Minggu, 11 Maret 2018

Lovely Maid Part 17



 LOVELY MAID PART 17



Ify celingak-celiunguk mencari ketiga sahabatnya. Bola mata indah milik gadis itu menatap jam yang melekat di dinding berwarna putih di depan kelasnya. Yeah, lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Tapi… ketiga sahabatnya belum ada yang tiba satu pun. Kenapa sih???!!!!

Apa mereka bertiga nggak ke sekolah?? Atau mereka bertiga terlambat?? Atau uang mereka habis dan nggak bisa naik kendaraan umum?? Atau mereka dicegat preman di jalanan?? Tapi kan, itu nggak mungkin, alasannya tempat preman di akrab rumah itu temannya Agni. Nggak mungkinkan Agni di ganggu temannya sendiri?? Jadi… ketiga sahabatnya itu kenapa??

TEEEEETTTTTTTT…… TEEEEEETTTTTTT…….

Ify menghela napas sejenak, diliriknya lagi jam di dinding, kini sudah bel masuk dan ketiga sahabatnya benar-benar nggak masuk sekolah. Andai saja… andai saja mereka punya alat komunikasi. Minimal dua deh, dirinya satu –karena terpisah tempat tinggal- dan Via, Agni, dan Shilla pegang satu. Makara kan kalau kayak gini bisa tahu kabar masing-masing. Huh… derita orang miskin nih.

“Lo kenapa, Fy?” tanya Acha yang duduk di dingklik kosong di sebelah Ify, tentu saja itu bangkunya Via.

“Eh elo, Cha. Via, Agni, dan Shilla nggak masuk kayaknya. Gue resah di mana mereka,” jawab Ify sembari mengeluarkan buku pelajaran fisikanya.

Dahi Acha berlipat. Setahu Acha, rumah Agni, Via, Shilla, dan Ify itu akrab banget. Berada di satu kapling tanah. Masa sih Ify nggak tau??

“Bukannya rumah elo dekatan sama mereka?” tanya Acha heran.

“Iya sih, Cha. Tapi, gue lagi nggak tinggal di rumah gue. Gue tinggal di rumah tempat gue kerja. Makanya nggak tahu kabar mereka.” Ify menjawab dengan bola mata yang sekali-kali melirik ke arah pintu. Berharap ketiga sahabatnya akan memasuki kelas ini dengan berlari-lari, takut terlambat.

“Selamat pagi anak-anak,” sapa Pak Duta yang tiba-tiba sudah berdiri di depan kelas.

Acha menepuk pundak Ify pelan, mencoba memberi semangat dan menyakinkan Ify kalau ketiga sahabatnya bakalan baik-baik saja. Lalu gadis itu berdiri dan berjalan menuju bangkunya sendiri di barisan ujung akrab jendela.

“Nanti gue bakalan ke rumah,” gumam Ify dan kembali focus pada pelajaran pagi ini.

“Buka buku panduan halaman 145. Hari ini kita akan berguru ihwal alat optic,” ucap Pak Duta di depan kelas alih-alih membuka buku dan menyiapkan spidol untuk bawah umur yang bakalan menjadi korban pelajaran ia pagi ini.

*****************

“Pucatan lo, Yo. Kehujanan lagi?” tanya Gabriel sembari mengambil posisi duduk di depan Rio. Saat ini, ia, Rio, Alvin, dan Cakka sedang berada di kantin.

Rio mengangguk pendek dan melempar pandangannya ke seluruh penjuru kantin. “Kok nggak ada. Apa belum keluar?” batin Rio. Dia benar-benar ingin melihat orang itu. Sejak kemarin… semenjak ia… ah ntahlah… pokoknya Rio ingin melihat orang itu.

“Eh, hari ini kita latihan untuk lomba?” tanya Alvin. Jemari-jemari tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja secara bergantian.

“Kalau gue sih, mau latihan bisa-bisa aja. Tapi, hari ini gue belum melihat empat miskin itu berkeliaran di sekolah kita,” ujar Cakka.

