Minggu, 05 Maret 2017

Sosiologi Hukum


PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Secara etimologis, Sosiologi berasal dari kata latin, Socius yang berarti mitra dan kata Yunani Logos yang berarti kata atau yang berbicara. Kaprikornus Sosiologi yaitu berbicara mengenai masyarakat. Bagi Comte, Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umun yang merupakan hasil final dari perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu Sosiologi didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuna sebelumnya. 

Pitirim Sorokim menyampaikan bahwa Sosiologi yaitu suatu ilmu yang mempelajari korelasi dan efek timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, aturan dengan ekonomi) dengan tanda-tanda lainnya (nonsosial). 

Berbeda dengan pendapat Rouceke dan Warren yang menyampaikan bahwa Sosiologi yaitu ilmu yang mempelajari korelasi insan dengan kelompok-kelompok. Nah berasarkan uraian di atas, maka Sosiologi yaitu terang merupakan ilmu sosial yang objeknya yaitu masyarakat sebagai ilmu. Ia berdiri sendiri dikarenakan telah mempunyai unsur ilmu pengetahuan. 

Dalam ilmu Sosiologi dipelajari juga mengenai tugas masyarakat terhadap aturan yang hidup di dalamnya, sumber aturan materiel dan beberapa fungsi aturan dalam masyrakat.

Dewasa ini, peranan aturan mempunyai kedudukan yang miris dan kurang berfungsi adnya. Hal ini terbukti dengan sudah tidak banyak diindfhknny perturan-peraturan aturan dalam masyarakat sendiri. Selain itu fungsi aturan sebgai sutu kekuatan atau power juga sudah seberapa di gubris. Contohnya banyk sekali aparat-aparat atau pejabat pemerintahan yang mempermainkan kedudukan aturan sehingga sudah tidak besar lengan berkuasa lagi dan fungsi powernya sudah hilang.

Nah, oleh sebab itu pada makalah ini, penulis akan mencoba menelisik kembali wacana fungsi-fungsi dari pada aturan tersebut dalam masyarakat sendiri. Sehingga diinginkan adanya suatu perubahan fundamental supaya aturan di Indonesia bisa berjalan maksimal sebagaimna fungsinya.

Pengembangan dan konsolidasi tatanan aturan nasioanal mengalami perubahan. Hukum cenderung diterapkan meliputi bidang-bidang kehidupan yang sangat luas, meliputi aneka macam etnik, asal keturunan, dan golongan, meliputi aneka macam macam kawasan yang mempunyai ciri fisik dan kebudayaan masing-masng. Hukum perseorangan diganti dengan aturan teritorial, aturan special diganti aturan umum, dan aturan kebiasaan diganti aturan tertulis.

Di dalam masyarakat bangsa Indonesia, politik aturan di antaranya termaktub dalam GBHN dan menjadi salah satu sumber aturan dalam tatanan aturan nasional. Politik aturan itu, antara lain berupa peningkatan pembaharuan kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang aturan tertentu, penyusunan peraturan perundang- usul gres yang sangat dibutuhkan untuk menunjang pembangunan nasional sejalan dengan tingkat kesadaran aturan dan dinamika yang berkembang di tengah masyarakat Upaya kearah kodifikasi dan unifikasi aturan di Indonesia, terutama aturan keperdataan merupakan hal yang amat rumit.

Usaha di bidang Ini dihadapkan pada kemajemukan masyarakat Indonesia yang mempunyai keaneka ragaman agama dan etnik. Ia juga dihadapkan pada perubahan masyarakat dalam aneka macam kehidupan yang dikehendaki dan direncanakan secara nasional. Oleh sebab itu, kodifikasi dan unifikasi aturan dituntut untuk memperhatikan dan menampung keaneka ragaman budaya dan kesadaran aturan masyarakat yang mengacu pada keyakinan dan nilai-nilai yang mereka anut. Upaya dalam hal ini dilakukan dalam aneka macam bidang, di antaranya: bidang aturan ketata-negaraan, bidang aturan pidana dan perdata.

