Kamis, 13 Desember 2018

Globucksisasi Dan Diplomasi Kebudayaan


Globucksisasi dan Diplomasi Kebudayaan 

Dengan mendirikan miniature Amerika di cabang-cabangnya, Starbucks memungkinkan terjadinya proses-proses globalisasi di ranah lokal banyak sekali penjuru dunia. Starbucks mempertemukan orang-orang lokal dengan sebuah pengalaman absurd (Globucksisasi: 40)

Saya lupa kapan pertama kali makan ayam goreng di Kentucky Fried Chicken. Yang saya ingat, bahkan sampai kini, saya selalu merasa minder,cemas,gugup, lagi kikuk saat ikut antri kemudian makan disitu. Sama halnya saat menghampiri gerai Mcdonald di Pusat Grosir Cililitan (PGC) di sekitar tahun 2010 mungkin.

Oleh undangan seorang teman, saya hendak membeli burger untuk disantap di rumah. Bahkan sampai sekarang selalu saja terselip rasa minder, cemas, gugup, dan kikuk saat diajak ke KFC, McDonald, dan Pizza Hut. Saya tampaknya mengidap sejenis inferior complex dalam istilah psikologi. Perasaan menyerupai ini juga dialami oleh Rahayu Kusasi, sarjana antropologi Universitas Indonesia yang menulis buku Globucksisasi : Meracik Globalisasi Melalui Secangkir Kopi (Kepik Ungu, 2010).
Globucksisasi yaitu buku kecil yang memakai pendekatan otoetnografi (autho-etnography) dalam memahami globalisasi kedai kopi starbucks. Sederhananya yang dimaksud otoetnografi yaitu satu pendekatan penelitian yang mengakibatkan pengalaman subyektif-kultural peneliti sebagai materi baku utama seturut tema/focus penelitian yang dipilih. Peneliti yaitu instrument kunci dan pengalamannya yang menghubungkan dirinya ke dalam sistem-sistem besar menyerupai globalisasi sebagai lingkup datanya. Rahayu memakai metode ini untuk masuk ke dalam perjumpaangan sehari-harinya dengan kedai kopi Starbucks.

Metode ini menuntun Rahayu untuk masuk ke dalam dunia Starbuck, menjadi unit yang bekerja di dalamnya. Ia melamar dan bekerja sebagai barista (penyaji kopi yang dilatih secara professional). Makara Rahayu tidak menjumpai dunia starbucks sebagai pelanggan yang sesekali mampir. Ia hadir di dalamnya sebagai pekerja harian. Oleh lantaran itu ia memahami Starbucks sebagai pengalaman sehari-hari.

Dalam buku itu, Rahayu menggambarkan salah satu ciri pokok Starbucks yaitu perilaku kukuhnya untuk menjaga kemurnian dirinya. Mulai dari cita rasa, penyajian, system self-service, sampai ‘tata bahasa’ dan setting ruangan. Ia menjaga standar yang tunggal. Kemurnian itu bahkan dijaga sampai ke alat dan materi baku penunjang pekerjaan. Misalnya untuk sabun pel dan spidol saja harus diimpor.
Selain itu, tampaknya Starbucks memang hadir untuk merawat jarak kelas (ekonomi) di masyarakat konsumennya. Sebagaimana dikatakan Kusasi (hal 125) : Promosi Starbucks sangatlah ekslusif sehingga orang yang mengenal Starbucks hanyalah orang yang cukup ‘global’ saja. Bagi orang yang mengenal Starbucks dari kilasan-kilasan media saja belum tentu berani untuk memasuki toko Starbucks dengan percaya diri. Suasana toko sanggup dibilang cukup mengintimidasi, alasannya yaitu Starbucks mempunyai system penjualan yang berbeda dan sajian yang sulit. Banner-banner promosi yang ada di toko terasa sekali segmennya untuk orang-orang yang sangat berkelas tinggi dan juga ‘sangat Amerika’. Penggunaan kata-kata bahasa Inggris dalam iklan, pamflet, dan banner Starbukcs, bukanlah bahasa Inggris yang sederhana, bahkan terkadang sifatnya ‘slang’ yang sangat Amerika. Tak heran, katanya, jikalau kita ngopi di Starbuck Jakarta akan sama terasa menyerupai sedang ngopi di Starbucks Seattle, Amerika Serikat, tanah lahirnya. Dengan kata lain, Starbucks tiba memberikan pengalaman ngopi Amerika ‘yang asli’. Pengalaman ngopi yang tidak menyerap unsur-unsur budaya lokal (kecuali tenaga kerja).

