Kamis, 23 November 2017

Sejarah Sabun, Bayangkan Jikalau Tidak Ada Sabun ..??

Sobat apa risikonya jika didunia ini tidak ada sabun niscaya amis tidak sedap sudah menyebar kemana-mana dari tubuh kita, sobat sekaran sabun sudah menjadi kebutuhan utama dalam kehidupuan dan kini pun jenis sabun sudah sangat aneka macam hingga galau memilihnya. kali ini kita akan membahas sejarah wacana perkembangan sabun sobat yuk kita simak.
Sobat apa risikonya jika didunia ini tidak ada sabun niscaya amis tidak sedap sudah menyebar ke Sejarah Sabun, Bayangkan jika tidak ada sabun ..??

            Berdasarkan gesekan yang terdapat di baskom gerabah peninggalan Babilonia, bahan-bahan yang terkandung dalam sabun diduga telah dimanfaatkan semenjak 2.800 SM. DalamPapirus Eber, dokumen kesehatan Mesir Kuno tahun 1.500 SM, masyarakat Mesir Kuno menggunakan kombinasi minyak hewani atau nabati dengan garam alkali –dikenal dengan istilah saponifikasi– untuk menyembuhkan penyakit kulit dan membersihkan badan.
Istilah saponifikasi diambil dari bahasa latin “sapo” yang artinya soap atau sabun. Sapo merupakan nama sebuah gunung –ada juga yang menyebutnya bukit– dalam legenda Romawi Kuno, yang biasa menjadi kawasan pemotongan binatang kurban dalam upacara. Ketika hujan, sisa-sisa lemak binatang itu tercampur debu kayu pembakaran dan mengalir ke Sungai Tiber di bawah gunung. Tak diduga, ketika masyarakat sekitar sungai mencuci, mereka mendapati air mengeluarkan busa dan pakaian mereka menjadi lebih bersih.
Pada kala ke-1 masyarakat Romawi Kuno melaksanakan saponifikasi dengan cara mereaksikan ammonium karbonat yang terdapat dalam air seni (urine) dengan minyak tumbuhan dan lemak hewan. Ada pekerja khusus yang mengumpulkan air seni (fullones) untuk dijual ke para pembuat sabun. Tapi gres pada kala ke-2 dokter Galen (130-200 SM) menyebutkan penggunaan sabun untuk membersihkan tubuh.
Ahamad Y. al-Hassan dan Donald Hill dalam bukunya Islamic Technology: An Illustrated History, menyebut Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, kimiawan Persia, sebagai peracik pertama ramuan sabun modern. Orang Arab membuat sabun dari minyak nabati atau minyak atsiri, contohnya minyak thymus. Sentra industri sabun berada di Kufah, Basrah, dan Nablus di Palestina. Sabunnya sudah berbentuk padat dan cair.
Masyarakat di Eropa Utara, pada kala pertengahan, gres mengenal sabun cair tapi baunya kurang enak. Pada kala ke-13 jenis sabun keras mulai diekspor ke Eropa. Teknologi pembuatan sabun juga ditransfer ke Italia dan Prancis selatan selama Renaissance. Di Inggris, ibarat ditulis John A. Hunt dalam “A Short History Soap”, dimuat di Pharmaceutical Journal, 1999, catatan Bristol Company of Soapmakers untuk tahun 1562-1642 memperlihatkan lebih dari 180 orang terlibat dalam bisnis sabun. Bisnis sabun menerima kawasan yang istimewa di Inggris. Pada 1622 Raja James menawarkan hak monopoli kepada seorang pembuat sabun dengan membayar imbalan $100.000 setahun.
Sekalipun sabun mulai dikenal, ia masih menjadi barang ajaib bagi sebagian masyarakat di Eropa Tengah. Menurut Alicia Alvrez dalam bukunya The Ladies′ Room Reader: The Ultimate Women′s Trivia Book, Di Jerman, Duchess of Juelich mencicipi sensasi luar biasa ketika menerima hadiah sekotak sabun dari sahabatnya pada 1549. Pada 1672, seorang Jerman berjulukan A. Leo harus menuliskan keterangan rinci cara penggunaannya ketika mengirimkan bingkisan hadiah berisi sabun kepada seorang puteri Prusia, Lady von Schleinitz.
Berbeda dengan Inggris, penguasa Perancis Raja Louis XIV justru bersikap keras kepada pembuat sabun. Sang raja pernah menghukum mati dengan pisau guillotin terhadap tiga orang pembuat sabun alasannya ialah membuat kulit sang raja iritasi. Takut ditimpa eksekusi yang sama, beberapa pembuat sabun berusaha lebih serius untuk membuat sabun berkualitas baik.
