Rabu, 07 Maret 2018

Lovely Maid Part 18


Maaf ya kalo ngebosenin dan ngecewain.

 Lovely Maid [Part 18]



“Jadi hari ini kita nggak latihan?” tanya Alvin untuk yang kesekian kalinya.

Saat ini, Alvin, Rio, Gabriel, dan Cakka sedang duduk-duduk di ruang musik sembari menunggu PARTNER latihan mereka. Ingat tuh partner latihan yang semenjak sejam kemudian belum muncul-muncul juga. Yang bener aja dong!!! Masa kaum elit kayak mereka menunggu keempat adik kelasnya dari kalangan bawah itu.

“Pulang aja elah,” seruan Cakka yang sudah bosan banget. Dari tadi ia hanya memetik gitar dengan malas untuk membunuh waktu. Sejak dulu ia tidak pernah menunggu, bahkan ia ialah orang yang ditunggu. Dan sekarang??? Beneran kurang didik tuh adik kelas!!!!!

“Yel... lo udah sanggup belom nomor hape mereka?” tanya Alvin.

Gabriel menggeleng. Dia sudah bertanya pada semua orang yang ia tahu kenal dengan keempat adik kelas miskinnya itu dan hasilnya nihil. Tidak ada nomor hape dan kini lihat??!!! Hanya satu orang saja yang belum membalas sms yang ia kirim.

Tak usang kemudian, dahi Gabriel mengkerut. “Sialanss,” desis Gabriel. SMS yang gres masuk itu sangat membuatnya kesal. Udah usang balas, pertama kali yang dikirimin SMS, dan hasilnya...??!?!!! Bener-bener buat Gabriel keki abis. “Gue nggak tau semiskin apa mereka,” ucap Gabriel menciptakan Alvin dan Rio menaikan alis sebelah. “...hape aja nggak punya. Pulang aja kita lah,” lanjut Gabriel.

“Hahahaha...” Cakka tertawa ngakak, beda banget dengan Alvin dan Rio hanya mengendikkan bahu. “Kasih pinjem deh hape lo pada yang kagak kepakai. Kalo begini terus kan susah juga,” ujar Cakka dan dihadiahi toyoran dari Gabriel.

“Kenapa nggak punya lo? Diantara kita, hape lo yang paling banyak!!!” protes Gabriel.

Cakka cengengesan. “Lo tahu sendiri, Yel, kalo pacar gue banyak. Satu hape untuk satu pacar dong!” balas Cakka dengan cengiran lebarnya.

Rio mendengus. “Kita pulang aja. Gue duluan!!!” pamit Rio dan segera menghilang di balik pintu berwarna coklat itu.

******

“Beneran mau pulang sekarang?” tanya Agni di ruang tivi di rumahnya. Hari ini sudah menyampaikan pukul lima sore. Langit pun telah berganti menjadi jingga. Kampung delima pun sudah diterpa oleh warna jingga tersebut.
      
Ify mengangguk yakin. Ia dan sahabat-sahabatnya sudah selesai memasak juga sudah selesai makan. Bahkan Shilla sudah selesai mencuci piring jawaban kalah hompimpah dengan Ify dan Agni. “Gue pulang aja. Ray udah mau pulang,” jawab Ify sambil memasangkan sepatu Ray. Bocah pria yang berada di hadapan Ify tersebut mengangguk-ngangguk dengan senyum lebarnya.

“Ya udah deh, besok kita ketemu di sekolah lagi,” ujar Agni. Ia khawatir jika Ify pulang sekarang. Angkot saja sudah jarang. Taksi juga jarang lewat tempat kampung delima ini. “Tapi gue anter dan tunggu hingga lo sanggup taksi,” tambah Agni.

“Gue ikutan ya,” pinta Shilla.

“EH, KALO LO PERGI JUGA, GUE SAMA SIAPA, SHIILLONGG!!!!” seru Via dari kasurnya. Manja bener itu bayi besar.

Shilla mendengus kesal dan hasilnya menentukan mengalah. Via benar nanti Via dengan siapa jika beliau ikut Agni mengantar Ify. Bagaimana jika ada maling? Kan Via sanggup digebukin langsung. Kalau ada gempa? Kan Via nggak sanggup lari.

“Gue pulang ya. Hati-hati di rumah. Sekali-kali, rumah gue dibersihin elah,” pamit Ify sekaligus pinta gadis berdagu tirus itu dengan cengiran lebarnya.

“Dasar banget. Nanti Via yang bersihin rumah elo, Fy,” ujar Shilla dan beliau menunjuk Via yang lagi berbaring di kasur. “Kelamaan istirahat dia,” tambah Shilla dengan volume bunyi lebih pelan.

