Minggu, 21 Januari 2018

Implementasi Protokol Kyoto Di Indonesia Pada Sektor Kehutanan

Indonesia merupakan negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia. Pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia mengikuti aturan keempat fungsi/kategori hutan. Pertama, hutan konservasi, dikelola untuk mengkonservasi keanekaragaman biologi, sumber daya genetik yang dibutuhkan untuk materi pangan, tumbuhan obat, domestikasijenis kayu hutan dan non kayu. Kedua, hutan lindung, penting untuk memelihara fungsi hidrologi, pertolongan DAS dan konservasi tanah. Ketiga, hutan produksi, menyediakan produksi kayu dan non kayu, dan dikelola melalui sistem babat pilih untuk hutan alam dan babat habis untuk hutan tanaman. Keempat ialah hutan konversi, suatu daerah hutan yang sanggup dikonversi menjadi area penggunaan lahan lainnya.

Dari sekitar 48 juta orang yang hidup di dalam dan sekitar hutan Indonesia, sebanyak 6 juta orang diantaranya menggantungkan hidupnya pribadi dari hutan. Pemerintah telah mengupayakan seekstensif mungkin untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan kehutanan yang dikeluarkan.

Hasil kayu merupakan salah satu produk hutan yang berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, lapangan kerja, dan ekspor, terutama antara tahun 1980–1990. Perolehan devisa negara luar negeri dari ekspor hasil hutan diperkirakan mencapai US$ 1,2 trilyun pada tahun 1985. Sejak dikala itu komposisi hasil hutan yang diekspor berubah dari kayu lingkaran menjadi kayu olahan menyerupai kayu gergajian, kayu lapis, panel, furnitur, pulp dan kertas. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa tingkat ekspor komoditas hasil hutan meningkat menjadi US $ 5 trilyun.
 
Deforestasi telah mengakibatkan Indonesia kehilangan hutan sekitar 1,7 juta ha per tahun, selama periode 1985–1997. Tingkat kehilangan areal hutan tertinggi terjadi selama periode 1997 – 2000, yang mencapai jumlah sekitar 2,8 juta ha/tahun. Kelestarian sumber daya hutan menjadi hal yang penting untuk keberlanjutan pembangunan nasional. Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari ialah salah satu bentuk kegiatan mitigasi dan adaptasi, merupakan gosip yang terus dipertahankan di Indonesia. Sebagai negara dengan ribuan pulau dan tingginya ketergantungan terhadap sector berbasis lahan pertanian (pertanian, kehutanan, perikanan, peternakan), menjadikan Indonesia rentan terhadap perubahan iklim tidak hanya dari aspek lingkungan tetapi juga dari aspek ekonomi dan sosial.
 
Berbagai kebijakan tengah diterapkan dalam mendukung proses implementasi Protokol Kyoto di Indonesia. Adapun kebijakan tersebut berupa upaya mitigasi dan penyesuaian sesuai dengan usulan pemerintah yang telah meratifikasi adanya Protokol Kyoto. Dalam hal ini, implementasi difokuskan pada sektor kehutanan di Indonesia. Adapun upaya tersebut mengenai illegal loging ataupun kebakaran hutan di Indonesia. Hutan ialah suatu wilayah yang mempunyai banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai daerah hutan yang sangat luas.

Pembalakan liar atau penebangan liar yang dikenal dengan istilah aneh (illegal logging) ialah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak mempunyai izin dari otoritas setempat. Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan ialah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS.8 8Studi yang lebih gres membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan ialah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.

Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia jawaban dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta laba pribadi.

Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak sanggup berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta ha dari 120,35 juta ha daerah hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta ha per tahun. Bila keadaan menyerupai ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama.109 Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, menjadikan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$ 1,4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang sanggup dihasilkan dari sumber daya hutan.

Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta ha pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh acara illegal logging atau penebangan liar. Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menerangkan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial jawaban penebangan liar.