Menurut Bagir Manan, Program penyusunan kodifikasi aturan ternyata tidak sanggup dilaksanakan sebagai mana mestinya. Kodifikasi selamanya mengandng aneka macam kelemahan bawaan. Di satu sisi ia membutuhkan waktu usang sebab harus lengkap dan menyeluruh, namun di sisi yang lain, kebutuhan aturan mustahil menunggu, alhasil timbul terobosan yang sering bersifat fighting the problem bukan solving the problem.

Dari perkiraan diatas maka dibutuhkan terobosan-terobosan dalam pembentukan Hukum yang sanggup mengikuti dinamika kehidupan masyarakat yang terus berubah dalam setiap tatanan aturan nasional sehingga cita-cita menjadikan aturan sebagai regulasi dan rel dalam perjalanan kehidupan sanggup secara dinamis sanggup mengikuti setiap perkembangan dalam dinamika kehidupan masyarakat.

Berikut ini dalam makalah kami, akan dibahas wacana bagaimana Urgensi kajian sosiologis terhadap pembentukan hukum, dan Hukum dan Dinamika masyarakat.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan diskripsi diatas maka kami perlu menawarkan rumusan masalah Sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan kami bahas dalam makalah kami ini. Antara lain sebagai barikut :
  1. Dinamika Masyarakat dan kebudayaan.
  2. Hukum dan Dinamika Masyarakat.
  3. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan

Ada pun tujuan penulisan yaitu sebagai berikut :
  • Untuk mengetahui Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan.
  • Untuk mengetahui aturan dan dinamika masyarakat.

Sedangkan kegunaan penulisan ini sebagai berikut :
  1. Memberi dorongan kepada mahasiswa untuk senantiasa menambah wawasan dalam sosiologi aturan khusus pada masalah aturan dan dinamika masyarakat.
  2. Dapat menjadi materi pembelajaran dalam mata kuliah Sosiologi Hukum.
  3. Dapat mengimplementasikan pembelajaran Sosiologi Hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Penulisan makalah ini penulis batasi dalam hal:
  1. Apakah dalam masyarakat selalu ada hukum?
  2. Apakah sumber aturan itu terdapat dalam masyarakat?
  3. Bagaimana eksistensi fungsi aturan sebagai Law Is Tool Social Engineering

PEMBAHASAN

1. Ada Masyarakat, Maka Hukum Juga Ada

Manusia yaitu makhluk yang mempunyai hasrat hidup bersama. Hidup bersama yang sekurang-kurangnya terdiri dari 2 orang. Tidak ada insan yang sanggup hidup sendiri, Aristoteles pernah menyampaikan bahwa insan itu yaitu zoon politicon, yang artinya bahwa insan itu sebagai makhluk yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama insan lainya. Dan sebab sifatnya itu insan disebut sebagai makhluk sosial.

Setiap insan mempunyai sifat, watak, dan kehendak yang berbeda-beda. Dan dalam korelasi dengan sesama insan dibutuhkan adanya kerjasama, tolong menolong dan saling menbantu untuk memperoleh keperluan kehidupannya. Kalau kepentingan tersebut selaras maka keperluan masing-masing akan gampang tercapai. Tetapi jikalau tidak malah akan menimbulkan masalah yang menganggu keserasian. Dan bila kepentingan tersebuit berbeda yang kuatlah yang akan berkuasa dan menekan golongan yang lemah untuk memenuhi kehendaknya.

Karena itu dibutuhkan suatu aturan yang mengatur setiap anggota dalam masyarakat. Maka dibuatlah aturan yang disebut dengan norma. Dengan norma tersebut setiap anggota masyarakat dengan sadar atau tidak sadar akan terpengaruh dan menekan kehendak pribadinya. Adanya aturan tersebut berkhasiat supaya tercapainya tujuan bersama dalam masyarakat, memberi petunjuk mana yang boleh dilakukan mana yang tidak, memberi petunjuk bagaiman cara berperilaku dalam masyarakat. Itulah dasar pembentukan aturan dari kebutuhan masyarakat akan adanya aturan yang mengatur tata cara kehidupan supaya setiap individu masyarakat sanggup hidup selaras.

