu profesi. Tapi stelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi oleh refleksi etis. Kode etik bisa diubah juga atau dibuat baru, jika sbelumnya tidak ada setelah terjadi penyalahgunaan yang meresahkan masyarakat dan membingungkan profesi itu sendiri. Ini terbukti suatu cara ampuh untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat yang sedang tergoncang. Sebuah contoh konkret dapat menjelaskan maksudnya. Di beberapa negara hubungan anatara para dokter dan industri farmasi diatur dengan kode etik. Hal itu dianggap perlu, setelah dalam rangka promosi obat-obatan industri farmasi mulai memberikan hadiah kepada dokter (berupa tiket pesawat, laptop, dan sebagainya), bila ia mencantumkan obat tertentu dalam resep-resep yang ditulisnya bagi pasienya. Dari sudut etis, praktek seperti itu patut diragukan sebab, di satu pihak, jika mau berobat, pasienya tergantung pada dokter yang menulis resep.
Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diaasi terus-menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode. Kasus-kasus pelanggaran akan dinilai dan ditindak oleh suatu “dewan kehormatan” atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, sering kali kode etik berisikan juga ketentuan bahwa profesional berkewajiban melapor, bila ketahuan teman sejati melanggar kode etik.
Dengan adanya kode etik kepercayaan masyarakat, akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Dalam dekade-dekade terakhir ini timbulnya komputerisasi, misalnya bagi banyak profesi menciptakan suatu situasi baru yang menimbulkan implikasi-implikasi etis yang baru pula. Kode etik bisa diubah juga-atau dibuat baru, jika sebelumnya tidak ada-, setelah terjadi penyalahgunaan yang meresahkan masyarakat dan membingungkan profesi itu sendiri. Ini terbukti suatu cara ampuh untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat yang sedang tergoncang. Sebuah contoh konkret dapat menjelaskan maksudnya. Dibeberapa negara hubungan antara para dokter dan industri farmasi diatur dengan kode eti. Hal itu dianggap perlu, setelah dalam rangka promosi obat-obatan industri farmasi mulai memberikan hadiah kepada dokter (berupa tiket pesawat, laptop, dan sebagainya), bila ia mencantumkan obat tertentu dalam resep-resep yang ditulisnya bagi pasiennya. Dari sudut etis, praktek seperti itu patut diragukan. Sebab, di satu pihak, jika mau berobat, pasien tergantung pada dokter yang menulis resep. Pasien sendiri tidak tahu-menahu tentang obat dan seluk-beluknya. Di lain pihak, justru atas dasar profesinya dokter harus mengambil keputusan-juga dalam menulis resep-semata-mata demi kepentingan pasien dan bukan karena kepentingan lain. Adalah tidak etis, jika dokter mengambil keputusan demi keuntungan pribadi yang diperolehnya melalui industri farmasi. Dalam hal ini, pasien mudah dirugikan, karena obat yang satu itu agaknya lebih mahal dari obat lain, obat generik, umpamanya. Dalam kasus-kasus serupa itu kode etik sudah sering membuktikan kegunaannya dalam memberi arah moral yang betul kepada profesi dan menjamin kepercayaan masyarakat.
Supaya dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif, kalau didrop begitu saja dari atas- dari instansi pemerintah atau instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Tapi pembuatan itu sendiri harus dilakukan oleh profesi bersangkutan. Supaya bisa berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi hasil self-regulation (pengaturan diri) dari profesi.
Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksaannya diawasi terus-menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggaran kode. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, sering kali kode etik berisikan juga ketentuan bahwa profesional berkewajiban melapor, bila ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Sebagai contoh profesi yang mempunyai kebiasaan menyusun kode etik dapat disebut dokter perawat, petugas pelayanan kesehatan lainnya, pengacara, wartawan, insinyur, akuntan, perusahaan periklanan dan lain-lain.

2.6  Etika di Depan Ilmu dan Teknologi
Diantara faktor-faktor yang mengakibatkan suasana etis dizaman kita sekarang perkembangan pesat dan menakjubkan dibidang ilmu dan teknologi pasti mempunyai kedudukan penting. Dengan “ilmu” disini terutama dimaksudkan ilmu alam. Dan dengan “teknologi” dimengerti penerapan ilmu alam yang memungkinkan kita menguasai dan memanfaatkan daya-daya alam.

