SATU
Alyssa menatap lesu kertas yang berada di genggamannya. Sederet nama dan posisi telah tersusun rapi dalam tabel di kertas tersebut. Lagi-lagi ia hanya terpilih sebagai backing vocal. Sudah setahun Alyssa menempuh pendidikan sekolah menengahnya dengan mengambil kelas musik di Pearl Global International Senior High School, sekolah ternama yang berlokasi di kawasan pinggir kota mendekati perdesaan dengan sistem boarding school. Walaupun sekolah tersebut berada jauh dari sentra kota, akan tetapi sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah terbaik di Indonesia, tentu saja dengan bayaran yang tidak murah.
“Haruskah ‘mereka’ lagi?” keluh Alyssa ketika membaca sederet nama teratas. Nama-nama yang selalu menjadi perwakilan utama dalam setiap penampilan sebagai wakil dari kelas musik.
Alyssa memejamkan matanya dan berusaha menikmati helaan oksigen yang ia hirup. Ia harus mendapatkan ini dengan nrimo ibarat sebelum-sebelumnya. Mungkin ketika ini masih bukan kesempatan untuknya. Keinginan Alyssa juga tidak muluk-muluk, ia hanya ingin terpilih menjadi kelompok bunyi kedua atau lebih dikenal sebagai sahabat duet Alvin, perjaka yang mempunyai predikat terbaik di kelas musik untuk angkatannya. Bahkan kabar terakhir yang Alyssa dengar yaitu bahwa Alvin sudah ditarik seorang produser untuk masuk dapur rekamanan. Namun, perjaka pendiam keturunan china tersebut menolak. Alyssa tidak tahu alasannya dan ia juga berpikir bahwa hal tersebut bukan urusannya. Hal yang menjadi urusannya yaitu meningkatkan prestasinya di kelas musik untuk membahagiakan dan menciptakan besar hati seorang yang sangat ia sayangi. Satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini.
Bukk.... bugghh.... bukk...
“Lo masih berani??!!! Sini lo, Brengsek!!!!!”
“Lo pikir mentang lo sekolah di sini, lo udah hebat?!!! Cuih!!!!”
“Hajar aja, Rez!! Bikin bonyok dan kita pergi. Rugi kalo nggak bikin ia bonyok. Udah jauh kita ke sini!!!”
Alyssa mendengar percakapan bernafsu tersebut. Pasti ini lagi berantem dan tampaknya bukan siswa dari sekolah ini. Alyssa ingat betul kedisiplinan yang diterapkan oleh Pearl School. Alyssa sendiri meringis mendengar kata “bonyok”. Ia gemetaran. Harusnya ia tidak berada di halaman belakang Gedung F—gedung yang dipakai sebagai tempat acara sarapan, makan siang, dan makan malam atau jamuan lainnya—pada siang hari ini sehabis acara makan siang dibubarkan—sejak dua jam lalu—dan kini waktunya para petugas dapur untuk beristirahat. Hal tersebut menjadi alasan mengapa Gedung F tampak sepi.
“Hajar lagi, Pengecut!! Main keroyokan dan lo bangga!!! Cih!!!”
Alyssa tidak pernah ingin mencampuri urusan perkelahian kaum lelaki apalagi orang-orang yang tidak ia kenal. Setahun ini, Alyssa sendiri menyadari bahwa hanya beberapa orang di sekolah ini yang menyadari keberadaan dirinya di Pearl School. Alyssa tidak mempunyai banyak sahabat dan tidak mempunyai satupun sahabat ibarat Dira dan Inka yang selalu bersama-sama. Walaupun rasa iri pernah hinggap di hatinya, akan tetapi gadis bagus berdagu tirus itu dengan cepat menghilangkan perasaan tersebut. Ia yakin bahwa suatu hari nanti ia juga akan mempunyai sahabat. Jika mengetahui satu atau dua orang yang menyapanya aja menciptakan Alyssa sudah senang. Kata ‘keroyokan’ menciptakan gadis berambut hitam sepinggang dengan gelombang diujungnya tersebut tidak tega. Berapa lawan yang dihadapi orang tersebut? Dua? Tiga? Atau bahkan enam?
“Tidak... ini tidak bisa, aku...,” Alyssa menggelengkan kepalanya beberapa kali dan kemudian tanpa ia sadari ia sudah berlari menuju tempat perkelahian yang berada di balik tiga pohon besar akasia. Lokasi tersebut hanya berjarak dua puluh meter dari posisinya yang berada di balik kumpulan bunga asoka.