Sehingga Tujuan aturan dalam masyarakat yaitu sebagai berikut:

Seperti yang insan itu yaitu makhluk yang bersifat sosial dan tinggal dalam kelompok masyarakat. Dengan aneka macam macam individu yang tingal dalam masyarakat, dibutuhkan adanya aturan-aturan yang menjamin keseimbangan supaya tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan masyarakat. 

a. Sebagai alat pengatur tata tertib korelasi masyarakat: dalam arti, aturan berfungsi memperlihatkan insan mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu sanggup berjalan tertib dan teratur.

b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: aturan sanggup memberi keadilan, dalam arti sanggup menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, sanggup memaksa supaya peraturan sanggup ditaati dengan bahaya hukuman bagi pelanggarnya.

c. Sebagai sarana penggagas pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari aturan sanggup dipakai atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Hukum yaitu alat untuk membuat masyarakat yang lebih baik. 

d. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melaksanakan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang menentukan hukuman yang sempurna dan adil: menyerupai konsep aturan konstitusi negara.

2. Sumber Hukum Itu Terdapat Dalam Masyarakat (Sumber Hukum Materiil)

Sumber aturan dalam arti material, yaitu: suatu keyakinan/ perasaan aturan individu dan pendapat umum yang menentukan isi hukum. Dengan demikian keyakinan/ perasaan aturan individu (selaku anggota masyarakat) dan juga pendapat umum yang merupakan faktor-faktor yang sanggup mensugesti pembentukan hukum. Kebiasaan atau Hukum tak tertulis

Kebiasaan (custom) adalah: semua aturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh rakyat, sebab mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum. Agar kebiasaan mempunyai kekuatan yangberlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum, maka harus dipenuhi syarat sebagai berikut:

a. Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum.

b. Harus ada keyakinan aturan dari orang-orang/ golongan-golongan yang berkepentingan. dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung/ memuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/ ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat.

3. Hukum Itu Salah Satu Fungsinya Sebagai Law Is Tool Social Engineering

Sebuah perbincangan yang sampai sekarang tak juga kunjung putus yaitu soal fungsi aturan dalam masyarakat. Di satu pihak orang meyakini kebenaran premis bahwa aturan itu tak lain hanyalah refleksi normatif saja dari pola-pola sikap yang telah terwujud sebagai realitas sosial. Sedangkan di pihak lain orang masih banyak juga yang suka menteorikan bahwa aturan itu bahwasanya yaitu suatu variabel bebas yang manakala dioperasionalkan sebagai kekuatan yang bertujuan politik akan bisa mengubah tatanan struktural dalam masyarakat.

Pandangan yang disebutkan pertama yaitu pandangan yang melihat aturan sebagai ekspresi kolektif suatu masyarakat, dan sebab itu hasil penggambarannya secara konseptual akan melahirkan konsep aturan sebagai penggalan dari elemen kultur ideal. Pandangan yang kedua yaitu pandangan yang melihat aturan benar-benar sebagai instrumen, dan sebab itu hasil penggambarannya secara konseptual akan banyak menghasilkan persepsi bahwa aturan yaitu penggalan dari teknologi yang lugas; atau meminjam kata-kata Rouscoe Poend, aturan itu yaitu “tool of social engineering“.