Revolusi industri yang berkembang di negeri-negeri Eropa pada kala ke-19 memperpesat industri sabun. Namun di beberapa negara, sabun masih dikenai pajak tinggi alasannya ialah tergolong barang mewah. “Kombinasi monopoli dan pajak khusus telah menghalangi pembangungan industri sabun” tulis Patricia E. Malcolmson dalamEnglish Laundresses: a Social History, 1850-1930. Pada 1852 Inggris dan Prancis menghilangkan pajak sabun untuk meningkatkan standar hidup higienis dan sehat masyarakat. Sabun pun menjadi komoditas sehari-hari yang sanggup dipakai masyarakat biasa.
Sebelum mengenal sabun, masyarakat di Nusantara biasanya mandi dengan menggosokan lempeng-lempeng kerikil halus untuk menyingkirkan kotoran di tubuh. Agar kulit harum dan halus, mereka menaburkan kuntum mawar, melati, kenanga, sirih, dan minyak zaitun dalam wadah penampungan air. Kebiasaan ini masih berlangsung hingga 1980-an, terutama di desa-desa. Bahkan ketika ini, sekalipun menggunakan sabun, ada yang merasa belum higienis tanpa menggosokkan kerikil ketika mandi.
Salah satu perusahaan yang memperkenalkan sabun produksi industri ialah Unilever, merger antara perusahaan asal Inggris, Lever Brothers, dan perusahaan asal Belanda, Margarine Urine. Produk sabun Unilever ialah Lifebuoy, Lux, Sweetmay, dan Capitol. Unilever membuka anak perusahaan di Jakarta pada 1931. Pesaingnya, P&G, produksi perusahaan Jerman, Dralle –yang pada 1940-an berubah nama menjadi Colibri dan diambil-alih Unilever.
Saat Perang Pasifik, Unilever diambil-alih militer Jepang untuk kepentingan perang. Ini membuat sabun jadi barang langka. Kalau pun ada, harganya melonjak. Untuk mengatasinya, pada 1943 otoritas Jepang mengeluarkan izin operasi kepada 94 perusahaan sabun: 11 untuk orang Indonesia, dan selebihnya Tionghoa. Tak satu pun izin untuk orang Eropa. Selain itu, militer Jepang menawarkan latihan cara membuat sabun biar rakyat sanggup hidup mandiri. Latihan itu diadakan di gudang Pusat Tenaga Rakyat (Putera) di Jalan Sunda 28 Jakarta. Selain untuk keperluan sehari-hari, rakyat yang telah jago membuat sabun biasanya menjual sabun hasil buatan mereka.
“Sabun yang materi dasarnya terbuat dari minyak kelapa, abu, kapur, dan garam itu mempunyai kualitas yang baik dan membuka lapangan perjuangan gres bagi rakyat,” tulis harian Borneo Shimboen, 22 Oktober 1943.
Setelah perang berakhir, Unilever mencoba bangkit. Tapi Unilever kembali berada dalam posisi sulit ketika terjadi gejolak politik pada 1950-an menyangkut Papua Barat. Semua perusahaan Belanda dinasionalisasi. Staf Unilever diusir dan diganti oleh tenaga-tenaga Inggris dan Jerman. Operasinya di bawah pengawasan pemerintah tahun 1964. Produksi Unilever merosot.
Sejarawan Alwi Shahab, dalam blog pribadinya alwishahab.wordpress.com menulis, ketika Bung Karno melancarkan politik berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), umumnya masyarakat mandi dengan menggunakan sabun batangan yang disebut sabun cuci. “Maklum, sabun Lux, Camay, Lifebuoy masih ngumpet di Singapura,” tulis Alwi Shahab.
Pada 1967 kendali Unilever dikembalikan. Sejak itu produk-produk Unilever kembali merajai pasar penjualan sabun di Indonesia. Pesaing bermunculan.
Kini, sabun sudah menjadi barang kebutuhan sehari-hari. Mandi takkan terpisahkan dari sabun. Tinggal bagaimana membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun. Indonesia, menurut survey Departemen Kesehatan tahun lalu, termasuk negara yang malas basuh tangan pakai sabun. Padahal, semenjak 2008, Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah tetapkan 15 Oktober sebagai Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia.

Sumber http://bacaan-hari.blogspot.com


EmoticonEmoticon