Selasa, 06 Maret 2018

Dua [Untitle]


DUA

Keempat gadis itu duduk memenuhi dua buah sofa yang berada di tengah-tengah kamar nomor 24 Asrama Callisto. Keempat gadis itu yaitu Alyssa, Zahra, Sivia, dan Agni. Alyssa, gadis berdagu tirus yang duduk di single sofa sambil memeluk kotak box berwarna birunya. Zahra yaitu siswi dari kelas sastra yang di tangannya terdapat sebuah spidol berwarna merah. Agni, gadis berambut sebahu dari kelas olahraga dalam konsentrasi kelas atletik cabang lari dan Sivia, gadis bermata sipit dengan pipi chubby dari kelas seni.
            Empat orang gadis itu yaitu penghuni kamar nomor 24 ini. Selama setahun bersekolah di Pearl School, mereka tampaknya belum mengenal satu sama lain atau bahkan bertemu satu sama lainnya. Ini mungkin pertemuan pertama mereka.
            “Jadi... gimana pembagian daerah tidur, lemari, dan meja belajarnya?” tanya Agni memecah keheningan di antara mereka.
            “Gue ambil daerah tidur bawah aja. Soalnya gue harus bikin gantungan untuk desain-desain yang gue buat. Semacam evaluasi sebelum tidur. Rutinitas anak seni sih,” ujar Sivia dengan cengiran lebarnya. Gadis chubby itu tidak terlihat menyerupai orang pendiam padahal selama setahun ini beliau lebih sering berperan sebagai orang sampingan, bukan pemain film utama yang lebih sering menerima perhatian.
            “Kalo gitu gue ambil daerah tidur atas ya? Perenungan kalo ada kiprah buat puisi dan semacamnya. Maklum anak sastra, hehe...,” timpal Zahra.
            Sivia dan Agni kompak mengangguk. “Dan lo Alyssa?” tanya Agni. Ia tahu nama gadis berdagu tirus itu Alyssa alasannya Alyssa sendiri masih memakai seragam sekolahnya.
            “Kalo sanggup panggil saya Ify aja,” ucap Alyssa pelan.
            “Ah iya. Kita belum kenalan. Duh gimana sih kita,” sungut Sivia akal-akalan kesal dan kemudian mengubah raut wajahnya menjadi ceria kembali. Ify tersenyum tipis melihatnya. Begitupula dengan Zahra dan Agni.
            “Gue duluan ya. Hai... nama gue Siviana Amanda. Kalian sanggup panggil gue Via aja biar lebih akrab,” ujar Via.
            “Kalo gue Azzahara, biasa sih dipanggil Zahra. Kepanjangan ya kalo Zahra?” sambung Zahra.
            Ify mengangguk. “Zahra cukup panjang. Gimana kalo Rara?” Merasa tidak menerima tanggapan kemudian Ify cepat-cepat menambahkan, “Itu kalo kau nyaman sih dipanggil Rara.”
            “Hmm... Rara manis kok, Ra,” sahut Agni. “Eh by the way gue Agnia, panggil aja Agni. Kalo ada bunyi berisik langkah kaki malem-malem, jangan pada takut lo, itu saya lagi lari-lari kecil aja di kamar.”
            “Kamu olahraga malem-malem?” tanya Ify yang terperangah mendengar legalisasi Agni.
            “Kadang-kadang kok, Fy,” jawab Agni.
            “Kita kan udah kenalan nih. Pembagian daerah tidurnya gue di atas dan Via di bawah. Kita satu daerah tidur nggak, Vi?” tanya Zahra.
            “Gue yang deket kamar mandi aja, Ra, soalnya sering kebelet,” jawab Sivia dengan sedikit rasa malu. Dia juga heran mengapa dirinya termasuk orang-orang yang susah jauh dari toilet.
            “Oke aja sih, saya pilihnya yang deket pintu,” timpal Zahra kemudian tatapannya berpusat pada Ify dan Agni. “Jadi, kalian berdua gimana?”
            “Lo mau yang mana, Fy?” tanya Agni langsung. “Soalnya gue baiklah di mana aja.”
            “Aku daerah tidur atas aja. Nggak apa-apa?”
            “Sip. Gue di daerah tidur bawah dekat pintu.”
            “Lemarinya gimana?” kali ini Sivia yang bertanya.
            “Sesuaiin sama daerah tidur aja. Meja berguru juga gitu. Kita nggak mungkin kan berantem alasannya rebutan lemari sama meja belajar?” permintaan Zahra dan eksklusif disetujui oleh ketiga sahabat kamarnya.
            “Gue suka yang kayak gini. Nggak ada ribet dan ributnya. Kalian nggak ngalamin sih temen kamar gue dulu. Semua mesti diributin dan diribetin,” curhat Sivia dengan wajah cemberut.
            “Tenang aja, Vi, mulai kini nggak akan kejadian kayak gitu lagi. Gue ngerasa kita bakal jadi sahabat yang kompak,” ujar Agni dengan senyum lebarnya disambut dengan anggukan antusias dari Sivia dan Zahra.
            “Fy, lo nggak sepakat ya?” tanya Sivia heran alasannya dari tadi Ify hanya membisu saja.
            Ify cepat-cepat menggeleng. “Aku sepakat kok. Aku hanya terharu,” jawab Ify cepat dengan senyum lebarnya. Ify juga sudah merasa bahwa kesehariannya di Pearl School akan segera membaik. Dia yakin itu. Gadis berdagu tirus dari kelas musik itu yakin bahwa ketiga roommate-nya yaitu sahabat yang dikirim oleh Tuhan.
            “Nah gitu dong, Fy. Sekarang ayo kita beresin barang-barang kita,” permintaan Sivia dan mulai mengambil kopernya.