Menurut Lawrence sebagaimana dikutip oleh Soetandyo, menyatakan bahwa Hukum sebagai alat social engineering yaitu ciri utama negara modern. Jeremy Bentham (dalam Soetandyo) bahkan sudah mengajukan gagasan ini di tahun 1800-an, tetapi gres mendapat perhatian serius sehabis Roscoe Pound memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin sosiologi hukum. Roscoe Pound minta supaya para hebat lebih memusatkan perhatian pada aturan dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal itu bisa dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan pemerintah, keppres, dll tetapi juga melalui keputusan-keputusan pengadilan

a. Pembangunan Hukum

Dewasa ini jumlah eksponen pendukung inspirasi “law as a tool of social engineering” kian bertambah. Perkembangan yang disebut Geertz (dalam Soetandyo) sebagai perkembangan “from old society to new state” memang telah menyuburkan tekad-tekad untuk menggerakkan segala bentuk kemandeg-an dan untuk mengubah segala bentuk kebekuan, baik lewat cara-cara revolusioner yang ekstra legal maupun lewat cara-cara yang bijak untuk memakai aturan sebagai sarana perubahan sosial.

Menurut Soetandyo hal ini berimplikasi para banyaknya praktisi yang berminat untuk memikirkan strategi-strategi perubahan yang paling layak untuk ditempuh dan untuk merekayasa ius constituendum apa yang sebaiknya segera dirancangkan dan diundangkan sebagai langkah implementasinya. Sedangkan para teoritisnya banyak berminat untuk mendalami studi-studi wacana keefektifan aturan guna menemukan determinan-determinan (paling) penting yang perlu diketahui untuk mengfungsionalkan aturan sebagai sarana pembangunan.

Menurut sejumlah pakar, pembangunan aturan mengandung dua arti.

Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui aturan positif (modernisasi

hukum). Kedua, sebagai perjuangan untuk memfungsionalkan aturan yakni dengan cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Jadi, pembangunan aturan tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan legislasi saja, melainkan pada upaya menjadikan aturan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Dengan kata lain kita sanggup simpulkan, definisi pembangunan aturan yaitu “mewujudkan fungsi dan tugas aturan di tengah-tengah masyarakat”. Untuk itu ada tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering).

b. Manifestasi Rekayasa Sosial dalam Pembentukan Undang-Undang

Dalam salah satu artikelnya, Paramita menyatakan bahwa perundang-undangan ialah suatu tanda-tanda yang relatif kompleks yang proses pembentukannya melibatkan aneka macam faktor kemasyarakatan lainnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan sikap dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaidah-kaidah aturan yang diarahkan kepada sikap warga masyarakat atau tubuh pemerintahan, sedangkan tujuan tertentu yang ingin direalisasikan pada umumnya mengacu pada idea atau tujuan aturan secara umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Membentuk undang-undang juga berarti membuat satu sumber aturan yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban dari semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan undang-undang tersebut.

Berbeda dengan pandangan Paramita, mazhab fungsional atau biasa disebut mazhab sosiologik aturan (sociology of law) melalui tokohnya Roscoe Pound (dalam Satjipto) yang beropini bahwa aturan itu lebih dari sekadar himpunan norma-norma yang abnormal atau ordo-hukum. Namun, aturan merupakan satu proses untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan dan menawarkan jaminan, kepastian kepuasan kepada keinginan golongan terbanyak dengan tabrakan yang sekecil mungkin. Analogi dari pemahaman aturan yang demikian itulah yang oleh Pound disebutkan sebagai rekayasa sosial (social engineering).

Perlu diperhatikan juga sebelumnya bahwa suatu peraturan atau aturan gres sanggup dikatakan baik apabila memenuhi tiga syarat berdasarkan teori Radbruch, yaitu secara filosofis sanggup membuat keadilan, secara sosiologis bermanfaat dan secara yuridis sanggup membuat kepastian. Sedangkan berdasarkan Pound suatu undang-undang harus berfungsi sebagai “tool of social control “ dan “tool of social engineering”.

Sejalan dengan Pound, Prof. Max Radin sebagaiama dikutip oleh Mahendra, menyatakan bahwa aturan yaitu teknik untuk mengemudikan suatu mekanisme sosial yang ruwet. Di lain pihak aturan tidak efektif kecuali bila mendapat legalisasi dan diberi hukuman oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger (dalam Mahendra) menyatakan: “hukum didefinisikan oleh kekuasaan; ia terdiri dari tubuh undang-undang dan mekanisme yang dibentuk atau diakui oleh kekuasaan politik.