2.6.1        Ambivalensi Kemajuan Ilmiah
Pertama-tama perlu kita sadari bahwa kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya, disamping banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Berkat adanya ilmu dan teknologi manusia memperoleh banyak kemudahan dan kemajuan yang dulu malah tidak ditampilkan. Contoh yang tidak kalah penting adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang membuat hidup kita lebih berkualitas dan cukup drastis meningkatkan umur harapan hidup (life expectancy).
Mula-mula perkembangan ilmiah dan teknologi itu dinilai sebagai kemajuan belaka. Orang hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang terbuka luas bagi manusia. Ilmu dan teknologi dianggap sebagai kunci untuk memecahkan semua kesulitan yang mengganggu umat manusia. Kepercayaan akan kemajuan itu menjadi kentara sekali dalam pemikiran filsuf Perancis, Auguste Comte (1798-1857), yang memandang zaman ilmiah yang disebutnya “zaman positif”- sebagai puncak dan titik akhir seluruh sejarah. Ambivalent seluruh proses ilmiah-teknologis itu ada sehi positif ada juga segi negatif. Disamping kemajuan luar biasa, ditimbulkan juga banyak problem dan kesulitan baru. Tidak bisa dimungkiri, problem dan kesulitan ini sering mempunyai konotasi etis. Kesadaran akan aspek-aspek negatif yang melekat pada ilmu dan teknologi, mungkin belum pernah dirasakan begitu jelas dan meyakinkan seperti pada saat bom atom pertama dijatuhkan diatas kota Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dan tiga hari kemudian diatas kota Nagasaki. Yang dibawakan oleh ilmu dan teknologi modern bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan kehancuran, jika manusia tidak segera tahu membatasi diri.

2.6.2        Masalah Bebas Nilai
Dari yang dikatakan tadi kiranya sudah jelas bahwa terdapat hubungan dengan langsung antara ilmu dan pertimbangan moral. Ilmu dan moral tidak merupakan  dua kawasan yang sama sekali asing yang satu terhadap yang lain, tapi ada titik temu diantaranya. Pada saat-saat tertentu dalam pekembangannya ilmu dan teknologi bertemu dengan moral. Dengan itu kami sebenarnya sudah menjawab pertanyaan tentang hubungan antara ilmu dan nilai-nilai moral yang dikenal lebih baik dalam bentuk “apakah ilmu itu bebas nilai?”. Atas pertanyaan ini sekarang agak umum dijawab bahwa ilmu tidak asing terhadap nilai dan dalam arti itu ilmu tidak bebas nilai. Dulu banyak ilmuwan merasa segan mengakui bahwa ilmu itu tidak bebas nilai, karena mereka mengkhawatirkan dengan itu otonomi ilmu pengetahuan akan dirongrong.
Ilmu adalah otonom dalam mengembangkan metode dan prosedurnya, kini bisa diterima tanpa keberatan apapun. Tidak ada instansi lain yang berhak menyensor atau memerintahkan penelitian ilmiah. “Kami mencari kebenaran dan bukan sesuatu yang lain” sudah lama menjadi semboyan untuk banyak ilmuwan. Akan tetapi, ilmu dan terutama teknologi- sebagai penerapan ilmu teoritis- tercantum juga dalam suatu konteks lebih luas. Dan terutama karena alasan itulah ia berjumpa dengan nilai-nilai moral. Ilmu dan teknologi bergumul dengan peryanyaan “bagaimana” (bagaimana struktur materi, bagaimana caranya membuat mesin mobil yang irit bahan bakar dan banyak lagi). Teori ilmiah dan penerapannya dalam teknik memberi jawaban atas pertanyaan itu.

2.6.3        Teknologi yang Tak Terkendali?
Dalam refleksi filosofis tentang situasi zaman kita sudah beberapa kali dikemukakan bahwa perkembangan ilmu dan teknologi merupakan proses yang seakan-akan berlangsung secara otomatis, tak tergantung dari kemauan manusia. Keadaan ini bisa mengherankan, karena teknik sebenarnya dimulai untuk membantu manusia. Fungsinya pada dasarnya bersifat instrumental, artinya, menyediakan alat-alat bagi manusia. Teknik mula-mula dianggap memperpanjang fungsi-fungsi tubuh manusia: kaki (alat-alat transportasi), tangan (mesin-mesin, alat-alat besar), mata (film, televisi), telinga (radio, telepon) sampai dengan otak (komputer). Tapi apa yang dirancang sebagai sarana yang memungkinkan manusia untuk memperluas penguasaannya terhadap dunia ternyata menjadi sukar untuk dikuasai sendiri, malah kadang-kadang tidak bisa dikuasai. Martin Heidegger (1889-1976), filsuf jerman yang dalam hal ini barang kali mempunyai pandangan paling ekstrem, berpendapat bahwa teknik yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang mulai menguasai manusia sendiri. Proses ilmu dan teknologi berkembang otomatis tampaknya sering kali beralasan. Hal itu merupakan proses yang seolah-olah tak terhindarkan.
Masalah-masalah etis yang begitu berat meminta penanganan lebih menyeluruh. Dalam praktek kita lihat bahwa masalah-masalah etis yang ditimbulkan oleh ilmu dan teknologi ditangani dengan cara yang berbeda-beda. Masalah-masalah dibidang ilmu-ilmu biomedis biasanya ditangani oleh setiap negara, setelah diminta advis dari suatu komisi ahli (fertilisasi in vitro dan reproduksi artifisial pada umumnya, transplantasi organ tubuh, eksperimen dengan manusia, dan lain-lain), masalah-masalah persenjataan nuklir dan kimia diusahakan untuk diatur melalui perjanjian-perjanjian internasional. Masalah-masalah lingkungan hidup baru mulai dipikirkan: ada usaha pada taraf nasional, regional dan malah global, tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Biarpun perhatian untuk segi etis perkembangan ilmu dan teknologi memang ada, namun usaha pemikiran etis ketinggalan jauh dari usaha untuk memacu ilmu dan teknologi.

