Sabtu, 20 Januari 2018

Pengesahan Surat Kuasa Khusus Somasi Pengadilan

Pengesahan terhadap surat kuasa khusus yaitu dibawah tangan diharapkan guna memberi kepastian aturan kepada hakim wacana kebenaran surat kuasa khusus yang dibentuk oleh pencari keadilan untuk keperluan persidangan. Hal ini sejalan dengan yurisprudensi MA RI Nomor: 3038 K/Pdt/1981, tanggal 18 September1986. Tugas dan pekerjaan dari seorang notaris tidak hanya menciptakan sertifikat autentik tetapi juga melaksanakan registrasi dan ratifikasi akta-akta yang dibentuk di bawah tangan (Legalisasi dan Waarmerking), memperlihatkan nasehat aturan dan klarifikasi undang-undang kepada para pihak yang membuatnya dan menciptakan sertifikat pendirian dan perubahan Perseroan Terbatas di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Legalisasi merupakan ratifikasi sertifikat di bawah tangan yang dibacakan oleh notaris dan ditanda tangani oleh penghadap dimuka notaris pada waktu itu juga untuk menjamin kepastian tanggal dari sertifikat yang bersangkutan. Dimana para penghadap yang mencantumkan tanda tangannya itu dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris. Mengenai ratifikasi Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan: “Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat surat urusan rumah tangga dan lain-lain goresan pena yang dibentuk tanpa perantaraan seorang pegawai umum.

Terkait dengan rujukan masalah dalam goresan pena ini yang terjadi pada surat kuasa khusus yang dibentuk di hadapan Notaris Niken Sukmawati, S.H., M.Kn. Notaris di Blora pada tanggal 25 Agustus 2008 dengan bukti dilegalisir dengan No.04/Leg/2008. Mahkamah Agung dalam putusannya bernomor: 1040 K/Pdt/2010, menyatakan bahwa cap jempol yang dibubuhkan dalam surat kuasa termohon buta karakter yang telah dilegalisasi oleh notaris tersebut dinyatakan tidak sah. Sedangkan pada persidangan masalah berbeda di tahun 2008, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 9 K/Pdt/2008 surat kuasa oleh pemberi kuasa buta karakter yang hanya di-warmerking dianggap sah dan tidak cacat hukum. Ketidak pastian ini tentu harus dipertegas dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga para penegak aturan kita khususnya para hakim dimanapun mereka bertugas mempunyai perilaku yang sama, demikian pula dengan pertanggungjawaban notaris terhadap kliennya. Keabsahan sebuah surat kuasa khusus yang dicap jempol oleh penghadap buta karakter mestinya dilegalisasi oleh notaris atau pejabat yang berwenang lainnya.

Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusannya bernomor 1040 K/Pdt/2010, wacana Pembatalan Putusan Pengadilan Tinggi Blora Nomor 207/Pdt/2009/PT.Smg yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor 24/Pdt.G/2008/PN.Bla. yaitu sebagai berikut :

