Sudah sering kita mendengar pepatah “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”. Mungkin alasannya yaitu seringnya didengar, kata-kata ini hanya berakhir di indera pendengaran kita dan tidak diteruskan ke otak kita untuk dicerna. Sesuatu yang biasa-biasa saja akan gampang dilupakan, menjadi cuek dan tidak ada arti sama sekali. Begitu juga dengan pepatah ini walaupun kita tahu ada pesan di baliknya.
Yang lebih disayangkan lagi alasannya yaitu keteledoran kita meresapi pesan tersebut, baik sadar atau tidak sadar kita justru menyebabkan diri sendiri sebagai referensi pepatah tersebut.
Mari lihat sekeliling kita. Bukankah ada, jikalau tidak mau dibilang banyak, dokter yang melarang pasiennya merokok alasannya yaitu ancaman rokok tersebut, tapi justru dirinya sendiri seorang perokok? Guru yang melarang anak didiknya menyontek tapi justru membocorkan tanggapan ujian Nasional? Pemimpin agama yang mengajarkan nilai-nilai susila tapi justru mengecewakan pengikutnya dengan tindakannya sendiri? Kita masih ingat Departemen Agama yang menyalahgunakan dana jemaat haji. Saya juga tahu ada seorang pendeta yang harus melepaskan kependetaannya alasannya yaitu kasus korupsi. Ada juga referensi dari luar negeri, Wolfowitz yang menawarkan kritik pada banyak negara wacana KKN dan berjanji membuat suasana kerja higienis di Bank Dunia, tapi ternyata menjadi pelaku KKN itu sendiri.
Atau lebih mudahnya, mari kita lihat diri sendiri. Sudah berapa kali kita menasihatkan belum dewasa kita untuk tidak buang sampah sembarangan, tidak bersikap sombong, tidak menghakimi orang lain dan hal-hal baik lainnya? Tapi, berapa kali pula kita justru melaksanakan hal yang berlawanan?
Saya masih ingat betapa kecewanya saya saat saya dan beberapa sobat “memergoki” kepala SD dan beberapa guru yang beli bakso di pinggir jalan dan memakannya di kantor guru. Padahal beberapa hari sebelumnya ia menasihati kami, murid-muridnya, untuk tidak jajan di sekolah. Beliau mengingatkan kami betapa pentingnya kebersihan. “Coba lihat, ibu kalian niscaya mencuci dulu wajan yang digunakan untuk masak masakan jikalau ingin menggunakannya untuk masak masakan lain. Nah, tukang jualan di pinggir jalan cuma punya seember air untuk mencuci semuanya,” begitu kata-kata ia yang masih saya ingat hingga sekarang, lebih dari 20 tahun kemudian. Tetapi saya juga masih ingat sikapnya yang kikuk saat mencoba membela diri dengan mengatakan, “Apa yang saya katakan wacana larangan jajan itu benar, jadi tergantung pada kau semua.” Mungkin rasa kecewa dan ketidakmengertian yang sangat besar yang membuat saya masih mengingat semuanya itu.
Saya yakin para guru itu aib tapi satu hal yang saya tidak yakin apakah mereka tahu, yaitu imbas yang terjadi pada murid-murid sehabis insiden ini. Murid-murid tidak percaya lagi pada guru dan segala pesan yang tersirat yang guru berikan akan masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.
Ada 3 hal yang terjadi saat pemberi pesan justru menjadi pelanggar pesan.
Pertama, dan biasanya yang menerima lebih banyak sorotan, yaitu rasa aib dan hilang muka si pemberi pesan. Banyak orang akan mencibir dan tidak percaya lagi kepadanya. Ini harus ditanggung sendiri, alasannya yaitu merupakan buah dari perbuatannya. Yang
kedua, hilangnya kepercayaan pada badan, organisasi atau pengertian yang lebih luas yang diwakili pemberi pesan tersebut. Misalnya kasus pembocoran tanggapan ujian nasional yang dilakukan para guru dari beberapa sekolah yang berbeda. Bisa terjadi orang tidak hanya mencibir atau mengkritik para guru yang menjadi pelaku tersebut tapi juga terhadap semua guru pada umumnya. Begitujuga kritikan dan kecurigaan tidak hanya ditujukan pada pegawai negeri yang korupsi tapi pada seluruh pegawai negeri.