Ify terkekeh pelan dan mengangguk.

“Kak Ify, Lray digendong, ya? Kenyang habis makan,” pinta Ray dengan nada manjanya. Ify mengangguk dan segera meraih Ray dalam gendongannya. Lumayan berat sih, tapi Ify sudah biasa. Anggaplah ini olahraga angkat besi, hehehe...

“Nggak berat tuh, Fy?” tanya Shilla dengan raut wajah horror seolah gres nonton film hantu. Agni tertawa melihat reaksi Shilla. Memang di antara mereka berempat Shilla yang mempunyai motto “sebisa mungkin jauhin anak-anak”. Tidak tahu apa alasannya.

“Kakak itu yang belrat. Kak Ify selring kok gendong Lray,” protes Ray dan memasang wajah kesal ke Shilla. Dipandang anak kecil ibarat itu menciptakan Shilla meringis. Ia tidak tahu harus bereaksi apa. “Iya kan, Kak Ify?”

Ify tertawa kemudian mengangguk. Ray tersenyum bahagia dan memelet ke arah Shilla. semakin cengo lah wajah gadis elok itu.

“Kita pulang ya!” pamit Ify lagi dan meninggalkan tempat rumah sederhana tersebut bersama Agni dengan Ray yang ada digendongannya. Rumah yang menjadi tempat mereka berteduh. Rumah dengan segala kenangan. Kenangan yang tidak akan pernah lupa dari benaknya maupun ketiga sahabatnya.

*****

Ify sangat bersyukur sanggup hingga rumah pukul tujuh malam lewat sepuluh menit. Untung saja ia cepat mendapat taksi. Ify harus berterima kasih lantaran Agni telah menemaninya, terlebih lagi taksi itu tiba lantaran Agni yang mencarinya hingga menuju jalan raya utama. Ify sungguh bersyukur.

Gerbang glamor di hadapannya menciptakan Ify lega. Lega lantaran ia hingga dengan selamat bersama Ray. Kali ini Ify beruntung lantaran Ray tidak mau digendong semenjak di taksi. Biasanya Ray minta pangku bila mereka pergi dengan taksi. Tadi Ray tidak ingin dipangku. Ify bahagia lantaran ia lelah menggedong Ray cukup lama. Ketika taksi sempurna berhenti di depan gerbang glamor ini, Ify juga bahagia lantaran Ray tidak mau digendong dan menentukan turun sendiri. Rasa lelah itu cukup berkurang.

Setelah membayar uang taksi—tentu saja dengan uang Ray—Ify segera membawa Ray ke dalam rumah. Ify tidak perlu memencet bel lantaran Ray sudah berteriak duluan dan tentu saja Pak Satpam mendengarnya.

“BAPAK SATPAM!!! LRAYYY PULANG SAMA KAK IFY!!!!!” itulah teriakan Ray di depan pintu gerbang. Ify terkekeh pelan dan mencubit pipi Ray gemas.  Dengan teriakan Ray, gerbang pun eksklusif dibuka dan ketika gerbang itu dibuka Ify cemas!!! Di depannya telah bangkit seorang.... ya ampun!! Itu Tuan mudanya, Rio. Dan Ify gres ingat jika hari ini latihan untuk lomba. Wajah Rio sama dengan kegiatan latihan. Waduh!!!

“Kak Lrio, kangeeeennn!!!!” seru Ray dan eksklusif meraih Rio untuk dipeluk. Rio mengusap kepala Ray dan membalas pelukan Ray. Ify tahu bahwa Rio sangat menyanyangi Ray.

“Selamat malam, Tuan Muda,” sapa Ify sopan. Dia cemas. Baru kali ini beliau cemas melihat wajah bergairah Rio. “Aku ke dalam duluan,” tambah Ify dan segera berjalan cepat menuju kamarnya. Takut dibasmi Rio secara mendadak.

******

Melihat Ify dan Ray sudah masuk ke dalam Taksi, Agni memutar badanya dan berjalan menuju arah pulang. Ia terkekeh ketika melihat uang dua puluh ribu yang berada di tangannya. Ini ialah sumbangan dari Ify. Ify bilang uang itu dibelikan gorengan atau roti saja untuk cemilan malam ini. Agni geleng-geleng kepala, Ify ibarat emak-emak yang mempunyai anak tujuh tapi hidupnya melarat.

