
P E N D A H U L U A N
Dalam masa reformasi dan dan situasi krisis moneter yang kini ini terjadi membuat banyak perusahaan maupun bank-bank menjadi tak berdaya. Bahkan banyak diantara menjadi gulung tikar sehingga timbul banyak sekali macam perkara.
Dngan banyaknya masalah yang timbul akhir situasi tersebut disatu sisi memperlihatkan banyak pekerjaan bagi para hebat hukum, salah satunya yang bergerak sebagai Pengacara litigasi. Namun untuk menjadi Pengacara yang tangguh dalam bidang perdata diharapkan pengalaman dan keahlian diantaranya ialah dalam membuat somasi atau menganalisa suatu somasi yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu Gugatan atau Jawaban. Kadangkala walaupun pokok perkaranya benar namun bila cara membuat gugatannya tidak tepat atau keliru, maka hal itu akan membuat somasi menjadi kandas ditengah jalan. Demikian pula dalam masalah tertentu bila tidak sanggup memperlihatkan analisa aturan yang tepat atau keliru sehingga dalam membuat Gugatan atau Jawabannya tidak tepat atau keliru maka hal ini tentunya merugikan kepentingan klien. Untuk itu diharapkan pemantapan keahlian yang harus dimiliki sebelum terjun di bidang litigasi di Pengadilan.
Unuk menanggulangi hal tersebut maka diharapkan pendalaman pemahaman terhadap masalah-masalah dasar yang akan sering dijumpai dalam melaksanakan praktek beracara perdata di Pengadilan .
Pemahaman mengenai bagaimana bila akan beracara (perdata) di Pengadilan baik itu dalam kaitan gugat menggugat biasa atau dalam Pengadilan Niaga ialah sangat penting sekali. Pemahaman yang benar akan sanggup memperlihatkan jalan keluar atau “problem solving” atas masalah yang diserahkan oleh klien untuk dicarikan jalan keluarnya tersebut. Kadangkala Pengacara Litigasi sanggup berperan sebagai Kuasa Tergugat yang harus bisa mengaplikasikan pengetahuan aturan perdatanya baik dari aspek acaranya (formil) maupun dari aspek aturan perdata materiilnya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan lantaran kesempurnaan dalam membuat suatu Jawaban sanggup menggagalkan suatu guatan dari lawannya. Karenanya tidak ada salahnya kita untuk mempelajari kembali masalah-masalah ini sebagai suatu “refreshing” semasa kuliah dulu sekaligus untuk sanggup dijadikan sebagai salah satu pegangan dalam menerapkan ilmunya dalam praktek khususnya dalam Praktek Hukum Perdata.
Surat Kuasa (khusus)
Pendahuluan
Dalam setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain yang sifatnya mewakili, maka setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus sanggup memperlihatkan keabsahannya dalam mewakili tersebut. Keabsahan tersebut diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan Surat Kuasa.
Surat Kuasa dilihat dari bentuknya dikenal dua macam yaitu Kuasa yang diberikan secara verbal dan Surat Kuasa yang diberikan secara tertulis. Kuasa secara verbal diatur dalam HIR dimana seseorang sanggup secara verbal memperlihatkan kuasanya kepada pihak lain dihadapan Hakim yang dilakukan di depan persidangan. Walaupun kuasa sanggup diberikan secara verbal namun dalam praktek hal tersebut jarang dilakukan , tentu saja hal tersebut akan menyulitkan terutama terhadap pihak yang mendapatkan kuasa, lantaran tidak ada bukti autentik.
Disamping itu juga tidak ada jaminan kepastian aturan baik bagi pemberi kuasa maupun bagi peserta kuasa, dan lantaran tidak ada batasan kewenangan mengenai apa yang dikuasakan maka hal itu merupakan bibit konflik persengketaan dikemudian hari bagi pihak yang merasa dirugikan.
Karena hal-hal tersebut diatas maka guna menghindari adanya perselisihan mengenai batasan apa yang dikuasakan orang pada umumnya lebih menyukai surat kuasa diberikan dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa secara tertulis ini sifat pelimpahannya sanggup dilakukan secara umum dan sanggup dibentuk dalam pelimpahan yang sifatnya khusus. Adapun pembuatan Surat Kuasa ini sanggup dilakukan secara dibawah tangan atau dilakukan didepan Notaris. Dalam hal-hal tertentu adakalanya seorang kuasa/ peserta kuasa lebih menyukai pemebrian kuasa ini dilakukan di depan Notaris atau menjadi suaatu akte yang autentik. Dengan dibuatnya kuasa di depan Notaris tersebut selain mempunayi kekuatan bukti yang tepat juga pihak [pemberi kauas tidak gampang untuk mencabut kuasa tersebut, terutama bila pihak peserta kuasa merasa keberatan serta tidak menyetujui pencabutan tersebut. Bila surat kuasa diberikan dibawah tangan maka pencabutannya sanggup gampang dilakukan, salah satu caranya ialah dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim yang mengusut masalah tersebut dimana tembusannya diberikan kepada peserta kuasa. Namun bila pemberian surat kuasa dilakukan di depan Notaris maka pencabutannya tidak sanggup dilakukan dengan pencabutan hanya kepda Notaris dan tembusanya kepada peserta kuasa saja. Bila peserta kuasa tidak baiklah maka pencabutannya harus dilakukan dengan suatau somasi di Pengadilan. Dalam praktek hal ino jarang terjadi lantaran sipemberi kuasa tersebut dalam waktu bersamaan akan mengahdapi satu masalah lagi disamping masalah yang diserahkan kepada peserta kuasanya tersebut.
Maka diharapkan dengan bentuk tertulis terang dan tegas hal-hal apa saja yang diberikan dalam suatu surat kuasa.
Dengan demikian semakin menjadi terang batasan hak yang dikuasakan baik bagi pemberi kuasa maupun bagi peserta kuasa sendiri. Pemberi kuasa tak sanggup menuntut terhadap hal-hal yang tidak dikuasakan, sedangkan peserta kuasa juga tak sanggup melaksanakan kuasa melebihi kuasa yang diberikan.
Bila hal ini terjadi maka pihak yang dirugikan sanggup menuntut kepada peserta kuasa secara pribadi kepada peserta kuasa, sedangkan tindakan yang dilakukan peserta kuasa yang tidak dikuasakan tersebut menjadi batal demi hukum.
Surat kuasa secara tertulis dibagi atas dua macam , pertama surat kuasa umum dan surat kuasa khusus.
Dalam kaitan ini yang akan diuraikan ialah mengenai surat kuasa yang digunakan dalan praktek baik di Pengadilan-Pengadilan, Kepolisian maupun Kejaksaan. Surat Kuasa (khusus) perlu dicermati dengan baik lantaran kesalahan atau kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa tersebut akan membuat batal demi aturan apa yang telah dikuasakan tersebut.
Kekeliruan dalam pembuatan surat kuasa( khusus) yang tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil akan membuat somasi yang diajukan menjadi batal atau dinyatakan tak sanggup diterima oleh Pengadilan.
Bahkan ada dalam masalah kepailitan dimana Penasehat Hukumnya begitu yakin akan keabsahan Surat kuasanya sehingga dalam permohonan pailit yang diajukannya baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun kasasi di Mahkamah Agung ternyata hanya melulu membahas dan lebih menekankan pada keabsahan suarat kuasa (khusus) yang dibentuk tersebut, walaupun pada akhirnya dua permohonan pailitnya akhirnya kandas ditengah jalan dimana Mahkamah Agung menyatakan permohonan pailit yang diajukan tak sanggup diterima lantaran tidak dipenuhinya persyaratan keabsahan yang telah ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku.( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999) Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1986 No. 2339/K/Pdt/1985 telah membatalkan putusan judeks fakti yaitu putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 6 November 1984 No. 398/Pdt/1984 yang isinya memperkuat putusan Pengadilan Negri Jakarta Pusat tanggal 31 Januari 19784 No. 516.1983/G yang menyatakan somasi Penggugat tak sanggup diterima.
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut antara lain menilai judeks fakti telah salah menerapkan hukum.
Dan bahwa pasal 123 HIR tidak diwajibkan adanya penyebutan dengan tegas nama Pengadilan Negri aturan mana somasi harus diajukan.
Walaupun dalam pasal 123 HIR tidak diatur secara spesifik mengenai perincian hal-hal apa yang harus dimuat dalam suatu suirat kuasa (khusus)namun dalam pembuatan Surat kuasa (khusus) sekurang-kurangnya harus memuat. Nama para pihak, subjek (identitas);
1. Pokok Sengketa atau obyek sengketa
2. Nama Pengadilan
3. Apa berlaku juga untuk banding/kasasi
Ad.1 Nama Para Pihak
Untuk menentukan para pihak dalam pembuatan surat kuasa juga sangat penting sekali, lantaran kekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak memberi kuasa dalam suatu surat kuasa juga sanggup membuat somasi menjadi kandas ditengah jalan. Kekekeliruan dalam menentukan siapa yang berhak bertindak memberi kuasa terutama bila pemberi kuasa itu suatu tubuh aturan akan menimbulkan masalah dalam gugatan.
Seperti putusan Mahkamah Agung terhadap somasi tanah budbahasa terhadap Gubenur Kepala daerah Irian Barat (sekarang papua) ternyata dal;am tingkat Peninjauan Kembali putusan kasasi yang memenangkan penggugat seorang warga negara tersebut dibatalkan lantaran ada kesalahan dalam menentukan subjek siapa yang harus digugat. Padahal proses somasi itu telah berlangsung lebih dari lima tahun, maka hal ini sungguh ironis sekali.
Mengenai tidak dipenuhi keabsahan surat kuasa khusus sanggup membuat kandas suatu gugatan. Pihak yang bertanggung jawab dalam membuat surat kuasa khusus tentunya ialah pengacaranya, kekeliruan dalam membuat surat kuasa yang tidak sesuai dengan keketntuan dalam pasal 123 ayat(1) HIR juga sanggup menimbulkan tidak diterimanya suatu gugatan.
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam hal siapa yang berwenang memperlihatkan kuasa maka dalam hal ini perlu diperhatian hal-hal sebagai berikut :
a. Apakah pemberi kuasa merupakan orang perorangan ?
Apabila yang memperlihatkan orang perorangan (persoonlijke) maka hal-hal yang seyogyanya diperhatikan ialah si pemberi kuasa termasuk dalam pengertian cakap aturan diantaranya ia ialah pemilik barang yang disengketakan, tidak hilang ingatan, tidak berada dalam pengampuan/curatele. Bila pada waktu proses somasi berjalan pemberi kuasa meninggal dunia dan ternyata tidak ada persetujuan dari semua hebat waris untuk melajutkan somasi maka somasi sanggup gugur.
b. Apakah pemberi kuasa merupakan kumpulan orang-orang yang tidak berbadan aturan atau yang berbadan aturan ?
Seperti kita ketahui bersama bahwa pemberi kuasa sanggup merupakan suatu kumpulan orang –orang namun tidak berbadan aturan menyerupai Persekutuan Perdata (matschaap), Firma dan Naamloze Vennoschap/CV. Bentuk komplotan perdata banyak kita jumpai pada praktek dokter bersama, law firm (kantor hukum) .
Pada bentuk komplotan perdata maupun firma maka yang berhak memberi kuasa ialah mereka para sekutu yang tercantum dalam sertifikat pendirian komplotan tersebut. Sedangkan pada CV maka pemberi kuasa ialah sekutu komanditer.
Apabila pemberi kuasa berbentuk suatu tubuh aturan maka harus dibedakan antara tubuh aturan yang berlatar belakang ketentuan sebagian aturan publik dan sebagian aturan privat dalam hal ini aturan perdata, juga ada tubuh aturan yang murni tunduk dan diatur dalam ketentuan aturan perdata. Mengenai tubuh aturan publik yang juga terikat dengan ketentuan aturan perdata diantaranya ialah Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan maka pihak yang sanggup memberi kuasa masing-masing ialah Kepala Jawatan untuk Perusahaan Jawatan, Direksi Perum untuk Perusahaan Umum dan Direksi Perseroan untuk Perusahaan Perseroan. Sedangkan untuk tubuh aturan lain yang murni tunduk pada aturan perdata ialah Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi dan Dana Pensiun. Untuk Persroan Terbatas dibedakan anatara PT Tertutup dan PT Terbuka. Sedang pada PT Terbuka yaitu PT yang telah melaksanakan go public masih tregantung pada para pemegang sahamnya sehingga sanggup berupa Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri atau yang bergerak dibidang Perbankan. Karenanya dalam mencermati siapa yang berhak dalam memperlihatkan kuasa tergantung dari anggaran dasar PT tersebut yang tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas saja tapi juga memperhatian ketentuan yang diatur dalan peraturan perundangan pasar modal, Perbankan. Seperti contohnya dalam perbankan maka bila bank tersebut masih sehat maka pihak yang sanggup memperlihatkan kuasa ialah direksi yang ditunjuk dalam anggaran dasarnya. Namun bila bank tersebut telah diambil alih oleh Pemerintah lantaran dianggap tidak sehat lagi maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17 tahun 1998 Direksi tidak sanggup memberi kuasa kepada pihak lain sebelum ada persetujuan dari pihak BPPN.
Hal ini pernah terjadi dalam masalah permohonan kepailitan dimana pihak kuasa aturan tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan gres yang telah berkembang serhingga dalam permohonan pailit yang dilakukan tidak memperoleh target artinya permohonan pailitnya kandas ditengah jalan lantaran syarat formil dalam suatu suarat kuasa khusus yaitu siapa yang berwenang dalam memperlihatkan kuasa tidak diperhatikan. .( Putusan No. 09K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999 dan Putusan No. 10K/N/1999 tertanggal 11 Mei 1999) Sedangkan Penerima Kuasa disini ialah mereka yang telah menjadi Sarjana Hukum dan telah mempunyai ijin beracara baik yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setempat yang dikenal dengan Pengacara atau yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang dikenal sebagai Penasehat aturan atau Advokat. Untuk Pengacara yang perijinannya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi setemapat setelah memenuhi persyaratan tertentu maka Pengacara yang sanggup ijin tersebut hanya sanggup beracara di Pengadilan Tinggi setempat. Bila beracara diwilayah Pengadilan Tinggi lain kadang-kadang sanggup juga tapi dengan ijin insidentiil dari Pengadilan Tinggi tersebut. Namun dalam praktek kebijaksanaan tersebut tidak merata, lantaran ada Pengadilan Tinggi yang sanggup memperlihatkan ijin insidentiil tapi ada yang tidak dapat. Namun ijin praktek Pengacara sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung hanya sanggup beracara di wilayah Pengadilan Tinggi setempat saja.
Untuk Penasehat Hukum dimana perijinannya diberikan oleh Menteri Kehakiman(dulu) dengan melalui persetujuan dari Mahkamah Agung lebih dulu dengan memenuhi persyaratan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi setempat maka barulah ijin diberikan. Ijin ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Namun bila praktek di Pengadilan Tinggi diluar wilayah Pengadilan Tinggi yang menjadi domisili Penasehat aturan tersebut maka sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Penasehat aturan tersebut hanya cukup memberitahukan rencana beracaranya saja diwilayah Pengadilan Tinggi yang dituju tersebut dengan beberapa tembusannya. Dalam praktek Penerima Kuasa sanggup lebih dari satu orang, karenanya dalam Surat Kuasa tersebut para Penerima Kuasa yang namanya tercantum harus menandatangani surat kuasa tersebut.
Konsekwensinya ialah dalam membuat somasi bila sebagai Penggugat atau membuat Jawaban sebagai Terrgugat maka para Penerima Kuasa seluruhnya harus menandatangani surat-surat tersebut Kadang-kadang sering dalam praktek salah satu peserta kuasa sedang menghadiri persidangan di luar kota tentunya penandatangan surat tersebut tidak sanggup ditunda lantaran jadwal persidangan telah ditentukan.
Maka untuk menghindari hal tersebut dalam surat kuasa pada kolom peserta kuasa harus dimasukkan klausul, baik secara bahu-membahu atau sendiri-sendiri sebagai peserta kuasa. Dengan dimasukannya klausul tersebut maka bila ada salah satu atau lebih peserta kuasa tidak sanggup menandatangani baik itu somasi atau Jawaban lantaran sedang berada di luar kota, maka penandatangan surat tersebut cukup oleh salah satu peserta kuasa saja.