Dalam mengimplemetasikan adanya Protokol Kyoto baik dari segi mitigasi ataupun penyesuaian dari sector kehutanan, maka pemerintah menciptakan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 ihwal Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, merupakan landasan koordinasi penanggulangan Illegal Logging, dengan fokus upaya 
 
Percepatan pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di daerah Hutan, melalui penindakan terhadap orang atau tubuh yang melaksanakan kegiatan: menebang/memanen/memungut hasil hutan kayu dari daerah hutan tanpa hak/ijin dari pejabat yang berwenang, menerima/memberi/menjual/menyimpan hasil hutan kayu yang berasal dari daerah hutan yang diambil secara tidak sah, mengangkut/menguasai/memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan kayu tersebut, membawa alat-alat berat/ alat-alat lainnya yang lazim/patut diduga digunkan untuk mengangkut hasil hutan kayu di dalam daerah hutan tanpa ijin pejabat yang berwenang, Menindak tegas dan menawarkan hukuman terhadap oknum petugas yang terllibat, Melakukan koordinasi dan kerja sama, Memanfaatkan informasi masyarakat, Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara illegal, untuk evakuasi nilai ekonomisnya.
 
Inpres ini menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melaksanakan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara illegal di daerah hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau tubuh yang melaksanakan kegiatan:
  • Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari daerah hutan tanpa mempunyai hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
  • Menerima, membeli atau menjual, mendapatkan tukar, mendapatkan titipan, menyimpan, atau mempunyai dan memakai hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari daerah hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
  • Mengangkut, menguasai, atau mempunyai hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bahu-membahu dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
  • Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan dipakai untuk mengangkut hasil hutan di dalam daerah hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
  • Membawa alat-alat yang lazim dipakai untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam daerah hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Namun pada kenyataannya Kendala-kendala dalam upaya penanggulangan: Rasio luas wilayah yang harus diawasi dengan kemampuan pengawasan. (Keterbatasan SDM, Keterbatasan sarana dan prasarana pendukung), Masih adanya pemanfaatan masyarakat di sekitar hutan untuk melaksanakan penebangan hutan secara illegal oleh pemilik modal, Belum terintegrasinya Online Data Base Intergovernmental Agency, sehingga pertukaran informasi di bidang tindak pidana kehutanan masih lemah, Kecenderungan tidak konsistennya masyarakat dunia, berkaitan dengan kepentingan perdagangan kayu dunia dan gosip pelestarian hutan.

Catatan kasus-kasus Illegal Logging 2 ( dua ) Tahun terakhir dan beberapa masalah besar : Tahun 2006 Bareskrim Polisi Republik Indonesia mencatat Jumlah tindak pidana illegal logging yang ditangani 3.711 kasus, dengan tersangka 5.217 orang dan diselesaikan 2.407 masalah dengan barang bukti : Kayu Olahan = 494.810.53 M3, Kayu log/Bulat = 690.637 batang, Tugboat = 8 Unit, Tongkang = 7 Unit, Ponton = 2 Unit, Klotok = 111 Unit, Kapal = 451 Unit, Truk/mobil = 1.255 Unit, Alat Berat = 187 Unit, Alat ringan = 314 Unit, Sepeda motor = 39 Unit, Buldoser = 2 Unit, Chainsaw = 41 Unit.

Tahun 2007 Bareskrim Mabes Polisi Republik Indonesia mencatat jumlah tindak pidana illegal logging yang ditangani 1.749 kasus, dengan jumlah tersangka 1.717 orang dan diselesaikan 1.260 masalah dengan barang bukti sebagai berikut : Kayu = 503.471 M3 + 405.828 Batang, Ponton/Tb/Tk = 17 Unit, Klotok = 69 Unit, Kapal = 59 Unit, Truk = 1.232 Unit, Kontainer = 272 Unit, Alat Berat = 205 Unit, Alat Ringan = 832 Unit, Sepeda Motor = 68 Unit.
 
