Sabtu, 21 April 2018

Kebudayaan Sunda



PENDAHULUAN


Dongeng Sangkuriang dalam aneka macam versinya yang berkembang di masyarakat selalu menampilkan Dayang Sumbi, perempuan yang melahirkan Sangkuriang terlahir dari babi dan ayahnya yang berupa anjing. Dongeng yang dihubungkan dengan mula terbentuknya Lembah Bandung dan Gunung Tangkuban Perahu ini sering ditafsirkan sebagai bentuk peyoratif penolakan orang Sunda terhadap incest. Dongeng ini paralel dengan mitos Oedipus dari Yunani yang diambil oleh Freud untuk membangun teori Oedipus Complex-nya. Freud memang menegaskan bahwa mitos yang mengungkapkan seorang tokoh yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya ini muncul tidak hanya dalam satu kebudayaan saja. Juga terdapat banyak anggapan bahwa cerita ini yaitu bentuk totemisme kebudayaan Sunda primitif sebelum datangnya aliran agama-agama. Tetapi gagasan ini mengidap kelemahan historis di dalamnya. Bersamaan dengan pengadaptasian kisah Mahabharata dan Ramayana dalam pewayangan berabad-abad kemudian oleh para waliyullah dalam penyebaran agama Islam di Tanah Jawa, tidak mungkin bila sebuah cerita yang melukiskan konstruk masyarakat sangat primitif yang bertentangan dengan aliran agama tetap dituturkan secara verbal di aneka macam daerah di Tatar Sunda yang telah memeluk agama Islam semenjak lama. Tak kurang dari seorang Haji Hasan Mustapa menyebut cerita ini sebagai kisah suluk. Sangkuriang dipenuhi dengan simbol-simbol yang demikian kaya dan sepintas saling kontradiktif dalam dirinya itu, ibarat babi dan anjing, air seni sang raja, gunung dan lembah, taropong, tempurung kelapa, ayam jago, dan boeh rarang. Hal itu menuntut kita untuk menolak cerita itu secara keseluruhan lantaran sama sekali tidak beresonansi dengan kesadaran atau memperlakukannya sebagai wacana yang mengaktivasi ruang kecerdasan khusus. Vico, seorang filsuf Italia telah mengutarakan pendapat yang dikembangkan oleh Levi-Strauss bahwa masyarakat lampau mempunyai suatu 'kebijakan-puitis' (sapienza poetica), di mana mereka menyatakan cara pandangnya terhadap dunia lewat aneka macam bentuk metafisik metafora, simbol, dan mitos-mitos. Khasanah Sunda inilah yang akan merekonstruksi konsep strukturalisme budaya dan hakikat kemanusiaan yang membentuknya.

Semiotika, Strukturalisme dan Logostrukturalisme Bahasa Sunda

Istilah "semiotika" berakar dari bahasa Yunani, seme, semeion, juga semeiotikos, yang berarti penafsir tanda-tanda, kurang lebih arti semiotika yaitu ilmu mengenai analisis tanda dan bagaimana sistem penandaan tersebut berfungsi. Semiotika menyeruak ke permukaan sebagai sebuah disiplin ilmu yang mapan dan mengimbas banyak disiplin ilmu lainnya gres terjadi sesudah para murid dan kolega Ferdinand de Saussure (1857-1913) menerbitkan buku Cours de Linguistique Générale secara anumerta pada tahun 1916 yang merupakan kumpulan catatan kuliah yang pernah diberikannya.

Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas dyadic di mana sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier), yaitu aspek material dari sebuah tanda entah berupa tulisan, bunyi maupun objeknya itu yang membentuk impresi mental. Sedang sisi keduanya yaitu petanda (signified), yaitu abstraksi murni (pure abstract) yang sepenuhnya berupa konsep. Satu hal lagi yang sangat penting dalam kajian Saussure perihal tanda linguistik yaitu sifat arbitrer yang menyatukan penanda dan petanda dimana tak ada logika yang ketat, alasan niscaya yang menyatukan antara petanda dan penanda tak ubahnya dua permukaan kertas (retro dan verso).

Problem kearbitreran tanda Saussurian sanggup disebabkan oleh dua hal berikut ini. Pertama, tidak dimengertinya proses pencerapan objek, baik yang berupa bunyi pengucapan dan goresan pena pada kertas sampai terbentuk impresi mental yang berupa penanda (signifier) dan kedua, yang prosesnya sama sekali tidak teraba oleh semiotik, berupa pembentukan petanda (signified) yang berupa abstraksi murni. Problem yang pertama ini berusaha didekati oleh Saussure dengan menekankan aspek kekerabatan dari elemen-elemen bahasa dalam suatu struktur, yang disebut sinkroni, yang sekaligus menandai pergeseran studi linguistik dari yang semula berorientasi pada perubahan elemen bahasa secara historis yang disebut diakroni. Dia menganalogikannya sebagai memotong pohon yang benar yaitu secara melintang, bukan dari atas ke bawah. Dengan sinkroni, Saussure menunjukkan bahwa aspek pencerapan elemen-elemen bahasa bukan dipusatkan pada masing-masing entitas bahasa tetapi pada relasinya dengan entitas yang lain. Ia membagi kekerabatan ini secara mendasar menjadi dua, yaitu di tingkat fonetik (dicontohkan dengan coal/call) dan di tingkat fonemik (dicontohkan dengan tin/kin). Dengannya perbedaan entitas-entitas bahasa disistematisasi dalam kaidah oposisi biner sehingga makna-maknanya yang berbeda sanggup dilekatkan. Tetapi oposisi biner ini tetap saja menjadikan kearbitreran petanda terhadap penanda yang tak terselesaikan. Sejauh ini yang sanggup disimpulkan hanyalah bahwa perubahan fonetik dan fonemik yang unik dalam entitas-entitas suatu struktur bahasa merupakan ciri dasar dari petandanya yang merupakan abstraksi murni.

Di sisi yang lain konsep oposisi biner yang konstruknya diinterpretasi terlampau sederhana dan sanggup ditemukan 'dengan mudah' pada entitas-entitas bahasa ini telah mengundang kecurigaan Derrida bahwa proyek metafisika usang akan dihidupkan kembali. Dalam periode yang cukup panjang metafisika barat telah jatuh pada fundamentalisme dan membakukan serangkaian prinsip tamat yang 'membunuh subjek'. Bagi Derrida "Semua metafisikawan membentuk dari yang asal, tampak sederhana, utuh, normal, murni, standar, dan mengenal diri. Demi menyembuhkannya dari kecelakaan, penurunan, kesukaran, kemerosotan. Membuat yang baik di depan yang buruk, positif di atas negatif, murni di atas najis, sederhana di atas rumit, dan sebagainya. Ini bukan sekadar tanda-tanda metafisikal. Di antara yang lain, ini keadaan darurat metafisika, mekanisme paling konstan, mendalam, dan kuat."

Dalam hal di atas Derrida benar dan ia waspada terhadap penarikan kaidah metafisika sederhana yang digeneralisasi dan seolah sanggup menjelaskan setiap tanda. Tetapi sampai sekarang Saussure sendiri belum pernah mengajukan satu contohpun perihal petanda (signified) dari suatu tanda meski dengan gegabah ia menyimpulkan pembentukannya sebagai arbitrer. Tidak pernah sanggup dijelaskan misalnya, konsep apakah yang menimbulkan pohon sanggup diberi penanda (signifier) tree. Meski kaidah oposisi biner ini bukanlah tanggapan metafisika, cara-cara Derrida menggoyahkannya secara liar sampai melepaskan keterpukauan orang pada tanda. Pengertian bahwa nilai sebuah tanda ditentukan sepenuhnya dari perbedaannya dengan tanda-tanda yang lain terwadahi dalam konsepnya yaitu différance. Namun konsep tersebut juga menegaskan bahwa nilai sebuah tanda tidak sanggup hadir seketika. Nilainya terus ditunda (deffered) dan ditentukan – bahkan juga dimodifikasi – oleh tanda berikutnya dalam satu aliran sintagma. Différance, lantaran sifat alaminya, menolak setiap upaya untuk menghentikan alirannya. Derrida seolah hendak mencegah siapapun pada proyek-proyek pencarian penanda (signified) yang semenjak semula memang telah dianggap arbitrer, dan bahkan kaidah oposisinya sendiri dengan segera hanyut dalam aliran sintagma.

Dekonstruksi radikal yang ditawarkan oleh Derrida sebetulnya hanyalah untuk membuat batas-batas pengaman yang kokoh dari daya khayal yang menyeruak di dalam benak setiap kali pikiran kita dibanjiri oleh persepsi indrawi. Setiap dikala hal itu terjadi maka kaidah filsafat, ideologi dan prinsip kategorisasi apapun menjadi tak berarti; dan daripada menjadikan keterpukauan, ia lebih baik didekonstruksi. Konsep yang menjadi penanda, yang lebih baik tetap tak terungkapkan daripada diungkapkan secara arbitrer itu, semestinya tetap menjadi cuilan dari 'logos'-nya Plato. Dalam The Republic, Plato menjelaskan bahwa 'logos', dipadukan dengan 'musike', sebagai satu-satunya penjaga yang kondusif untuk 'arete'. Padahal kita tidak akan mendapat citra yang utuh perihal ketiganya bila tidak menyelidik eksklusif ke teks orisinil dimana istilah tersebut dikonseptualisasi.

Aretè yang sering diterjemahkan menjadi kebajikan (virtue) yang dipakai dalam bentuk tunggal maupun plural. Aretè berarti menjadi baik pada sesuatu, dan yaitu sudah lumrah apabila orang Yunani bertanya "aretè dari apa atau siapa?" yang secara sepintas seringkali dipahami orang sebagai 'efisiensi'. Pada masa kelima muncul para guru Sofis yang juga mengajarkan aretè namun belum dalam pengertian etis sebagaimana yang dikemukakan oleh Socrates, Plato, ataupun Aristoteles, dimana mereka merubahnya menjadi kata sifat anthropine yaitu sebuah keunggulan yang dimiliki oleh setiap insan dalam kehidupannya. Namun mereka pun menekankan bahwa pada kenyataannya kebanyakan insan tidak mengetahui aretè tersebut, dan oleh lantaran itu insan harus mencari serta menemukan ergon (amal)-nya sehingga insan sanggup mengetahui apa keunggulannya di muka bumi ini.

Socrates dan Plato, misalnya, menegaskan bahwa hanya segolongan orang saja yang harus ditugaskan untuk melaksanakan perang, yaitu para hylakes (dalam bahasa Yunani yang berarti penjaga-penjaga), yang dipilih hanya menurut "bakat" tanpa mempertimbangkan asal-usul keturunan, mengatakan eksistensi kemisian yang unik, yang dikenal sebagai aretè dan hanya sanggup diketahui secara utuh bersamaan dengan pencapaian eudaimonia. Keunikan misi hidup ini diilustrasikan dengan indah oleh Plato dalam definisinya perihal keahlian seorang negarawan dengan seorang tukang tenun. Menurut Plato, kiprah seorang negarawan sebagaimana halnya tukang yang menenun benang wol menjadi sehelai kain, yaitu bertugas menenun, atau membuat keselarasan yang harmonis, di antara semua keahlian lain di dalam negara. Secara implisit Plato hendak mengatakan bahwa dimanapun jalur kemisian hidup seseorang dijalankan, pada hakekatnya tak ada satupun yang sanggup dianggap lebih utama dibanding yang lain. Dalam hal ini kata aretè ini sanggup dipadankan dengan dharma yang ada dalam agama Hindu.

Seseorang yang menjalankan arete-nya dengan penjagaan logos yang dianugerahkan Tuhanlah yaitu pencipta bahasa dan pemelihara setiap tindakan penandaan (signification). Proses berbudaya yang mencerap objek-objek alamnya dengan cara tertentu menjadi materi dasar bagi logos yang senantiasa menghubungkan aspek terdalam dari pengenalan nafs akan Tuhannya dengan aspek terjauh dari pengenalannya akan dunianya. Penanda yang berasal dari logos ini diperlihatkan secara luar biasa ketidak-arbitrerannya dalam entitas-entitas orisinil Bahasa Sunda oleh Haji Hasan Mustapa. Menurut beliau, penanda terlahir mengikuti petandanya yang menjelaskan logos tertentu. Beliau mencontohkan konsep ajaib perihal ketunggalan menjadi petanda (signified) dari bermacam-macam kata dengan permainan fonemik dan fonetik yang khas yaitu tunggal, nunggal, tanggal, tunggul, tutunggul, ninggalkeun, dan tanggul. Atau dalam teladan yang lain konsep ajaib perihal lantaran berdiri tegaknya sesuatu sebagai petanda (signified) dari kata suku, soko, saka, seke dan siki. Penjelasan ia secara hipotetis pertanda adanya korelasi unik antara petanda (signified) dengan struktur fonemik tertentu dalam bermacam-macam entitas suatu bahasa. Skema penandaan (signification) berawal dari logos yang dijelaskan oleh Haji Hasan Mustapa diperlihatkan di bawah ini:
Sumber http://makalahtugasmu.blogspot.com


EmoticonEmoticon