Gadis berdagu tirus tersebut terperangah ketika melihat tujuh orang lelaki dengan pakaian bebas dan seorang pria yang mengenakan seragam ibarat dirinya. Sebuah laptop yang sudah hancur berada di sela-sela akar pohon akasia dan kacamata yang salah satu frame-nya patah juga berada tidak jauh dari bangkai laptop. Bukan hal itu saja, yang lebih mengejutkan yaitu sosok seorang pria yang bangun bersender pada pohon akasia yang paling ujung dengan seragam Pearl School dan wajah memar menciptakan Alyssa meringis bahkan air matanya mulai mengalir. Gadis mempunyai bola mata hitam jernih itu menangis.
*******
Rio menatap geram sekelompok lelaki yang dari tadi berusaha menghajarnya. Masalah ini sudah berlalu semenjak ia memutuskan untuk sekolah di Pearl school, yaitu semenjak setahun lalu. Namun, orang-orang dihadapannya ini terus saja mempermasalahkannya. Ia bahkan sudah mengganti rugi insiden dulu itu dengan semua tabungan yang ia miliki dan kini mereka kembali. Apa lagi yang kurang?
Tatapan mencemooh dari ketujuh orang itu menciptakan Rio jengah. Lama-lama ia tidak bisa menahan emosinya. Akan tetapi ,lelaki berperawakan tinggi dan hidung mancung tersebut berusaha menghalau emosinya dengan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
Bukk.... kali ini kakinya menjadi target tendangan Reza. Laki-laki itu semakin terdorong merempet pada batang pohon akasia. Ini sudah tendangan yang keempat kalau Rio tidak salah menghitung. Belum lagi memar di wajahnya yang tidak mengecewakan menciptakan Rio terus meringis. Laptopnya yang sudah menjadi bangkai lagi-lagi diinjak dengan beringas oleh Dimas dan kraakkk.... kacamatanya diinjak dengan sengaja oleh Rizal. “Sialan...,” desis Rio dalam hati.
“Hajar lagi, Pengecut!! Main keroyokan dan lo bangga!!! Cih!!!” sindir Rio tajam. Ia sudah tidak tahan dan jadinya mengeluarkan kalimat tersebut. Tujuh lawan satu. Ia tau kalau ia semakin melawan bisa saja ia akan lebih dari sekedar wajah memar dan kaki bengkak. Ia bisa saja mati.
“Lo yang minta dan gue hanya memenuhinya,” ujar Reza santai dan mulai mengepalkan tinjunya dan menentukan pecahan mana dari wajah Rio yang akan menjadi sasak tinjunya. Namun, langkah kaki yang memburu mulai terdengar mendekat ke arah mereka dan kemudian munculah seorang gadis yang mengenakan seragam ibarat Rio. Gadis itu bangun sejauh sepuluh langkah dari posisi mereka dan menatap ke arah mereka dengan terperangah dan sorot mata ketakutan. Bahkan Rio memperhatikan bahwa bola mata gadis tersebut sempat melotot terkejut ketika melihat ke arah laptop, kacamata, dan terakhir dirinya. Dan tidak tahu mengapa gadis itu menangis.
“Ck... pacar lo??” decak salah satu lelaki berpakaian hitam dengan tindik di indera pendengaran kanannya. Rio mengenali bahwa ia yaitu Bimo salah satu anggota gres geng Reza.
“Dan ia nangis? Nangis liat lo mau mampus!!!” Reza tertawa sinis ke arah Rio.
Rio semakin menggeram dan mengapa gadis itu harus tiba ke sini? Bagaimana gadis itu tahu ada orang yang tabrak di belakang Gedung F? Keberadaan gadis itu menciptakan Rio harus lebih berhati-hati dalam bertindak.
Perlahan-lahan dengan langkah terseok-seok Rio berjalan menghampiri Alyssa yang sedang menangis sambil menatap ke arahnya. Gadis itu tetap memfokuskan kedua bola matanya ke arah Rio dengan air mata yang terus mengalir. “Mundur,” bisik Rio ketika ia sudah bangun di hadapan Alyssa.
Alyssa menggeleng dan tetap menangis. “Ini urusan gue. Lebih baik elo mundur,” ujar Rio. Namun Alyssa tidak bergerak barang sesenti pun.
“Drama Romeo dan Juliet!!” sinis Reza.
“Bodoh amat, Rez. Hajar aja mereka,” kompor Rizal.