  1. Bahwa ratifikasi yang dilakukan hanya sekedar menunjukan isi dan maksudnya kepada pemberi kuasa dan akseptor kuasa; bahwa tidak ada suatu keterangan, khususnya dari pemberi kuasa, apakah benar telah mengetahui dan mengerti serta memahami apa yang telah diterangkan atau dijelaskan isi dan maksud dari surat kuasa termaksud oleh Notaris selaku pejabat yang melegalisasi surat kuasa tersebut dan yang memperlihatkan persetujuan atas surat kuasa tersebut. Atau tanpa menanyakan kepada masing-masing pihak apakah para pihak sudah mengerti dan memahami serta menyetujui wacana isi dan maksud surat kuasa tersebut.
  2. Bahwa dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan pertimbangan aturan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blora menyatakan bahwa dengan telah dibubuhkannya cap jempol oleh Penggugat Terbanding Termohon Kasasi, maka Penggugat Terbanding Termohon Kasasi dianggap telah memahami isi dan maksud dari pinjaman Surat Kuasa Khusus kepada akseptor kuasa. Bahwa pendapat dan pertimbangan menyerupai tersebut di atas yaitu keliru dan terlalu sumir, alasannya yaitu keabsahan surat kuasa semacam itu harus dijelaskan dan diterangkan oleh Notaris, surat apa yang dibubuhi cap jempol itu. 
  3.  Bahwa selain itu, Majelis Hakim Tingkat Banding dan Majelis Hakim Tingkat Pertama ternyata juga tidak memahami istilah “legalisir” dengan legalisasi; bahwa 2 (dua) istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda dan tentu saja mempunyai jawaban aturan yang berbeda pula; bahwa hal tersebut ternyata dalam pertimbangan aturan putusan pengadilan Negeri Blora a quo pada halaman 18 yang berbunyi sebagai berikut:
Menimbang, bahwa mengenai eksepsi kuasa para tergugat wacana surat kuasa penggugat tertanggal 23 Agustus 2008 cacat aturan dan tidak sah maka dalam hal ini Majelis beropini bahwa dengan dibuatnya Surat Kuasa di hadapan Notaris Niken Sukmawati, S.H., Mkn., Notaris di Blora pada tanggal 25 Agustus 2008 dan dilegalisir dengan No.04/Leg/2008, dimana sebelum Surat Kuasa tersebut dilegalisir; Bahwa pertimbangan aturan yang menyatakan bahwa surat kuasa dari nyonya Parinah (ic. Penggugat Terbanding Termohon Kasasi) tersebut hanya dilegalisir saja, justru telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 123 HIR jo Pasal 147 ayat (3) R.Bg. jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 1959 tertanggal Januari 1959 wacana Pengesahan Cap Jempol jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik No. 10 Tahun 1964 tertanggal 30 April 1964 wacana Pasal 147 ayat (3) Rechtsreglement Buitengewesten yang telah secara tegas mengatur bahwa Surat Kuasa dari seorang yang buta karakter atau tidak sanggup membaca dan menulis harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang/ Notaris (ic.Notaris menunjukan atau menjelaskan isi dan maksud dari Surat Kuasa termaksud kepada para pihak, teristimewa pada pemberi kuasa/ nyonya Parinah yang nota bene yaitu seorang yang buta karakter atau tidak sanggup membaca dan menulis), tidak cukup hanya sekedar dilegalisir saja; Bahwa dengan demikian, maka pertimbangan aturan yang diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blora tersebut yaitu bertentangan dengan aturan dan berakibat pada ama putusan yang cacat hukum. 

Menurut penulis, kalau ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih berpengaruh Legalisasi daripada Register (waarmerking). Dalam hal surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda angan sebaiknya dilegalisasi bukan di warmerking, alasannya yaitu dengan ratifikasi notaris mengetahui secara niscaya kapan surat kuasa khusus tersebut disetujui oleh kedua belah pihak dengan kata lain pada dikala surat itu dibubuhi dengan cap jempol atau ditanda tangani notaris secara eksklusif menyaksikannya. Selain disaksikan, Notaris juga menunjukan kepada pihak penghadap isi dan maksud dari surat kuasa tersebut.

Ketentuan mengenai ratifikasi pembubuhan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan tidak diatur dengan tegas dalam UUJN sehingga ratifikasi yang dilakukan antara notaris yang satu dengan yang lain berbeda. Kenyataannya surat kuasa khusus yang disahkannya menjadi cacat hukum. Hal ini tentu sangat merugikan bagi pihak yang ingin membubuhkan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, kalau surat kuasa khusus gugatannya di pengadilan terhadap suatu kasus dipermasalahkan. Pengesahan yang cacat aturan berakibat pada penghapusan keputusan Hakim terdahulu, hal inilah yang perlu menjadi perhatian sehingga masyarakat yang memerlukan jasa notaris mendapat kepastian hukum. Ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata dan yurisprudensi wacana pemakaian cap jempol sudah semestinya dituangkan dengan terang dalam UUJN sehingga mengakibatkan aliran yang niscaya bagi notaris dalam menerapkan kewenangan yang dimilikinya.

Sumber http://belajarilmukomputerdaninternet.blogspot.com


EmoticonEmoticon