Selain itu, Starbucks juga mengumpulkan kopi-kopi terbaik di dunia. Ada kopi yang berasal Amerika Latin, dari jenis Afrika dan juga dari jenis Asia-Pasifik. Kopi-kopi ini menjadi materi dari kopi yang akan disajikan di gerai Starbucks di seluruh dunia. Dengan kata lain, Starbucks telah menjadi distributor pengangkut yang membuatkan kopi-kopi terbaik (dalam versi mereka tentunya) ke seluruh dunia sekaligus mengorganisir cita rasa manusia. Salah satu pembahasan yang kiranya penting, paling kurang berdasarkan saya, yaitu pada cuilan yang diberi judul ‘Menjadi Turis di Starbucks nan Eksotis’ (halaman 127).

Di tema ini, Rahayu Kusasi mengambarkan ada proses yang berjalan terbalik dalam urusan konsumsi ruang eksotis. Jika zaman dulu konsumsi ruang eksotis ini terjadi dari Barat ke Timur sebagaimana terlihat dari kisah-kisah perjalanan juga dan kolonialisme dimana Timur difahami sebagai rumah bagi rupa-rupa eksotisme, kini, para subject Orient (manusia dari Timur) yang berbalik untuk melaksanakan hal sejenis. Tentu konsumsi ruang eksotis itu berlangsung tanpa upaya-upaya ‘kolonisasi dengan bendera dan meriam’. Proses menyerupai ini, yang secara mencolok sanggup dilihat dari perkembangan industry turisme, juga sanggup dinilai sebagai proses ‘orientalisme terbalik’.

Secara sederhana kita sanggup maknai Orientalisme Terbalik atau sanggup kita bilang Orientalisme Tahap Dua itu yaitu proses dimana subject Orient menjalani pengalamannya berjumpa Barat yang dahulu menjumpainya. Bedanya, jikalau Orientalisme Tahap Pertama dilahirkan dari kerja sama banyak unsure menyerupai system pengetahuan, militer, penjajahan, kekerasan, dan pembantaian, Orientalisme Tahap Dua atau yang terbalik ini lebih mayoritas terjadi lantaran pemuasan hasrat konsumsi yang eksotis semata. Belajar Pada Starbucks: Kuliner dan Diplomasi Kebudayaan Sisi lain yang sanggup kita gali dari buku kecil nan menarik itu yaitu korelasi antara Identitas dan karya Kuliner serta teknik penyajian yang membuatnya terglobalisasi.

Starbucks, termasuk juga McDonald dan Pizza Hut, telah mengambarkan bagaimana pengalaman mencecap masakan tidak semata-mata soal rasa yang terkandung dalam masakan atau bagaimana ia disajikan di meja makan. Tetapi juga bagaimana masakan menjadi sarana pengangkut nilai-nilai dari satu kebudayaan dimana masakan itu ditemukan dan dikembangkan terus menerus. Dengan keberhasilan menghadirkan kebudayaan masyarakat melalui sajian kuliner, sebuah bangsa sejatinya sedang melaksanakan ‘diplomasi kultural’ terhadap dunia. Diplomasi kultural yang bukan saja memberikan pada dunia bahwa ada kuliner-kuliner andal di dunia non Barat (Negara Maju), namun juga menggambarkan pencapaian karya kebudayaan yang andal dari konteks hidup yang begitu majemuk.
Dengan diplomasi kultural melalui masakan Nusantara misalnya, Indonesia sanggup memainkan tugas sebagai bangsa yang juga mendorong satu tata kelola dunia yang dihentikan dimonopoli oleh satu atau beberapa Negara demi pemuasan syahwat ekonomi misalnya. Termasuk juga diplomasi kebudayaan melalui masakan sanggup memainkan fungsi sebagai ‘perlawanan cita rasa’ terhadap system dunia yang hendak merawat kemenangan selera dan gaya hidup produk Global Monoculture nan Amerika. Hari ini masyarakat dunia sudah tahu jikalau kebudayaan Indonesia telah melahirkan beberapa masakan yang sangat Timur menyerupai sate, nasi goreng atau rendang. Akan tetapi sudahkah sate, nasi goreng dan rendang itu juga memberikan pengalaman yang lebih kaya wacana ‘berjumpa Indonesia’ dan tidak sekedar rasa Indonesia saja ?. Tantangan inilah yang barangkali menjadi pekerjaan berat para penggiat industri masakan Indonesia.




Sumber http://pajak-subsidi.blogspot.com


EmoticonEmoticon