“Bila perlu kita semua hajar mereka,” sahut Bimo dan sudah siap dengan tinjunya.
Alyssa mengerjapkan matanya ketika melihat kepalan tangan Bimo. Bimo yaitu lelaki dengan tubuh besar dan tentu saja kepalan tinjunya juga besar. Ia menggeleng-geleng lagi dan membuka mata kemudian mendapati wajah lelaki di hadapannya yang penuh memar.
“AKU AKAN TERIAK JIKA KALIAN TIDAK PERGI. KALIAN TIDAK TAHU SEBERAPA TINGGI SUARA SEORANG GADIS BERTERIAK. ITU BISA MENCAPAI TUJUH OKTAF DAN SIAPA YANG AKAN MENDENGARNYA? TENTU SAJA SATPAM. KALIAN PIKIR SUARA KALIAN TIDAK TERDENGAR SAMPAI DIKEJAUHAN SANA?? KALIAN SALAH BESAR. AKU YANG BERADA DI DEPAN GEDUNG INI MENDENGAR DENGAN JELAS SUARA KALIAN YANG TERBAWA ANGIN. DAN BILA KALIAN TIDAK PERGI JUGA AKU AKAN BETERIAK!!!”
Sederet kalimat tersebut terucap dari bibir kecil milik Alyssa dengan satu tarikan napas. Ia tidak tahu apakah kalimat persuasifnya akan menciptakan ketujuh lelaki sangar tersebut percaya. Ia hanya mencoba berusaha. Namun, sepuluh detik terlewati dan ketujuh lelaki itu hanya menatapnya geram dan saling melemparkan pertanyaan lewat raut wajah.
“AKU AKAN TERIAK SEKARANG,” ujar Alyssa dan menghirup napas sejenak sambil memejamkan matanya sebelum ia mengambil ancang-ancang untuk berteriak. “TOOOO.....!!!!!!”
“Stop gadis bodoh,” sambar Reza cepat. Dia tidak ingin tertangkap tangan oleh guru di sekolah ini. “Kita akan pergi dan elo Rio...” Reza menunjuk ke arah Rio dengan wajah penuh bahaya “...urusan kita belum selesai!!!!”
******
Zahra sudah menghabiskan dua jam waktunya dengan menulis di Pearl’s Libarary. Ketika ia menentukan kelas sastra pada tahun kemudian maka mulai ketika itu ia harus terus menulis karyanya. Berkarya dengan produktif semoga terus meningkatkan prestasinya.
Lima lembar kertas note book telah dipenuhi dengan goresan pena Zahra perihal resensi buku yang berjudul “Freedom but still Dependent”. Walaupun ini bukan kiprah sekolah, Zahra tetap menulisnya untuk persiapan goresan pena pertamanya pada hari pertama kelas di buka dan itu tidak usang yaitu delapan hari lagi. Zahra bukanlah satu-satunya siswa Pearl school yang telah kembali ke sekolah ketika isu terkini libur belum berakhir, meskipun ia tidak terpilih untuk tampil dalam pembacaan puisi bersambung dalam program penyambutan siswa gres sebagai wakil dari kelas sastra, hal tersebut tidak menciptakan Zahra berkecil hati dan menentukan untuk menghabiskan waktu liburannya di rumah. Gadis berambut sebahu lebih itu telah kembali ke sekolah semenjak dua hari yang kemudian dan itu berarti sepuluh hari sebelum masuk sekolah. Ada alasan khusus menciptakan seorang gadis ibarat Zahra lebih menentukan tinggal di asrama daripada di rumah. Ia butuh kenyamanan dan ketenangan yang tidak ia dapatkan di rumah. Sejak ia menentukan Pearl school maka semenjak ketika itu Zahra tahu ia akan lebih baik, setidaknya lebih baik untuk dirinya sendiri.
“Udah tahu belum kalo ada pergantian kamar asrama?”
“Belum nih. Beneran ada pergantian asrama? Gimana nanti sistemnya?”
“Iya, katanya nggak lagi kayak kemaren lho. Satu kamar terdiri dari empat orang dari kelas yang berbeda-beda. Katanya sih semoga mengurangi resiko contek-menyontek dan tindakan curang mengenai kiprah tamat sekolah.”
“Gue oke kalo kayak gini. Kemaren waktu temen kamarnya dari kelas yang sama, lagu ciptaan gue udah ada yang nyamain. Dih...nggak banget deh. Mana kena semprot Miss Winda gue.”
“Setuju. Semoga kita sekamar nanti. Eh... by the way, kapan nih pengumumannya ditempel?”
