Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Aliansi Nasional Reformasi kitab undang-undang hukum pidana menuntut pemerintah semoga menarik draf Revisi Undang-Undang kitab undang-undang hukum pidana dan membahasnya kembali dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin dengan melibatkan aneka macam pihak.
Hal tersebut disampaikan Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mewakili 37 ormas dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ketika konferensi pers, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018).
“Hentikan seluruh perjuangan mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial,” kata Erasmus.
Selain itu, kata Erasmus, aliansi masyarakat sipil ini juga menuntut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) semoga menolak RUU kitab undang-undang hukum pidana menjadi dagangan politik partai-partai di DPR.
Mengapa RKUHP Harus Ditolak?
Setidaknya terdapat 7 alasan yang disampaikan oleh aliansi ini sebagai dasar tuntutan mereka. Pertama, RUU kitab undang-undang hukum pidana dianggap sangat represif dengan persepektif pemenjaraan melebihi kitab undang-undang hukum pidana produk kolonial.
Asril, perwakilan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LEIP), dalam kesempatan yang sama menyatakan, dari 1.251 perbuatan pidana dalam draf RUU KUHP, 1.198 di antaranya diancam dengan pidana penjara. Menurut dia, kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan forum pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas.
“Kami mau menghilangkan kolonialisasi, salah satunya dengan mengurangi ancaman hukuman. Saat ini kita malah menaikkan ancaman eksekusi melebihi Belanda itu sendiri," kata Asril.
Ia mencontohkan, pasal penghinaan presiden yang ancaman hukumannya naik satu tahun, dari 4 tahun penjara menjadi 5 tahun yang sanggup menciptakan pelakunya eksklusif ditahan. “Di Belanda itu tidak hingga 5 tahun,” kata Asril.
Kedua, aliansi ini berpandangan draf RUU kitab undang-undang hukum pidana yang ketika ini disusun dewan perwakilan rakyat dan pemerintah belum berpihak pada kelompok rentan, terutama perempuan. Menurut Khotimun Sutanti atau yang dekat disapa Imun, perwakilan LBH APIK, hal ini terlihat dalam pasal perzinaan dan “samenleven.”
Imun menilai, dua pasal tersebut dibentuk tanpa pertimbangan yang matang dan berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat tabiat dan 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan mempunyai dokumen perkawinan resmi.
"Ini sanggup meningkatkan angka kawin di anak-anak yang sudah dialami 25 persen anak wanita di Indonesia. Data BPS 5 persen dari anak yang kawin di anak-anak itu putus sekolah," kata Imun.
Selanjutnya, kata Imun, dua pasal tersebut juga rentan menjerat korban kekerasan secual dengan pidana dan membatasi hak mereka terhadap jalan masuk kesehatan.
“Korban kekerasan secual akan takut untuk melapor. Karena ia sanggup justru dipidanakan ketika tidak sanggup menunjukan dirinya sebagai korban. Ketika mereka memeriksakan kerusakan organ tubuhnya akhir kekerasan juga malah sanggup dipidana," kata Imun.
Lagi pula, kata Imun, pemerintah tidak sempurna memidanakan ranah privat. Dua pasal tersebut justru memperlihatkan lemahnya tugas pemerintah dalam menanggulangi kekerasan secual.
"Pidana itu ultimum remidium yang harusnya menjadi penyelesaian paling selesai dari sebuah persoalan. Apakah tugas agama, budaya dan pendidikan sudah segagal itu hingga ranah privat dipidanakan," kata Imun.
Ketiga, aliansi ini juga berpandangan RUU kitab undang-undang hukum pidana mengancam jadwal pembangunan pemerintah, terutama jadwal kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan.
Ricky Gunawan, perwakilan dari LBH Masyarakat, dalam kesempatan yang sama mengatakan, larangan penyebaran informasi perihal kontrasepsi, menyerupai yang termaktub dalam pasal 534 RUU kitab undang-undang hukum pidana berpotensi menghambat jadwal pencegahan HIV/AIDS.
“Ini wujud miskoordinasi antarlembaga pemerintah. Ada kriminalisasi terhadap k0nd0m. Kalau k0nd0m dikriminalisasi akan menghambat jadwal penanganan HIV/AIDS," kata Ricky.
Keempat, aliansi ini beropini RUU kitab undang-undang hukum pidana mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Ade Wahyudin, perwakilan dari LBH Pers menyatakan, salah satu bukti dalam hal ini yakni pasal 309 RUU kitab undang-undang hukum pidana perihal “Berita Bohong” dan pasal 328-329 perihal contempt of court.
Ade menyoroti pasal 309 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang menyiarkan gosip bohong atau pemberitahuan bohong yang menjadikan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling usang 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".
