Minggu, 07 Januari 2018

Bung Karno Penggali Dan Perumus Pancasila


Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), melaksanakan serangkaian sidang pada selesai bulan Mei 1945.  Ketua BPUPKI dr. Radjiman, ketika membuka sidang mengemukakan pertanyaan pada rapat :  

“Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangkit itu, apa dasarnya?”  

Pada umumnya anggota enggan menjawab pertanyaan tersebut, dan lebih menentukan eksklusif membicarakan soal Undang-Undang Dasar. Namun, seorang dari anggota tubuh tersebut menjawabnya, yakni Bung Karno, dalam bentuk pidato pada tanggal 1 Juni 1945, dengan judul Pancasila, atau lima sila.

Bung Karno memberikan lima dasar (sila) yang diusulkannya yaitu : pertama, nasionalsme atau kebangsaan, tapi bukan nasional-isme sempit atau chauvinisme.  Nasionalisme Indonesia ialah nasionalisme yang berperikemanusiaan yang memandang seluruh bangsa memiliki kesamaan harkat dan martabat. Untuk itu, kebangsaan haruslah disertai dengan sila kedua yakni internasionalisme atau perikemanusiaan. Bertolak dari kesamaan derajat dan martabat kemanusiaan, maka setiap warga masyarakat harus bebas dari penjajahan dan feodalisme.  Dengan demikian, kedaulatan harus berada di tangan rakyat bangsa sendiri, sehingga sila ketiga ialah mufakat atau demokrasi. Tujuan dari negara ialah mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat sejahtera yang berkeadilan.  Maka jadilah kesejahteraan sosial sebagai dasar keempat.  Semua dasar negara tersebut, baik sebagai landasan maupun sebagai tujuan negara, ialah diabdikan oleh bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan masing-masing agama.  Dengan kata lain, semuanya bermuara pada kepasrahan kepada Tuhan YME dengan mengharapkan ridah-Nya terhadap bangsa Indonesia. Dengan demikian, jadilah Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila kelima, yang menjadi sumber sekaligus tujuan selesai dari segalanya.

Merespon pandangan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 itu, sebuah panitia kecil dibuat untuk merumuskan sistematika Pancasila Bung Karno, terdiri dari 8 orang yaitu : Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Oto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wahid Hasjim. Tetapi kemudian, Bung Karno membentuk Panitia sembilan yang komposisinya adalah: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. A. Maramis, Mr. A. Soebardjo, K.H. Wahid Hasjim, Abdulkahar Muzakkir, H.A. Salim, dan Abi Koesno Tjokrosoejoso. 

Jika dicermati dua komposisi kepanitian tersebut, dikaitkan dengan pergulatan antara ideologi Nasionalisme dan Islamisme yang berkembang selama sidang-sidang BPUPKI, maka tak salah jikalau dikatakan bahwa Bung Karno menginginkan keseimbangan antara wakil kaum Nasionalisme murni dan Islam Nasionalis.  Komposisi Panitia Delapan, hanya mendudukkan dua orang wakil Islam, yakni Ki Bagoe Hadikusumo dan K.H.Wahid Hasyim, sementara pada Panitia Sembilan, yang mewakili golongan Islam ada empat, yakni: K.H.Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H.Agus Salim dan Abi Kusno Tjokrosoejoso. Apresiasi Bung Karno terhadap wakil golongan Islam ini menjawab secara tegas tuduhan orang yang menyampaikan bahwa Bung Karno hanya memandang Islam sebelah mata.

Upaya Bung Karno menyeimbangkan wakil Nasionalis dan Islamis tersebut ialah manifestasi dari tekadnya untuk membela Islam dalam musyawarah dan mufakat.  

Bung Karno dalam pidatonya tgl 1 Juni 1945, telah menegaskan : “– tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan, hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan.”

Maka di bawah pimpinan Bung Karno, Panitia Sembilan bertugas secara khusus menetapkan sistematika Pancasila yang berbeda dengan susunan awal dalam pidato Bung Karno.  Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam pidato Bung Karno sebagai sila kelima, dijadikan sila pertama. Sila kedua yang dalam pidato Bung Karno disebut internasionalisme atau perikemanusiaan dirumuskan menjadi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.  Sila pertama dalam pidato Bung Karno disebut Kebangsaan Indonesia dirumuskan menjadi Persatuan Indonesia dan ditempatkan pada sila ketiga. Sila keempat, kerakyatan, menggantikan apa yang dalam rumusan Bung Kanro disebut mufakat atau demokrasi.  Sila kelima ialah keadilan sosial, sebagai rumusan dari prinsip kesejahteraan sosial berdasarkan Bung Karno.