“Hari ini lho. Jam tiga. Oh iya, makanya sebelum libur itu kita disuruh beresin kamar sebersih-bersihnya.”
Percakapan sekelompok kecil para gadis yang berada tiga dingklik dari tempat Zahra duduk menarik perhatiannya. “Oh...pindah kamar asrama dengan roommate dari kelas berbeda,” gumam Zahra sambil membereskan buku-bukunya dan melirik jam tangannya.
“Wow... itu Alvin kan?” bisik Kirana kepada Werlia.
Zahra yang tidak sengaja mendengar bisikan itu menatap dari sudut matanya ke arah Kirana dan Werlia, sahabat kelas sastranya. Lalu bola mata Zahra bergerak menuju pintu masuk yang terbuka dengan seorang lelaki berperawakan tinggi, berkulit putih, dan bola mata yang sedikit sipit. Selain itu lelaki itu tampak ganteng dengan hair style ala cukup umur jepang yang sangat populer yaitu hair style cukup umur Harajuku. Bukan sosok gres bahwa Alviando Davindra yaitu perjaka populer di Pearl School bahkan Diara, sahabat sekelas Zahra, telah menciptakan ulasan biografi perihal perjaka tampan beraura hambar itu.
Tidak ambil pusing, Zahra segera memeluk buku-bukunya dan memasukan spidol dan penanya ke dalam saku rok dan segera berjalan menuju pintu keluar perpustakaan. Alviando Davindra yaitu sosok lelaki ganteng yang bukan menjadi urusannya dan Zahra juga merasa tidak perlu mempunyai urusan dengan seorang siswa dari kelas musik.
******
Aula itu sangat ramai. Pengumuman mengenai rolling kamar asrama beserta penghuninya menjadi tranding topic di Pearl School. Bahkan dari bisik-bisik tetangga yang didengar oleh Sivia bahwa teman-temannya yang belum kembali ke Pearl School dan masih menikmati liburan berceloteh panjang lebar di akun Pearl’s Base—akun resmi yang harus dimiliki siswa/siswi Pearl School—dan ada yang berencana untuk kembali ke Pearl School keesokan harinya.
Pengumuman mengejutkan yang ia dengar di ruang seni design melalui pengeras bunyi cukup menarik perhatian Sivia dan menciptakan gadis itu segera menyimpan peralatannya ke dalam tas selempangnya dan bergegas menuju aula, tempat daftar nama serta nomor kamar asrama yang telah dibentuk oleh pihak sekolah.
Pemandangan yang ramai di dalam aula menciptakan Sivia ragu untuk ikut berdesak-desakan ke dalam kerumunan tersebut. Pemandangan ramai tersebut hanya terlihat di dinding aula sebelah barat, sedangkan dinding aula sebelah timur hanya diisi oleh sembilan orang lelaki yang dengan santai membaca pengumuman tersebut.
Sivia terus mengamati kesembilan lelaki tersebut dan meneliti satu per satu melalui sudut matanya. Ia mengenali salah satu lelaki dari kesembilan orang itu. Ia sudah melihatnya berkali-kali selama satu tahun ini. Laki-laki itu yaitu Rielando. Tentu saja Sivia sering melihat Rielando alasannya yaitu lelaki itu sering berada di aneka macam program yang diadakan oleh kelas seni terutama ketika festival berlangsung. Selain itu juga, Rielando lebih gampang untuk dikenali alasannya yaitu perawakannya yang tinggi dengan wajah tampan. Yah walaupun di Pearl School ini kebanjiran perjaka berperawakan tinggi dan tampan, namun Rielando mempunyai wajah ganteng yang sulit untuk dilewatkan oleh para gadis termasuk Sivia. Hal ini berlaku apabila cewek tersebut telah mengamati Rielando dengan saksama dan itulah yang telah dilakukan oleh Sivia. Hal tersebut tidak sengaja alasannya yaitu ketika festival pada bulan April kemudian Sivia melihat Rielando bangun di depan lukisannya untuk waktu yang cukup lama. Tentu saja hal ini menarik minat Sivia untuk mengamati sosok perjaka tersebut.
“Lumayan berkurang antriannya,” gumam Sivia dan segera berjalan menuju papan pengumuman dan menarik napas untuk mulai berdesakan di dalam kerumunan yang mulai berkurang tersebut.