*******

Ify menghela napas sejenak untuk menormalkan perasaannya yang bergemuruh. Belum usang semenjak kata “sahabat” tercetus di kamar nomor 24 Asrama Callisto beliau sudah ditinggalkan oleh ketiga roommate-nya. “Come on, Fy. Wajar aja mereka udah duluan, inikan sudah memasuki jam makan malam. Dan harus ingat, Fy, sahabat nggak selalu harus bersama-sama,” ujar Ify pelan dan kedua bibirnya membentuk senyuman kecil.      
            Dengan memakai celana katun panjang dan baju kaos berlengan pendek berwarna biru yang dilapisi dengan jaket abu-abunya serta rambut panjang sepinggangnya yang dibiarkan terurai, Ify keluar kamarnya dan berjalan menuju Gedung F yang terletak di depan gedung Asrama Callisto yang berjarak sekitar seratus meter.
            Ify gres saja tiba di ruang makan. Suasana malam ini lebih ramai dari dua malam yang lalu. Hari pertama di mana murid Pearl School boleh mengunjungi sekolah terlebih dahulu, meskipun masih waktu libur. Peraturan ini sudah usang diterapkan di Pearl School. Peraturan bahwa murid Pearl School boleh kembali ke sekolah dimulai pada hari ke sepeluh sebelum aktivitas berguru pembelajaran di mulai dengan catatan ketika berada di lingkungan sekolah—kecuali di Gedung F ketika jam makan malam—diwajibkan untuk mengenakan seragam sekolah tanpa terkecuali.
            Tidak perlu membuang-buang waktu, Ify segera mengantri di meja prasmanan. Lauk malam ini tidak mengecewakan menggugah selera makannya, dengan cepat Ify segera mengambil piringnya. Setelah sekitar lima menit mengantri mengambil nasi dan lauk serta minum, langkah Ify terhenti ketika kedua bola matanya menangkap meja-meja yang telah dipenuhi oleh murid Pearl School yang ingin mengisi perutnya atau sekedar mengobrol. Diam-diam, Ify mengetahui bahwa siswi Pearl School cukup banyak yang melewatkan makan malamnya hanya untuk menjaga berat badan. Ify tertawa sendiri mendengar isu ini. Hal tersebut tentu saja menyiksa bila di sekolah asrama menyerupai ini, waktu pagi dan siang hari telah padat dipenuhi dengan belajar, mengerjakan tugas, dan aktivitas klub lainnya.
            Semua meja di dekat meja utama telah penuh bahkan Ify sendiri melihat Via yang sedang makan bersama dua orang—mungkin—temannya  dan juga Zahra yang duduk sendiri ditemani piring nasi dan buku catatannya di meja pojok dinding. Ify berminat menghampiri Zahra namun melihat keseriusan Zahra menatap buku catatannya menciptakan Ify lebih menentukan meja di sudut belakang. Makan malam sendiri juga tidak terlalu buruk.