Walaupun begitu ia tetap membelanjakan uang tersebut ibarat yang disarankan Ify. Namun, Agni tidak membeli gorengan tetapi roti. Ia takut bunyi Via yang notabane-nya akan mengikuti lomba menyanyi akan mengalami sedikit gangguan apabila makan gorengan. Setidaknya ini pencegahan walaupun Agni yakin minyak gorengan tidak sanggup mengalahkan powernya bunyi Via.

Sambil membawa bungkusan Agni berjalan dengan santai menuju Kampung Delima. Tadi ia cukup jauh berjalan untuk mencari taksi. Dalam perjalanan pulang, Agni melewati restoran yang cukup glamor dan tempat parkirnya penuh dengan mobil. Gadis manis itu tidak naif bahwa dalam benaknya ada impian untuk mencoba berkunjung ke sana.

“AGNI!!!!!!”

Agni sedikit tersentak ketika mendengar bunyi yang memanggil namanya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke belakang namun ia tidak menemukan siapapun. Lalu ia melihat ke arah restoran cukup glamor itu dan mendapati seseorang ia kenal memanggil dirinya.

“Hai, Kak Obiet,” sapa Agni ketika ia telah bangkit di pelataran parkir restoran. Sempat-sempatnya ia menyebrang jalan dan kini berada di depan Obiet. Dapat hidayah apa beliau mau repot-repot ibarat ini???!!!

“Ngapain malam-malam gini di luaran?” tanya Obiet.

“Tadi nganterin sohib gue cari taksi. Ini mau pulang.”

Obiet mengangguk-ngangguk dan wajahnya tetap tersenyum lebar. Ia selalu suka melihat wajah adik kelasnya ini. Adik kelas yang ia temui ketika mobilnya mogok. Adik kelas yang terlihat ogah-ogahan dan misterius. Pemuda manis itu tidak menyangka bahwa ia menemukan Agni yang menghampirinya.

“DASAR PLAYBOY CAP KALENG!!!!”

PLAK...

Umpatan dan bunyi tamparan yang sangat keras itu mengundang orang untuk melihatnya, termasuk Agni, meskipun ia pendiam dan ibarat tidak ingin mengetahui hal lain di dunia ini yang tidak bekerjasama dengan dirinya tetap saja bunyi tamparan itu mengundang minatnya. Kepalanya otomatis segera melihat ke arah kendaraan beroda empat merah yang hanya berjarak dua meter dari tempat ia berdiri.

Di sana ia melihat abang kelasnya. Sekali lagi, KAKAK KELASNYA. Perlu dicatat KAKAK KELASNYA ini ialah kekak kelas yang sering ngebully ia dan sahabat-sahabatnya. Kakak kelas songong lantaran mempunyai harta berlimpah. Kakak kelas yang selama ini rahasia Agni kutuk dalam diamnya.

Sungguh, ia ingin tertawa ketika melihat Cakka memegang pipi kanannya. Pipi itu merah meskipun tidak ada cap jemarinya. Namun sebisa mungkin gadis itu tahan lantaran meski sudah ditampar Cakka masih menyadari bahwa yang menonton aibnya ini ialah adik kelasnya a.k.a adik kelas miskinnya. Agni tahu Cakka sendari tadi melotot ke arahnya yang mengambarkan ‘berita ini kesebar. Lo mati’. Agni yakin ini maksud dari tatapan Cakka.

Obiet yang mengikuti pandangan Agni hanya terkekeh pelan. Memang ini ialah pertama kalinya Cakka di tampar cewek dan Obiet sebisa mungkin ibarat tidak perduli. Lagian beliau tidak ada urusan dengan Cakka.

“Kak Obiet, gue pulang duluan ya. Makin malam ini,” pamit Agni. Ia ingin segera meninggalkan Cakka dan tatapan menyebalkannya.

“Gue anter aja gimana, Ag?”

“Nggak usah, Kak. Dekat lagi ini. Lagian jalannya sempit kok, susah lewat kendaraan,” tolak Agni dan segera berjalan cepat meninggalkan restoran dengan Cakka yang Agni yakin masih melotot ke arah dirinya.

*****

Ify menyadari bahwa Ray sudah kenyang dan tidak ingin makan lagi. Namun dengan penuh kesadaran dan rasa takut bin cemas Ify tetap memasak sajian sederhana berupa sambal telur mata sapi. Melihat telur mata sapi menciptakan dahi Ify makin berlipat lantaran mengingatkan beliau akan mata Rio yang melotot ke arahnya. Bagi Ify itu menakutkan.

Rio melotot ke arah Ify yang sedang memasak di dapur yang tidak jauh dari meja makan di mana tempat Rio dan Ray sedang duduk ketika ini. Mata Rio semakin melotot ketika ia mendengar dongeng Ray ke mana ia dan Ify pergi hari ini.

