Senin, 17 Desember 2018

Hari Pendidikan Nasional Pendidikan Gagal Membentuk Abjad Anak Bangsa

Hari Pendidikan Nasional Pendidikan Gagal Membentuk Karakter Anak Bangsa Hari Pendidikan Nasional Pendidikan Gagal Membentuk Karakter Anak BangsaUntuk memperingati Hari Pendidikan Nasional kali ini saya sendiri galau mau nulis apa, soalnya saya galau wacana sistem pendidikan di Indonesia ini. Baca surat kabar hari ini, surat kabar banyak membicarakan polemik pendidikan dan Ujian Nasional.

Karena masih galau saya coba membuatkan goresan pena di Hari Pendidikan Nasional yaitu wacana 'Pendidikan Gagal Membentuk Karakter Anak Bangsa'

Pada zaman orde gres ketika animo penataran P4 untuk pelajar Sekolah Menengah Pertama hingga mahasiswa perguruan tinggi negeri maupun swasta, juga PNS di semua forum di negeri ini, para penatar Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) dengan besar hati menyebutkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia, kita mempunyai tiga macam modal dasar yakni sumber daya alam (SDA) yang melimpah, daerah/wilayah tanah air yang amat luas, mulai dari Sabang hingga Merauke di Irian Jaya dan jumlah penduduk yang besar (lebih dua ratus juta jiwa). Pada waktu itu semua penerima penataran meng-amin-kan, tak seorangpun yang membantah.

Namun sehabis dinantikan dalam kurun waktu yang cukup usang kemakmuran itu tak kunjung datang, entah kemana perginya. Bahkan yang muncul ialah krisis moneter, krisis ekonomi, berlanjut krisis multi dimensi (1997-1998) kemudian di masa globalisasi remaja ini muncul pula krisis global. Ya, krisis dan krisis lagi, kemakmuran ternyata masih jauh dari harapan. Namun kita dilarang putus asa. Bukankah setiap orang punya potensi/bakat/kemampuan.

Jadikan krisis sebagai tantangan sekaligus peluang. "Sepanjang sejarah, kita menyaksikan bangsa-bangsa besar dibuat oleh bahaya dan krisis. Contohnya Jepang, Korea Utara, Negara-Negara Eropa dan AS serta Israel. Tanpa krisis kita akan menjadi bangsa yang malas,.... tak berinisiatif, alhasil frustrasi menjadi pengutang tak berdaya. [2]

Pertanyaan yang muncul ialah apa yang salah di negeri tercinta ini?
Ekonomikah? Atau kualitas SDM yang rendah, sehingga tidak bisa mengolah sumber daya alamnya luas dan kaya ?

Gagal

Tampaknya hingga ketika ini pendidikan nasional belum bisa meningkatkan kualitas SDM kita. Memang diakui ada beberapa orang pelajar Indonesia yang berhasil meraih medali emas dalam kompetisi Internasional menyerupai Andhika Tangguh Pradana, siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Al-Azhar Jakarta, peraih medali emas International Junior Science Olympiad (IJSO) ke 5 di Gyeyongnam,Korea Selatan (2008), Muhammad Lutfi Nur Fakhri (14), siswa kelas VIII SMPIT Ummul Quro, Bogor, peraih medali emas pada International Exhibition for Young Inventor di Taiwan, Aulya Miftahurrahmah (14), kelas VII SMPN 1, Bantul, Yogjakarta Peringkat Empat Besar Kompetisi Roket Air tingkat Pelajar se ASEAN di Hanoi, Vietnam (2008), Zefrijal Nanda Mardani (15) siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama N I Trenggalek, Jawa Timur, peraih medali emas Olympiade Astronomi Internasional di Ukrania (2007) dan peraih medali perunggu untuk olympiade serupa di Italia. Tentu kita besar hati atas prestasi yang dicapai bawah umur kita tersebut yang membuat harum bangsa Indonesia.

Namun mereka hanya sebahagian kecil dari jutaan pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu untuk bekal masa depan yang penuh tantangan.

Sekarang mari kita lihat gaya hidup bawah umur kita pada masa digital atau pada jaman imperilisme budaya remaja ini.

Tingginya tingkat kriminalitas bawah umur dan remaja, menyebabkan jumlah mereka yang masuk penjara remaja ini lebih dari satu juta orang.[3]

Dari 13 penjara yang pernah dikunjungi Meutia Hatta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, menyampaikan 80 persen penyebab mereka ditahan ialah alasannya ialah pencabulan dan pelecehan secual. Data di RSCM Jakarta, kekerasan secual yang menimpa bawah umur usia dibawah 18 tahun semenjak Juni 2000 hingga Juni 2005 mencapai 1200 kasus, pencabulan anak pria 68 kasus. Korban umumnya dibawah usia 16 tahun,belum ngerti sikap secual. Survei Yayasan Kita dan Buah Hati tahun 2005 terdapat lebih dari 80 persen anak usia 9-12 tahun di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, telah mengakses situs p0rn*. Kasus pengguguran di Indonesia 2,2 juta tiap tahun atau setiap 15 detik seorang calon bayi di negeri ini meninggal dunia.

Televisi juga mengancam sekitar 60 juta anak Indonesia. Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak tahun 2002 di Jakarta menemukan bawah umur menghabiskan sekitar 30-35 jam di depan TV selama seminggu atau setahun 1560-1820 jam, angka ini jauh lebih besar dari jam berguru anak di SD yang tidak hingga 1000 jam setahun. Apa yang mereka tonton? Ya, tayangan yang menampilkan ketelanjangan dan ataupun yang mengesankan ketelanjangan. [4]

Mau rujukan lagi? Banyak anak dan remaja kini tidak merasa bersalah jikalau berbohong, membohongi ortu/guru, rendah rasa hormat kepada ortu dan guru, pecandu narkoba dan minuman keras, sering mangkir sekolah, tidak mengerjakan PR, memalak sobat sekelas, dan sebagainya.

Kalau dikaji lebih lanjut, ya, forum pendidikan baik formal maupun non-formal yang utama seharusnya bertanggung jawab dalam hal membentuk, membimbing dan mendidik SDM yang tangguh dan unggul sekaligus punya abjad yang kuat.

Berdasarkan potret singkat tingkah polah bawah umur dan remaja kita remaja ini, banyak kalangan yang mengeritik dan menilai pemerintah gagal dalam membentuk watak/karakter dan moral anak bangsa remaja ini.

Mengapa Gagal?

Mendidik bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi hasilnya gres tertangkap berair sehabis 20 tahun mendatang. Ya, pendidikan memang investasi jangka panjang. Setelah 20 tahun berlalu gres orang bau tanah melihat bahwa anaknya sudah jadi “orang”, ya, sudah jadi menteri atau gubernur di propinsi A. Namun diantara bawah umur itu ada juga yang tidak berhasil atau gagal, beliau cuma jadi “orang-orangan”.

Mengacu kepada Undang-Undang No.20 Tahun 2003 wacana sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 1, pendidikan disebut sebagai berikut : Pendidikan ialah perjuangan sadar dan bersiklus untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran semoga penerima didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, etika mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya,masyarakat, bangsa, dan negara.

Sekurang-kurangnya, masyarakat berharap semoga pendidikan menawarkan mereka bekal untuk hidup dan bisa menghadapi tantangan zaman. Karena di masa persaingan yang ketat kini ini, banyak orang bau tanah berharap semoga anaknya memperoleh prestasi akademik yang tinggi, menguasai ilmu yang menyeluruh (IPTEK) sehingga terjamin sukses dalam kehidupannya. Ya, mungkin kayaknya superman; -Oh,oh.

Ya, begitulah, lihatlah betapa kurikulum SD hingga Sekolah Menengan Atas dirancang begitu padat. Padahal hasil penelitian Daniel Goleman (pakar Psikologi Pendidikan, AS) menemukan bahwa keberhasilan seseorang bukan ditentukan semata-mata oleh prestasi akademik (IQ) yang cuma 20 persen sedang penentu utama kesuksesan ialah kecerdasan emosi (EQ) sebanyak 80 persen.
Namun hingga kini pendidikan kita masih mengutamakan kecerdasan intelektual/IQ atau kognitif. Sehingga pembentukan/pengembangan kepribadian atau tabiat dan abjad anak sebagai variabel utama pendidikan belum jadi prioritas.[1]

Ratna Megawangi pakar pendidikan abjad berkomentar: “sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk membuat insan Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala kurikulum yang luar biasa beratnya. Padahal jikalau potensi (IQ) siswa yang hanya 90 atau 100 diberikan pelajaran komplemen apapun, tidak akan bisa meningkat hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan untuk menyiapkan 85 persen penduduk semoga mereka bisa dan trampil bekerja secara proporsional,mencintai pekerjaan dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang.”

Sejatinya kecerdasan otak yang dibarengi dengan pelatihan abjad ialah tujuan utama pendidikan. Lihatlah Jepang, Korea dan Taiwan yang menawarkan prioritas pendidikan abjad kepada SDM-nya, mempunyai etos kerja tinggi, ekonomis dan mau “bersusah-susah” dulu untuk “membangun istana masa depan”. Mereka populer sebagai negara produsen yang handal dan berkarakter tinggi. [5]

Saya menyadari judul goresan pena ini memang bersifat debatable alasannya ialah tidak semua orang bisa menerimanya. Hemat saya komunitas pendidik termasuk orang bau tanah perlu introspeksi. Apakah selama ini kita sudah melakukan tugas-tugas edukatif tidak hanya sebatas mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing serta memotivasi dan menawarkan rujukan teladan. Pengetahuan memang penting, namun pembentukan watak, kepribadian sehat yang dibekali aliran agama juga tidak kalah pentingnya.

Mari kita jadikan rumah tangga dan sekolah sebagai -school of love-mendidik dengan kasih sayang alasannya ialah bergotong-royong anak ialah amanah. Orangtua dan guru dengan penuh tanggungjawab berafiliasi mengarahkan anak menuju kehidupan yang lebih baik.

[1]H.M.Farid Nasution,MA, Harian Analisa
[2] Rhenald Kasali, Kompas, 4 April 2009,
[3] Harry Hikmat,Direktur Anak Depsos, Waspada, 11 Maret 2009,
[4] Sabili, No.08, 6 Nopember 2008,
[5] Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, 2004, h.12.

Video pilihan khusus untuk Anda, Matematika Dapat Mempengaruhi Karakter Kita;
Hari Pendidikan Nasional Pendidikan Gagal Membentuk Karakter Anak Bangsa Hari Pendidikan Nasional Pendidikan Gagal Membentuk Karakter Anak Bangsa


Sumber http://www.defantri.com


EmoticonEmoticon