******

Rio segera keluar dari kamar 31 Asrama Phobos—asrama pria khusus angkatan 2014 Pearl School—menuju Gedung F untuk makan malam. Ia tidak perduli meskipun Iel sudah mengingatkannya untuk ke Gedung F bersama-sama. Setelah mandi dan berpakain serta membersihkan luka dan darah di wajah serta kakinya menciptakan Rio lapar dan daripada mengomel sambil menunggu Iel selesai mandi dan bersiap, lebih baik ia pergi duluan. Palingan beliau hanya akan mendapatkan omelan pendek dari Iel, roommate sekaligus sepupunya. By the way, Rio tidak akan tahu bila ada perubahan sistem kamar asrama apabila sepupunya itu tidak mengirimkan pesan kepadanya. Tentu saja bila tidak, Rio tidak akan tahu sama sekali alasannya kejadian tadi siang. Insiden yang menciptakan Rio benar-benar kesal. Kedatangan Reza dan rombongannya lah yang menciptakan Rio kesal. Pemuda ganteng itu tidak pernah mengira bahwa Reza berani menghampirinya di Pearl School. Nyali preman dan tawuran Reza memang seharusnya patut Rio perhitungkan.
            Setelah melewati tiga tangga dan berjalan sekitar 150 meter karenanya Rio tiba di Gedung F. Cepat-cepat Rio segera memasuki antrian mendahului rombongan yang berjalan perlahan di depannya. Bodoh amat mau dikatain nggak sabaran yang penting beliau makan. Rio beneran lapar alasannya kejadian tadi siang yang benar-benar menguras emosi dan kesabarannya.
            Rio yaitu tipe pria dingin yang tidak peduli orang mau menyampaikan apa perihal dirinya. Atau bahkan cowok itu tidak peduli bila ada sekumpulan siswi Pearl School yang melihat-lihat ke arahnya. Rio sadar bahwa beliau ganteng, tampan, yummy dilihat, dan sebagainya. Dia tidak peduli. Rio bahkan terlampau sangat dingin ketika sekelompok gadis menyapanya dengan senyuman manis mereka. Rio tidak peduli.
            Seperti ketika ini. Rio sadar ada beberapa pasang mata yang melihat-lihat ke arahnya. Masih dengan memakai rumus cueknya, Rio tetap mengambil nasi dan mengisi piringnya dengan tiga tempe bacem, dua tahu bacem, dua sendok penuh sambal, dan satu potong sambal ayam serta dua sendok tumis bayam. Wadah-wadah di piring makannya tampak penuh. Belum lagi di kepingan nasi. Bentuk nasi itu menyerupai bukit. Kesimpulannya satu, Rio lapar berat.
            Usai mengisi piring makannya mata Rio mulai menyapu pemandangan di hadapannya. “Berharap makan sama gue? Cih,” batin Rio ketika mendapati Tresa melambai ke arahnya. Tidak perlu berlama-lama mencari meja makan di kepingan depan, Rio segera berjalan menuju meja di kepingan belakang. Memang tidak seramai kepingan depan namun di sana Rio melihat gadis itu. Gadis yang berteriak dan menangis di halaman belakang Gedung F. Gadis yang berusaha menolongnya. Gadis cengeng yang Rio tidak ketahui namanya.
            Datangin atau nggak? Memang semenjak kapan Rio peduli dengan hal menyerupai ini? Hampirin atau nggak? Jika Rio menghampiri apa yang akan beliau katakan? Hamp.... Tidak perlu lagi berdebat dalam pikirannya sendiri Rio segera berjalan menuju meja gadis itu. Meja di pojok kanan dan melekat di jendela. Gadis itu sendiri hanya membisu sambil sesekali memasukan nasi ke dalam mulutnya.

******

Lagi-lagi Agni harus menelan rasa sakit hati. Betapa terbelakang dirinya? Apa yang ia pikirkan sehingga ia mengikuti langkah Cakka yang meninggalkan ruang makan? Astaga... gadis itu benar-benar di luar kendali. Mengapa cinta begitu menyesatkan? Membuat rasa ingin tau begitu sampai dan pada karenanya memperlihatkan luka. Mengapa Agni harus melihat Cakka bersama Ashilla yang menikmati makan malam di bawah sinar rembulan??
            “Bodoh,” umpat Agni untuk dirinya sendiri. Ia bersembunyi di balik pilar yang berjarak lima meter dari ayunan yang tengah dinaiki oleh Cakka dan Ashilla. Lagi-lagi ia terluka. Mengapa ia harus jatuh cinta? Mengapa ia harus jatuh pada Cakka? Apakah ia harus menyalahkan Cakka atas rasa sakit hatinya? Alasannya apa? Apakah alasannya Cakka keren, tampan, hebat basket, mempunyai postur tinggi, dan berhidung mancung? Apakah alasannya itu? Sungguh semua ini bukan salah Cakka. Dalam kasus ini hanya Agni yang jatuh cinta, tidak dengan Cakka. Agni mengalami cinta belakang layar dan konsekuensinya ia harus dalam membisu mencicipi sakit hatinya. Bukankah menyerupai itu cinta diam-diam?
            Hangat.... perasaan itu yang Agni rasakan ketika air matanya menetes. Bukankah ini sungguh konyol?!! Astaga... Agni menangis alasannya melihat kebersamaan Cakka dan Ashilla. Ini bukan pertama kalinya Agni melihat hal menyerupai ini. Seharusnya hatinya sudah kebal bukan?
            “Bodoh, Ag, bodoh. Tutup hatimu. Sedetikpun Cakka tidak akan melihatmu,” ujar Agni pelan dan kemudian meninggalkan daerah persembunyiannya. Untuk apa ia berlama-lama di sini? Lebih baik di pergi bukan?