“Mereka punya nama, Kka. Via, Agni, Shilla, dan Ify,” tegur Alvin dan menatap sekeliling kantin.

Alis kanan Gabriel terangkat ke atas. Ia menatap Alvin dengan bingung. “Dari kemarin gue perahatiin, elo lebih care sama mereka, Vin. Awal-awalnya elo yang paling anti sama mereka.”

Alvin tidak menanggapi sama sekali. Masa ndeso dengan komentar yang gres saja Gabriel katakan. Tidak selamanya ia harus membenci keempat adik kelasnya hanya alasannya sakit hatinya di masa lalu. Mereka berempat tidak salah dan ia tidak harus membenci mereka.

“Mampus!!!” keluh Rio kesal sembari melihat pintu masuk kantin sebentar kemudian buru-buru mengalihkan pandangannya lagi.

“Apaan yang mampus sih, Yo?” tanya Cakka ingin tahu.

“Kalo bukan mampus apalagi, gue bener-bener nggak mau ketemu Dea sama teman-temannya dan kini lo lihat,” Rio menunju ke arah pintu kantin, “mereka niscaya tiba ke meja kita,” lanjut Rio dan buru-buru berdiri dari posisi duduknya. “Gue duluan,” ucap Rio pendek dan meninggalkan mejanya menuju pintu keluar kantin.

“Dia kenapa sih?” tanya Alvin.

Cakka dan Gabriel hanya mengangkat pundak yang mengambarkan tidak tahu menahu.

*************

Rio tidak tahu harus ke mana untuk menghabiskan waktu istirahat pertama ini. Duduk-duduk di kelas ia niscaya akan bosan. Nongkrong di kantin bersama ketiga sahabatnya itu juga malas ia lakukan alasannya di sana ada Dea. Rio males bertemu dengan gadis itu. Dan dia heran, adik kelas Pinky kesayangannya ada di mana sekarang? Tumben-tumbennya tidak beredar.

Langkah-langkah kakinya membawa Rio menuju area taman belakang. Daerah itu memang sering sepi karena jauh dari kantin, lapangan, dan hanya akrab dengan jalan raya. Namun, satu hal yang Rio sukai dari tempat ini. Udaranya sangat sejuk dan ia akan merasa hening meskipun deru bunyi kendaraan beroda empat terdengar yang untuk kebanyakan orang mengganggu. Dan untuk dirinya, hal itu yakni kebalikannya.

Rio menatap pohon akasia besar yang menjadi pohon utama pemberi kesegaran di taman belakang ini. Rio tidak tertarik dengan dingklik semen yang sengaja dibentuk untuk memberi kenyaman kepada pengunjung taman. Ia tidak tertarik sama sekali. Ia hanya menyukai dan tertarik dengan pohon akasia renta serta segala kesejukannya. Ia sangat suka berbaring ataupun bersender pada pohon itu sendiri.

Terkejut. Itu yang Rio rasakan dikala melihat ehem... adik kelas Pinky-nya. Bersender di pohon akasia dengan kaki terjulur ke depan. Rambut gelombangnya yang ia biarkan tergerai sedikit berterbangan tertiup angin yang berhembus pelan. Tapi tunggu dulu... Dahi Rio berkerut samar. Ini tidak biasanya. Ada apa?

“Lo kenapa, Pinky?” tanya Rio yang ternyata sudah duduk di sebelah Ify.

Mata Ify terpejam sejenak kemudia terbuka kembali dan bersamaan dengan itu ia menoleh ke kanan. Tepat ke arah seseorang yang bertanya kepadanya tadi. “Kenapa lo di sini?” tanya Ify jutek.

Rio mengulum senyum. “Karena lo di sini, Pink!!!”