Ad.b. Obyek gugatan
Kemudian obyek dari somasi juga harus ditentukan dan dituliskan dalam kolom khusus tersebut contohnya apakah somasi itu berkaitan dengan wan prestasi atau cidera kesepakatan ataukah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Dalam praktek mengenai banyaknya masalah sungguh bervariasi contohnya ada masalah yang berkaitan dengan penyerobotan, sewa menyewa, sengketa hak milik, kredit macet dan sebagainya.
Secara umum sanggup dikatakan dalam persengketaan yang dianggap merugikan hak perdata salah satu pihak terdiri dari dua hal sebagaimana diatas yaitu cidera janji/wan prestasi dan perbuatan melawan hukum. Suatu masalah dianggap merupakan suatu sengketa wan prestasi bila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hubungan aturan antara para pihak biasanya dibentuk secara tertulis lebih dulu. Sehingga bila ada hal-hal yang dilanggar sebagaimana yang telah tertuang dalam perjajian itu maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa wan prestasi/cidera janji. Sedangkan bila anatara para pihak tidak ada kekerabatan aturan menyerupai suatu perjanjian dinatara mereka, namun kemudian ada pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak dan kemudian dianggap merugikan hak perdata pihak lain dimana pelanggaran itu dianggap tindakan yang melanggar peraturan aturan yang berlaku maka terhadap sengketa ini termasuk sebagai sengketa perbuatan melawan hukum.
Ad.c. Nama Pengadilan
Pada kolom khusus ini maka pengisian hak-hak apa saja yang dimasukkan harus benar benar diperhatikan, apakah dalam hal ini sebagai Penggugat atau sebagai Tergugat juga harus ditegaskan. Demikian pula juga harus diperhatikan bila sebagai Penggugat maka untuk menentukan di pengadilan mana somasi ini akan diajukan ini juga penting. Karena salah menentukan pengadilan akan timbul majemuk eksepsi baik yang merupakan eksepsi yang adikara atau eksepsi yang relatif atau mungkin berkaitan dengan eksepsi-eksepsi yang berkaitan dengan pokok perkara. Untuk menentukan di pengadilan mana somasi ini diajukan biasanya mengacu pada dua hal yaitu ketentuan pada pasal 118 HIR bila para pihak tidak mencantumkan secara khusus dalam suatu perjanjian yang telah disepakati. Namun bila para pihak yang bersengketa telah menyepakati dalam perjanjian diantara mereka adanya ketentuan yang mengatur mengenai tempat penyelesaian contohnya di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka walau para pihak tidak berada diwilayah di Pengadilan Negri Jakarta Pusat maka somasi tetap diiajukan di Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Akan tetapi bila diantara para pihak yang bersengketa tidak ada perjanjian tertulis ihwal penyelesaian bila terja di sengketa maka gugatannya diajukan dengan mengacu pada pasal 118 HIR.
Kemudian pada tahap berikutnya ialah menentukan siapa saja para pihak yang akan digugat. Untuk menentukan para Tergugat juga kadang berkaitan dengan penentuan di Pengadilan mana somasi itu diajukan terutama bila ada Tergugat yang paling dianggap menimbulkan kerugian bagi Penggugat berada bersama sama dengan para Tergugat lainnya. Maka para Tergugat lainnya yang secara tidak eksklusif dianggap turut terlibat maka harus juga dimasukan sebagai Turut Tergugat. Hal ini untuk menghindari adanya eksepsi yang mungkin diajukan oleh lawan ihwal eksepsi kurangnya para pihak sebagaimana yang telah diputus dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.mengenai persona standi dari pihak-pihak yang digugat juga memerlukan kecermatan dan kalau perlu membuat sedikit pemeriksaan untuk menentukan status dan alamatnya secara tepat. Dalam menentukan status pihak Tergugat juga harus dipahami sebelumnya mengenai apakah Tergugat dituntut sebagai pribadi atau sebagai (Direksi) suatu tubuh aturan tertentu, atau mungkin dituntut dalam 2 kapasitas sebagaimana diatas. Dalam menentukan alamat maka kita harus yakin bila si Tergugat memang bertempat tinggal atau berdomisili di tempat tersebut. Bila si Tergugat mempunyai beberapa alamat maka alamat yang terakhir sebagai tempat domisili terakhir. Namun kadang-kadang seluruh alamat Tergugat dalam hal tertentu ditulis semua biar somasi sanggup diajukan pada Pengadilan Negri dimana akan banyak asset dari para Tergugat yang harus disita dalam pengajuan somasi tersebut.
Ad.d Hak Banding dan Kasasi
Dalam mencantumkan klausul hak banding dan kasasi ini memang tidak ada yang seragam diantara kantor aturan atau law firm. Ada kantor yang secara standar dalam surat kuasanya selalu mencantumkan adanya hak untuk menyatakan banding atau hak untuk menyatakan kasasi ini. Tapi ada pula kantor aturan lain tidak mencantumkan hak banding untuk pada ketika berperkara di tingkat Pengadilan Negri. Dalam praktek setelah masalah diputus maka pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan isi putusan itu sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan undang-undang akan mengajukan hak bandingnya untuk putusan pengadilan negri dan hak mengajukan kasasi untuk putusan Pengadilan Tinggi. Hak banding ini dimasukan tersendiri dalam suatu surat kuasa yang baru. Sebenarnya bisa saja menggunakan surat kuasa yang usang sepanjang dalam surat kuasa tersebut dicantumkan hak banding atau hak kasasi. Namun kadang-kadang ada kendala dimana pada ketika telah diputus di tingkat Pengadilan Negri ternyta panitera pengganti belum melaporkan adanya putusan ini pada bagain banding dan kasasi. Kadang-kadang berkas masalah tertinggal atau masih ditangan panitera pengganti dengan alasan sedang mengetik putusan. Sedangkan dalam pengajuan banding atau kasasi tersebut harus ditunjukan suarat kuasa aslinya bukan salinannya. Oleh lantaran itu untuk menghindari kesuulitan tehnis manajemen tersebut biasanya para Pengacara lebih menentukan membuat suarat kuasa khusus baru, sekaligus sebagai bukti bahwa kliennya tetap masih mempercayainya untuk membantu perkaranya di tingkat tersebut.
Sebenarnya masih ada hak-hak peserta kuasa yang harus dicantumkan dalam setiap surat kuasa. Seperti hak untuk mengajukan dan mendapatkan Jawaban, Replik, Duplik, saksi-saksi dann bukti-bukti, kesimpulan dan termasuk mendengarkan putusan. Kadangkala terjadi suatu debat seru antara kuasa aturan dengan majelis hakim mengenai hak-hak tertentu yang tidak dicantumkan terutama bila si kuasa aturan ini ialah kuasa subtitusi. Maka apabila ada hak –hak tertentu tidak dicantumkan menyerupai hak mendapatkan Jawaban, Duplik dsb maka Hakim akan menolak seruan kuasa aturan mendapatkan Jawaban atau Duplik bila tidak dicantumkan hak-hak tersebut. Sering terjadi ternyata dalam kuasa subtitusi hanya dicantumkan hak untuk mendapatkan Jawaban saja sehingga pada sidang berikutnya kuasa aturan tersebut ditolak hadir dalam persidangan lantaran tidak ada hak untuk tahap Replik atau Duplik, apalagi bila masalah tersebut menyangkut masalah somasi perceraian .
Demikian pula dengan hak untuk membuat dan menandatangani dading/perdamaian serta mencabut masalah dari rol sebaiknya hak ini dicantumkan. Karena pernah terjadi perdamaian yang telah ditandatangani kuasa aturan diingkari oleh klienya dengan alasan ia tidak memperlihatkan hak tersebut. Hal ini kadang-kadang bisa membuat si kuasa aturan digugat kliennya di Pengadilan dan biasanya sekaligus ingin membatalkan apa yang telah disepakati dalam sertifikat dading sebelumnya.Hak untuk mencabut masalah dari rol ini bila tidak dicantumkan akan membuat si kuasa aturan tidak sanggup mencabut masalah begitu saja bila telah terjadi suatu perdamaian dengan pihak lawan. Perkara tersebut gres sanggup dicabut bila ada kuasa gres yang mencantumkan hak tersebut. Sedangkan hak rekopensi sangat penting untuk dicantumkan terutama bila kita sebagai Tergugat dan mempunyai kesempatan untuk mengajukan somasi balik atau yang dikenal dengan somasi rekopensi. Kalau si kuasa aturan sebagai kuasa Tergugat tidak mencantumkan hak tersebut kemudian dalam Jawabannya ia membuat dan mengajukan pula somasi rekopensi, maka somasi rekopensi ini tidak mempunyai dasar aturan lantaran si kuasa aturan tidak mempunyai hak untuk mengajukan hal itu. Dengan perkataan lain somasi rekopensinya menjadi batal demi hukum. Hak penting yang lain yang harus dicantumkan ialah hak subtitusi baik sebagian atau seluruhnya. Dalam praktek kadang-kadang dalam masalah tertentu misanya menyangkut peraturan pertanahan maka ada hal-hal tertentu yang tidak sanggup dikuasai secara tepat kemudian ditengah perjalananan persidangan ada orang yang dianggap menguasai hal itu maka dengan adanya hak subtitusi ini akan memperlihatkan kemudian bagi si kuasa aturan untuk melimpahkan kuasanya baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain yang dipercayai tersebut. Atau bisa juga dalam jadwal persidangan tersebut ada beberapa masalah yang ditangani secara bersamaan sehingga mau tidak mau harus dikuasakan kepada pihak lain yang namanya tidak tercantum dalam surat kuasa semula.
Setelah surat kuasa tersebut dibentuk dan isinya telah dianggap cukup oleh baik Pemberi Kuasa maupun Penerima Kuasa maka sebagai perwujudan terjadinya pendelegasian wewenang tersebut diwujudkan dalam penandatanganan surat kuasa khusus tersebut oleh kedua pihak. Dan penandatanganannya dilakukan diatas meterai yang berlaku sesuai dengaan ketentuan pemeteraian.
Memang antara satu Kantor Hukum/Law Firm dengan kantor lainnya tidak ada semacam standarisasi mengenai hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dalam surat kuasa. Demikian pula Mahkamah Agung-Republik Indonesia dalam beberapa putusannya mengenai surat kuasa tidak pernah memperlihatkan suatu standarisasi surat kuasa. Namun dari hasil Raker Mahkamah Agung-Republik Indonesia paling tidak dalam surat kuasa dimasukan 4 hal sebagaimana diatas.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan masalah tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan mendapatkan Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut masalah dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memperlihatkan keterangan-keterangan yang berdasarkan aturan harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, mendapatkan uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, mendapatkan dan melaksanakan pembayaran dalam masalah ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini sanggup dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya berdasarkan aturan menyerupai yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan berdasarkan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan masalah tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan mendapatkan Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut masalah dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memperlihatkan keterangan-keterangan yang berdasarkan aturan harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, mendapatkan uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, mendapatkan dan melaksanakan pembayaran dalam masalah ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini sanggup dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya berdasarkan aturan menyerupai yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan berdasarkan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan masalah tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan mendapatkan Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut masalah dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memperlihatkan keterangan-keterangan yang berdasarkan aturan harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, mendapatkan uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, mendapatkan dan melaksanakan pembayaran dalam masalah ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini sanggup dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi,hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya berdasarkan aturan menyerupai yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan berdasarkan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan masalah tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan mendapatkan Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut masalah dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memperlihatkan keterangan-keterangan yang berdasarkan aturan harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, mendapatkan uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, mendapatkan dan melaksanakan pembayaran dalam masalah ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini sanggup dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya berdasarkan aturan menyerupai yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan berdasarkan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Pembanding, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani banding di Pengadilan Tinggi………………………………atas Putusan Pengadilan Negri No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan…………………………….selaku Terbanding.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan masalah tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan mendapatkan Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut masalah dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memperlihatkan keterangan-keterangan yang berdasarkan aturan harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, mendapatkan uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, mendapatkan dan melaksanakan pembayaran dalam masalah ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini sanggup dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya berdasarkan aturan menyerupai yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan berdasarkan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
KHUSUS :
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Terbanding, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani memori banding di Pengadilan Tinggi………………………………atas Putusan Pengadilan Negri No………/Pdt.G/2000/…………tertanggal…………lawan……………………………………selaku Pembanding.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan masalah tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan mendapatkan Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut masalah dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memperlihatkan keterangan-keterangan yang berdasarkan aturan harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, mendapatkan uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, mendapatkan dan melaksanakan pembayaran dalam masalah ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini sanggup dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya berdasarkan aturan menyerupai yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan berdasarkan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan masalah tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan mendapatkan Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut masalah dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memperlihatkan keterangan-keterangan yang berdasarkan aturan harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, mendapatkan uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, mendapatkan dan melaksanakan pembayaran dalam masalah ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini sanggup dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya berdasarkan aturan menyerupai yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan berdasarkan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
KHUSUS
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku Termohon Kasasi, mewakili, mengajukan dan menanda-tangani memori kasasi kasasi di Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan Tinggi………………No………/Pdt/2000/…………tertanggal…………lawan………………………………………selaku Pemohon Kasasi.
Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan masalah tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani gugatan, Replik, Kesimpulan,perdamaian/dading, mengajukan dan mendapatkan Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut masalah dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memperlihatkan keterangan-keterangan yang berdasarkan aturan harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, mendapatkan uang dan menandatangani kuitansi-kuitansi, mendapatkan dan melaksanakan pembayaran dalam masalah ini, mempertahankan kepentingan pemberi kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima kuasa.
Surat kuasa dan kekuasaan ini sanggup dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi, hak rekopensi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya berdasarkan aturan menyerupai yang dimaksudkan dalam pasal 1812 KUHPerdata dan berdasarkan syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Langkah-Langkah Dalam Pembuatan Gugatan
I.Pendahuluan
Seseorang atau tubuh aturan atau kumpulan orang-orang bila merasa dirugikan hak perdatanya oleh pihak lain sanggup melaksanakan somasi kepada pihak yang merugikan tersebut. Diantara para pihak mutlak harus ada perselisihan hukum.. Adapun pihak yang merugikan tersebut juga sanggup berupa perorangan, kumpulan orang-orang ataupun suatu tubuh hukum.
Apabila pihak yang dirugikan bermaksud menggugat pihak yang merugikan kemudian tiba pada pengacara, maka bila kita berperan sebagai seorang pengacara atau penasehat hukumnya tentunya harus membuat langkah-langkah persiapan dalam proses membuat gugatan.
Dalam membuat somasi tidaklah semudah yang diperkirakan oleh kebanyakan para pengacara. Kesalahan dalam membuat somasi sehingga secara formil tidak terpenuhi akan membuat somasi menjadi kandas ditengah perjalanan. Bahkan bisa jadi masalah pokoknya menjadi tidak terlindungi, justru malah berdebat dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan eksepsi.
Namun yang merugikan klien apabila dalam membuat somasi cara penyusunan dalil-dalil tidak disesuai dengan bukti-bukti yang ada sanggup membuat somasi tidak sanggup dibuktikan. Atau dengan perkataan lain sanggup membuat suatu somasi menjadi ditolak.
Oleh lantaran itu dalam membuat somasi kita harus hati-hati dan cermat jangan hingga kekeliruan dan ketidak-cermatan akan membuat somasi menjadi kandas ditengah perjalanan.
II.Tahap Persiapan
Dalam membuat suatu somasi memang diharapkan kecermatan dan kehati-hatian, lantaran kekeliruan-kekeliruan yang dibentuk dalam membuat somasi baik itu yang menimbulkan syarat formil dan materiil somasi tidak terpenuhi akan membuat somasi kandas ditengah jalan. Demikian pula sebagimana menyerupai pada ketika pembuatan Surat Kuasa Khusus maka dalam membuat somasi ada hal-hal yang harus benar-benar diperhatikan diantaranya ialah sebagai berikut :
1. Siapa yang akan digugat, apakah sebagai pribadi ataukah sebagai suatu tubuh aturan ataukah pula sebagai keduanya ?
2. Di- pengadilan mana somasi akan diajukan, apakah somasi ini mengenai suatu perjanjian dan apakah dalam perjkanjian telah disepakati mengenai penyelesaian terjadinya sengketa; bagaimana bila pihak yang akan digugat tidak ada kekerabatan aturan sebelumnya ?