Hal ketiga yaitu akhir yang paling parah yaitu hilangnya rasa kepercayaan pada pesan itu sendiri.
Pemberi pesan dan pesan yang diberikan memang memiliki kaitan yang sangat erat. Sayangnya begitu eratnya sehingga saat pemberi pesan berubah–karena menjadi pelanggar pesan—maka pesannya juga akan terpengaruh padahal pesan itu tidak berubah. Sering kita dengar pernyataan ibarat “Buat apa berhenti merokok, wong dokter aja merokok…” atau “Buat apa rajin belajar, gurunya aja bocorin jawaban. Buat apa jujur, semua orang korupsi kok. Buat apa ada KPK, bukankah korupsi semakin merajalela…” dan sebagainya.
Pernyataan “Berbicara memang lebih gampang dari pada melakukan…” hendaknya jangan membuat kita mundur. Pesan-pesan, kritik, atau anjuran yang positif tetap harus disampaikan baik melalui perkataan maupun perbuatan. Agar penyampaian secara verbal mencapai tujuan dan tidak menjadi senjata makan tuan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, wacana pemberi pesan.
Jangan hanya tujukan perkataan Anda hanya pada orang lain tapi tujukan juga pada diri Anda sendiri. Sebagai pembicara tanpa disadari kita menempatkan diri kita pada posisi yang benar dan biasanya merasa lebih dari orang lain/pendengar. Posisi ini membuat kita tidak waspada. Ini memudahkan terjadinya kesalahan yang justru tiba dari diri sendiri. Sebaliknya jikalau kita yaitu peserta kritik atau nasihat, posisi kita membuat kita mawas diri sehingga tidak gampang jatuh.
Hal kedua yaitu wacana pesan itu sendiri.
Kalau kita mendengar perkataan orang lain berupa pesan, kritik, anjuran dsb, hendaknya yang lebih kita resapi, ingat dan camkan yaitu pesan itu sendiri, melebihi pemberi pesannya. Kaprikornus kalau pemberi pesan berubah, pesan tetap sama alasannya yaitu sudah memiliki nilai tersendiri.
Belakangan gres saya sadari bahwa apa yang dikatakan kepala sekolah saya saat kepergok murid-muridnya, itu benar. Ingat, bukan diri kepala sekolah itu yang benar tapi perkataannya wacana larangan jajan di sekolah.
Jadi, KPK harus tetap ada, mungkin harus ada perubahan dalam cara kerja ataupun pekerjanya tapi tujuannya tetap harus kita dukung, yaitu memberantas korupsi. Belajar yang baik dan jujur tetap harus kita lakukan alasannya yaitu menyontek yaitu salah satu jalan menuju kebodohan. Seberapa pun banyaknya dokter yang merokok, tidak mengurangi kenyataan bahwa merokok merusak kesehatan. Nilai-nilai susila yang baik tetap harus kita tanamkan tidak peduli berapa pemimpin agama yang telah jatuh dalam kesalahannya sendiri.
Ini hanya beberapa referensi yang terjadi dalam masyarakat kita. Saya yakin masih banyak lagi hal ibarat ini yang kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Hendaknya kita bisa memilah antara pemberi pesan dan pesan itu sendiri. Harapan saya, kita tetap mendukung semua pesan, kritik, nasehat dan apa pun yang bertujuan baik. Jangan hingga Anda menjadi pelanggar pesan dan jangan biarkan pesan baik terlupakan hanya alasannya yaitu si pemberi pesan menjadi pelanggar pesan.
[Kindeng Temminck-Simamora yaitu lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sastra Belanda. Ia sudah hobi menulis semenjak kecil, tetapi gres belakangan ini menerima keberanian memunculkan tulisannya untuk umum. Kindeng sanggup dihubungi di email:kindeng@yahoo.com]
Video pilihan khusus untuk Anda 😊 Pesan Bapak Anies Baswedan saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan;
Jumat, 11 Januari 2019
Pesan Yang (Hampir) Terlupakan
Diterbitkan Januari 11, 2019
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon