Sambut hari gres dengan semangat dan kopi.
Catatan engineer abstrak kali ini membahas wacana h-index atau disebut juga Hirsch index. Bagi para peneliti dan dosen, tidak hanya di Indonesia, tapi di penjuru dunia, h-index dipakai untuk mengukur tingkat produktivitas dan efek publikasi penelitiannya. Metode ini diajukan oleh Jorge E. Hirsch seorang pakar fisika dari UC San Diego
Baik, kata kuncinya ialah produktivitas dan pengaruh, sehingga h-index berdanding lurus dengan keduanya. Seorang dosen dengan produktivitas publikasi yang tinggi belum tentu mempunyai h-index yang tinggi pula, perlu dilihat berapa banyak kutipan (citations) dari publikasinya.
Baiklah, ambil saja perkara ibarat berikut.
- Seorang dosen dengan h-index 1, maka ia minimal harus mempunyai 1 publikasi dan 1 kutipan.
- Seorang dosen dengan h-index 4, maka ia minimal harus mempunyai 4 publikasi dengan masing-masing mempunyai 4 kutipan (citations), sehingga minimal ia mempunyai 16 kutipan.
- Seorang dosen dengan h-index 20, paling tidak ia telah menghasilkan 20 karya publikasi ilmiah yang telah dikutip masing-masing sebanyak 20 kali, dengan demikian minimal karyanya telah dikutip sebanyak 400 kali.
- Seorang dosen dengan 1 publikasi namun mempunyai 10 kutipan, ia hanya mempunyai h-index 1. Ingat faktor produktivitas dan pengaruhnya.
- Dengan demikian dapat saja seorang dosen dengan jumlah kutipan yang lebih rendah mempunyai h-index yang lebih tinggi dibandingkan dosen lainnya dengan kutipan yang lebih banyak.
- Singkatnya, jikalau seorang dosen ingin mempunyai h-index sebanyak $n$, maka ia harus mempunyai $n$ buah karya publikasi, dengan masing masing dikutip sebanyak $n$ kali. Total kutipan minimal ialah $n^2$ kali.
Berikut ilustrasi, berapa jumlah kutipan (citations) untuk mencapai h-index tertentu.
Dengan sumbu x ialah jumlah publikasi, sumbu y jumlah kutipan paling sedikit yang diharapkan untuk mencapai h-index tertentu, dan sumbu z ialah h-index. Perlu diketahui bahwa h-index ini dianggap cukup penting, selain menjadi pujian beberapa jenis orang, h-index juga menjadi pertimbangan untuk pengajuan dana hibah penelitian. Tidak hanya itu, QS menciptakan ranking universitas di dunia, beberapa kriteria penilaiannya ialah jumlah publikasi, kutipan (citations) per fakultas, serta jumlah penulis yang terafiliasi dengan universitas tersebut.
Hal ini memicu beberapa peneliti dan dosen melaksanakan hal yang tidak terpuji, yakni manipulasi jumlah kutipan dengan self citations. Self citations intinya ialah mengutip hasil karya yang telah dipublikasikan oleh seorang dosen atau peneliti di karya publikasinya selanjutnya. Tentu saja publikasi yang dikutip harus sesuai atau merupakan lanjutan penelitian sebelumnya. Namun sayangnya, beberapa oknum dosen atau peneliti melaksanakan self citations yang berlebihan, terpicu h-index yang tinggi. Mereka melaksanakan self citations secara berlebihan, dan tidak jarang pula yang dikutip tidak terkait dengan karya publikasinya yang baru.
Melihat dari sisi lain, self citations juga terjadi ketika publisher suatu journal ilmiah memuat artikel yang mengutip artikel dari journal tersebut. Tidak salah jikalau dilakukan secara alami dan kaidah ilmiah, namun beberapa publisher ada yang 'memaksa' para penulis untuk setidaknya mengutip sejumlah artikel dari journal mereka.
Self citations bukan hal yang haram, itu masuk domain etis dari seorang peneliti. Hanya saja, jikalau ketamakan dan gengsi dibiarkan, hal itu akan merusak kaidah penelitian. Pada hakekatnya, ilmu pengetahuan harus bermanfaat dan memudahkan hidup umat manusia, bukan dipakai untuk ketamakan segelintir orang saja.
Catatan kali ini cukup abstrak dan sok bijak. Sumber http://lang8088.blogspot.com
EmoticonEmoticon