3. Bukti-bukti apakah yang dimiliki oleh klien, apakah buktinya lengkap atau hanya sebagian ataukah hanya berupa foto copi saja?
4. Apakah Tergugat mempunyai asset yang akan disita sebagai jaminan somasi biar tidak menjadi sia-sia ?
Dalam membuat suatau somasi sesungguhnya harus dikumpulkan lebih dulu data-data yang dimiliki klien. Tentunya data-data tersebut berkaitan dengan bukti-bukti yang dimiliki oleh klien. Kadang –kadang bukti-bukti yang diajukan klien kita tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Bila terjadi demikian maka kita harus pintar mengingatkannya sehingga seluruh data-data bukti diserahkan seluruhnya. Dengan data bukti yang lengakap akan memudahkan kita menentukan langkah-langkah aturan yang akan menuntaskan masalah tersebut.Apabila data bukti yang akan mendukung somasi klien kita sudah terkumpul maka adakalanya diharapkan suatu pemeriksaan terhadap para pihak yang akan digugat. Apakah pihak yang akan digugat merupakan orang perorangan , kumpulan orang-orang atau suatu tubuh hukum. Kadang-kadang sanggup digugat sebagai perorangan dan sekaligus tubuh hukumnya juga bila kita sulit mengklarifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita klien kita.Kemudian juga perlu diteliti alamat tempat tinggal terakhir perorangan yang akan digugat, domisli dari tubuh aturan yang terakhir. Demikian pula bila yang digugat ialah bank cabang maka terhadap bank cabang tersebut sanggup digugat secara berdiri sendiri dan bukannya kantor sentra bank tersebut yang digugat lantaran bank cabang.
Pada waktu melaksanakan pemeriksaan tersebut juga perlu dicheck kembali asset asset yang masih dimiliki oleh pihak yang akan digugat tersebut. Letak batas-batas tanah yang mungkin akan diajukan sebagai jaminan atas somasi klien kita harus terang diketahui batas-batasnya juga data-data pendukungnya.
Kalau perlu diminta pula kronologis masalah yang menimbulkan sengketa yang merugikan klien kita kemudian dikonfirmasikan kembali kepada klien bila masih ada data-data yang tidak jelas.
Setelah data-data bukti telah lengkap sebagimana yang dimiliki klien kita dan peristiwa-peristiwa aturan yang terjadi telah membentuk suatu kelengkapan dalam pembuatan suatu somasi maka langkah pertama ialah membuat surat kuasa lebih dulu sebagaimana yang telah pernah diuraikan.
III. Menentukan siapa yang menjadi Penggugat
Untuk sanggup menntukan siapa yang akan menjadi Penggugat atau yang berhak secara aturan memperlihatkan kuasa kepada kita maka diharapkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bila klien kita yang dirugikan berupa perorangan maka yang perlu diteliti ialah apakah ia mempunyai kekerabatan aturan dengan pihak yang akan digugat atau ada hak perdatanya yang dilanggar dimana pelanggaran dilakukan secara melawan hukum.
Demikian pula bila klien kita merupakan kumpulan orang-orang baik yang berupa firma, matschaap atau namloze vennoschap (cv) maka yang sanggup bertindak sebagai penggugat sekaligus pemberi kuasa ialah para sekutu yang sah sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya. Bila Penggugatnya berupa tubuh aturan maka kita harus lebih cermat untuk menentukan siapa yang sanggup mewakili dari tubuh aturan itu.
Tapi secara umum yang sanggup memperlihatkan kuasa atau mewakili sebagai penggugat ialah Direksi yang memang berwenang sebagaimana yang telah ditentukan dalam anggaran dasarnya. Namun dalam hal tertentu kita harus hati-hati menentukan siapa yang mewakili sebagai penggugat (yang memberi kuasa). Seperti Bank yang disamping tunduk dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas juga pada Undang-Undang Perbankan sanggup pula diatur dengan peraturan-peraturan lain yang membuat siapa yang berwenang dan mewakili sebagai penggugat menjadi berubah. Untuk itu kita harus mengikuti adanya perkembangan peraturan-peraturan baru.
IV. Menentukan siapa yang menjadi Tergugat
Sebagaimana dalam pembuatan Surat kuasa Khusus maka dalam menentukan para pihak yang akan digugat juga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Apakah ada pihak yang dianggap telah melaksanakan tindakan yang merugikan hak keperdataan klien kita dan sanggup dipertanggungjawabkan secara aturan ?
2. Apakah diantara klien kita dengan para pihak yang merugikan tersebut mempunyai kekerabatan aturan ?
3. Bila mempunyai kekerabatan aturan apakah dalam perjanjian yang telah disepakati ada ketentuan yang mengatur penyelesian sengketa ?
4. Perlunya informasi yang terakhir mengenai domisili dari para pihak dan data-data sepanjang assets para pihak yang akan digugat tersebut.
Dalam kekerabatan dimasyarakat kadangkala mungkin terjadi ada tindakan kita yang dianggap pihak lain merugikan hak keperdataannya padahal kita tidak merasa melakukannya.
Secara aturan apabila ada perbuatan yang dilakukan yang berdasarkan pandangan satu pihak masuk akal dan tidak ada masalah namun oleh pihak lain dianggap merugikan dianggap sebagai suatu tindakan kelalaian yang berdasarkan pasal 1365 dan pasaaal 1366 KUHPerdata sanggup dituntut secara aturan penggantian kerugiannya.
Kemudian pihak yang dianggap merugikan secara eksklusif tersebut dimasukan sebagai Tergugat utama gres ditentukan pihak-pihak lain yang secara tidak eksklusif dianggap turut serta merugikan tersebut. Kaitan yang harus diperhatikan ialah dal;am penyusunan somasi terhadap masalah yang demikian penyusunan para tergugat tersebut harus memperhatikan ketentuan pasal 118 dari ayat 1 hingga ayat 4 HIR. Ketentuan ini harus diperhatikan biar tidak ada eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi relatif.
Namun apabila diantara para pihak kemudian ternyata ada kekerabatan aturan sbelumnya dimana kekerabatan aturan itu berbentuk suatu perjanjian; kemudian dalam perjanjian tersebut para pihak telah sepakat mengenai pengadilan atau tubuh tertentu sebagai penyelesaian bila terjadi perselisihan aturan maka pengajuan somasi dilakukan ditempat yang yang telah disepakati tersebut.
Sedangkan para pihak yang akan digugat ialah pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian yang telah dilanggar tersebut.
Dalam penentuan pihak-pihak yang akan digugat biasanya dipersiapkan pula sekaligus kelengkapan data-data baik itu mngenai alamat terakhir pihak yang akan digugat juga data-data mengenai harta kekayaan tergugat yang diperkirakan akan dimasukkan dalam daftar sita jaminan. Data-data harta kekayaan tersebut sebaiknya dibentuk selengkap mungkin sehingga tidak terjadi kekeliruan sita. Bila terjadi kekeliruan tersebut akan membuat biaya sita menjadi membengkak lantaran adanya duakali atau lebih permohonan sita. Kalau perlu harus diketahui batas-batas dari tanah yang akan disita tersebut menyerupai batas sebelah utara dengan tanah siapa sebelah timur dengan jalan apa, sebelah selatan dengan tanah siapa dan sebelah barat dengan tanah siapa pula, dan kadang-kadang somasi bisa menjadi batal. Detail yang lengkap ini diharapkan biar pada waktu registrasi sita jaminan di BPN menjadi lebih mengikat atau merupakan sita jaminan yang sah dan berharga. Kadangkala bila tanahnya belum bersertifikat maka tembusan penetapan sita jaminan dan isu acaranya diberikan ke pihak Kelurahan dan Kecamatan. Ini dimaksudkan bila terjadi jual beli atas tanah girik tersebut pihak terkait dalam hal ini Camat sebagai PPAT dan Lurah sebagai saksi tidak bersedia melaksanakan pembuatan akte jual beli tersebut.
V. Persona Standi in Judicio
Setelah menentukan siapa Penggugat dan siapa saja yang menjadi Tergugat sekaligus menentukan di Pengadilan mana somasi itu akan diajukan maka hal itu merupakan serpihan dari persona standi dari somasi ini.
Untuk lebih meyakinkan lagi sebaiknya dicheck lebih dulu apakah antara Penggugat dengan para Tergugat jumlah dan alamatnya sama sebagaimana yang telah tertuang dalam surat kuasa (khusus). Bila tidak sama maka sanggup membuat pihak Tergugat kemungkinan untuk mengajukan eksepsi atas kekurangan ini.
Dalam menuliskan data-data baik dari penggugat maupun dari Tergugat maka baik data-data menyerupai nama, pekerjaan dan alamatnya serta kapasitas sebagai Tergugat harus terang benar. Apakah Tergugat digugat dalam kapasitas pribadi atau personafikasi dari suatu tubuh hukum. Atau sanggup pula digugat dalam kapasitas sebagai pribadi dan tubuh hukumnya sekaligus.
VI. Posita Gugatan
Dalam penyusunan posita dalam praktek sanggup diklasifikasikan ada 3 macam model yang sering dipakai.
Model pertama, bila data-data atau bukti-bukti yang akan digunakan memang sudah lengkap, dan kekerabatan aturan dianatara para pihak memang sudah terang maka pada serpihan posita somasi akan disusun sedemikian rupa dari masalah yang luas menjadi menyempit menyerupai kerucut. Sehingga setiap orang akan gampang memahami bila somasi tersebut ialah merupakan somasi wan prestasi atau perbuatan melawan hukum. Disamping itu runtutan insiden aturan telah disusun dengan baik. Penyusunan model demikian akan nampak terang gampang dipahami lantaran peristiwa-peristiwa aturan (rechtfeits) yang merupakan dalil-dalil yang didukung bukti-bukti yang dikemukakan seluruhnya. Dari peristiwa-peristiwa aturan yang disusun terang nampak kapan tergugat wan prestasi atau kapan tergugat telah melaksanakan perbuatan melawan hukum. Penyusunan dengan cara ini akan lebih tepat bila gugatannya dibentuk dengan memperhatikan syarat formil dan materiil suatu gugatan.
Model kedua, dalam penyusunan somasi maka insiden hukum-pertistiwa aturan yang diajukan hanya merupakan dalil-dalil yang hanya didukung oleh sebagian bukti-bukti yang dimiliki. Sedang sebagian bukti lainnya diajukan sanggup tahap berikutnya setelah ada Jawaban dari tergugat.Biasanya model yang demikian digunakan bila kuasa hukumnya sendiri belum begitu yakin akan bukti-bukti yang dimiliki kliennya. Namun bisa juga lantaran ada kekerabatan aturan tertentu dari insiden aturan yang diajukan masih samar-samar. Oleh lantaran itu biasanya pada tahap Replik gres sebagian lagi bukti-buktinya diajukan. Strategi ini biasanya digunakan juga bila kliennya hanya mempunyai sebagai bukti-bukti saja sedang sebagian lain ada di tangan tergugat. Atau dengan perkataan lain hanya mempunyai sebagian bukti saja sedang sebagian lagi biasanya hanya foto copinya saja lantaran aslinya berada di tangan tergugat atau pihak lain.
Model ketiga, bila klienya hanya mempunyai sebagian kecil bukti saja maka penyusunan positanya biasanya merupakan dalil-dalil pernyataan yang sifatnya memancing. Namun lantaran disusun seolah juga mempunyai bukti, sehingga biasanya lawan akan terpancing dan memperlihatkan tanggapannya dalam Jawaban dan lebih mempertegas lagi dalam Dupliknya . Kadangkala ada juga pengacara yang begitu gampang terpancing sehingga ia dalam menyusun Jawabannya akan membuat dalil penjelasan yang berikut bukti-buktinya tanpa menyadari bila hal itu ialah seni manajemen lawannya.
Namun sering pula dalam praktek kuasa aturan lawan tidak mau terpancing, terutama pengacara senior. Bahkan pada waktu pembuktian ia akan menyatakan akan menyakan bukti aslinya pada kliennya lebih dulu bila lawannya menyatakan buktinya ada pada kliennya. Sehingga pada sidang berikutnya niscaya akan menyatakan bukti orisinil tidak ada pada kliennya. Hal-hal lain yang harus diperhatikan dalam membuat posita maka setelah peristiwa-peristiwa disusun tentunya ada tjuan yang hendak dicapai dalam pengajuan somasi tersebut yaitu sita jaminan (conservatoir beslag). Permohonan sita jaminan sebagai jaminan biar somasi tersebut tidak menjadi sia-sia belaka harus diajukan bahu-membahu dalam gugatan. Kadang-kadang walau telah diajukan dalam posita somasi juga diajukan lagi dalam permohonan tersendiri. Apabila kita melihat adanya indikasi si tergugat berusaha mengalihkan harta kekayaannya kepada piohak lain guna menghindari tanggung jawab dari somasi ini maka permohonan sita jaminan sanggup diajukan pada ketika berkas masih berada dalam kewenangan Ketua Pengadilan ( berkas belum dibagi). Disamping itu permohonan sita jaminan sanggup diajukan pada ketika di periksa Mejelis hakim dan biasanya dikabulkan atau tidak setelah melalaui proses pembuktian. Dalam serpihan posita setidak-tidaknya dimasukkan pula alasan-alasan permohonan putusan serta merta akan diajukan, uraian mengenai dwangsom, perincian ganti rugi matriil dan immateriil dalam somasi gantirugi atas perbuatan melawan aturan yang dilakukan tergugat serta hal-hal ini diubahsuaikan dengan kasus-kasus yang dihadapi.
VII. Petitum Gugatan
Apabila kita membuat petitum dalam suatau somasi maka dalil-dalil yang akan dituntut dalam petitum harus diuraikan lebih dulu dalam serpihan posita, gres sanggup dimntaakan dalan serpihan petitumnya. Makara kalau tidak pernah diuraikan terlebih dulu alasan-alasan hukumnya pada serpihan posita maka hal itu tak sanggup dituntut dan diajukan pada serpihan petitumnya.
Dapat pula dimasukkan permohonan subsidair atau ex aquo et bono
Untuk lebih jelasnnya sanggup dilihat pada contoh-contoh model terlampir.
1. PT. Berkatama Raya Finance, beralamat di Jl. Abdul Muis No. 6-8-10, Jakarta 10160 dan Kompleks Harmoni Plaza Blok K 4-5, Jl. Suryo Pranoto 2, Jakarta, selanjutnya disebut “Tergugat I”.
2. Saderah Susantadiredja, berlamat di Jalan Tomang Rawa Kepa Utama No. 22 Rt 003/013, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat 11440, selanjutnya disebut sebagai “Tergugat II”.
Adapun alasan-alasan yang menjadi dasar somasi ialah sebagai berikut:
1. Bahwa Tergugat II , semula ialah Direktur Utama dari Tergugat I, yang bergerak di bidang pembiayaan yang menjalankan kegiatan perjuangan antara lain berupa pemberian kredit dengan cara cicilan/angsuran untuk pembelian kendaraan kepada nasabah bank dalam keadaan gres atau bekas pakai, merek-merek tertentu kepada nasabahnya dengan cara pembiayaan angsuran dalam pemberian kredit untuk membiayai tagihan debitur kepada Supplier (factoring) yang dibentuk berdasarkan kontrak atau perjanjian lainnya.
2. Bahwa Tergugat II dalam mengajukan permohonan-permohonan dalam proposal mengenai kegiatan usahanya tersebut untuk meyakinkan Penggugat sebagai pihak Bank yang membantu kegiatan perjuangan Tergugat tersebut yaitu memperlihatkan kemudahan kredit berupa pinjaman uang kepada debitur/tergugat untuk membiayai piutang yang timbul dari kontrak yang disetujui.
3. Bahwa Tergugat I melalui Tergugat II dalam beberapa kali presentasi begitu meyakinkan, apalagi Tergugat disamping sebagai Direksi Perusahaan tersebut bahu-membahu dengan pemegang saham lainnya menjamin perjuangan tersebut dengan jaminan harta kekayaan pribadinya masing-masing [vide P.1].