Ify mencibir. “Nama gue itu Alyssa Saufika Umari. Biasa dipanggil Ify. Kalo lo males manggil gue Ify, lo bisa panggil gue Alyss, Lyssa, Al, atau Fika. Nggak boleh Pink atau Pinky. Itu bukan nama gue tauuuuuu!!!!!”

Rio tertawa. “Terserah gue dong. Gue ini tuan lo. Inget, Maid??” ujar Rio dengan angkuhnya. “Lagian, manggil elo Alyss itu, serasa gue ngomong sama alis mata. Lyssa?? Nggak cocok!! Kalo Al, itu kayak manggil Alvin. Fika?? Emang lo pikacu!!!”

Ify tergiur dengan watu yang ukurannya cukup besar dan berada tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk sekarang. Ia tergiur untuk meleparkan watu itu sempurna di kepala abang kelasnya sekaligus tuannya ini.

“Terserah Rio-sama!!!” sambar Ify kesal.

Heran. “Rio-sama??” tanya Rio.

“Biar lo merasa lebih menyerupai tuan muda dengan pangkat tinggi setinggi langit ke tujuh?? Atau kurang dengan panggilan tersebut?? Mau gue tambahin??” Ify terlihat berpikir kemudian ia menjentikkan jarinya. “Gue tau panggilan untuk Tuan Muda Rio, Tuan Muda Prince Rio-Sama bin King binti Kong so King....”

Rio menempelkan jari telunjuknya sempurna di bibir Ify dan tentu saja menciptakan Ify eksklusif terdiam. “Lo banyaomong banget sih, Pinky,” gerutu Rio. “Awalnya boleh sih elo manggilnya bagus-bagus banget ujung-ujungnya kingkong. Lo pikir gue kingkong!!!!!” Rio menatap Ify kesal.

Ify meraih pergelangan tangan kanan Rio kemudian segera menghempaskannya. “Lo sih, Kak Rio, menyerupai kingkong. Malah menyerupai banget. Rio Ketua OSIS MESUM sang Kingkong. Kerenkan!!!!” seru Ify lengkap dengan cengirannya.

Kalo bukan alasannya cengiran lo yang lucu itu dan juga lo manggil gue Kak Rio, niscaya bakalan gue bejek-bejek juga lo, Pinky. Masa iya gue disamain dengan kingkong ditambah mesum pula, batin Rio kesal.

“Gue duluan ya, Tuan Muda Rio-sama,” pamit Ify yang sudah berdiri dari posisi duduknya tadi.

Kata pamit yang diucapkan Ify menciptakan Rio tersadar dan tanpa ia sadari, dirinya sudah menarik pergelangan tangan Ify. “Kok lo pergi sih, Pinky?? Gue juga gres di sini.” Rio bertanya dengan raut mukanya kesal. Benaran aja ditinggal, batin Rio.

“Kan gue nggak nungguin elo Ketos Mesum. Gue juga nggak minta elo ke sini,” balas Ify.

“Gue di sini alasannya elo di sini. Kan gue udah jawab tadi. Masa sih lo mau ninggalin tuan muda lo. Temenin gue lah, Pinky. Gue males di kantin. Ada roh-roh bergentayangan.”

Alis Ify terangkat sebelah. “Roh?? Bergentayangan??” ulang Ify. Rio mengangguk. “Lo pikir kantin sekolah ada hantunya!!!!!!!!!”

“Oke, gue males ada Dea. Ngerti!!! Duduk gih.”

Ify mengangguk kemudian kembali duduk. “Dea kan pacar lo, Ketos Mesum. Masa iya lo males??? Gue nggak percaya nih. Alasan elo aja ya, kan?” selidik Ify dan alisnya naik turun.

Rio menatap Ify tajam. “Malem tadi udah gue bilangkan, Dea bukan pacar gue. Lo bebal banget sih, Fy!!! Harus berapa kali gue bilang sama lo??”

Melihat mata Rio yang menatapnya setajam silet yang gres saja di asah *emang ada?* menciptakan Ify mengangguk. “Iya, Dea bukan pacar Rio-sama,” beo Ify. Tatapan itu seram –mulai sekarang—menakutkan.

