Sulit jikalau harus memulainya. Sebab goresan pena ini tertuju pada seseorang yang telah tiada. Namun inshaa Allah, goresan pena ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya.
Entah bagaimana melukiskan rasa sayang seorang anak kepada ayahanda tercinta. Berjuta bahkan tak terhingga undangan maaf dan ucapan terima kasih atas segala-galanya yang banyak dia korbankan untuk putri sulungnya ini.
Sekitar tiga bulan yang lalu.
Dua ahad menjelang wisuda, ayah memelukku bersahabat seraya berkata, "Ayah tampaknya tidak bisa menghadiri wisudamu, nak."
Deg! Hatiku rasanya remuk. Marah, sedih, kesal bercampur ketika itu. Aku memeluk ayah bersahabat dan berkata pelan menenangkan ayah, "Iya yah, gak apa-apa. Disana kan cuma mindahin tali doang. Ayah kan lagi sakit, jadi gak perlu susah untuk kesana. Nanti juga ayah bisa liat mimi pulang kerumah pakek toga."
Ayah menangis haru. Tak biasanya ia menangis menyerupai itu. Akupun tak kuasa menahan tangis melihat ayahku menyerupai itu.
Beberapa hari sehabis itu.. tangisanku pun menderas. Karena atas kehendak Allah, perkataan ayah ketika itu benar dan perkataanku pun tak bisa kutepati.
Ayah, engkau yaitu sosok teguh bagi kami. Empati yang kau ajarkan kepada anak-anakmu begitu mengena. Sikap tolerir terhadap sesama, disiplin dan sempurna waktu, harapan yang harus goal-oriented, kemandirian, dilarang mengeluh, memahami kondisi orang lain, telah banyak mengajarkan kami, sebagai anak-anakmu. Walaupun saya yaitu anak manja, keras kepala, gampang marah, dan aneka macam sikap-sikap ndeso yang mungkin sering menciptakan ayah sedih. Karakter ayah yang diktatorial seringkali membuatku tidak nyaman, meski sebetulnya ada sisi kepedulian dan rasa sayang yang tidak pernah saya sadari.
Ayah, tanpa sisi melankolis ayah, mungkin saya tidak akan terdidik sebagai anak yang terpacu untuk rajin dan bisa berprestasi. Bahkan saya masih ingat, sedari saya menginjak sekolah dasar, semua buku paket dan buku tulisku, ayah beri sampul plastik tebal dengan lipatan rapih.
Ayah, tanpa sisi koleris ayah, mungkin saya tidak sekuat dan setegar menyerupai ketika ini. Ayah selalu mengajarakan bagaimana menjadi sosok yang tegas dan mandiri, meskipun saya seorang anak perempuan. Dulu sewaktu kecil, mungkin ketika itu saya masih berumur 3 atau 4 tahun. Aku masih ingat, ayah sering mengajakku jalan-jalan di sekitar perumahan, ayah juga rutin mengajakku menikmati sudut kota yang indah, mengajarkanku banyak hal diumurku yang masih sangat muda. Aku juga masih ingat terperinci ketika saya bermasalah dengan temanku, ayah malah memarahi dan menasihatiku. Ayah bilang, "Ingat nak, mereka boleh bersikap jelek ke kau tapi kau harus tetap bersikap baik ke mereka." Bahkan di ahad terakhir ayah pun ayah mengulang perkataannya tersebut kepadaku guna mengingatkanku.
Ayah, seiring berjalannya waktu, saya akan terus berguru bagaimana menempatkan diri sebagai sosok yang berpengaruh dan bijaksana, bisa memahami diri serta orang lain. Terimakasih telah mengajariku bagaimana mengasihi buku dan menyukai menulis. Aku ingat, demi anaknya, sedari kecil ayah berlangganan majalah untukku. Ayah juga membelikanku kaset berseri-seri yang isinya perihal pembelajaran bahasa inggris. Terimakasih juga telah mengenalkan saya perihal 'dunia' komputermu. Melaluimu saya menemukan minatku, yah. Minat yang sama-sama kita sukai.
Masa kecilku senang kok yah, terimakasih telah memberiku banyak larangan ketika bermain. Aku menyadari bahwa larangan-larangan itu membuatku berguru untuk memanage diri disaat umurku beranjak dewasa.
Ayah, terimakasih sudah menjagaku selama ini. Terimakasih telah banyak membuka pandanganku perihal apapun. Tentang hidup yang pasang surut. Tentang bagaimana hidup sekedarnya, tidak boros, juga tidak pelit. Ayah juga mengajarkan bagaimana kesederhanaan itu. Aku tak perlu khawatir dengan cukup atau kurangnya materi, lantaran Allah-lah sebaik-baik Pemberi Kecukupan.
Ayah, sungguh, rasanya masih belum ingin melepaskan ayah. Tapi saya takut Pemilikmu dan Pemilikku murka kepadaku. Bukannya saya harus bersyukur lantaran Allah telah meminjamkanmu kepadaku untuk 21 tahun ini?
Ayah, kau akan tetap menjadi sebaik-baik lelaki yang pernah kutemui di dunia.
Dari anakmu yang cengeng, humoris sekaligus pemarah.
*****************************************
Sebagai epilog goresan pena ini, berikut yaitu sebuah hadist shahih mengenai amalan seorang anak untuk orang bau tanah yang telah tiada.
Dari Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, dia menceritakan, ‘Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba tiba seseorang dari Bani Salamah. Orang ini bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara bagiku untuk berbakti kepada orang tuaku sehabis mereka meninggal?’ Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نَعَمْ، الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا، وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِيفَاءٌ بِعُهُودِهِمَا مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِمَا، وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا
“Ya, menshalatkan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, memenuhi kesepakatan mereka sehabis mereka meninggal, memuliakan rekan mereka, dan menyambung silaturahmi yang terjalin lantaran karena keberadaan mereka.” (HR. Ahmad 16059, Abu Daud 5142, Ibn Majah 3664, dishahihkan oleh al-Hakim 7260 dan disetujui adz-Dzahabi).
Sumber http://ismimiitsme.blogspot.com
EmoticonEmoticon