2.6.4        Tanda-tanda yang Menimbulkan Harapan
Pemikiran etis hanya menyusul perkembangan ilmiah-teknologis. Baru sesudah problem-problem etis timbul, etika sebagai ilmu mulai diikut sertakan. Refleksi etis tentang persenjataan nuklir baru dimulai, setelah bom atom pertama diledakkan. Refleksi etis tentang reproduksi artifisial baru dikembangkan, sesudah “bayi tabung” pertama telah lahir dan eksperimen-eksperimen sudah lama diadakan. Perkembangan ilmiah-teknologis selalu mendahului pemikiran etis. Yang ideal adalah bahwa pemikiran etis mendahului dan mengarahkan perkembangan ilmiah-teknologis, tapi cita-cita seperti itu rasanya masih mustahil untuk diwujudukan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa disini ada beberapa perkembangan yang menggembirakan dan dapat membesarkan hati. Salah satu diantaranya adalah munculnya komisi-komisi etika.
Suatu gejala lain yang menggembirakan adalah keikutsertaan etika dalam penelitian genetika tentang gen-gen manusia. Di Amerika Serikat pada tanggal 1 Oktober 1990 secara resmi dimulai proyek penelitian raksasa yang bertujuan mempelajari bentuk dan isi gen-gen manusia. Proyek yang diberi nama resmi The Human Genome Project ini memetakan dan menentukan runtutunan seluruh DNA genome manusia. Melalui proyek besar ini lokasi yang tepat dan runtunan nukleotide yang menyusun sekitar 3 biliun DNA genome manusia diketahui dan dikatalogkan. Pekerjaan besar ini dipimpin oleh National Center for Human Genome Research, yang selalu bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain dalam dan luar negeri. Pada tahun 2001 proyek ambisius ini akhirnya selesai dan selanjutnya aplikasi dalam genetika bisa dimulai yang berpotensi untuk mengubah wajah kedokteran pada masa depan.

2.7  Metode Etika Terapan
Dalam etika terapan, variasi  metode dan  variasi pendekatan pasti besar sekali. dalam etika terapan berapapun besarnya variasi yang dapat ditemui disini . sebenarnya empat unsur  ini  mewaarnai setiap pemikiran etis. Jadi, metode etika terapan sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada umumnya.
Sikap awal bisa ro atau kontra atau juga netral, malah bisa tak acuh, tapi-bagaimanapun-mula-mula sikap ini dalam keadaan belum direfleksikan. Pada mulaya kita belum berfikir mengapa kita bersikap demikian .misalnya di negara yang memproduksi senjata nuklir,hal itu diterima begitu saja oleh kebayakan  warga negara.dalam masyarakat yang agak tertutup kebiasaan bahwa orang tua memilih calon teman hidup bagi anaknya bisa berlangsung tampa kesulitan dan orang muda menerima saja tradisi itu.
Sikap awal ini terbentuk karena bermacam macam faktor yang memainkan peranan dalam hidup seorang manusia: pendidikan, kebudayaan, agama, pengalaman pribadi, media massa, watak seseorang, dll. Sikap awal itu menjadi promblematis, jika kita bertemu dengan orang yang mempunyai sikap lain dengan masalah yang sama.