Kasus Illegal Logging di Kabupaten Kapuas Hulu dan Sintang Provinsi Kalbar ( dikenal sebagai Kasus Tenda Biru). Ditemukan kayu berupa rakit pada Januari 2008 sebanyak 19 rakit atau sebanyak 22.124 batang (10 rakit berada di Kab. Kapuas Hulu dan 9 rakit berada di Kabupaten Sintang) Provinsi Kalimantan Barat dengan diikuti oleh 285 orang penduduk –masyarakat setempat. Wakil Bupati Kapuas Hulu dan Gubernur Provinsi kalbar melaporkan ke Menko Polhukam dan Menhut. Pada tanggal 6 Maret 2008 diselenggarakan rapat koordinasi untuk penyelesaian problem dengan memperhatikan aspek: penegakan hukum, politik, dan aspek kemanusiaan serta pembangunan masyarakat di wilayah perbatasan. Kayu temuan tersebut sebagian dalam proses lelang pada tanggal 18 Maret 2008 dan sebagiannya dalam proses pengukuran. Terhadap masyarakat yang menyertai rakit kayu tersebut telah difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu dan Pemerintah Daerah Provinsi Kalbar untuk dikembalikan ke desanya masing-masing.

Kasus Illegal Logging di Provinsi Riau, operasi yang dilakukan pegawapemerintah Polisi Republik Indonesia dalam pemberantasan illegal logging di Provinsi Riau merupakan implementasi Inpres Nomor 4 tahun 2005 ihwal Pemberantasan Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan Hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dari operasi ini, telah dilakukan proses penyidikan, antara lain 14 perusahaan HTI, serta penyitaan sejumlah besar kayu, sejumlah alat angkut dan alat berat. Di dalam perkembangannya, timbul dampak yang berkaitan dengan dengan aspek penegakan aturan dan aspek sosial ekonomi. Pada aspek penegakan hukum, terdapat perbedaan perpsepsi antara jajaran Departemen Kehutanan dan Jajaran Polda Riau, ihwal Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Industri.

Pada aspek sosial-ekonomi, timbul keluhan dunia usaha, berkait dengan penurunan produksi lantaran berhentinya pasokan materi baku, yang kemudian disimpulkan menjadikan penurunan nilai ekspor, pengangguran dan hambatan instansi. Masalah tersebut mengemukakan di aneka macam media massa baik cetak dan elektronik yang lebih mengeksploitasi perbedaan persepsi tersebut, sebagai kontradiksi yang tajam antar institusi. Untuk penyelesaian problem ini, telah dibuat Tim Penyelesaian Masalah Illegal Logging di Provinsi Riau (TPM) yang terdiri dari Tim Pengarah (Ketua Menko Polhukam, Wakil Ketua Menko Perekonomian) dan Tim Pelaksana ( Ketua Deputi V / Kemenko Polhukam, Wakil Ketua Deputi III / Kemenko Perekonomian ). Namun menurut data di atas masalah Illegal logging masih belum terselesaikan dengan baik walupun pemerintah telah mensosialisasikan inpres no 4 Tahun 2005.

Selain permasalahan diatas kebakaran hutan di Indonesia juga menjadi permasalahan utama yang menjadi jadwal dari implementasi Protokol Kyoto di Indonesia.

Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, ialah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga sanggup memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan manusia, dan pembakaran. Kebakaran hutan dan lahan sangat mengkhawatirkan dan sangat merugikan dalam aneka macam hal, baik secara ekonomi dan sosial maupun secara ekologi. Dampak yang segera terasa ialah asap, hingga negara tetangga juga merasakannya, apalagi yang akrab dengan sumbernya. Belum lagi dampak yang harus diterima sesudah kebakaran hutan dan lahan, yaitu rusaknya ekologi, yang dengan sendiri akan ditanggung oleh masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan secara langsung, dan seluruh masyarakat secara tidak langsung.