4. Bahwa lantaran prospek perjuangan PT. Berkatama Raya Finance nampak baik pada waktu itu dan ada jaminan yang diberikan tersebut di atas, maka Penggugat dan Tergugat I yang diwakili oleh Tergugat II sepakat mengikatkan dirinya untuk terikat dalam kontrak Perjanjian Kredit No. 316/ABF/STR/XII/96 sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah) tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H. Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5726/MONO (“Perjanjian Kredit”)[vide P.2] dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan tanggal 13 Desember 1996 yang telah disahkan oleh Notaris H. Parlindungan Lumban Tobing, SH., dibawah No. 5727/MONO [vide P.3].
5. Bahwa semenjak Perjanjian Kredit ditandatangani, maka terlihat kegiatan perjuangan Perusahaan berkembang baik dan bahkan perjuangan Tergugat I memperlihatkan terdapat banyak peningkatan jumlah nasabahnya, oleh lantaran itu maka Perusahaan memerlukan embel-embel biaya lagi.
Bahwa lantaran hal tersebut di atas, maka pada tahun 1997 berturut-turut Penggugat mengucurkan dana lagi kepada Tergugat I yaitu sebagai berikut :
5.1 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No. 028/ABF/STR/III/97 tanggal 17 Maret 1997 (“Perubahan I”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 5. 000.000.000,- (lima milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan I menjadi sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah); [vide P.4]
5.2 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No. 073/ABF/STR/VI/97 tanggal 30 April 1997 (“Perubahan II”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 5.000.000.000,- (lima milayar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan II menjadi sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar Rupiah);[videP.5]
5.3 Perubahan Perjanjian Kredit (penambahan plafond) No. 122/ABF/STR/VII/97 tanggal 9 Juli 1997 (“Perubahan III”), dimana plafond kreditnya ditambah Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar Rupiah) lagi sehingga jumlah kredit yang diterima Tergugat setelah Perubahan III menjadi sebesar Rp. 17.000.000.000,- (tujuh belas milyar Rupiah).[vide P.6]
6. Bahwa sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Kredit pada butir 7.7 telah disepakati sebagai berikut :
“Debitur tidak diperkenankan, tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, (i) mengubah struktur permodalan atau dengan cara bagaimanapun mengubah atau mengijinkaan biar sertifikat pendirian atau anggran dasarnya diubah, kecuali meningkatkaan modal dasarnya yang diambil daari keuntungan yang ditahan atau penempatan modal gres oleh pemegang saham, (ii) mengijinkan, mengganti atau mengubah susunan pemegang saham, (iii) mengubah atau mengganti atau mengganti susunan anggota Direksi, DewanKomisaris atau staff inti, akan tetapi jikalau perubahan atau penggantian tersebut disebabkan karena
pensiun, mengundurkan diri atau meninggal dunia, hal mana tidak mengakibatkaan pelanggaran terhadap ayat ini jikalau kekososngan tersebut diisi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari semenjak terjadinya kekososngan tersebut dengan orang yang disetujui oleh bank, kecuali untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 ihwal Perseroan Terbatas;
7. Bahwa Para Tergugat kemudian secara rahasia merubah anggaran dasar Perseroan tanpa seijin tertulis dari Penggugat pada tanggal 15 Juli 1998; tindakan Para Tergugat ini terang bertentangan dengan butir 7.7 Perjanjian Kredit [vide P.2].
8. Bahwa lantaran Perjanjian Kredit tersebut telah disepakati antara Penggugat dengan Tergugat yang waktu itu berkapasitas sebagai pihak yang mewakili Perusahaan, karenanya sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perjanjian Kredit tersebut harus ditaati oleh kedua pihak. Oleh lantaran itu tindakan perubahan anggaran dasar tanpa ada persetujuan tertulis dari Penggugat ialah batal demi hukum.
9. Bahwa kemudian diketahui setelah pengalihan Dewan Direksi tersebut dimaksudkan biar Tergugat II tidak bertanggung jawab lagi akan Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide P.2 s/d P.6]) dengan Penggugat atau dengan perkataan lain merupakan perjuangan Tergugat II dengan itikad jelek untuk mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain.
10. Bahwa ternyata setelah dilakukan pemeriksaan keuangan oleh Penggugat ternyata dana-dana kredit yang telah Penggugat berikan tidak sanggup dipertanggungjawabkan lagi oleh Tergugat II yang pada waktu itu berkapasitas sebagai Direktur Utama dari Tergugat I, lantaran nampak berusaha untuk mengalihkan tanggung jawabnya pada pihak lain.
11. Bahwa setelah Penggugat berkali-kali menghubungi Para Tergugat untuk menuntaskan tanggung jawab pengembalian kredit tersebut, ternyata tidak ada tanggapan yang baik dari Tergugat I dan Tergugat II untuk menyelesaikannya.
12. Bahwa Penggugat pada tanggal 28 Agustus 1998 menerima surat pemberitahuan dari 2 (dua) orang pemegang saham Perusahaan yang pada pokoknya menyatakan bila Tergugat II ialah penanggung jawab dalam Perusahaan [vide P.7].
13. Bahwa masuk akal bila Penggugat dalam hal ini hanya menuntut tanggung jawab Tergugat II lantaran dalam penandatanganan Perjanjian Kredit, segala perubahan-perubahan Perjanjian Kredit, dan Perjanjian Pengalihan Hak (cessie) Tagihan [vide P.2 s/d P.6]) dilakukan oleh Tergugat II, demikian pula pengelolaan uang dari tanggal 13 Desember 1996 hingga dengan tanggal 10 Juni 1998 berada dalam tanggung jawab Tergugat II, sedangkan somasi terhadap pengurus atau pemegang saham lain akan dilakukan dalam somasi tersendiri.
14. Bahwa dengan demikian dalam penandatanganan Perjanjian Kredit tersebut maupun pengelolaan keuangan pada waktu itu berada dalam tanggung jawab Tergugat II dan telah terbukti bahwa Tergugat II telah lalai dalam menjalankan kewajibannya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 ihwal Perseroan Terbatas, Tergugat II sanggup dituntut untuk bertanggung jawab penuh secara pribadi.
15. Bahwa kerugian akhir kredit macet yang diderita Penggugat per tanggal
16. Bahwa lantaran adanya jaminan pribadi dari Tergugat II [vide P.1] dan dengan adanya surat dari pemegang saham lainnya [vide P.7] dimana pengurusan dari pengelolaan pinjaman kredit pada waktu itu berada ditangan Tergugat II, maka secara aturan baik Tergugat I mauapun Tergugat II bertanggung jawab secara tanggung renteng.
17. Bahwa untuk menjamin biar somasi ini tidak sia-sia dan guna menghindari perjuangan tergugat untuk mengalihkan hartanya pada pihak lain, maka Penggugat mohon biar sanggup dilakukan sita jaminan terhadap:
17.1 Sebidang tanah dan bangunan__________(milik Tergugat I);
17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl. Tomang Rawa Kepa Utama Rt 003/013 No. 22, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta Barat 11440 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama Tergugat II;
17.2 Sebidang tanah dan bangunan terletak di Jl. Rawa Kepa Raya No. 3, Kel. Tomang, Kec. Grogol Petamburan, Jakarta barat 11440 yang terdaftar di Kantor Pertanahan Jakarta Barat atas nama Tergugat II.
18. Bahwa lantaran somasi ini didudkung oleh bukti-bukti yang otentik, maka Penggugat mohon biar putusan masalah ini sanggup dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi maupun verzet (iut voerbaar bij voorraad).
19. Bahwa masuk akal pula bila Penggugat membebankan adanya uang paksa / dwangsom yang harus dibayar Tergugat bila lalai dalam melaksanakan putusan ini yang telah mempunyai kekuatan aturan yang tetap yaitu sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta) per hari.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka Tergugat dengan segala kerendahan hati mohon biar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan untuk menetapkan sebagai berikut :
1. Mengabulkan somasi Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan Tergugat telah melaksanakan wanprestasi;
3. Menyatakan secara aturan Tergugat sebagai salah satu pemegang saham yang turut bertanggung jawab secara pribadi atas Perjanjian Kredit (berikut segala perubahannya dan perjanjian yang terkait [vide P.2–P.6]) yang dibentuk antara Perusahaan dengan Penggugat;
4. Menghukum Tergugat untuk membeyar ganti rugi sebesar Rp. _________ kepada Penggugat secara tunai;
5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan;
6. Menyatakan putusan ini sanggup dijalankan lebih dulu walau ada banding, kasasi, damupun verzet (iut voerbaar bij voorraad);
7. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) perhari bila lalai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung semenjak tanggal putusan ini hingga dengan tanggal dilunasinya seluruh hutangnya;
8. Biaya masalah berdasarkan hukum
Atau bila Pengadilan beropini lain, mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Langkah-Langkah Dalam Membuat Jawaban
Pendahuluan
Apabila kita berperan sebagai kuasa aturan dari klien kita yang digugat seseorang maka diharapkan data-data pendukung untuk memperlihatkan suatu tanggapan hukum. Tanggapan aturan tersebut sering dinamakan Jawaban. Jawaban ini merupakan suatu langkah yang penting dan sangat menentukan dalam memenagkan suatu kasus. Kadangkala bila Jawaban kita terutama bila eksepsi yang diajukan diterima oleh Majelis Hakim yang kemudian ditungkan dalam pertimbangan aturan dalam putusannya maka sanggup dipastikan somasi lawan kita dinyatakan tak sanggup diterima (niet onvankelijk).
Namun sanggup pula terjadi dalil-dalil yang dibentuk dalam somasi sanggup dipatahkan dalam Jawaban sehingga dalil-dalil tersebut tidak sanggup dibuktikan secara sempurna. Bila terjadi demikian maka sanggup dipastikan somasi yang diajukan dinyatakan ditolak. Oleh lantaran itu perlu sekali kita mendalami biar dalam membuat Jawaban benar-benar sanggup dilakukan sesuai dengan faktanya dengan didukung bukti-bukti akan membantu kita dalam membuat suatu Jawaban atas somasi yang diajukan seseorang atau tubuh aturan tertentu.
A. Tahap Persiapan
Dalam membuat suatu Jawaban diharapkan persiapan dan penguasaan materi pokok masalah dalam suatu sengketa keperdataan.
Disamping memerlukan data-data pendukung berupa bukti-bukti yang dimiliki oleh klien juga diharapkan kronologis insiden masalah yang sebenarnya.
Mungkin data-data yang diberikan masih kurang dan gres kita minta pada klien setelah membaca kronologis perkaranya baik yang disampaikan secara tertulis maupun secara lisan. Biasanya gres akan dibentuk Jawaban bila kita telah hadir pada sidang pertama dengan menyerahkan Surat kuasa Khusus yang memperlihatkan kewenangan kita sehingga sanggup bertindak untuk dan atas nama klien kita selaku Tergugat. Dalam persidangan sanggup juga kita minta pada Majelis Hakim Surat Kuasa lawan dimuka persidangan untuk dicocokan dengan somasi yang kita terima.
Namun dalam masalah tertentu bisa saja terjadi pada ketika sidang pertama setelah Hakim memberikan usulan perdamaian kepada para pihak ternyata ada pihak yang eksklusif menyerahkan Jawaban. Hal ini terjadi bila memang diketahui dengan niscaya somasi yang diajukan pihak lawan ternyata tidak memenuhi syarat formal suatu gugatan.
Bila hal ini terjadi maka penggugat tidak sanggup merubah gugatannya tanpa persetujuan tergugat.
B. Tahap Pembuatan
Dalam membuat jawaban maka hal pertama yang harus diperhatikan ialah apakah somasi penggugat telah memenuhi syarat formal suatu gugatan. Dalam praktek sering terjadi suatu somasi disusun secara tergesa-gesa atau mungkin dengan data yang tidak lengkap atau sanggup juga lantaran ada kekeliruan dalam melaksanakan upaya hukum. Perbaikan somasi masih sanggup dimungkinkan sepanjang dalam persidangan (pertama) tidak diajukan jawaban terlebih dulu oleh tergugat. Bila telah diaajukan jawaban maka perubahan somasi diperbolehkan asal tidak ada keberatan dari tergugat, hal ini tidak mungkin terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, maka dalam membuat suatu Jawaban harus memperhatikan :
1. Apakah persona standi Surat Kuasa Penggugat sama dengan gugatannya?
2. Apakah memang benar penggugat dalam menentukan kompetensi pengadilan dengan para pihak yang digugat ?
3. Apakah diantara para pihak ada kekerabatan aturan sebelumnya dalam bentuk suatu perjanjian ?
4. Apakah ada konsistensi antara persona standi, posita maupun petitum somasi penggugat ?
5. Apakah ada konsistensi tuntutan dalam posita dengan petitum somasi ?
Ad.1. Apakah persona standi Surat Kuasa Penggugat sama dengan gugatannya ?
Dalam membuat somasi kadangkala para pihak dalam somasi dengan surat kuasa khusus yang menjadi dasar kewenangan kuasa aturan penggugat tidak sama. Pada somasi tertulis ada tiga tergugat tapi dalam surat kuasa hanya dua tergugat. Bila terjadi demikian sanggup diajukan eksepsi atas hal tersebut. Demikian pula sebaliknya bila ada ketidaaksamaan jumlah pihak yang digugat bila anatara surat kuasa dengan persona standi somasi tidak sama. Disamping itu juga bila dalam persona standi surat kuasa menyerupai nama, pekerjaan, alamat bila tergugat merupakan perorangan/pribadi tidak sama dengan persona standi dalam gugatan. Sedangkan bila merupakan suatu tubuh aturan yang digugat ternyata tertulis eksklusif atas nama direkturnya misal Drs. Amin Singgih SE, pekerjaan Direktur yang bertindak untuk dan atas nama PT.X, alamat Jl. Situbaru…dstnya . Maka penulisan yang demikian bisa juga dijadikan eksepsi, lantaran suatu perseroan terbatas tiap bulan atau dua bulan direksinya sanggup berganti terus silih berganti, tanpa gampang untuk diketahui secara umum.
Ad.b. Apakah memang benar penggugat dalam menentukan kompetensi
pengadilan dengan para pihak yang digugat ?
Apabila penggugat dalam gugatannya ternyata ada beberapa tergugat, namun dalam gugatannya ternyata tidak sanggup membedakan mana yang tergugat utama dan mana yang menjadi turut tergugat, maka dalam hal ini sanggup juga diajukan suatu eksepsi kompetensi. Demikian pula jikalau penggugat dalam gugatannya ternyata ada banyak tergugat tapi gugatannya diajukan di Pengadilan Negri dimana letak tanah yang akan digugat juga ada salah satu dari tergugat tapi bukan tergugat utama. Terhadap somasi demikian sanggup pula diajukan ekssepsi yang berkaitan dengan kompetensi relatif.
Ad.c Apakah diantara para pihak ada kekerabatan aturan sebelumnya dalam bentuk suatu perjanjian ?
Bila penggugat dalam menentukan pihak yang digugat ternyata melupakan adanya perjanjian diantara para pihak dimana dalam perjanjian itu terang dan tegas ternayat para pihak telah sepakat untuk menuntaskan permasalahan yang timbul di forum tertentu misal Arbiter ad hock dan bila tak selesai gres ke BANI . Bila memang telah disepakati demikian maka penggugat tak sanggup eksklusif mengajukan somasi ke BANI melainkan harus menunjuk arbiter ad hock terlebih dulu untuk menuntaskan permasalahan mereka; kemudian bila tidak selesai dalam jangka waktu yang telah disepakati gres sanggup diajukan ke BANI. Demikian pula bila telah disepakati dalam perjanjain tersebut penyelesaian masalah akan diputus dan tunduk pada ketentuan BANI, maka tidak sanggup dalam gugatannya eksklusif dilakukan di Pengadilan Negri tanpa melalui BANI terlebih dahulu. Bila dalam somasi terjadi menyerupai diatas maka terhadap somasi tersebut sanggup diajukan eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi absolut.
Ad. Apakah ada konsistensi antara persona standi, posita maupun petitum somasi penggugat ?