“Nah, ini gres maid tersayang gue. Gue mau tidur sekitar dua puluh menit. Lo jagain gue,” ucap Rio kemudian menyandarkan kepalanya di pundak Ify. Pemuda itu tampaknya tidak menyadari perubahan dari raut wajah gadis di sebelahnya ini.

“Maid tersayang?” batin Ify. “Maid tersayang? Lagi?” Ify terdiam. “Ini membingungkan!!!!!!”

**************

“Kita mau ke mana sih, Kak Ify?” tanya Ray yang berada dalam gendongan Ify. Yap, siang ini, sehabis Ify menjemput Ray, gadis itu tetapkan untuk pulang ke rumah. Rumah di sini, maksudnya rumah yang berada di kampung delima. Rumah sederhana dan kecil yang berada di akrab rumah sahabat-sahabatnya.

“Mau ke rumah Kak Ify.”

“Lrumah Kak Ify?” tanya Ray dengan nada bingungnya.

Ify mengangguk dan tangannya menghentikan angkot yang sudah berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Kampung delima, Pak,” ujar Ify. Pak Supir mengangguk dan Ify segera naik ke angkot.

“Kak Ify, kita mau ke lrumah Kak Ify?” tanya Ray lagi.

Ify tersenyum dan mengangguk. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Duduk di angkot yang penuh dan sesak ini bukan hal yang tidak biasa untuk Ify. Ia sudah sering, sungguh. Namun, kini ini ia membawa Ray. Dan mustahil ia sanggup menemukan tempat yang bisa menjadi tempat duduk Ray di dalam angkot yang penuh. Otomatis ia memangku Ray.

“Di kampung delima?”

Ify lagi-lagi mengangguk. “Iya, Ray sayang. Ke rumah Kak Ify. Ray nggak apa-apakan ke rumah Kak Ify?” tanya Ify.

Ray menengadakan kepalanya ke atas untuk melihat wajah Ify. Bocah pria itu mengangguk antusias. Ify tertawa dan mencium pipi tembem Ray. Lalu Ray tertawa.

Tiba-tiba bunyi tawa terdengar dari sekitar Ify. Ify melihat sekeliling dan merasa aneh dikala penumpang lainnya menatap ke arahnya sembari tertawa.

“Lucu ya, Neng, adiknya,” ucap seorang ibu-ibu.

Ify tersenyum. “Memang lucu, Bu, anak majikan saya ini,” timpal Ify.

“Lho Neng babysitter?” tanya seorang ibu-ibu yang mengenakan baju pegawai kantoran.

Ify mengangguk. “Iya, Bu. Untuk biaya sekolah kudu wajib kerja, hehe”

Ibu itu tersenyum bangga. “Terkadang hidup memang nggak semudah menyerupai yang kita bayangkan. Tapi, saya gembira dengan, Neng. Tidak menyerupai bawah umur lainnya. Diberi kemudahan, tapi sekolah disia-siakan. Tidak berpikir bagaimana ke depannya. Dikasih uang saku tinggi, tapi timbal baliknya tidak ada. Prestasi kosong.”

Ify tersenyum kecil. Dalam hati ia oke sekali dengan ibu ini. Apalagi di sekolahnya itu ada kelompok bawah umur yang hanya pamer kekayaan orang renta saja. Sok berkuasa. Dan yang terpenting, menghina kaum miskin menyerupai dirinya.

“Minggir, Pak,” ucap Ify. Lalu gadis itu pamit kepada ibu-ibu tadi dan mengangguk kepada penumpang angkot lainnya. “Ray berdiri dulu ya.”

Setelah Ify turun dari angkot, gadis itu meraih Ray dalam gendongannya dan kemudian membayar ongkos angkot.

“Kita udah sampai?”

“Belum. Ayo kita jalan,” ujar Ify kepada Ray yang mengangguk penuh minat.