Menurut Ade, frasa "mengakibatkan keonaran" pada ayat (1) tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan untuk mengkriminalisasi wartawan yang kesehariannya mencari berita.
Ade mencontohkan multitafsir ayat tersebut ketika ada wartawan meliput suatu kasus korupsi, kemudian mewawancarai KPK dan mewawancarai narasumber lain untuk mendapat cover both side sesuai etika jurnalistik. Namun, ketika gosip tersebut sudah disiarkan dan ternyata narasumber tidak akurat dan tidak betul memberi informasinya, maka wartawanlah yang akan dianggap memberitakan kebohongan.
"Ini sanggup teman-teman kena pasal tersebut," kata Ade.
Hal yang sama, kata Ade, juga sanggup berlaku bagi pasal contempt of court. Menurut dia, ketika wartawan meliput di pengadilan, hakim atau pihak manapun sanggup memperkarakan dengan alasan menghipnotis integritas hakim alasannya yakni gosip yang tersiar dianggap tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.
Terkait ini, Ade merujuk pada Pasal 329 karakter (d) yang berbunyi "Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akhir yang sanggup menghipnotis sifat tidak memihak Hakim dalam sidang pengadilan."
Sementara, kata Ade, apabila merujuk pada pasal 328, maka wartawan sanggup dikenakan pidana 5 tahun penjara alasannya yakni perbuatan tersebut.
Pasal lain yang sanggup membungkam kebebasan berekspresi yakni pasal 494 Tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia yang berbunyi “Setiap orang yang membuka diam-diam yang wajib disimpannya alasannya yakni jabatan atau profesinya baik diam-diam yang kini maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling usang 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".
Ade menilai, maksud diam-diam di sini masih multitafsir. Sedangkan wartawan dalam melaksanakan wawancara kerap mendapat informasi yang bersinggungan dengan diam-diam instansi tertentu, namun diungkapkan oleh narasumber secara terbuka.
"Jadi nanti ketika teman-teman wartawan mempublikasikan diam-diam jabatan, yang ketika ini memang belum terang apa itu diam-diam jabatan yang berada di RKUHP, teman-teman sanggup juga kena pasal ini," kata Ade ketika dilansir dari Tirto.
Kelima, aliansi ini juga menilai RUU kitab undang-undang hukum pidana masih memuat banyak pasal karet dan tak terang yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat. Erasmus, perwakilan dari ICJR mengatakan, bukti atas hal ini yakni masuknya unsur living law atau peraturan yang hidup di masyarakat dalam RUU KUHP, yakni pasal 2.
"Yang ancaman itu aturan itu tidak diinterpretasikan oleh pemangku adat, tapi oleh KUHP. Penegakan hukumnya juga oleh aparat. Ini sanggup menciptakan Anda yang tidak tahu tabiat suatu kawasan terkena pidana alasannya yakni dianggap melanggar hal itu," kata Erasmus.
Anggota Brimob Penembak Kader Gerindra Bekas Ajudan Cagub Maluku Dalil Saksi Ahli Sultan Soal Dasar Larangan Cina Punya Tanah di DIY Hukum Jika Terdapat Kemiripan Merek (Brand) Produk Makanan Pengelolaan Dana Desa: Kemenkeu Sebut 200 Desa Terkena OTT Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini Langkah Awal Robert Pakpahan Nakhodai Direktorat Jenderal Pajak Tugas Luky Sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko KPK Cocokan Bukti Aliran Dana Korupsi e-KTP ke Anggota DPR Wejangan Menteri Keuangan untuk Direktur Jenderal Pajak yang Baru Robert Pakpahan Dirjen Pajak Baru
Perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Tama S. Langkun menilai, adanya delik-delik pidana korupsi dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana sanggup menciptakan KPK tidak berfungsi dan melemah. Karena, kitab undang-undang hukum pidana nantinya akan menuntut UU Pemberantasan Korupsi No 28 tahun 1999 dan UU KPK nomor 30 tahun 2002 menyesuaikan yang berpotensi menghilangkan beberapa pasal penindakan korupsi yang spesifik.
"Penyesuaian dalam kitab undang-undang hukum pidana itu tidak tepat. Makara lebih baik UU Korupsi yang diperkuat," kata Tama.
Ketujuh, merujuk pada enam alasan sebelumnya, aliansi ini menganggap RUU kitab undang-undang hukum pidana telah faktual dibahas tanpa melibatkan forum pemerintah dalam sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya.
"Presiden Jokowi harus hati-hati, alasannya yakni kalau RKUHP ini disahkan kini sanggup merugikan pemerintahannya alasannya yakni dianggap membangkang konstitusi," kata Erasmus. (***)
Sumber http://artonang.blogspot.com
EmoticonEmoticon