Apabila ada somasi yang ternyata tidak konsisten antara persona standi dengan posita maupun petitum sanggup juga dijadikan eksepsi atau materi pertimbangan aturan yang dimasukkan dalam jawaban yang akan melemahkan dalil-dalil dalam somasi penggugat. Misalnya dalam persona standi para tergugat tidak dijelaskan kaitan dalam kekerabatan aturan sehingga terjadinya somasi ini kemudian muncul dalam petitum yang menyatakan para tergugat harus secara tanggung renteng menanggung kerugian penggugat maka hal in sanggup pula dijadikan dasar untuk mengajukan eksepsi maupun sanggahan atas dalil-dalil dalam gugatan. Contoh lain contohnya dalam posita somasi diuraikan peristiwa-peristiwa aturan yang secara keseluruhan merupakan suatu somasi cidera kesepakatan ternyata dalam petitumnya para tergugat dinyatakan telah melaksanakan perbuatan melawan hukum. Hal ini merupakan suatu pertentangan yang kadang-kadang dalam masalah tertentu sanggup membuat somasi kandas ditengah jalan. Bila dalam petitum somasi kemudian muncul begitu saja permohonan serta merta (uit voerbaar bij voorraad), sita jaminan, dwangsom tanpa diuraikan dasar pertimbangan hukumnya dalam posita maka ini juga sanggup dijadikan dasar untuk melemahkan gugatan.
Demikian pula bila dalam petitum somasi ternyata para tergugat dinyatakan telah melaksanakan cidera kesepakatan juga dinyatakan telah melaksanakan perbuatan melawan hukum, maka dalam praktek juga dijadikan materi pertimbangan untuk melemahkan gugatan.
Dalam somasi kadangkala tidak diteliti lebih lanjut dalam perjanjiannya sehingga dibentuk somasi tanpa mempertimbangkan masalah waktu tersebut juga sanggup dijadikan pertimbangan yang melemahkan gugatan; bentuknya sanggup berupa eksepsi atau sanggahan dalil dalam pokok perkara. Seringpula terjadi seharusnya upaya yang dilakukan ialah bantahan tapi justru diajukan dalam somasi ini juga sebagai pertimbangan dalam Jawaban.
C. Tahap Membuat Jawaban
Setelah mempersiapkan semua itu dan setelah mempelajari dari bahan-bahan untuk membuat jawaban, maka diharapkan suatu kecermatan dan naluriah untuk sanggup menemukan kelemahan-kelemahan somasi yang kemudian akan dituangkan dalam membuat suatu jawaban.
Jawaban dibentuk dengan dua serpihan yaitu serpihan eksepsi dan serpihan pokok perkara. Pada serpihan eksepsi menyerupai kita ketahui sanggup merupakan eksepsi yang adikara atau relatif. Bila ada eksepsi yang merupakan eksepsi adikara kemudian dalam persidangan biasanya diminta Hakim untuk memperlihatkan bukti-bukti dasar-dasar hukumnya, maka bila terbukti akan dibentuk suatu putusan sela yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang untuk mengusut dan mengadili masalah tersebut. Bila tak terbukti pemeriksaan akan dilanjutkan sesuai dengan tahapan mekanisme yang berlaku.
Dalam serpihan eksepsi juga sanggup dimasukkan bermacan eksepsi menyerupai dilatoir eksepsi, obscuur libel, ne bis in idem, kurangnya para pihak, kadaluarsa dan macam-macam eksepsi lainnya. Eksepsi–eksepsi yang dikemukakan diatas merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok masalah sehingga putusan atas eksepsi tersebut dilakukan bahu-membahu dengan putusan tamat dengan telah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. Setelah bermacam eksepsi diajukan dalam jawaban maka dalam pokok masalah ada beberapa klausul yang setidaknya harus dicantumkan dalam pokok masalah tersebut diantaranya
- Menyatakan biar hal-hal yang telah diuraikan pada serpihan eksepsi
merupakan serpihan dalam pokok masalah yang tidak terpisah; maksud klausul tersebut ialah lantaran kebanyakan eksepsi yang diajukan merupakan serpihan dari pokok masalah sehingga harus diperiksa bahu-membahu dengan pokok masalah dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan para pihak.
- Klausul kedua ialah merupakan penolakan atas seluruh dalil-dalil
penggugat kecuali yang secara tegas dan konkret diakui oleh tergugat.
- Dalil berikutnya ialah merupakan dalil-dalil yang membenarkan dalil
penggugat bila memang benar; atau membantah kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat dalam gugatannya satu demi satu tanpa ada yang terlewatkan; lantaran bila ada yang tidak dibantah hal tersebut dianggap oleh penggugat mengakui secara tidak eksklusif dalil-dalil yang dikemukakannya; dalam bantahan dalil tersebut harus dikemukakan dasar hukumnya, bila perlu pendapat doktrin maupun yurisprudensi yang berkaitan dekat dengan apa yang dibantah atau yang didalilkan itu.
- Kemudian pada serpihan petitum jawaban diajukan permohonan yang
diubahsuaikan dengan masalahnya baik itu pada apa yang diminta serpihan eksepsi maupun serpihan pokok perkaranya;
Pada serpihan petitum jawaban bila ada eksepsi yang diajukan dimana eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok masalah maka ada pergeseran bentuk.Bila dalam jawaban ternyata mempunyai kesempatan untuk mengajukan somasi rekopensi sebagaimana yang diatur dalam pasal 132a HIR. Sedangkan cara membuat somasi rekovensi hampir sama dengan ketentuan membuat gugatan.Namun yang harus dicermati ialah posisi/kwalitas dari subjek aturan menjadi berbeda secara terbalik dimana semula sebagai tergugat dalam konvensi kemudian menjadai penggugat dalam rekovensi.
Bentuk petitum jawaban tidak sama modelnya dengan petitum gugatanm namun bula ada rekovensi maka petitumnya menjadi berbeda .untuk lebih jelasnya lihat pola atau model.
Dalam Replik biasanya akan dimasukkan dalil-dalil yang merupakan sanggahan atau penolakan atas sebagian atau seluruh dalil-dalil Tergugat yang dikemukakan dalam jawabannya.Bila dalam jawaban ada dalil-dalil yang bertolak belakang dengan dalilPenggugat dalam gugatannya maka pada tahap replik penggugat akan berusaha memperkuat dalil yang telah dikemukakan tersebut dengan menambahkan pendapat doktrin atau Yurisprudensi yang berkaitan dekat dengan dalil yang telah dibantah tergugat tersebut. Sehingga kadang-kadang untuk semakin memperkuat dalil tersebut juga ditambahakan bukti gres yang menambah kejelasan akan dalil yang telah dikemukakan dalam somasi semula. Dalam replik juga dikemukakan dalil gres yang belum pernah dinyatakan dalam gugatan. Dalil gres tersebut biasanya merupakan dalil yang berdiri sendiri tetapi posoisinya tetap akan semakin memperkuat dalil-dalil somasi secara keseluruhan sebagaimana yang dikemukakan dalam somasi semula. Dengan demikian sanggup dikatakan dalil-dalail yang dikemukakan penggugat dalam repliknya merupakan dalil-dalil yang membatah dalil-dalil tergugat dalam jawabannya juga sekaligus semakin mempertegas dan memperkokoh dalil-dalil yang telah dikemukakan dalam somasi semula. Bila ada eksepsi yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya maka penggugat pada repliknya harus memperlihatkan tanggapannya yang cecara keseluruhan berisi dalil-dalil yang mematahkan eksepsi yang dikemukakan tergugat tersebut. Dalil-dalil yang dipergunakan penggugat dalam menangkis eksepsi tersbut harus benar benar mempunyai dasar aturan yang kuat, lantaran bila tidak berpengaruh bila dalil eksepsi tersebut merupakan eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi baik yang adikara maupun yang relatif akan membuat majelis yang mengusut masalah tersebut menyatakan dirinya tak berwenang untuk mengusut tersebut dalam suatu putusan sela. Bila eksepsi yang diajukan merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok masalah menyerupai eksepsi ne bis in idem maka dalam replik tersebut harus dimuat dalil-dalil yang mematahkan atau setidaknya melemahkannya. Kalau perlu diajukan bukti-bukti yang mendukungnya beserta yurisprudensinya yang mempunyai criteria/batasan apa yang dimaksud dengan ne bis in idem tersebut.Demikian pula bila ada eksepsi-eksepsi lain maka penggugat dalam repliknya harus memperlihatkan tanggapan atas eksepsi tersebut apakah membenarkan atau menolaknya. Demikian pula pada serpihan pokok masalah dalam replik maka ada klausul yang harus dimuat disana.
Pertama ialah menyatakan bila pada serpihan eksepsi yang berisi sanggahan atau penolakan atas dalil eksepsi tergugat merupakan serpihan yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya tersebut. Hal ini penting dinyatakan lantaran hampir sebagian besar eksepsi merupakan eksepsi yang termasuk dalam pokok masalah sehingga harus diperiksa dan diputus bahu-membahu dalam pokok masalah pada putusan akhir.
Kedua, klausul yang berisi penolakan atas sebagian atau seluruhnya dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat dalam jawabannya dan menyatakan diakui bila ada akreditasi sepanjang memang diakui oleh penggugat. Kmeudian penggugat harus menetukan perilaku dan kejelasan pokok masalahnya atas setiap dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat satu demi satu. Penolakan itu harus dimuat dalam repliknya satu demi satu. Bila ternyata dalil-dalail dalam jawaban tersebut mempunyai kesamaan maka penggugat dalam menanggapinya bisa memasukan penolakannya tersebut dalam suatu kesatuan. Bila dalam jawaban tergugat mengajukan eksepsi maka petitum dari replik juga mengalami pergeseran bentuk yang tidak sama dengan petitum dalam somasi dan petitum dalam jawaban sepanjang mengenai eksepsinya.
Duplik
Duplik merupakan tahapan yang dimiliki tergugat. Dalam membuat duplik tergugat diharapkan dalil-dalilnya tidak bertentangan dengan dalil-dalilnya yang dimuat dalam jawaban.
Bila dalam jawaban ada eksepsi yang kemudian eksepsi tersebut ditanggapi oleh penggugat dalam repliknya, maka tergugat dalam tahap ini harus memuat dalil-dalil yang intinya semakin memperkuat dalilnya semula. Kemudian dalil tersebut sanggup merupakan pendapat doktrin atau yurisprudensi yang berkaitan dekat dengan apa yang dikemukakan dalam dalil tersebut.
Bila perlu dalil tersebut sekaligus juga harus sanggup mematahkan atau setidaknya melemahkan dalil yang dikemukakan penggugat dalam repliknya.
Kemudian dalam pokok masalah sama dengan replik ada dua klausul yang harus dimuat. Pertama, berisi pernyataan biar dalil-dalil yang dikemukakan pada serpihan eksepsi dianggap merupakan serpihan yang tidak terpisahkan dari pokok perkaranya. Kedua, merupakan pernyatan yang menolak dalil-dali penggugat secara keseluruhan, kecuali memang ada dalil yang diakui olehnya.
Kemudian dalil-dalil pada replik harus satu demi satu dibantah/ditolak atau mungkin diakui oleh tergugat.
Sedang bentuk petitumnya menggunakan model yang sama dengan replik namun isinya tentunya harus bertentangan dengan apa yang dikemukakan pada replik tersebut.
TEORI
1. Teori yang bersifat SUBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada pelanggaran hak subjektif atau siapa yang menyangkal adanya hak Subyektif harus menunjukan tiadanya hak subyektif tersebut.
2. Teori yang bersifat OBYEKTIF
Dalil-dalil yang didasarkan pada aturan objektif/ UU
3. Teori yang bersifat KEPATUTAN
Kedudukan Penggugat dan Tergugat sama (Equality before the law)
4. Teori HUKUM ACARA
Asas “ Audi et Alteram Partem”
5. Teori yang bersifat aturan PUBLIK
BUKTI TULISAN
PASAL 1867 KUHPerdata;
Pembuktian dengan goresan pena dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.
PASAL 1868 KUHPerdata;
Suatu sertifikat otentik ialah suatu sertifikat yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibentuk oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana sertifikat dibuat.
PASAL 1874 KUHPerdata;
Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain goresan pena yang dibentuk tanpa perantaraan seorang pegawai umum ..........
Kekuatan Pembuktian sertifikat :
1. Akta otentik, Pembuktian tepat (Ps. 1870 KUHPer, 165 HIR, 285 RBg)
2. Akta dibawah tangan,
- Diakui, Ps. 1875 KUHPer, Pembuktian sempurna.
- Dipungkiri, Ps. 1877 KUHPer, diperiksa dipersidangan oleh hakim
PEMBUKTIAN DENGAN SAKSI
1. DASAR HUKUM
- Pasal 139 s.d. 152, Ps. 168 s.d. 178 HIR,
- Pasal 165 s.d. 179 RBg.
- Pasal 1895, Pasal 1902 s.d. 1912 KUHPerdata.
2. PENGERTIAN
Kesaksian ialah kepastian yang diberikan kepada hakim di depan persidangan ihwal insiden yang disengketakan dengan pemberitahuan secara verbal dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.
Keterangan ihwal insiden atau insiden itu yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh dari berpikir tidak merupakan kesaksian.
3. LARANGAN SEBAGAI SAKSI
Ø Keluarga sedarah atau semenda berdasarkan keturunan lurus dari salah satu pihak. (Pasal 145 ayat (1) HIR., Pasal 172 ayat (1) RBg., Pasal 1910 ayat (1) KUHPerd.)
Ø Suami atau isteri salah satu pihak, walaupun sudah bercerai (Pasal 145 ayat 1 sub 3, 4 HIR., Pasal 172 ayat 1 sub 3 RBg., Pasal 1910 KUHPerd..)
Pengecualian :
- Kedudukan keperdataan salah satu pihak,
- Mengenai nafkah yang belum dibayar berdasarkan Buku I
- Alasan pembebasan atau pemecatan kekuasaan orang
tua/ wali;
- Perkara persetujuan perburuhan.
PERSANGKAAN
1. DASAR HUKUM
- Ps. 1915 s.d. Ps. 1922 KUHPerd.
- Ps. 173 HIR
2. PENGERTIAN
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh Undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu insiden yang populer ke arah suatu peritiwa yang tidak terkenal.
Jenis : (Ps. 1915 KUHPerd.)
- Persangkaan yang ditetapkan oleh Undang-undang (Wettelijk vermoden)
- Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (Rechtelijk vermoden)
PENGAKUAN
1. DASAR HUKUM
- Pasal. 1923 s.d. 1928 KUHPerdata
- Pasal 174 HIR
- Pasal 312 RBg.
2. PENGERTIAN
Pengakuan ialah suatu pernyataan akan kebenaran oleh salah satu pihak yang bersengketa, ihwal apa yang dikemukakan oleh lawannya.
3. MACAM ; (Ps. 1923 KUHPerd.)
Ø Menurut Undang-undang
a. Di muka hakim
- Merupakan bukti tepat (Ps. 1925 KUHPerd.)
- Tak sanggup ditarik (Ps. 1926 KUHPerd.)
b. Di luar sidang
- Diikuti saksi-saksi (Ps. 1927 KUHPerd.)
Ø Menurut Ilmu Pengetahuan
- Pengakuan murni,
- Pengakuan dengan Klausula
- Pengakuan dengan Kwalifikasi
SUMPAH
1. DASAR HUKUM
- Pasal 155 s.d. 158 HIR,
- Pasal 17, Pasal 182 s.d. 185 RBg.
- Pasal 1929 s.d. 1945 KUHPerd.
2. PENGERTIAN
Sumpah ialah pernyataan khidmat yang dilakukan oleh salah stu pihak yang berkaitan dengan agamanya.
3.MACAM
- Sumpah Pemutus (decissoir)
- Sumpah Tambahan (supletoir)
Penerapan Pembuktian
Pembuktian dilakukan setelah para pihak melaksanakan tahap replik dan duplik telah selesai dilakukan. Kesempatan pembuktian pertama diberikan kepada Penggugat lebih dulu.Dalam praktek kadang-kadang baik bukti tertulis maupun saksi-saksi m gres kemudian tergugat. Namun ada juga bukti tertulis lebih dulu diberikan kepada penggugat gres tergugat, kemudian pemeriksaan saksi-saksi dari penggugat setelah itu gres tergugat. Kalau diharapkan baik atas usulan salah satu pihak atau atas pertimbangan majelis hakim sanggup juga dihadirkan saksi ahli.Dalam masalah tertentu juga kadangkala ada sidang ditempat lokasi insiden terjadinya obyek perkara.