************

Jadi di sinilah Ify sekarang. Rumahnya tidak berubah sama sekali. Tetap sama dengan dikala terakhir ia meninggalkannya. Ify melirik rumah sebelahnya dan pintunya tertutup. Ke mana Via? Batin Ify. Lalu ia melirik rumah Agni dan Shilla. Ah... untung saja rumah Agni pintunya terbuka. Kemudian dengan bergegas sambil membawa Ray ia menuju rumah Agni.

“Agni....” sapa Ify dikala ia berdiri di depan pintu rumah Agni dan mendapati pemilik rumah sedang nongkrongin tivi ajaibnya.

“Tumben lo ke sini, Fy?? Itu adiknya Ketua OSIS kita?” sambut Agni dengan pertanyaan. Ia segera berdiri ke depan pintu untuk menyambut Ify dan Ray. “Addduuhh... kawaiii banget!!” puji Agni dikala melihat Ray. Wajah Ray benar-benar imut dengan pipi tembemnya.

“Hehehe.... takut dia, Ag,” ujar Ify dikala ia mencicipi Ray memeluknya dengan erat. “Eh.... itu Via. Kok tiduran di sana?” Ify menunjuk kasur yang berada di sebelah Agni. Via numpang tidur lagi??

“Dia kena patah pinggang,” jawab Agni.

“Huuaaaapaaa??? Kok bisa??” Ify histeris. Memang apa yang terjadi tadi malam. Shilla ke mana lagi?? Ify berjalan mendekati tempat Via berbaring. Ia melepaskan Ray dari gendongannya dan mendudukannya di sebelah dirinya sendiri. “Vi... Via... Via...,” panggil Ify sambil menggoyangkan lengan Via.

Mata Via kemudian terbuka. “Ify?”

“Kata Agni lo patah pinggang, Vi. Itu beneran?” tanya Ify langsung.

Kontan Via melotot ke Agni. “Nggak, Fy. Bohong banget Agni. Orang Cuma jatuh dari atap rumah kok. Keseleo pinggang.”

“Beneran, Vi? Kok hingga nggak sekolah?”

“Gimana mau sekolah, Fy, gue kena flu, Via  keseleo pinggang, dan Agni pagi tadi kedinginan. Gila banget malem tadi. Beneran nggak mau keulang,” ucap Shilla yang muncul dari dapur rumah Agni sambil membawa bubur untuk dirinya sendiri. Jangan-jangan Shilla numpang masak?? Hhahaha...

“Memang apa yang terjadi tadi malem?” tanya Ify. Ia pengen tahu. Penasaran.

“Itu tadi malem....”

“Ada apa, Ray?” tanya Ify ke Ray dan menciptakan Agni berhenti menjawab pertanyaannya. Ify mencicipi Ray yang menarik-narik bajunya.

“Lray ngantuk Kak, Ify. Tidulr ya?” pinta Ray.

“Suruh tidur di kamarnya Agni deh, Fy,” ucap Shilla sambil melirik Ray. “Lucu banget!!!!” puji Shilla.

Ify mengangguk. “Sini gendong sama kakak,” ucap Ify sambil merentangkan tangannya. Lalu Ray menghampirinya dan memeluk lehernya sehingga Ify bisa membawa Ray ke gendongannya menuju kamar Agni.

Lima menit kemudian Ify sudah kembali lagi bersama sahabatnya. “Jadi gimana dongeng tadi malam??”

Jadi bergulirlah dongeng insiden tadi malam. Mulai dari hujan lebat yang menciptakan atap rumah Via hampir melayang. Via yang teriak-teriak bangunin Agni tapi malah Shilla yang bangun. Shilla yang teriakin Agni dan Agni berhasil dibangunkan. Agni yang masang paku ke atap rumah. Pake yang jatuh. Via mencari paku. Hingga alhasil Via nyungsep turun dari atap dengan sangat tidak elit-nya.