Dalam pada itu, desakan untuk memberlakukan Islam sebagai dasar negara sangat besar, sehingga pada tanggal 22 Juni 1945, proposal tersebut diakomodir oleh Panitia Sembilan dengan menambahkan tujuh kata pada sila pertama, sehingga berbunyi: “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”. Rumusan ini lalu lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter).  Rencananya, rumusan tersebut akan dijadikan sebagai rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Namun, Piagam Jakarta ternyata menerima tantangan keras dari golongan nasionalis yang tetap menghendaki negara Indonesia berdasar pada prinsip kebangsaan.  Menurut mereka, tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta yakni: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, ialah bertentangan dengan keinginan kemerdekaan Indonesia yang diperjuangkan oleh segenap warga bangsa dengan latar belakang agama yang berbeda-beda.    Maka pada tanggal 18 Agustus 1945, atau sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Bung Karno, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar sidang untuk membicarakan kembali soal Piagam Jakarta, terutama setelah adanya penolakan dari komunitas non Muslim dari wilayah Timur Indonesia. 

Adalah Bung Hatta yang menandakan keprihatinannya atas efek negatif jikalau kata syariat Islam dalam Piagam Jakarta itu tetap dipertahankan sebagai dasar negara.  Beliau kesannya berhasil membujuk pendukung Piagam Jakarta, semoga kalimat yang berkonotasi syariat Islam, baik dalam Pancasila maupun dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, dicoret demi persatuan bangsa dan tegaknya negara proklamasi sebagai negara kebangsaan.

Atas kebesaran jiwa dan kenegarawanan para pemuka Islam ketika itu, maka sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menyepakati dihapusnya kata-kata ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari sila pertama Pancasila dan dari batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 digantikan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  

Maka rumusan Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus 1945 kembali menyerupai rumusan panitia sembilan sebelum Piagam Jakarta, yang ialah sebagai berikut :
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijak-sanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
  5. Keadilan Sosial bagi Selurh Rakyat Indonesia

Walaupun secara historis Pancasila ialah rumusan yang berasal dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, ia tidak pernah mau mengaku sebagai pencipta Pancasila.  Maka  bekerjsama tidak perlu ada penolakan Pancasila sebagai karya Soekarno, menyerupai yang sering disuarakan oleh politisi Muslim tertentu, alasannya ialah Bung Karno sendiri menolak untuk disebut sebagai pencipta Pancasila itu.

Namun, yang disayangkan ialah adanya lalu upaya dari pihak tertentu untuk mengaburkan jasa Bung Karno sebagai perumus Pancasila. Mereka pun berupaya melaksanakan de-Soekarnoisasi menyangkut lahirnya Pancasila.  Mereka tidak mengakui Pancasila 1 Juni, dan hanya mau mengakui Pancasila tanggal 18 Agustus 1945.  Bagi mereka, hari lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945, melainkan 18 Agustus 1945.  Mereka pun mencoba mengajukan dokumen yang menunjukkan bahwa rumusan Pancasila 1 Juni 1945, bukanlah monopoli Soekarno, alasannya ialah katanya ada pembicara lain yang memberikan hal yang sama atau menyerupai dengannya, yakni pidato Muhammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945.

Sebenarnya, jikalau mau jujur tanggal 18 Agustus bukanlah hari lahir Pancasila melainkan hari disahkannya menjadi dasar Negara.  Ibaratnya seorang bayi yang lahir  pada tanggal 1 Juni 1945, lalu di persaksikan secara resmi kepada keluarga dan tetangga sebagai anak yang sah pada hari “aqiqahnya” tanggal 18 Agustus 1945.  Postur sang “bayi” pada hari aqiqah tidak lagi persis sama ketika saat-saat ia dilahirkan semula. 

Demikian halnya Pancasila, ketika disahkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, tentulah redaksi dan sistematika-nya tidak sama persis dengan rumusan awal dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itu.