Penyebab terjadinya kerusakan hutan yang maha dahsyat ini ialah kegiatan penebangan hutan skala besar oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pembukaan areal hutan tumbuhan industri (HTI) untuk industri kertas dan perkebunan besar kelapa sawit, kebakaran hutan lantaran pembukaan lahan serta praktik-praktik illegal logging oleh para durjana kayu yang telah merugikan negara sebesar 41 triliun rupiah setiap tahunnya. Serangkaian petaka yang terjadi beberapa tahun terakhir ini menyerupai banjir, kebakaran hutan, longsor, kekeringan, pengikisan besar-besaran semuanya bekerjasama dengan rusaknya hutan kita. Sementara kebakaran hutan yang disebabkan oleh konsesi dan perkebunan telah menobatkan Indonesia sebagai negara penghasil emisi gas rumah beling terbesar ketiga di dunia. Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi hal yang biasa. Secara histori kebakaran hutan di Indonesia telah tercatat semenjak tahun 1877. Secara teori dan aplikasi kebakaran hutan terjadi jawaban terpenuhinya interaksi antara materi bakar, udara atau adanya oksigen dan sumber penyulutun. Tanpa ada interaksi dari ketiga komponen tersebut tidak mungkin kebakaran hutan dan lahan terjadi. Dari hasil penelitian Paine dalamEnvironmental summary: harvesting and use of peat as an energy, ihwal interaksi ketiga komponen bisa ditarik kesimpulan bahwa kebakaran hutan sangat tidak mungkin terjadi dengan sendiri.

Kenyataan ini sangat beralasan terjadi di Indonesia. Di beberapa penuturan, hebat kebakaran hutan dan lahan Profesor Bambang Hero Saharjo menyatakan bahwa penyebab terjadinya kebakaran 99,9 % terjadi jawaban ulah manusia, baik disengaja ataupun tidak. Pernyataan ini diperkuat dengan kondisi alam Indonesia yang tidak memungkinkan kebakaran hutan terjadi dengan sendirinya, atau faktor alam menyerupai percikan api jawaban kilat atau ukiran ion negative dan positif di awan. Ketika terjadi kilat dan petir, sudah bisa dipastikan akan diikuti dengan hujan.

Pada umumnya kebakaran lahan dan hutan di provinsi tersebut terjadi pada lahan gambut yang sulit dipadamkan dan minimbulkan kabut asap. Tingkat kenaikan/penurunan jumlah hot spot tahun 2005/2006 di 8 provinsi yang terjadi kebakaran lahan dan hutan sanggup dilihat dalam tabel berikut :
Sementara itu, menurut data pada 2004/2007, sekitar 247 ribu ha daerah hutan di Kotabaru dalam kondisi kritis. Hutan kritis paling tinggi terjadi di daerah hutan produksi (HP) sekitar 184 ribu ha, hutan produksi terbatas (HPT) sekitar 38,6 ribu ha, hutan lindung (HL) sekitar 18 ribu ha, dan daerah hutan alam/suaka alam (SA) sekitar 5,5 ribu

Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat represif ialah upaya yang dilakukan oleh aneka macam pihak untuk mengatasi kebakaran hutan sesudah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, misalnya ialah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain. Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif ialah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Makara penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam masalah kebakaran hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, mayoritas oleh penanganan yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.

Upaya Preventif Pencegahan Kebakaran Hutan Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, hingga unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi fungsi berikut ini
  1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing.
  2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat.
  3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan training kepada masyarakat. Penyuluhan dimaksudkan biar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah mengenai ancaman dan dampak, serta kiprah acara insan yang seringkali memicu dan mengakibatkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya pencegahannya.
  4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure) untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan jadwal pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan.
  5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan pribadi dengan hutan.
  6. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisir adanya kebakaran hutan dan Illegal Logging di Indonesia, namun berdasasarkan data diatas masih bayaknya kebakaran hutan dan Illegal Logging yang terjadi, padahal upaya penyesuaian ataupun mitigasi telah diterapkan seiring dengan implementasi dari adanya Protokol Kyoto.

Sumber http://belajarilmukomputerdaninternet.blogspot.com


EmoticonEmoticon