Contoh sertifikat pembuktian /daftar bukti
PUTUSAN
PENGERTIAN
Di bawah ini merupakan pengertian putusan hakim atau pengadilan menurut:
1. Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte epilog dari suatu proses masalah dan putusan hakim itu disebut vonnis yang berdasarkan kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai aturan dari hakim serta memuat akibat-akibatnya. Bab I pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata menyebutkan putusan pengadilan ialah : suatu putusan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menuntaskan suatu gugatan.
2. Ridwan Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan ialah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menuntaskan dan mengakhiri masalah perdata.
3. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., memberi batasan putusan hakim ialah : suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menuntaskan suatu masalah atau sengketa antara para pihak. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstuksikan kepada para hakim biar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.
Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut terancam batal, akan tetapi untuk penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan .
Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang mengusut masalah tersebut. Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut mengusut dan memutus perkaranya, sednangkan apabila panitera yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam isu acara.
Berdasarkan pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi :
a. Suatu keterangan singkat tetapi terang dari isi somasi dan jawaban.
b. Alasan-alasan yang digunakan sebagai dasar dari putusan hakim.
c. Keputusan hakim ihwal pokok masalah dan ihwal ongkos perkara.
d. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.
e. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan.
f. Tandatangan hakim dan panitera.
Berdasarkan pasal 23 UU No. 14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari perturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber aturan tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
BAGIAN PUTUSAN
Suatu putusan pengadilan pada hakekatnya sanggup dibagi menjadi 4 serpihan yaitu :
1) Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No. 14/1970). Tulisan tersebutlah yang membuat suatu putusan mempunyai kekuatan eksekutorial, lantaran bila sanggup suatu putusan tidak terdapat goresan pena tersebut maka putusan pengadilan tersebut tidak sanggup dilaksanakan (Pasal 224 HIR).
2) Identitas pihak-pihak yang berperkara
Dalam putusan pengadilan identitas para pihak yang berperkara harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya, serta nama kuasanya bila yang bersangkutan mengkuasakan kepada orang lain.
3) Pertimbangan (alasan-alasan)
Bagian ini merupakan dasar dari suatu putusan terdiri dari 2 (dua) serpihan yaitu, pertimbangan ihwal duduk perkaranya (Feitelijke gronden) ialah ihwal apa yang terjadi di depan pengadilan seringkali somasi dan jawaban dikutip secara lengkap dan pertimbangan aturan (rechts gronden) yang menentukan nilai dari suatu putusan.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 638 k/Sip/1969, tanggal 22 Juli 1970 jo No. 492 k/Sip/1970, tanggal 16 Desember 1970, menyatakan bahwa jikalau suatu putusan pengadilan kurang cukup pertimbangannya, hal tersebut sanggup dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi yang berakibat batalnya putusan tersebut.Sedangkan putusan MARI No. 372 k/Sip/1970, tangal 1 September 1971 menyatakan bahwa putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar somasi haruslah dibatalkan.
4) Amar (dictum) putusan
Putusan MARI No. 104 k/Sip/1968, menyatakan bahwa hakim wajib mengadili semua serpihan dari tuntutan, baik dalam kopensi maupun dalam rekopensi, bila tidak maka putusan tersebut harus dibatalkan. Walaupun demikian hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak di tuntut (pasal 178 HIR, MARI No. 399 k/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970 dan MARI No. 1245 k/Sip/1974, tanggal 9 November 1976).
PENGGOLONGAN PUTUSAN
Putusan sanggup di golongkan menjadi :
1. Putusan Sela (Tussenvonnis)
Merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan tamat dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Semua putusan sela diucapakan dalam sidang dan merupakan serpihan dari isu program persidangan. Terhadap salinan otentik dari putusan sela tersebut kedua belah pihak sanggup memperolehnya dari isu program yang memuat putusan sela tersebut.
Dalam aturan program perdata dikenal beberapa macam putusan sela yaitu :
a. Putusan Preparatoir.
Adalah putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna melancarkan proses persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b. Putusan Interlocutoir.
Adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, isi putusan ini mempengaruhi putusan akhir.
c. Putusan Incidentieel
Adalah putusan yang berafiliasi dengan insiden, yitu insiden yang menghentikan mekanisme peradilan biasa. Putusan ini belum berafiliasi dengan pokok perkara, masih bersifat formil belum menyangkut materil suatu perkara.
d. Putusan Provisionieel
Adalah putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu seruan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan tamat dijatuhkan.
2. Putusan Akhir (eindvonnis)
Merupakan putusan yang mengakhiri masalah perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.
Putusan tamat berdasarkan sifat amarnya (dictumnya), sanggup dibedakan atas tiga jenis yaitu :
a. Putusan Declaratoir
Adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah berdasarkan hukum. Putusan ini bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan aturan semata-mata.
b. Putusan Constitutief
Adalah putusan yang membuat suatu keadaan aturan baru. Keadaan aturan gres tersebut sanggup berupa meniadakan suatu keadaan aturan atau menimbulkan suatu keadaan aturan yang baru.
c. Putusan Condemnatoir
Adalah putusan yang bersifat menghukum para pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
Dalam praktek sehari-hari dalam suatu putusan tamat terdapat beberapa jenis sifat putusan, menyerupai adonan antara putusan yang bersifat declaratoir dan condemnatoir atau antara putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif dan sebagainya.
PUTUSAN PERDAMAIAN
Merupakan putusan yang dijatuhkan hakim yang isinya menghukum para pihak yang berperkara untuk melaksanakan isi perjanjian perdamaian yang sebelumnya telah disetujui oleh para pihak.
Berdasarkan pasal 130 ayat (2) HIR jo Putusan MARI No. 1038 k/Sip/1973, tanggal 1 Agustus 1973 putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama menyerupai putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap.
PUTUSAN GUGUR
Putusan gugur dijatuhkan kepada Penggugat oleh hakim dalam hal Penggugat tidak hadir pada hari sidang pertama tanpa alasan yang sah dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir padahal penggugat telah dipanggil secara sah dan patut (Pasal 124 HIR).
Tentang pemanggilan yang sah dan patut telah diatur dalam HIR pasal 122, 388-390 HIR. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan gugar maka hakim harus terlebih dahulu dengan teliti mengusut isu program pemanggilan para pihak terutama pihak Penggugat. Bila hakim menemukan bahwa panggilan yang dilakukan oleh juru sita sebelumnya tidak memenuhi syarat pemanggilan yang sah dan patut maka hakim harus memerintahkan pada juru sita untuk mengadakan pemanggilan kembali.
Dalam menjatuhkan putusan biar hakim tidak mempertimbangkan pokok masalah lantaran memang hakim belum mengusut pokok masalah somasi melainkan putusan tersebut dijatuhkan untuk kepentingan tergugat yang hadir di persidangan yang telah mengorbankan tenaga, waktu dan biaya sedang Penggugat sendiri yang lebih berkepentingan terhadap gugatannya tidak hadir di persidangan.
Apabila penggugat hanya hadir pada sidang hari pertama maka terhadap somasi penggugat tidak dijatuhi putusan gugur melainkan diputus secara contradictoir.
PUTUSAN VERSTEK
Putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim lantaran tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama dan tidak mengirimkan wakilnya yang sah walaupun telah dipenggil secara sah dan patut (pasal 125 HIR).
Apabila dalam suatu somasi terdapat lebih dari satu tergugat dan salah satu tergugat tiba pada hari sidang pertama atau bila tergugat atau kuasanya tidak hadir pada hari sidang pertama tetapi mengirimkan jawaban terhadap somasi penggugat maka terhadap somasi penggugat tersebut tidak sanggup diputus secara verstek melainkan secara contradictoir.
Pasal 125 ayat (1) HIR memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi biar suatu putusan verstek sanggup dikabulkan :
1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak tiba pada hari sidang yang telah ditentukan.
2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap
3. Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil secara saah dan patut
4. Petitum tidak melawan hukum
5. Petitum beralasan.
PUTUSAN SERTA MERTA
Putusan serta merta merupakan suatu putusan yang sanggup dilaksanakan terlebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad) walaupun terhadap putusan tersebut ada upaya aturan lain (baik upaya aturan biasa maupun luar biasa).Putusan ini diatur dalam pasal 180 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri sanggup memerintahkan supaya putusan dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan (verzet) atau banding, jikalau :
a. Ada surat otentik atau goresan pena di bawah tangan yang berdasarkan undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
b. Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya dengan somasi yang bersangkutan.
c. Ada somasi provisionil yang dikabulkan.
d. Dalam sengketa-sengketa mengenai bezitrechts.
Pada praktek putusan uit voerbaar bij voorraad sangat sulit dikabulkan lantaran banyak menimbulkan kesulitan.
UPAYA HUKUM
PENGERTIAN
Upaya aturan ialah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau tubuh aturan untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya aturan yaitu, upaya aturan biasa dan upaya aturan luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya ialah bahwa pada azasnya upaya aturan biasa menangguhkan sanksi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya aturan luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.
UPAYA HUKUM BIASA
Upaya aturan biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1. BANDING
PENGERTIAN
Banding merupakan salah satu upaya aturan biasa yang sanggup diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum sanggup dilaksanakan, lantaran putusan tersebut belum mempunyai kekuatan aturan yang tetap sehingga belum sanggup dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
DASAR HUKUM
Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 ihwal Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
Keputusan pengadilan yang sanggup dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, lantaran terhadap penetapan upaya aturan biasa yang sanggup diajukan hanya kasasi.
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding ialah 14 hari semenjak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar aturan yang biasa digunakan ialah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi lantaran terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan aturan tetap dan sanggup dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui batas waktu tenggang berdasarkan undang-undang tidak sanggup diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak sanggup dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal masalah perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya sanggup dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, masalah tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak sanggup diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
1. Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
2. Permohonan banding sanggup diajukan tertulis atau verbal (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas masalah di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang masalah tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
2. KASASI
PENGERTIAN
Kasasi merupakan salah satu upaya aturan biasa yang sanggup diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak sanggup mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung lantaran dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.
Pemeriksaan kasasi hanya mencakup seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi berdasarkan pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan adikara pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan somasi melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar aturan yang berlaku.
Yang dimaksud disini ialah kesalahan menerapkan aturan baik aturan formil maupun aturan materil, sedangkan melanggar aturan ialah penerapan aturan yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan aturan yang berlaku atau sanggup juga diinterprestasikan penerapan aturan tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat(1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak sanggup diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1. Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau verbal kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus masalah tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat sertifikat permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
3. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4. Dalam batas waktu tenggang 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5. Panitera Pengadilan Negeri memberikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam batas waktu tenggang 14 hari semenjak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7. Setelah mendapatkan memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)
3. VERZET
PENGERTIAN
Verzet merupakan salah satu upaya aturan biasa yang sanggup diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jikalau putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2. Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3. Dalam delapan (8) hari setelah permulaan sanksi (pasal 197 HIR).
Dalam mekanisme verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.
Verzet sanggup diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya aturan banding.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
1. PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP
Upaya aturan peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya biar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan aturan tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali berdasarkan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya aturan terhadap putusan tingkat tamat dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum program perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa) pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil (RC) antara lain, sebagai berikut:
1) Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan biar dibatalkan.
2) Akibatnya ialah bahwa putusan PK ialah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3) Bahwa PK sanggup diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam masalah tersebut.
Dalam perkembangannya kini Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.
ALASAN PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali putusan masalah perdata yang telah memperoleh kekuatan aturan yang tetap hanya sanggup diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu tipu daya pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b) Apabila setelah masalah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu masalah diperiksa tidak ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e) Apabila mengenai sesuatu serpihan dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang sanggup mengajukan permohonan peninjauan kembali berdasarkan pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 ialah hanya pihak yang berperkara sendiri atau hebat warisnya, atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut terang terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam masalah perdata tersebut tidak sanggup mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI
1) Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus masalah dalam tingkat pertama.
2) Membayar biaya perkara.
3) Permohonan Pengajuan Kembli sanggup diajukan secara verbal maupun tertulis.
4) Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan terang alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus masalah dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5) Bila diajukan secara verbal maka ia sanggup menguraikan permohonannya secara verbal dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan ihwal permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6) Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, lantaran permohonan ini hanya sanggup diajukan sekali.
7) Setelah Ketua Pengadilan Negeri mendapatkan permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memperlihatkan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan biar sanggup diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8) Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9) Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10) permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas masalah beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11) Pencabutan permohonan peninjauan kembali sanggup dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya sanggup diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)
DERDEN VERSET
Merupakan salah satu upaya aturan luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu masalah perdata. Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam masalah yang bersangkutan, lantaran merasa dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini ialah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet ialah hak milik pelawan telah terlanggar lantaran putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga sanggup mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).
DAFTAR PUSTAKA
Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan. Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 1994.
Soetantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek. Cet.8. Jakarta: CV. Mandar Maju,1997.
Subekti, R. Hukum Acara Perdata,Cet. 2, Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997
Supomo, Prof. Dr. , S.H. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : Pradnja Paramita, 1967.
Syahrani, Riduan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum. Cet. 1. Jakarta : Sinar Grafika,1994.
EKSEKUSI
A. PENGERTIAN EKSEKUSI
Menurut M. Yahya H. ialah merupakan tindakan aturan yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses aturan program perdata.
Menurut Prof.R. Subekti ialah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak sanggup diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Makara di dalam makna perkataan sanksi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan santunan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum ialah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata.
Menurut Djazuli Bachar ialah Melaksanakan putusan pengadilan, yang tujuannya tidak lain ialah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak mendapatkan dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.
Menurut R. Supomo ialah aturan yang mengatur cara dan syarat-syarat yang digunakan oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan.
B. SUMBER HUKUM EKSEKUSI
Hal menjalankan putusan hakim diatur dalam bahagian kelima mulai pasal-pasal 195 s. d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44 yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, sedang untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura digunakan bahagian keempat pasal-pasal 206 s.d. 25 RBg atau Stb. 1927 No. 227. Peraturan ini tidak hanya mengatur ihwal menjalankan sanksi putusan pengadilan saja akan tetapi juga memuat pengaturan ihwal upaya paksa dalam sanksi yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan (Verzet) serta sertifikat otentik yang mempunyai alasan sanksi yang dipersamakan dengan putusan yakni sertifikat grosse hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Undang-undang (darurat) No. 1 tahun 1951 tidak terdapat perkecualian terhadap berlakunya aturan program perdata sehingga berlakulah penuh kedua Undang-undang mengenai program perdata.
Cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut sanksi diatas diatur mulai pasal 195 hingga pasal 224 HIR, namun pada ketika kini tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara efektif. Yang masih benar-benar berlaku efektif terutama pasal 195 hingga pasal 208 dan pasal 224 HIR. Sedangkan pasal 209 hingga pasal 222 HIR yang mengatur ihwal “Sandera”, tidak lagi diperlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dieksekusi “Disandera” sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran berdasarkan putusan pengadilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung No.2/1964 tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975 membekukan keberlakuan pasal 209 hingga dengan pasal 222 HIR, lantaran sandera bertentangan dengan salah satu sila dari dasar falsafah negara Indonesia, yaitu bertentangan dengan sila Prikemanusiaan, salah satu dari Pancasila. Oleh lantaran itu berdasarkan Surat Edarannya diatas Sandera tidak boleh untuk diperlakukan (vide putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Pebruari 1975 Reg. No. 951 K/Sip/1974, termuat dalam “DIAN YUSTISIA’, Pengadilan Tinggi Bandung, 1978, hal. 378-382.
Selain peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang sanggup menjadi dasar penerapan sanksi yaitu :
1. Undang-undang ihwal Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 33 ayat (4) yaitu ihwal kewajiban aturan yang bersendikan norma-norma moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya prikemanusiaan dan prikeadilan tetap terpelihara.