Hahahahaha.... Ify ketawa ngakak. Coba aja dia liat sendiri dengan mata kepalanya. Pasti asyik tuh, wkwkwkwk.... “Jadi siapa yang ngegendong Via ke rumah?? Via kan....” Ify melirik Via jahil “... paling berat di antara kita, hahahaha...,” ledek Ify. Kangen juga lama-lama nggak ngeledek Via.

“Gue ketiban sial, Fy. Gue memapah Via hingga ke rumah gue. Terus Shilla ribut amat sama payung, gue lempar deh payungnya. Makanya dia kena flu,” ujar Agni.

Shilla cemberut ke Agni. Kalau saja Agni nggak melempar payungnya niscaya dia nggak bakal kena flu. Agni mah yummy pake mantel. “Agni tuh, Fy. Gara-gara dia nih.” Shilla mengadu pada Ify dan hanya ditanggapi Ify dengan gelak tawa.

“Yeeeee elo, Shill. Yang salah itu rumahnya Via pake program mau melayang segala atapnya,” ujar Agni keki. Iya juga sih. Semua gara-gara atap yang mau melayang.

“Kok rumah gue??!!!” protes Via, tetapi tidak digubris oleh ketiga sahabatnya.

“Jadi... gimana di sekolah tadi?” tanya Agni.

Raut wajah Ify menjadi datar. “Sepi. Nggak ada kalian rasanya aneh,” jawab Ify lesu. Memang benar sih, di sekolah tadi Ify lebih sering sendirian, kecuali waktu jam istirahat. Sebab dikala itu Ify bersama Rio.

“Mereka masih menganggu?” tanya Shilla.

Ify menggeleng. “Nggak... nggak ada hari ini. Untung banget, tapi ada yang aneh.”

“ANEH???!!!!” seru Via. Sakit pinggang masih saja bisa heboh.

Mengangguk. Itulah yang Ify lakukan. “Iya aneh. Masa Ketua Osis Mesum itu datang-datang ngehampiri gue dan minta gue nemenin dia selama jam istirahat di akrab pohon akasia.”

Shilla, Via, dan Agni cengo mendengar apa yang Ify ucapkan. Secara Rio dan Ify yakni musuh turun-temurun semenjak masa orientasi sekolah. Beneran aja kaleee Rio minta Ify nemeninnya.

“Dan elo mau, Fy?”

Ify cemberut mendengar pertanyaan Shilla. “Jelas gue nggak mau, tapi...”

“Tapi apa???” tanya Via tak sabaran.

“Tapi dia maksa. Makara terpaksa deh gue ngebuang waktu istirahat gue sama si ketos mesum itu,” jawab Ify dan mukanya bete abis.

Hahahaha.... hahahaha..... tawa Shilla pecah tak bisa terbendung lagi. Gadis itu asyik sekali menertawakan Ify yang bete abis. “Haha.... lo jangan-jangan udah suka sama Kak Rio, Fy,” ledek Shilla.

Ify melengos. “Mana mungkin kali!!!!!” balas Ify.

“Udah deh... kita masak aja gimana?” seruan Agni.

Ify dan Shilla mengangguk setuju. “Ayo, Ag,” ucap Shilla yang sudah menuju dapur.

“Masak yang yummy ya!!! Gue mau tidur dulu!!!!” ucap Via dan cepat-cepat memejamkan mata.

“Dasar banget dia!!!” dengus Ify. Agni hanya tertawa, sedangkan Shilla ikutan mendengus. Pasti Via memanfaatkan banget sakitnya itu untuk bersantai sepuasnya dan menyuruh ketiga sahabatnya untuk membantunya mengambil sesuatu. Live like a Princess. Mungkin itu yang ada dipikiran Via yang kini lagi asyik membayangkannya dibalik kedua matanya yang akal-akalan terpejam itu. Dasar!!!! 



 Bersambung ke Part 18


Sumber http://sagita-shelly.blogspot.com


EmoticonEmoticon