Rabu, 19 Desember 2018

Pendidikan Yang Menghukum Indonesia

Oleh: Rhenald Kasali

Lima belas tahun kemudian saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah kawasan anak saya berguru di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, elok sekali. Padahal, beliau gres saja tiba di Amerika dan gres mulai berguru bahasa.

Karangan yang beliau tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya, goresan pena itu buruk. Logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, hingga beliau menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang mendapatkan saya hanya bertanya singkat.

“Maaf, Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah ketika yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak
anaknya dididik di sini,” lanjutnya.

“Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang biar maju. Encouragement!”, beliau pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, gres tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya sanggup menjamin, ini yaitu karya yang hebat,” ungkapnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya menerima pelajaran berharga. Kita tidak sanggup mengukur prestasi orang lain berdasarkan ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menuntaskan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari jadwal master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menuntaskan studi jungkir balik ditengarai bahaya drop out dan para penguji yang siap menerkam.

Padahal, ketika menempuh ujian jadwal doktor di luar negeri, saya sanggup melewatinya dengan mudah. Pertanyaan para dosen penguji memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun, suasana ujian dibuat sangat bersahabat.

Seorang penguji bertanya, sedangkan penguji yang lainnya tidak ikut menekan. Melainkan ikut membantu memperlihatkan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka memperlihatkan grafik-grafik yang saya buat dan membuktikan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan.

Pada ketika kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di kursi ujian.

Etikanya, seorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan. Tapi yang sering terjadi di tanah air justru penguji marah-marah, tersinggung, dan berbagi gosip tidak sedap seperti kebaikan itu ada udang di balik batunya.

Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, berdasarkan irit saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukannya melaksanakan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul.

Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga cenderung menguji dengan cara menekan. Ada semacam unsur balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Lantas saya berpikir, pantaslah belum dewasa di sana bisa menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan peserta Hadiah Nobel. Bukan sebab mereka punya guru yang akil secara akademis, melainkan abjad hasil didikan guru-gurunya sangat kuat: yaitu abjad yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas belum dewasa kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ungkapnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor belum dewasa di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang gres tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, menyerupai berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, beliau mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah memperlihatkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu, saya pun mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa bersalah dikarenakan telah memberinya evaluasi yang tidak objektif.

Dia pernah protes ketika mendapatkan nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya justru menyampaikan bahwa “gurunya salah”. Kini, saya bisa melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Bisakah kita mencetak orang-orang andal dengan cara membuat rasa takut?

Bukan tidak tidak mungkin kita yaitu generasi yang dibuat oleh sejuta ancaman: Rotan pemukul, dilempar kapur atau penghapus oleh guru, setrap, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata ancaman: Awas…; Kalau…; Nanti…; dan tentu saja goresan pena berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin membuat kita lebih disiplin. Namun, juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.

Temuan-temuan gres dalam ilmu otak ternyata memperlihatkan otak insan tidak statis, melainkan sanggup mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, sanggup tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari. atau sumbangan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, kecerdasan m anusia sanggup tumbuh, tetapi sebaliknya juga sanggup menurun.

Ada orang akil dan ada orang yang kurang akil atau bodoh. Tetapi, juga ada orang yang “tambah pintar” dan ada pula orang yang “tambah bodoh”.

Mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan bahaya atau ketakutan.

Bantulah anak Indonesia untuk maju.

Smoga bacaan ini, bisa bantu temen2 wacana makna mendidik..
Mendidik yaitu utk merangsang anak biar maju,

Membantu menemukan potensi terbaik anak dan mengembangkannya,
Menjadikan anak berbudi pekerti yang baik.

SALAM PERUBAHAN POLA PIKIR


Sumber http://ekonominator.blogspot.com


EmoticonEmoticon