Adalah sangat masyhur bagi sejarawan bahwa seusai Bung Karno memberikan pidatonya di depan BPUPKI, maka Pimpinan sidang, Dr. Radjiman eksklusif menetapkan untuk membentuk Panitia Kecil (Panitia Delapan), dengan kiprah utama menyusun rumusan wacana Dasar Negara, dengan mengakibatkan pidato Bung Karno sebagai contoh utama.  

Mengapa harus dengan pidato Bung Karno, bukan yang lainnya?, 

alasannya ialah rumusan mengenai lima dasar negara di dalam pidato Bung Karno sangat konkret, begitupun uraian wacana masing-masing lima dasar itu sangat jelas, sehingga Panitia Kecil tinggal menyerasikan redaksi dan sistematikanya, sesuai janji para anggota.

Berbeda dengan penyampaian pembicara lainnya, yang kadang hanya mengemukakan secara pointer, atau klarifikasi yang berbelit-belit, sehingga substansi dasar negara yang diinginkan tidak sanggup dikonkretkan.

Memang ada satu dokumen pidato yang cukup panjang, diajukan oleh Mr. Muhammad Yamin, namun dokumen itu diragukan, alasannya ialah tidak terekam dalam Risalah Sidang BPUPKI yang otentik.  Dalam risalah BPUPKI yang otentik, ditandai dengan kertas resmi BPKUPKI yang bertuliskan “Dokuritu Zyunbi Tyoosakai”, bukan “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” (kendatipun Dokuritu dibaca Dokuritsu … … ), tidak ditemukan pidato M.Yamin, kecuali kerangka singkat saja. Dokumen Risalah BPUPKI yang otentik tersebut berasal dari Pringgodigdo Archief di Algemeen Rijksarchief Den Haag, yang kini tersimpan di Arsip Nasional Jakarta.  Dalam risalah otentik ini sekali lagi tak ada naskah pidato M. Yamin itu.  Andaikata dokmen pidato Muhammad Yamin itu pun orisinil (otentik), maka tidak pula akan menjadi materi utama bagi Panitia Kecil dalam permusan Pancasila, alasannya ialah pembahasannya tidak se kasatmata dengan isi pidato Bung Karno.

Jadi, baik berdasarkan dokumen-dokumen sejarah yang otentik, maupun dilihat dari proses perumusan menjelang hari kemerdekaan dan sehari setelah kemerdekaan, Pancasila untuk pertama kali disusun oleh Bung Karno sebagaimana disampaikan dalam pidatonya yang populer itu, pada tanggal 1 Juni 1945, dan ia pula yang memberinya nama “Pancasila”.  Maka semenjak dari proses lahirnya, lalu dicantumkannya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 hingga lalu keluarnya dekrit 5 Juli 1959, eksistensi Pancasila tak sanggup dipisahkan dari pribadi, fatwa dan langkah-langkah strategis yang ditempuh Bung Karno.  Atau tegasnya, Bung Karno lah penggali, perumus dan pengawal (penyelamat) Pancasila itu. Hal ini pun sejalan dengan wasiat Bung Hatta kepada Guntur Soekarno Putra yang turut disaksikan oleh Bung Hatta bahwa Pancasila dirumuskan dari pidato Bung Karno di hadapan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang berjudul Pancasila.

Hal yang menarik, di tengah gencar-gencarnya upaya de-Soekarnoisasi Pancasila di zaman Orde Baru, kesannya pemerintah bersama Dewan Nasional Angkatan 45 pada tanggal 10 Januari 1975 membentuk Panitia Lima yang terdiri atas Bung Hatta, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Soenario, dan Abdul Gafar Pringgodigdo, untuk meneliti asal undangan bekerjsama Pancasila.  Sangat mengharukan, Laporan Panitia Lima tersebut wacana asal undangan Pancasila yang disampaikan kepada Presiden Soeharto dengan sebuah delegasi yang dipimpin oleh Jenderal Soerono pada tanggal 23 Juni 1975, tetap menegaskan bahwa asal-usul Pancasila berawal dari Pidato Bung Karno di depan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.  

Subhanallah, kebenaran tak sanggup disembunyikan.   Merdeka… !!!

Sumber http://hasdukmerahputih.blogspot.com


EmoticonEmoticon