******

Ify tidak berani untuk mengangkat wajahnya. Ia tahu semenjak seseorang menentukan duduk di hadapannya, semenjak ketika itu ia mencicipi banyak pasang mata yang melihat ke arahnya. Gadis itu bertanya-tanya semenjak tadi. Siapa yang sedang duduk dihadapannya.
            Bunyi sendok yang beradu dengan piring tidak menciptakan Rio merasa risau. Gadis di hadapannya ini tidak kunjung mengangkat wajah dari pertama Rio duduk di sini. Hei... apakah beliau mempunyai sakit mata sehingga menciptakan gadis ini tidak mengangkat wajahnya? Rio geram. Ini sudah sendok ketujuh gadis itu makan dan dari isi piring nasi gadis itu hanya berkurang sedikit sekali.
            “Cengeng,” ucap Rio untuk menarik perhatian Ify. Satu... dua... tiga... tidak ada jawaban sama sekali. Ada apa dengan gadis ini?
            “Dua tahu bacem, sepotong ayam goreng, hmm... gue rasa satu sendok tumis kangkung dan satu sendok sambel.” Rio mengabsen apa yang ada di piring Ify.
            Bola mata Ify bergerak mengamati isi piringnya dan kemudian melihat isi piring di hadapannya. Lalu tanpa ia sadari Ify mengakat wajahnya dan mendapati wajah Rio dihadapannya. Seketika bola mata Ify melotot seakan ingin keluar. Ia kenal wajah ini. Apalagi ditambah dengan luka-luka kecil serta lebam di sana-sini.
            “Akhirnya diangkat juga wajahnya,” ucap Rio dan tersenyum lebar.
            Ify tertegun. Wajah tersenyum Rio tiba-tiba membuatnya merasa hangat. Namun, Ify tidak memperlihatkan raut wajah apapun selain datar. Ia tahu pria ini. Laki-laki yang dihajar tadi siang.
            “Aku nggak bilang siapa-siapa kok. Beneran,” ujar Ify cepat-cepat. Bagaimana sanggup ia lupa menyampaikan hal ini? Alasan pertama pria ini menentukan duduk di hadapannya yaitu untuk menagih kesepakatan biar dirinya tidak membocorkan perihal kejadian di halaman belakang Gedung F mengingat peraturan Pearl School yang sungguh ketat.
            “Jaket. Hmm.... bukan rok apalagi dress tetapi celana panjang dan gue tebak niscaya lo pakai baju kaos biasa. Tipikal cewek tomboy. Yang gue heran sih kenapa lo tadi siang nangis?”
            Raut wajah Ify bermetamorfosis terperangah. Sendok makannya sudah  terletak begitu saja di kepingan nasi. Dia tidak percaya apa yang diucapkan pria di hadapannya ini????!!! Dia tomboy??!! Dia cengeng???!!! Dan pria berkacamata di depannya ini tidak membalas apa yang ia ucapkan.
            “Hmm.... kalau cewek tomboy biasanya bantu ngehajar,” ucap Rio sembari memperbaiki letak kacamatanya. Mata minus bukan pilihan Rio dan ini alasannya dulu ia sering melihat laptop tanpa kacamata pelindung. Apalagi beliau sering memakai laptop dalam waktu yang lama.
            “Maaf. Aku beneran nggak bilang siapa-siapa soal kau dikeroyok. Aku juga eksklusif pergi ketika mereka udah keluar dari gerbang.” Ify mencoba menjelaskan apa yang ia lakukan tadi siang dan pria ini tidak menjawab sama sekali. Please... Ify mau kabur dari situasi menyerupai ini. Dia tidak menyukainya apalagi beberapa pasang mata masih menatap sesekali ke arah mereka dan beliau juga mendengar bisik-bisik meskipun tidak begitu jelas.
            “Sungguh. Aku nggak melapor ke satpam, nggak dongeng ke teman, dan nggak bilang sama guru. Beneran,” tambah Ify cepat ketika mendapati pria itu menatap intens ke arahnya. “Stop... jangan natap saya menyerupai itu,” ucap Ify pelan. Sangat pelan. Nyaris saja Rio tidak mendengarnya.