2. Pasal 33 ayat (3) UU No. 14 tahun 1970 juncto pasal 60 UU No. 2 tahun 1985 ihwal Peradilan Umum menyatakan bahwa yang melaksanakan putusan pengadilan dalam masalah perdata ialah panitera dan jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
3. Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama diatur dalam Stb.1982 No. 152 pasal 2 ayat (5) menyatakan, setelah itu keputusan sanggup dijalankan berdasarkan aturan-aturan biasa ihwal menjalankan keputusan-keputusan Pengadilan Umum dalam masalah ini dan Stb. 1937 No. 63-639, pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, setelah itu keputusan sanggup dijalankan berdasarkan aturan-aturan menjalankan keputusan Sipil Pengadilan Negeri (Peraturan Pemerintah No. 45/1957 pasal 4 ayat (5) dan pasal-pasal lain yang berhubungan).
4. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.
5. SEMA No. 4 Tahun 1975 menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan pada orang yang sudah tidak mungkin lagi sanggup melunasi hutang-hutangnya dan kalau disandera dan lantaran itu kehilangan kebebasan bergerak, ia tidak lagi ada kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau barang-barang untuk melunasi hutangnya.
C. ASAS-ASAS EKSEKUSI
C.1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan Hukum Tetap.
Tindakan sanksi biasanya gres menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam tahap sanksi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak Penggugat yang kalah dalam masalah pada lazimnya, bahkan berdasarkan logika tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang meminta kepada pengadilan biar pihak tergugat dieksekusi untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melaksanakan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu sanksi menyerupai itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila somasi penggugat dikabulkan oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak yang kalah. Oleh lantaran itu bila kita berbicara mengenai sanksi putusan ialah tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.
Tidak terhadap semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan aturan eksekutorial, artinya tidak terhadap semua putusan pengadilan sanggup dieksekusi. Putusan yang belum sanggup dieksekusi ialah putusan yang belum sanggup dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan aturan yang tetap yang sanggup dijalankan.
Pada asasnya putusan yang sanggup dieksekusi ialah Putusan yang telah memperoleh kekuatan aturan yang tetap, lantaran dalam putusan yang telah berkekuatan aturan yang tetap telah terkandung wujud kekerabatan aturan yang tetap dan niscaya antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan kekerabatan aturan antara pihak yang berperkara sudah tetap dan niscaya yaitu, kekerabatan aturan itu mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dieksekusi (Pihak tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa dengan santunan kekuatan umum.
Dari keterangan diatas sanggup dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai kekuatan aturan yang tetap, upaya dan tindakan sanksi belum berfungsi. Eksekusi gres berfungsi sebagai tindakan aturan yang sah dan memaksa terhitung semenjak tanggal putusan memperoleh kekuatan aturan yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela.
Pengecualian terhadap asas ini dimana sanksi tetap sanggup dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan aturan yang tetap berdasarkan Undang-undang ialah :
a. Pelaksanaan Putusan lebih dahulu
Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, sanksi sanggup dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan aturan yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan seruan biar putusan sanggup dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi.
b. Pelaksanaan putusan provisi
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengemal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan somasi atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut sanggup dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun masalah pokoknya belum diputus (mendahului).
c. Akta Perdamaian.
Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR sertifikat perdamaian yang dibentuk dipersidangan oleh hakim sanggup dijalankan sanksi tak ubahnya menyerupai putusan yang telah mempunyai kekuatan aturan yang tetap. Maka semenjak tanggal lahirnya sertifikat perdamaian telah menempel pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa.
d. Eksekusi terhadap Grosse Akta
Sesuai Pasal 224 HIR sanksi yang dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang dibentuk oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan sanksi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Makara perjanjian dengan bentuk grosse sertifikat telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.
C. 2. Putusan Tidak dijalankan secara Sukarela.
Dua cara menjalankan isi putusan, yaitu :
C.2.a. Secara sukarela
Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan tepat isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan kekerabatan aturan yang dijatuhkan kepadanya. Oleh lantaran pihak tergugat dengan sukarela memenuhi isi putusan kepada penggugat, berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan maka tidak diharapkan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi).
Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela maka hendaknya pengadilan membuat isu program pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut dipenuhi dan ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan Tergugat). Maksudnya biar kelak ada pembuktian yang sanggup dijadikan pegangan oleh hakim.
Keuntungan menjalankan amar putusan secara sukarela ialah terhindar dari pembebanan biaya sanksi dan kerugian moral.
C.2.b. Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi
Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela, sehingga diharapkan tindakan paksa yang disebut sanksi biar pihak yang kalah dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.
Pengadilan sanggup mengutus jurusita Pengadilan untuk melaksanakan sanksi bahkan bila diharapkan sanggup dimintakan santunan kekuatan umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat ialah harus membayar biaya sanksi yang untuk ketika ini relatif mahal, disamping itu ia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.
C.3. Putusan yang sanggup dieksekusi bersifat kondemnator
Maksud putusan yang bersifat kondemnator ialah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak sanggup dieksekusi (Non-eksekutabel).
Menurut sifatnya amar atau diktum putusan dibedakan dalam tiga macam, yaitu :
a) Putusan Condemnator, yaitu yang amar putusannya berbunyi “ Menghukum dan seterusnya”;
b) Putusan Declarator, yaitu yang amar putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan yang sah berdasarkan hukum, dan
c) Putusan yang Konstitutif, yaitu yang amarnya membuat suatu keadaan baru.
C. 4. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu jikalau ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri, maka sanksi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Eksekusi secara konkret dilakukan oleh Panitera atau jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan syarat formal sanksi belum mamadai. Perintah sanksi berdasarkan Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara verbal dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian aturan serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak terang dan terinci batas-batas sanksi yang akan dijalankan oleh jurusita dan panitera, disamping hakim akan gampang melaksanakan pengawasan terhadap sanksi tersebut..
D. MACAM-MACAM EKSEKUSI
D. 1. Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 HIR dan seterusnya dimana seorang dieksekusi untuk membayar sejumlah uang.
Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana ia dieksekusi untuk membayar sejumlah uang, maka apabila sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial. Kemudian sanksi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar berdasarkan putusan hakim dan ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.
Apabila sebelumnya belum dilakukan sita jaminan, maka sanksi dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, apabila tidak cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan beserta biaya-biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita eksekutorial.
D. 2. Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 HIR, dimana seorang dieksekusi untuk melaksanakan suatu perbuatan.
Pasal 225 HIR mengatur ihwal beberapa hal mengadili masalah yang istimewa. Apabila sesorang dieksekusi untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim tidak sanggup memaksa terhukum untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim sanggup menilai perbuatan tergugat dalam jumlah uang, kemudian tergugat dieksekusi untuk membayar sejumlah uang untuk mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya berdasarkan putusan hakim terdahulu. Untuk menilai besarnya penggantian ini ialah wewenang Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dengan demikian maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan putusan yang semula ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan putusan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negri yang memimpin sanksi tersebut, jadi tidak didalam sidang terbuka.
D. 3. Eksekusi riil yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR
Perihal ini tidak diatur dalam HIR pasal 200 ayat(11) yang mengatur lelang menyebut sanksi riil.
“ Jika perlu dengan pertolongan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta olah sanak saudaranya.”
Pasal ini memberi petunjuk sedikit ihwal bagaimana sanksi riil harus dijalankan. Pengosongan dilakukan oleh jurusita apabila perlu dibantu oleh beberapa anggota Polisi atau anggota Polisi Militer, apabila yang dieksekusi untuk melaksanakan pengosongan rumah itu anggota ABRI misalnya.
Meskipun sanksi riil tidak diatur secara baik dalam HIR, sanksi riil sudah lazim dilakukan, oleh lantaran dalam praktek sangat diperlukan.
E. TAHAP-TAHAP/PROSEDUR PERMOHONAN EKSEKUSI GROSSE AKTA HAK TANGGUNGAN
Sebelum mengajukan permohonan sanksi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri harus disiapkan surat permohonan eksekusi. Surat permohonan sanksi ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan pilihan aturan yang tertera dalam sertifikat Hak Tanggungan dengan dilampiri dokumen-dokumen aturan yang diperlukan. Dokumen-dokumen aturan yang diharapkan ialah :
1) Asli Surat Kuasa dari kreditur yang bersangkutan bila yang mengajukan permohonan ialah kuasa dari Kreditur.
2) Copy Perjanjian Kredit dan atau Akta Pengakuan Hutang beserta perpanjangan-perpanjangannya dan/atau perubahan-perubahan perjanjian kredit tersebut yang telah di nazegling (Pemateraian di Kantor Pos).
3) Copy Sertifikat hak atas tanah berikut dengan dokumen kelengkapannya (Misalnya Ijin Mendirikan Bangunan, jikalau ada) yang telah di nazegel Kantor Pos.
4) Copy Sertifikat Hak Tanggungan (Berikut dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan) yang telah di nazegling.
5) Copy Surat Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang telah di Nazegling (jika ada).
6) Copy Surat Peringatan/teguran kepada debitur yang telah di nazegling.
7) Copy Catatan/ Pembukuan Bank yang menunjukan besarnya jumlah hutang debitur (Outstanding) yang telah di nazegling.
E.1. AANMANING
Setelah permohonan diajukan dan surat kuasa khusus di daftarkan dan pengadilan menganggap permohonan tersebut sanggup diterima, maka Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan Aanmaning (Tegoran/peringatan) kepada Debitur dan atau penjamin. Pengertian Aanmaning dihubungkan dengan menjalankan putusan berdasarkan M. Yahya H. ialah merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri berupa “Teguran” kepada tergugat biar tergugat menjalankan isi putusan pengadilan dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Mengenai batas waktu tenggang peringatan, Pasal 196 HIR menentukan batas maksimum yaitu delapan (8) hari semenjak debitur dipanggil untuk menghadap peringatan ialah :
1) Dalam batas waktu yang diberikan diharapkan debitur sanggup menjalankan putusan secara sukarela.
2) Bila tidak terlaksana, maka semenjak itu putusan sudah sanggup dieksekusi dengan paksa.
Isi teguran harus sesuai dengan seluruh bunyi amar putusan yang bersifat penghukuman. Peneguran tidak perlu dilakukan dalam sidang terbuka, lantaran tidak merupakan pemeriksaan terhadap sengketa lagi dan persoalannya tinggal mengenai pelaksanaan putusan ihwal sengketa itu. Setiap teguran dilakukan dengan membuat isu acara, maksudnya biar memenuhi syarat yuridis (sebagai alat bukti bahwa peneguran telah dilakukan).
Berapa orang dan siapa-siapa yang akan ditegur sanggup diketahui dari surat permohonan yang dalam amar putusan juga dikutip atau dikurangi, akan tetapi tidak selalu semua yang dieksekusi sama orangnya dengan pihak-pihak dalam permohonan. Tereksekusilah sebagai pihak yang sesungguhnya bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan putusan dan ia pula yang memikul tanggung jawab terhadap orang lain yang ada kekerabatan dengannya sebagai pihak.
Pemanggilan harus memenuhi syarat syah yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu minimal 3 hari kerja, dan disampaikan kepada yang berhak atau kepala desa/Lurah setempat bila yang bersangkutan tidak ada. Pemanggilan yang tidak berhasil sanggup diulangi hingga dua kali atau eksklusif dilanjutkan proses eksekusinya.
E.2.1. SITA EKSEKUSI
Apabila batas waktu yang diberikan kepada Debitur dan atau Penjamin untuk menuntaskan kewajiban-kewajibannya secara sukarela telah lewat waktu (tidak ada pelunasan/perdamaian), maka selanjutnya Bank/Kreditur mengajukan permohonan Sita Eksekusi atas tanah yang dijaminkan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Penetapan sita sanksi merupakan lanjutan dari penetapan aanmaning, dan harus disusul dengan tahap penetapan penjualan umum/lelang oleh jawatan tersendiri dan setiap proses dibarengi dengan tata cara serta syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Secara garis besar ada dua macam cara peletakan sita yaitu Sita Jaminan dan Sita eksekusi.
Sita Jaminan mengandung arti bahwa, untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan dikemudian hari barang-barang yang disita tidak sanggup dialihkan, diperjual belikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Ada dua macam Sita Jaminan yaitu Sita Conservatoir (Conservatoir beslag)yaitu sita jaminan terhadap barang-barang milik tergugat baik yang bergerak atau yang tidak bergerak selama proses berlangsung, terlebih dahulu disita atau dengan lain perkataan bahwa barang-barang tersebut tidak sanggup dialihkan, diperjual-belikan atau dengan jalan lain dipindah tangankan kepada orang lain. Jenis Sita Jaminan yang lain ialah Sita Revindicatoir (Revindicatoir beslag), yaitu bukan hanya barang-barang tergugat saja yang sanggup disita, akan tetapi juga terhadap barang-barang bergerak milik pihak penggugat sendiri yang ada pada penguasaan tergugat juga sanggup diletakkan sita jaminan.
Sita Eksekusi ialah sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu masalah mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan aturan yang tetap.
Ada dua macam sita eksekusi, yaitu Sita Eksekusi yang langsung, ialah sita sanksi yang eksklusif diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau termohon eksekusi. Sehubungan dengan pelaksanaan grosse sertifikat hipotik atau grosse sertifikat hak tanggungan yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau sita sanksi lanjutan apabila barang-barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka sanksi telah bermetamorfosis sita sanksi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan pengadilan, maka akan dilakukan sita sanksi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat untuk kemudian di lelang. Jenis sita sanksi yang lain ialah Sita Eksekusi yang tidak langsung, ialah sita sanksi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka sanksi otomatis bermetamorfosis sita eksekusi. Dalam rangka sanksi tidak boleh untuk menyita binatang atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (Pasal 197 ayat (8) HIR) Letak perbedaan yang paling pokok antara sita jaminan dan sita sanksi ialah pada tahap proses pemeriksaan perkara. Pada Sita Jaminan, tindakan paksa perampasan hak untuk ditetapkan sebagai jaminan kepentingan penggugat dilakukan pada ketika proses pemeriksaan perkara, sedangkan sita sanksi penyitaan yang bertujuan menempatkan harta kekayaan tersebut sebagai jaminan kepentingan pembayaran sejumlah uang kepada penggugat/pemohon dilakukan pada tahap proses masalah yang bersangkutan sudah mempunyai putusan yang telah memperoleh kekuatan aturan yang tetap dan penyitaan dilakukan pada tahap proses eksekusi.
Makna sita sanksi yang sanggup dirangkum dari Pasal 197 dengan Pasal 200 ayat (1) HIR, ialah Penyitaan harta kekayaan termohon/debitur setelah dilampaui tenggang masa peringatan. Penyitaan sita sanksi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang harus dibayarkan kepada pihak pemohon (Kreditur/bank). Cara untuk melunasi pembayaran jumlah uang tersebut dengan jalan menjual lelang harta kekayaan termohon yang telah disita. Perampasan harta kekayaan debitur/Termohon sanksi ialah sebagai dana pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan kepadanya.
E.2.2. TATA CARA SITA EKSEKUSI
1. Berdasarkan Surat Perintah Ketua Pengadilan Negeri
Merupakan syarat formal pertama, surat perintah tersebut berupa surat penetapan sita ekseskusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri. Sebab timbul atau keluarnya Surat Penetapan tersebut ialah :
a) Termohon tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang syah.
b) Termohon tidak memenuhi putusan selama masa peringatan.
2. Dilaksanakan Panitera atau Juru Sita
Surat perintah/penetapan sita sanksi berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta kekayaan termohon yang jumlahnya diubahsuaikan dengan patokan dasar yang ditentukan Pasal 197 ayat (1) HIR Isi pokok surat perintah sita sanksi ialah :
· Penunjukan nama pejabat yang diperintahkan
· rincian jumlah barang yang hendak disita eksekusi.
Undang-undang memisahkan fungsi Ketua Pengadilan Negeri dengan panitera atau juru sita. Ketua Pengadilan Negeri berfungsi sebagai pejabat yang memerintahkan dan memimpin jalannya sanksi (Pasal 195 ayat (1) HIR), sedangkan Panitera atau juru sita sebagai pejabat yang menjalankan sanksi secara mutlak. Pejabat yang terlibat dalam sanksi merupakan satu kesatuan yang utuh, baik dalam pelaksanaan maupun pertanggungjawabannya.