2.7.1        Dari Sikap Awal menuju Refleksi
Dalam usaha membentuk suatu pandangan beralasan tentang masalah etis apa pun, kita tidak pernah bertolak dari titik nol. Selalu ada sikap awal. Kita mulai dengan mengambil suatu sikap tertentu terhadap masalah bersangkutan. Demikian halnya juga dengan orang yang mulai menekuni etika terapan. Sikap moral ini bisa pro atau kontra atau juga netral, malah bisa tak acuh, tapi bagaimana pun mula-mula sikap ini dalam keadaan belum direfleksikan. Misalnya dinegara yang memproduksi senjata nuklir, hal itu diterima begitu saja oleh kebanyakan warna Negara.

2.7.2        Informasi
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang dibutuhkan adalah informasi. Hal itu terutama mendesak bagi masalah etis yang terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Bisa saja terjadi sikap awal yang pro atau kontra itu sebenarnya masih sangat emosional atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh faktor subjektif yang tidak sesuai dengan keadaan objektif. Misalnya, diskusi tentang penggunaan energi nuklir untuk membangkitkan listrik sangat dipengaruhi oleh segi-segi ekonomis. Dilihat dari sudut pandang ekonomi, energi nuklir adalah energi yang relatif murah dan karena itu menguntungkan. Itulah sebabnya mengapa segi lain seperti keamanan dan penyimpanan smpah nuklir diremehkan saja, supaya pertimbangan ekonomis bisa menang.

2.7.3        Norma-norma Moral
Unsur berikut dalam metode etika terapan adalah norma-norma moral moral yang relevan untuk topik atau bidang bersangkutan. Norma-norma moral itu sudah diterima dimasyarakat (jadi, tidak diciptakan untuk kesempatan ini). Tidak bisa disangkal, penerapan norma-norma moral ini merupakan unsur terpenting dalam metode etika terapan.
Penerapan norma-norma disini tidak berlangsung seperti penerapan prinsip-prinsip teori mekanika dalam teknik. Karena itu namanya “Etika Terapan” sebetulnya bisa menyesatkan dan ada etikawan yang tidak begitu senang dengan nama itu karena alasan tersebut. Tidak boleh diberi kesan seolah-olah norma sendiri sudah siap sedia dan tinggal diterapkan saja. Dalam penelitian etika terapan sering kali norma itu harus tampak dulu atau harus membuktikan diri sebagai norma. Norma bersangkutan harus diterima oleh semua orang sebagai berlaku untuk kasus atau bidang tertentu. Pembentukan penilaian moral sering dimulai oleh suatu kelompok kecil, misal, partai polotik atau lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan suatu pandangan etis tertentu. Melalui perjuangan yang sering kali panjang, pandangan mereka akhirnya diterima srbagai suatu pandangan etis yang berlaku bagi umum. Contoh: Penghapusan perbudakan. Dalam deklarasi universal tentang hak-hak asasi manusia (1948), perbudakan dalam bentuk apapun secara eksplisit ditolak.

2.7.4        Logika
Uraian yang diberikan dalam etika terapan harus bersifat logis juga. Ini tentu tidak merupakan tuntutan khusus bagi etika saja, sebab berlaku untuk setiap uraian yang mempunyai pretense rasional. Logika dapat memperlihatkan bagimana dalam suatu argumentasi tentang masalah moral perkaitan kesimpulan etis dengan premis-premisnya dan juga apakah penyimpulan itu tahan uji, jika diperiksa secara kritis menurut aturan-aturan logika. Logika dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan penalaran dan inkonsistensi yang barangkali terjadi dalam argumentasi. Logika juga memungkinkan untuk menilai definisi dan klasifikasi yang dipakai dalam argumentasi.





CONTOH STUDI KASUS

KECURANGAN DIDALAM PERUSAHAAN TELKOMSEL


Telkomsel Diduga Lakukan Manipulasi dalam Iklan Talkmania
Telkomsel diduga melakukan manipulasi dalam program “Talkmania” dengan tetap menarik pulsa pelanggan meski keutamaan dalam program itu tidak diberikan. Salah seorang warga Kota Medan, Mulyadi (37) di Medan, mengatakan, dalam iklannya, Telkomsel menjanjikan gratis menelepon ke sesama produk operator selular itu selama 5.400 detik (90 menit). Untuk mendapatkan layanan itu, pulsa pelanggan akan dikurangi Rp3 ribu setelah mendaftar melalui SMS “TM ON” yang dikirim ke nomor 8999 terlebih dulu. Namun, pelanggan sering merasa kecewa karena layanan itu selalu gagal dan hanya dijawab dengan pernyataan maaf disebabkan sistem di operator selular tersebut sedang sibuk serta disuruh mencoba lagi.Tapi pulsa pelanggan tetap dikurangi, dan apabila terus dicoba tetap juga gagal, sedangkan pulsa terus dikurangi, katanya.
Warga Kota Medan yang lain, Ulung (34) mengatakan, penggunaan layanan Talkmania yang diiklankan Telkomsel itu seperti “berjodi”. “Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang gagal, namun pulsa tetap ditarik,” katanya. Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Farid Wajdi, SH, MHum mengatakan, layanan iklan Telkomsel itu dapat dianggap manipulasi karena terjadinya “misleadding” atau perbedaan antara realisasi dengan janji. Pihaknya siap memfasilitasi dan melakukan pendampingan jika ada warga yang merasa dirugikan dan akan menggugat permasalahan itu secara hukum.Secara sekilas, kata Farid, permasalahan itu terlihat ringan karena hanya mengurangi pulsa telepon selular masyarakat sebesar Rp3 ribu. Namun jika kejadian itu dialami satu juta warga saja dari sekian puluh juta pelanggan Telkomsel, maka terdapat dana Rp3 miliar yang didapatkan operator selular itu dari praktik manipulasi iklan tersebut.
Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) perlu turun tangan menangani hal itu agar masyarakat tidak terus dirugikan.Apabila ditemukan bukti adanya praktik manipulasi itu, diharapkan Depkominfo dan BRTI menjatuhkan sanksi yang tegas agar perbuatan itu tidak terjadi lagi.Semua peristiwa itu terjadi karena iklan operator selular selama ini sering menjebak, saling menjatuhkan dan tidak memiliki aturan yang jelas, katanya.Humas Telkomsel Medan, Weni yang dikonfirmasi mengatakan, pihaknya akan melakukan pengecekan terhadap nomor pelanggan yang merasa dirugikan dalam layanan Talkmania tersebut. “Namun, Telkomsel telah ‘merefine’ atau mengembalikan kembali pulsa nomor-nomor handphone yang gagal itu,” katanya.




BAB III

PENUTUP


3.1  Kesimpulan         
Etika terapan dapat menyoroti suatu profesi atau suatu masalah. Sebagai contoh tentang etika terapan yang membahas profesi dapat disebut: etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, dan sebagainya. Di antara masalah-masalah yang dibahas oleh etika terapan dapat disebut: penggunaan senjata nuklir, pencemaran lingkungan hidup, diskriminasi dalam segala bentuknya (ras, agama, jenis kelamin, dan lain-lain) dan etika lingkungan hidup. Cara lain untuk membagikan etika terapan adalah membedakan antara makroetika dan mikroetika. Makroetika membahas masalah-masalah moral pada skala besar artinya, masalah-masalah ini menyangkut suatu bangsa seluruhnya atau bahkan seluruh umat manusia. Mikroetika membicarakan pertanyaan-pertanyaan etis di mana individu terlibat, seperti kewajiban dokter terhadap pasiennya atau kewajiban dokter terhadap kliennya (misalnya, kewajiban mengatakan yang benar, kewajiban menyimpan rahasia jabatan, dan sebagainya).

3.2  Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan antara lain adalah hendaknya bimbingan etika terapan dilakukan sejak dini melalui pendekatan keluarga, sehingga seorang anak setelah menginjak dewasa, sudah mempunyai bekal yang cukup. Seperti pembekalan bagaimana cara bersikap yang baik pada orang yang lebih tua serat unggah-ungguh yang sesuai dengan norma yang berlaku. Seorang anak hendaknya dimaksukkan pada suatu tempat yang dalam lingkup pembekalan rohani (seperti pengajian / TPQ) dan lain sebagainya agar lebih memantapkan bekal ilmu agama. Orang tua hendaknya selalu mengawasi pergaulan anak-anaknya, serta memilih mana teman yang baik untuk pergaulan dan mana teman yang diidentifikasi akan merusak etika dan moral buah hatinya. Pemerintah hendaknya mencanangkan program pendidikan nilai dan moral dalam sebuah kurikulum pendidikan, sehingga di lngkungan sekolah tidak hanya mengenyam pendidikan-pendidikan umum, namun juga mendapatkan pendidikan nilai dan moral. Hendaknya ada kerjasama baik antara keluarga, masyarakat dan pemerintah guna mencetak generasi masa depan yang lebih baik.

Daftar Pustaka

G. Maertens dkk., Bioetika. Refleksi Atas Masalah Etika Biomedis, Jakarta, Gramedia, 1990.
K. Bertens, Keprihatinan Moral. Telaah atas Masalah Etika, Yogyakarta, Kanisius, 2003




Sumber http://sitirestitriramahdani.blogspot.com


EmoticonEmoticon