“Iya, Kak Lrio. Lray tidurl di lrumahnya Kakak Agni terlus makan deh. Enak banget, Kak Lrio. Lray makan banyak dan sekalrang Lray kenyang. Tapi kuliner Kak Ify kok halrum ya, Kak Lrio?” celoteh Ray.

Rio menganggung-ngangguk. Dia oke dengan pendapat Rey. Masakan Ify memang harum banget dan membuatnya semakin lapar. Namun... dahi Rio berkerut mengingat ucapan adik kesayangannya itu, ‘tidur di rumah Agni’. Bukannya Agni itu sohibnya Ify dan termasuk orang miskin???!!!

“PIIINNGGKKYYY!!!!!” teriak Rio.

“IYA, TUAN MUDA RIO,” balas Ify dan berjalan dengan cepat sambil membawa lauk menuju meja makan. “Ini lauknya udah mateng,” ujar Ify sambil meletakan sepiring sambal telur mata sapi di hadapan Rio.

“Gue bukan mau makan. Sini lo duduk, gue sidang dulu,” ucap Rio dengan mata melotot-lotot.

“Dih.... serem amat. Mana melotot terus itu mata. Sumpahin matanya keluar,” dengus Ify dalam hati. Dia membisu saja dan duduk di bangku yang posisinya berada di hadapan Ray.

Ify melihat Ray senyum-senyum ke arahnya dan Ify membalas senyum Ray dengan cengiran lebarnya.

“Heh Pinky gue nggak nyuruh elo nyengir!!” hardik Rio dan menciptakan Ify eksklusif menatap ke arah Tuan Muda resenya.

“Hari ini elo bawa Rey pergi dan pulang kemaleman.”

Ify mengangguk.

“Gue sanggup memaklumi dan memaafkan itu tapi gue denger dari Rey sendiri kalo beliau tidur di rumah Agni Agni itu. Yang bener aja dong, adek gue lo suruh tidur di tempat orang miskin!!!!!” desis Rio dengan tatapan tajamnya.

Tersentak. Itu yang Ify rasakan ketika Rio menyampaikan orang miskin. Ify menghela napas. “Biasa aja, please, jangan berkaca-kaca,” batin Ify. Belakangan ini Rio sudah jarang menyampaikan miskin dan malam ini... ketika Rio menyampaikan orang miskin Ify mencicipi dentuman di hatinya.

“Di rumah higienis kok. Aku jamin Rey nggak apa-apa,” ucap Ify dengan raut muka sebisa mungkin untuk normal.

“Awas aja lo sekali lagi bawa adek gue pergi apalagi ke rumah elo dan sohib-sohib elo itu,” ancam Rio.

“Nggak. Lrey mau ikut Kak Ify ke sana. Lrey mau main ke sana. Kak Lrio jahat,” rajuk Rey. Ia paham jika Kakaknya melarangnya untuk pergi bersama Ify.

“Di sana tempat orang miskin, Rey.”

Rey menggeleng. “Di sana enak. Lrey mau ke sana. Jangan lalrang-lalrang, Kak Lrio.”

“Kalo abang bilang nggak ya nggak, Rey!!!” hardik Rio. Dia kelepasan hingga berteriak di depan adik kesayangannya.

Huaaaa..... hikss.... huaa..... “Kak Lrio jahat. Kak Lrio malrahin Lrey. Huaaa....”

Rey mulai menangis dan mata Rio berkedip-kedip ketika melihat adiknya menangis lantaran perbuatannya. “Rey... Kak Rio nggak sengaja.”

Menggeleng. Itu lah yang dilakukan Rey. Saat Rio mau menggendongnya Rey terus menggeleng dan menghentak-hentakan badannya. “Mau Kak Ify aja. Lrey mau kak Ify... hikss..hikss..”

Ify menghela napas dan memejamkan matanya sejenak. Lalu ia menuju bangku Rey dan menggendong bocah imut yang sedang menangis itu. “Jangan nangis lagi ya, Sayang. Kan udah sama Kak Ify,” bujuk Ify. Rey masih terisak di pundak Ify dan gadis manis itu mencicipi ketakutan Rey lantaran bocah pria itu memeluk Ify dengan erat.

Rio yang masih membisu di kursinya rahasia menghela napas lega ketika tangisan Rey berkembang menjadi isakan kecil. Ify memang babysitter yang sanggup diandalkan. 


BERSAMBUNG KE PART 19....

Terima Kasih
S SAGITA D

Sumber http://sagita-shelly.blogspot.com


EmoticonEmoticon