Hukum menawarkan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melaksanakan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan memakai sarana pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secara tertib.

c. Kritik terhadap pandangan “law as a tool of social engineering”

Walaupun para eksponen yang menyokong gagasan “law as a tool of social engineering” sekarang tercatat cukup mendominasi percaturan dan posisi kunci pelatihan aturan nasional, itu tidaklah berarti bahwa gagasan dan langkah-langkah operasional mereka sanggup berkembang dan berjalan dengan tanpa kritik.

Kritik-kritik yang terlontar berdasarkan alasan ideologi dan atau paradigma adab yang sifatnya mutlak dan memihak—dalam kerangka penetapan kebijakan politik—memang sudah tak sekuat dulu lagi. Akan tetapi polemik dan diskusi wacana kedudukan dan fungsi aturan dalam tata kehidupan masyarakat yang makro ini bukannya telah tiada.

Menurut Soetandyo pembicaraan dan perbincangan tetap saja ramai untuk mempersoalkan apakah aturan dalam kenyataanya in concretomemang akan sanggup merekayasa masyarakat dengan efektif manakala ia hanya terbit sebagai manifestasi—meminjam adagium kaum positivitis—”the command of the sovereign” (perintah yang berdaulat), dan tidak pernah mempertimbangkan dua soal berikut ini: Pertama, apakah bahwasanya nilai-nilai adab dan kaidah-kaidah social yang dianut rakyat dalam kehidupan sehari-harinya; Kedua, sejauh manakah rakyat awam itu bersedia menyebarkan kesetiaan dan ketaatan, tidak hanya kepada nilai-nilai dan kaidah-kaidahnya sendiri yang informal tetapi juga kepada “the command of the sovereign” yang bergaya formal itu.

Soetandyo menambahkan mereka yang beropini bahwa aturan yaitu sarana yang efektif untuk merekayasa masyarakat tentunya lebih condong untuk bersikap antisipatif pada perubahan-perubahan yang selalu terjadi. Mereka tanpa ayal akan bergerak merancang perubahan masa depan, dan akan memakai aturan sebagai model citra hubungan-hubungan antar subjek di masa depan yang harus direa lisasikan dengan tindakan-tindakan yang bersanksi. Maka di tangan mereka aturan akan berfungsi sebagai sarana untuk mendinamisasi perubahan, dan tidak (sekedar) sebagai sarana untuk mengontrol status-quo yang serba statik di dalam struktur.

Para pengritik inspirasi “law as a tool of social engineering” umumnya menambahkan bahwa orang masih harus mempertanyakan, adakah cara yang sanggup dianjurkan untuk mengubah rujukan normatif rakyat, dari kecondongannya pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah setempat yang parokial dan berwawasan ke masa lampau ke nilai-nilai dan kaidah-kaidah gres yang nasional dan berwawasan ke masa depan.

Bertolak dari semua itu terdapat satu hal penting yang perlu (harus) disadari sebagai suatu dilema tersendiri atas perkiraan dasar mengenai dalil “law is a tool of social enginereeng“, bahwa berdasarkan von Savigny (dalam Soetandyo), bahwasanya aturan itu tidak pernah bisa dibentuk berdasarkan rasionalitas pikiran insan yang disengaja. Hukum bahwasanya selalu berproses dan terwujud di dalam dan bersamaan dengan perkembangan masyarakat dan sejarah suatu bangsa. Oleh sebab itu penyikapan selanjutnya yaitu bagaimana bahwasanya “law is a tool of social engineering” harus kita tempatkan bukan pada posisi rule by law, tetapi pada paradigma rule of law


Sumber http://sumbermaterikuliah.blogspot.com


EmoticonEmoticon