3. Pelaksanaan dibantu Dua Orang Saksi
Merupakan syarat formal, baik pada sita jaminan maupun pada sita eksekusi, sesuai pasal 197 ayat (6) HIR. Bila syarat ini tidak dipenuhi balasannya sita sanksi dianggap tidak sah. Kedua orang saksi mempunyai fungsi rangkap yaitu berkedudukan sebagai pembantu dan sekaligus saksi pelaksanaan sita eksekusi. Agar syarat formal terpenuhi maka kedua orang pembantu yang menyaksikan jalannya pelaksanaan sita sanksi harus mencantumkan nama, tempat tinggal, dan pekerjaan kedua saksi dalam isu program sita eksekusi. Kedua orang saksi ikut menandatangani orisinil dan salinan isu program sita eksekusi, sebagai syarat sah isu program Sita Eksekusi. Syarat penunjukan saksi sesuai Pasal 197 ayat (7) HIR adalah: telah berusia 21 tahun, berstatus penduduk Indonesia, dan mempunyai sifat jujur atau sanggup dipercaya, umumnya diambil dari pegawai Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
4. Sita Eksekusi Dilakukan di Tempat
Berdasarkan Pasal 197 ayat (5),(9) HIR tata cara pelaksanaan sita sanksi menentukan persyaratan ihwal keharusan pelaksanaan sita dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak di sita.Hal ini disyaratkan biar panitera atau juru sita sanggup melihat sendiri jenis atau ukuran dan letak barang yang akan disita bahkan harus sanggup memastikan bahwa barang tersebut benar-benar milik termohon, hal ini disebabkan penyitaan berdasarkan rekaan tidak dibenarkan.
5. Pembuatan Berita Acara Sita Eksekusi
Merupakan satu-satunya bukti otentik kebenaran sita eksekusi. Sita sanksi sebagai tahap awal menuju penyelesian sanksi merupakan tindakan yustisial yang harus bisa dipertanggung jawabkan Ketua Pengadilan Negeri dan juru sita. Tanpa isu acara, sita sanksi dianggap tidak pernah terjadi.
Hal penting yang harus tercantum dalam Berita Acara Sita Eksekusi ialah :
· Memuat nama, pekerjaan, dan tempat tinggal kedua orang saksi.
· Merinci secara lengkap semua tindakan yang dilakukan.
· Ditandatangani Pejabat pelaksana dan kedua orang saksi.
· Tidak diharuskan aturan ikutnya pihak tersita atau kepala desa menandatangai isu acara.
· Pemberitahuan isi isu program kepada pihak tersita, maksudnya untuk proteksi hukum.
6. Penjagaan Yuridis Barang yang Disita
Berdasarkan Pasal 197 ayat (9) HIR, penjagaan dan penguasaan barang sita sanksi tetap berada ditangan tersita, alasannya bila penjagaan dan penguasaan barang yang disita diberikan kepada pemohon sita maka seakan-akan sita itu sekaligus eksklusif menjadi eksekusi. Pihak tersita tetap bebas menggunakan dan menikmatinya hingga pada ketika dilaksanakan penjualan lelang. Penempatan barang sita sanksi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain dengan alasan demi keselamatan barang sitaan. Penguasaan penjagaan disebut secara tegas dalam isu program sita, sebagai syarat formal hak penjagaan.
Sepanjang barang yang habis dalam pemakaian, tidak boleh dipergunakan dan dinikmati tersita.
6. Ketidakhadiran Tersita Tidak Menghalangi Sita Eksekusi.
syarat-syarat yang paling pokok mendukung keabsahan tata cara sita sanksi antara lain :
Barang yang disita benar-benar milik pihak tersita (termohon)
Mendahulukan penyitaan barang yang bergerak, dan apabila tidak mencukupi gres dilanjutkan terhadap barang yang tidak bergerak, hingga mencapai batas jumlah yang dieksekusi kepada penggugat.
Tata cara pengumuman Sita Eksekusi, pengumuman ini khusus mengenai sita yang diletakkan terhadap barang yang tidak bergerak, sedang terhadap barang yang bergerak tidak diharapkan syarat pengumuman sita (Pasal 198 ayat (1) HIR). Tata cara yang ditentukan dalam pasal 198 ayat (1) HIR terdiri dua instansi, yaitu :
1. Mendaftarkan isu program sita dikantor yang berwenang untuk itu dengan cara “menyalin” isu program sita dalam daftar yang ditentukan :
· Di Kantor Pendaftaran Tanah (Agraria), apabila tanah yang disita bersertifikat(Stb.1834 No. 27 Jo. PP No. 10/1961)
· Dikantor kepala desa dalam buku Letter C, apabila tanah yang disita belum mempunyai sertifikat (Stb. 1834 No. 27)
· Mencatat jam, hari, bulan, dan tahun pengumuman penyitaan
Setelah sita sanksi diumumkan dengan cara mendaftarkan isu program sita dikantor yang berwenang barulah sita tersebut mempunyai kekuatan aturan mengikat terutama pada pihak ketiga disamping sita sanksi tersebut sudah sah secara formal serta kekuatan aturan mengikatnya berlaku kepada semua pihak. Begitu suatu sita sanksi dikatakan mempunyai daya ikat maka terhadap sita sanksi tersebut tidak sanggup tergoyahkan dan mempunyai kekuatan eksekutorial.
E.3.1. LELANG
Setelah pengadilan mengeluarkan Penetapan Sita Eksekusi berikut Berita Acara Sita Eksekusi, dan terhadap pelaksanaan sita sanksi itu telah berdaya ikat, maka Bank/Kreditur sanggup segera mengajukan permohonan lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pengertian lelang berdasarkan Pasal 200 ayat(1) HIR dikaitkan dengan Pasal 1 Peraturan Lelang (LN. 1908 No. 189) secara terperinci ialah : Penjualan di muka umum harta kekayaan termohon yang telah di sita sanksi atau dengan kata lain menjual di muka umum barang sitaan milik termohon (debitur), yang dilakukan di depan juru lelang atau penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan atau santunan kantor lelang (juru lelang) dan cara penjualannya dengan jalan harga penawaran semakin meningkat, atau semakin menurun melalui penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran).
Pengadilan Negeri yang hendak melaksanakan sanksi pembayaran sejumlah uang harus meminta santunan kantor lelang untuk menunjuk seorang pejabat juru lelang menjual barang yang disita (Pasal 1 a Peraturan Lelang LN 1908 No. 189), pengecualian ketentuan tersebut diatur dalam pasal dan ayat yang sama yaitu “Dengan peraturan pemerintah penjualan lelang sanggup dibebaskan dari campur tangan juru lelang”. Pasal 2 LN. 1908 No.189 memperlihatkan hak pada juru lelang untuk menunjuk kuasa menggantikannya, dan perbuatannya itu tidak membuat batal lelang yang dilakukan.
Penentuan penjual lelang sangat penting alasannya penjual lelanglah yang berhak menentukan syarat-syarat penjualan lelang (Pasal 200 ayat(1) HIR dan Pasal 1 b beserta Pasal 21 Peraturan Lelang) yaitu pejabat atau orang yang ditentukan undang-undang dan peraturan yang diberi kuasa mewakili pemilik untuk menjual lelang suatu barang . Pada sanksi penjualan lelang berdasarkan pasal 195, 196 dan 197 ayat(1), serta 224 HIR pihak penjual lelang ialah Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Negeri. Dengan kata lain undang-undang memberi kuasa kepada Ketua Pengadilan Negeri menjual lelang barang harta kekayaan termohon, guna memenuhi pembayaran kepada pihak pemohon. Sedang berdasarkan Pasal 4 dan 5 UU No. 49 Prp tahun 1960 PUPN bertindak sebagai penjual mewakili pihak debitur.
E.3.2. TATA CARA PENGAJUAN LELANG
Pasal 5 kalimat pertama Peraturan lelang menyatakan “Seorang yang bermaksud mengadakan penjualan di muka umum memberitahukan hal itu kepada juru lelang, dan dalam pemberitahuan itu disebutkan kapan hari penjualan ingin dilakukan”. Kalimat kedua pasal 5 diatas menegaskan bahwa seruan lelang yang diterima kantor lelang ditulis dalam daftar sehingga yang berkepentingan sanggup melihat hal-hal sehubungan dengan seruan lelang, tujuannya selain memenuhi fungsi administratif juga memberi kesempatan bagi pihak yang berkepentingan melihat dan meneliti surat- surat yang bersangkutan. Kalimat ketiga pasal yang sama menyatakan bahwa pada prinsipnya kantor lelang terikat pada hari yang ditentukan oleh peminta lelang sepanjang hal itu sesuai dengan aturan khusus yang dikeluarkan Menteri Keuangan.
Pasal 7 Peraturan Lelang menegaskan bahwa juru lelang tidak berwenang menolak seruan lelang sepanjang seruan masih mencakup tempat daerah aturan kantor lelang yang bersangkutan.
Pasal 200 ayat (4) HIR memperlihatkan hak kepada pihak tereksekusi dalam hal ini debitur untuk mengatur urutan penjualan barang yang akan dijual, tetapi hak yang diberikan hanya sebatas itu saja.
Yang berhak menentukan syarat-syarat lelang ialah penjual lelang yaitu Pengadilan Negeri tetapi pemberian syarat itu dibatasi oleh Tambahan Lembaran Negara No. 4299 yaitu, harus berpedoman dan tidak boleh menyimpang dari ketentuan Peraturan Lelang. Hak Penjual Lelang selain menentukan syarat penjualan ialah menentukan cara pelelangan dan mengubah cara pelelangan terhadap barang yang telah dilelang, apabila penjual belum meluluskan penjualan lelang yang bersangkutan. Syarat-syarat lelang yang diatur dalam Peraturan Lelang No.189 tahun 1908 antara lain :
a) Penawaran dilakukan melalui registrasi (pasal 9 alinea kedua) dengan menulis nama, pekerjaan dan harga penawaran dengan rupiah dan ditandatangani oleh yang bersangkutan ke kantor lelang setempat, akan tetapi ketentuan ini sanggup disimpangi.
b) Seorang peminat hanya dibolehkan mengajukan satu surat penawaran (pasal 9 alinea ketiga).
c) Peminat menyetorkan panjar lebih dulu, sebagai tanda kesungguhannya secara lunas tunai dalam jangka waktu tertentu ke tempat penjual atau kantor lelang.
d) Bila patokan harga terendah tidak tercapai, penjualan lelang ditunda dan akan diadakan pengumuman lelang lanjutan atas biaya debitur.
e) Bila patokan harga terendah tidak tercapai lelang sanggup dilanjutkan dengan penawaran eksklusif (terbuka dan lisan) secara tawaran meningkat atau menurun dan menyerahkan penetuan harga yang patut pada pihak penjual.
f) Pembayaran dengan tunai, sesuai pasal 22 Jo.Pasal 29 Peraturan Lelang, berdasarkan praktek diberi batas waktu 24 jam.
Agar syarat penjualan lelang yang sah secara materil mengikat dan sah secara formal maka,syarat lelang yang bersangkutan harus dilampirkan pada surat permohonan lelang ke kantor lelang dan syarat lelang harus terbuka untuk umum.
Harga patokan terendah ialah harga yang dianggap sesuai dengan nilai barang yang ditentukan lebih dahulu (minimal 3 hari sebelum lelang) oleh pengawas Kantor Lelang Negara (Pasal 9 alinea pertama) berdasarkan kepatutan, keadaan atau kondisi barang yang hendak dilelang, faktor ekonomis. Disamping itu tujuannya ialah sebagai indikator harga penjualan lelang yang sanggup disetujui dan dibenarkan. Tidak adanya patokan harga terendah tidak menimbulkan lelang menjadi batal, lelang yang telah dilakukan ialah sah demi melindungi kepentingan pembeli lelang yang beritikad baik.
Pembocoran patokan harga terendah kepada pihak lain (Pihak penjual, pemohon atau termohon lelang) dari pengawas kantor lelang menimbulkan penjualan lelang batal.
Pengumuman lelang merupakan syarat formal penjualan lelang, tidak terpenuhinya syarat ini menimbulkan lelang batal demi hukum. Kantor lelang terlebih dahulu akan melaksanakan pengecekan ke Kantor Pertanahan atas dokumen-dokumen tanah yang akan dilelang dengan meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), selanjutnya Kantor Lelang mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri mengenai tanggal pelaksanaan lelang.
Pengumuman lelang benda bergerak diatur dalam Pasal 200 ayat (6) HIR, yaitu jumlah Pengumuman tidak ditentukan, dilakukan pada waktunya maksudnya ialah sanggup dilakukan sesaat setelah sita sanksi atau mulai aanmaning bila benda tersebut sudah disita jaminan, pengumuman dilakukan berdasarkan kebiasaan setempat, akan tetapi perlu diingat bahwa penjualan lelang paling cepat delapan hari dari tanggal penyitaan barang.
Pengumuman dan penjualan barang yang tidak bergerak diatur dalam Pasal 200 ayat (9) HIR hanya satu kali melalui surat kabar selambat-lambatnya 14 hari sebelum hari penjualan. Sedangkan Pasal 200 ayat (7) dikatakan pengumuman penjualan lelang barang yang bergerak jila bersamaan serentak dengan barang yang tidak bergerak mesti dilakukan 2 kali berturut-turut dengan selang minimum 15 hari.
tetapi dalam praktek Pengadilan Negeri menghendaki pengumuman lelang untuk benda tidak bergerak dilakukan 2 kali dengan selang 15 hari melalui surat kabar, dan pelaksanaan penjualan lelang sendiri gres bisa dilaksanakan 14 hari setelah pengumuman kedua.
Bentuk penawaran lelang yang ada dan biasa digunakan penawaran tertulis, ditulis dalam bahasa Indonesia, dengan aksara latin, memuat dengan terang identitas penawar (nama, pekerjaan, tempat tinggal), ditandatangani penawar. Apabila patokan harga terendah belum tercapai penawaran dilanjutkan dengan penawaran verbal dengan syarat yang ditetapkan penjual.
Lelang dilaksanakan di Kantor Pengadilan Negeri, Kantor Lelang Negera atau di Lokasi tanah dan dipimpin oleh Panitera Kepala Pengadilan Negeri didampingi oleh Pejabat Kantor Lelang.
Pengaturan risalah lelang terdapat dalam Pasal 35 Peraturan Lelang. Yang dimaksud dengan risalah lelang ialah sama artinya dengan “berita acara’ Lelang, yang merupakan landasan otentik penjualan lelang, tanpa risalah lelang, lelang yang dilakukan dianggap tidak sah. Risalah lelang mencatat segala insiden yang terjadi pada penjualan lelang.
Bila pembeli bertindak untuk dan atas nama kuasa maka surat kuasanya dilampirkan dan dicatat dalam isu acara, sedang bila pemberian kuasa itu secara verbal maka diterangkan dalam isu acara.
Penandatanganan risalah lelang berdasarkan pasal 38 Peraturan Lelang ada dua cara yaitu :
1. Penandatanganan setiap lembar oleh juru lelang yang bersangkutan (Pasal 28 ayat(1), bila tidak dilakukan penjualan lelang sanggup dibatalkan.
2. Agar risalah lelang tepat sebagai sertifikat otentik, selain ketentuan diatas pada serpihan tamat risalah lelang harus ditandatangani oleh juru lelang dan pihak penjual. Ketidak hadiran pihak penjual tidak menimbulkan lelang tertunda, cukup dicatat dalam risalah lelang sebagai ganti tanda tangan pihak penjual yang tidak hadir.
Pembeli dianggap sungguh-sungguh telah mengetahui apa yang telah ditawar, beli olehnya. Apabila terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan ia tidak sanggup menarik diri kembali setelah pembeliannya disahkan dan melepaskannya semua hak untuk meminta ganti kerugian apapun. Pembeli juga tidak boleh menguasai barang yang dibelinya sebelum ia melunasi uang pembelian yang terdiri dari harga pokok, bea lelang dan uang miskin.
Sumber http://sumbermaterikuliah.blogspot.com
EmoticonEmoticon