            Hahaha... tawa Rio meledak. Gadis ini sungguh lucu. Dia tahu bahwa gadis dengan gaya tomboy tetapi cengeng ini tidak melapor perihal kejadian tadi. Jika iya niscaya beliau sudah dipanggil ke ruang konseling. Walaupun masih dalam waktu libur, bila sudah berada di lingkungan sekolah maka peraturan tetap berlaku.
            Dahi Ify berkerut. Dia heran mengapa cowok itu tertawa? Rasa tidak suka merayap ke dalam hatinya. Dia tidak suka ditertawakan ketika dirinya tidak tahu apa alasannya.
            Melihat raut wajah sebal dari gadis di hadapannya ini menciptakan Rio berusaha menghentikan tawanya. “Maaf...,” ujar Rio dan sedikit lega alasannya raut wajah gadis di hadapannya sudah kembali datar, meskipun beliau lebih suka melihat raut wajah kesal gadis itu. Mata menyipit dan ujung bibir yang tertarik sedikit ke atas yang mengakibatkan kesan sinis.
            “Gue nggak benar-benar niat ngetawain lo kok, Ceng...” sebisa mungkin Rio menormalkan wajahnya. Tidak mungkinkan beliau tertawa lagi ketika gadis di hadapannya ini terang-terangan mendengus kesal. “Ehem... gue Rio. Lo siapa?”
            “Alyssa Raifyna,” ucap Ify.
            “Ehem... Raif?”
            Ify melotot. Kenapa Rio selalu membuatnya ingin melotot ketika mendengar ucapan cowok itu?? “Ify aja.”
            “Ok, Ify aja.”
            Ck... Ify menggelutukan kedua giginya. Dia semakin kesal dengan yang namanya Rio-Rio ini. “Ify. Nggak pake aja.”
            “Iya ya. Masih laper, Fy?”
            “Iya,” sambar Ify. “Kalo kau nggak ada urusan lagi sama saya kecuali meledek padahal kita gres kenal lebih baik kau pergi. Aku risih diliatin orang-orang. Memang kau siapa sih?”
            Rio senyum-senyum mendengar ucapan Ify. Gadis ini lucu juga. “Fy... buka mulutnya. Katanya laperkan?” Rio mengarahkan sendok makannya yang sudah berisi potongan tempe dan sambal serta nasi.
            Terperangah. Itu yang Ify lakukan. Apakah Rio sakit jiwa? Cepat-cepat ia menggeleng.
            “Kenapa?”
            “Aku nggak suka tempe.”
            “Oh...” Rio bergumam seraya mengangguk-nganggu. “Nah kalo ini?” Sendok Rio kini telah berganti isinya dengan potongan ayam dan sambal serta nasi.
            Ify masih menggeleng.
            “Kenapa lagi?”
            “Itu sendok kamu. Lauk dari piring kau dan kau sendiri harus memakannya. Aku sanggup makan dari piringku sendiri.”
            “Oh...” Rio melahap makanan yang ada di sendoknya dan kemudian ia mengambil sendok makan Ify dan mengisinya dengan potongan ayam dan tahu serta sambal dan juga nasi. “Sekarang nggak ada alasan lain lagi untuk kau menolak saya suapin,” ucap Rio final dan tegas sehingga menciptakan Ify sontak melototkan matanya dan terperangah.
            “Makan, Fy, jarang-jarang saya nyuapin orang,” ucap Rio lembut namun bola mata dibalik kacamata itu menatap tajam ke arah Ify. Mau tak mau menciptakan Ify membuka mulutnya dan mendapatkan suapan dari Rio.
            “Bagus,” ujar Rio dengan senyuman lebarnya. “Masalah tadi siang jadi rahasia kita, Oke, Ify Cengeng?”
            Ify mengangguk seraya masih mengunyah makannya. Makan malam ini yaitu anugerah atau bencana. Ify tidak mengetahuinya alasannya semenjak makan malam itu perlahan-lahan kehidupan sekolahnya mulai berubah. Namun sayangnya perubahan itu justru menciptakan Ify merasa was-was. Ia takut sesuatu yang ditakutinya karenanya kembali terulang. Dia takut.


BERSAMBUNG KE TIGA...
Terima kasih alasannya sudah membaca :)
S Sagita D

Sumber http://sagita-shelly.blogspot.com


EmoticonEmoticon