******
Agni berusaha menstabilkan napasnya. Gadis bagus berambut sebahu itu gres saja selesai berlari mengelilingi lapangan sebanyak tiga kali. Keringat sudah bercucuran di sekitar pelipis gadis itu. Tidak problem dengan rambut sebahunya yang sedikit lembab tanggapan keringatnya.
“Turun tujuh detik dari terakhir kali,” gumam Agni sembari melirik stopwatch yang diberikan oleh Tasha, sahabat sekelasnya. Tasha sudah meninggalkan Agni ketika gadis itu sudah menginjak garis finish. Bukan alasannya yaitu mereka mempunyai problem sehingga Tasha meninggalkan Agni begitu cepat, akan tetapi pengumuman perubahan sistem asramalah yang menjadi penyebabnya. Agni juga tidak mempermasalahkan kepergian Tasha.
Setelah napasnya terasa kembali normal Agni segera mengambil tempat duduk di ujung barat lapangan track lari. Ia ingin melihat ke arah lapangan basket, satu-satunya objek yang menarik perhatiannya selain track lari. Tentu saja lapangan basket menjadi hal yang menarik untuk Agni alasannya yaitu di sana ada seseorang yang sudah setahun ini mencuri hatinya. Saat ia gres saja menginjak kakinya di Pearl School... ketika ia gres pertama kali melihat wajah perjaka itu... ketika ia pertama kalinya melihat senyum perjaka itu... Agni sadar bahwa ketika itu yaitu pertama kalinya ia jatuh cinta. Bukankah cinta terdengar sangat sederhana bila dilihat dari pandangan Agni??
Cowok itu yaitu Cakka. Agni mengenalnya. Mereka berada di kelas yang sama untuk kelas olahraga dan kelas pelajaran wajib. Cakka yaitu salah satu siswa berprestasi di kelas olahraga terutama di bidang basket dan renang. Selain dikenal sebagai siswa berprestasi, Cakka termasuk ke dalam most wanted boy di Pearl School sehingga tidak heran apabila ada acara basket di sore hari maka lapangan basket akan dipenuhi oleh kaum hawa. Pernyataan terakhir inilah yang menciptakan Agni untuk lebih menentukan menganggumi Cakka dalam diam.
“Cih...,” dengus Agni ketika bola mata gadis itu menangkap sosok Ashilla, salah satu the most wanted girl di Pearl School dan gadis itu dari kelas musik dan klub cheers Pearl School. Sesungguhnya tidak ada alasan yang berarti untuk menciptakan Agni tidak menyukai Ashilla alasannya yaitu pada kenyataannya Agni tidak menyukai Ashilla alasannya yaitu gadis itu bersahabat dengan Cakka.
Tidak ingin berlama-lama melihat kedekatan Cakka dan Ashilla di lapangan basket, Agni segera beranjak dari tempat duduknya dan berjalan dengan cepat menuju aula yang berada cukup jauh dari lapangan. Setelah melewati pintu keluar lapangan, Agni mengganti langkah cepatnya menjadi berlari. Lebih cepat menjauhi lapangan maka ia perasaannya akan menjadi lebih baik. Menyakitkan untuknya ketika melihat Cakka mengajari Ashilla bagaimana cara bermain basket. Apakah perlu pegang-pegangan dan saling tatap ketika bermain basket? Seperti adegan sinetron alay di televisi. Agni muak.
Aula sudah mulai sepi ketika Agni tiba di sana dan papan pengumuman hanya dihuni oleh lima orang cewek. Agni tidak mengenal satu pun di antaranya. Ketika ia mendekati papan pengumuman, ada seorang cewek berdagu tirus mengangguk dan tersenyum ke arahnya menciptakan Agni buru-buru mengangguk dan tanpa sanggup ditahannya Agni memperhatikan mata gadis itu. “Menangis?” batin Agni ketika melihat masih ada sisa-sisa air mata di sekitar bola mata cewek itu.
“Bukan urusanku,” ujar Agni pelan dan mulai mencari namanya di daftar.
“Asrama Callisto nomor 24...” Agni melirik nama-nama yang berderet di bawah namanya yang masih berada di dalam satu kolom yang sama. Gadis itu tahu bahwa nama-nama itu yaitu roommate-nya.
Asrama Callisto Kamar 24
1. Agnia Putri Cantika (Sport Class)
2. Alyssa Raifyna A (Music Class)
3. Azzahra Ramadiana (Sastra Class)
4. Siviana Amanda (Art Class)
BERSAMBUNG KE DUA...
Terima Kasih Sudah Membaca
-S SAGITA D-
EmoticonEmoticon