Senin, 30 April 2018

Korupsi Dalam Islam

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Terdapat banyak ungkapan yang sanggup di pakai untuk menggambarkan pengertian korupsi, meskipun tidak seutuhnya benar. Akan tetapi tidak terlalu menjauh dari hakikat dan pengertian korupsi itu sendiri. Ada sebagian yang memakai istilah “ikhtilas” untuk menyebutkan prilaku koruptor, meskipun dalam kamus di temukan arti aslinya yaitu mencopet atau merampas harta orang lain.
Realitanya praktikal korupsi yang selama ini terjadi ialah berkaitan dengan pemerintahan sebuah Negara atau public office, alasannya esensi korupsi merupakan prilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di pemerintahan yang terletak pada penggunaan kekuasaan dan wewenang yang terkadung dalam suatu jabatan di sau pihak dan di pihak lain terdapat unsure perolehan atau keuntungan, baik berupa uang atau lainnya. Sehingga tidak salah apabila ada yang menawarkan definisi korupsi dengan ungkapan “Akhdul Amwal Hukumah Bil Bathil” apapun istilahnya, korupsi laksana dunia hantu dalam kehidupan manusia. Mengapa saya mengungkapkan dunia hantu, alasannya dunia hantu merupakan dunia yang tidak tampak wujut jasadnya, akan tetapi hanya sanggup dirasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah ilusi-fantasi yang mengimplikasikan terhadap dunia ketidak jujuran, kebohongan, dan hilangnya sebuah kepercayaan.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian korupsi berdasarkan islam
2.      Dalil larangan korupsi
3.      Hukuman terhadap koruptor
4.      Cara pemberantasan korupsi berdasarkan islam
5.      Nilai – nilai pendidikan dalam hukuman korupsi


PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN KORUPSI MENURUT ISLAM
Ajaran aturan Islam yang sangat menjunjung tinggi pemeliharaan akan kesucian baik lahir maupun bathin, menghendaki semoga insan (umat islam) dalam melaksanakan sesuatu harus sesuai fitrahnya, yakni apa yang telah dtentukan dalam al-Quran dan As Sunnah yang merupakan sumber aturan tertinggi. Pemeliharaan akan kesucian begitu ditekankan dalam aturan Islam, semoga insan (umat Islam) tidak terjerumus dalam perbuatan kehinaan atau kedhaliman baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain. Pelanggaran sesuatu hal dalam aturan (pidana) Islam tidak terlepas dari tujuan pokok aturan Islam (al maqashid asy-syari’ah alkhams) yang merupakan hal esensial bagi terwujudnya ketentraman hidup manusia. Adapun tujuan pokok aturan Islam tersebut yaitu memelihara keselamatan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Salah satu tujuan pokok aturan Islam ialah memelihara keselamatan (kesucian) harta. Harta merupakan rezeki dalam arti material, lantaran dalam bahasa agama rezeki melipuu rezeki material dan rezeki spiritual.
Islam yaitu agama yang sangat menjujung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah rasional kalau memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok aturan (pidana) Islam, lantaran mengingat harta memiliki dua dimensi, yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi yaitu harta berdimensi haram lantaran morupsi menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan korupsi merupakan wujud insan yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memproleh rezeki Allah. Secara teoritis kedudukan korupsi merupakan tindakan kriminal (jinayah atau jarimah) dimana bagi pelakunya diancam dengan hukuman hudud (had) dan juga hukuman ta’zir.
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan aturan Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak memilih apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi berdasarkan fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumanya berupa hukuman ta’zir (jarimah ta’zir) yang diubahsuaikan dengan kiprah masing-masing dalam kejahatan. Suap yaitu menawarkan sesuatu kepada orang penguasa atau pegawai dengan tujuan supaya yang menyuap mendapat laba dari itu atau dipermudahkan urusanya. Jika praktek suap itu dilakuakan dalam ruang lingkup peradilan atau proses penegakkan hokum maka hal itu merupakan kejahatan yang berat atau sejahat-jahatnya kejahatan. Abu Wail menyampaikan bahwa apabila seorang hakim mendapatkan hadiah, maka berarti dia telah makan barang haram, dan apabila mendapatkan suap, maka dia sampa pada kufur.
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/images/5/5_38.pngYang kedua, Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) berdasarkan etimologinya berarti melaksanakan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi.Sedangkan berdasarkan Abdul Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu indakan yang mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Kaprikornus sariqah yaitu mengambil barang milik orang lain dengan cara melawan hokum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seperti halnya korupsi yang mengambil harta dengan cara melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya (rakyat/masyarakat). Dalam syariah ancaman terhadap pelaku sariqah (pencurian) ditentukan dengan terperinci sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Maidah: 38, Allah berfirman :


Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Maidah:38)

Sehubungan dengan hukuman potong tangan dalam jarimah sariqah (pencurian) terdapat perbedaan pendapat apakah juga berlaku terhadap korupsi lantaran berdasarkan hadist Nabi SAW, yang bersabda:
“Tidak dipotong tangan atas penghianatan harta (korupstor ), perampok dan pencopet”.
Yang ketiga, Korupsi dalam dimensi penipuan (al gasysy). Secara tegas berdasarkan sabda Rosulullah saw, Allah mengharamkan nirwana bagi orang-orang yang melaksanakan penipuan. Terlebih penipuan itu dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata: “ Aku mendengar Rosulullah saw. Bersabda :” seorang hamba yang dianugerahi allah jabatan kepemimpinan, kemudian dia menipu rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/images/8/8_27.pngYang keempat, Korupsi dalam dimensi khianat (penghianatan). Bahasa Agama perihal korupsi yang sebenarnya yaitu khianat (penghianatan), khianat berkecenderungan mengabailak, menyalahgunakan, dan penyelewengan terhadap tugas, wewenang dan kepercayaan yang amanahkan kepada dirinya. Khianat yaitu pengingkaran atas amanah yang dibebankan kepada dirnya atau mengirangi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Perilaku khianat akan mengakibatkan permusuhan diantara sesame lantaran orang yang berkhianat selalu memutar-balikkan fakta, dan juga berakibat terjadinya destruksi baik secara moral, social maupun secara politik-ekonomi. Islam melarang keras bagi orang-orang yang beriman terhadap perbuatan khianat baik terhadapa Allah, Rasul serta terhadap sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27, Allah berfirman:



Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kau menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kau mengetahuinya”. (QS. Al-Anfal:27)
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, sebenarnya korupsi (dengan banyak sekali nama) dalam Islam digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan pelakunya dikualifikasi sebagai orang-orang yang munafik, dzalim, fasik dan kafir, serta merupakan dosa besar yang ancaman hukumanya (selain had dan ta’zir) yaitu neraka jahannam.
B.     DALIL LARANGAN KORUPSI
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/images/2/2_188.pngAda banyak Ayat dan Hadits, disamping yang sudah disebutkan di depan, yang menjelaskan posisi atau aturan korupsi dalam pandangan Islam, diantaranya :Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] :188



Artinya :
“Dan janganlah sebahagian kau memakan harta sebahagian yang lain di antara kau dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kau membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kau sanggup memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kau mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 188)
"Ayat diatas terperinci jelas melarang kita untuk mengambil harta orang lain dengan caracara yang tidak benar. Dan "larangan" dalam pengertian aslinya bermakna "haram", Dan ke"haram"an ini menjadi lebih jelas, ketika Alloh memakai lafadh “bilitsmi” yang artinya "dosa". Dari sini, terperinci mengambil harta yang bukan miliknya —termasuk diantaranya korupsi — yaitu haram hukumnya, sama haramnya dengan pekerjaan berzina, membunuh dan semacamnya.
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/images/4/4_29.pngFirman Allah Ta'ala dalam surat an-Nisa' [4]:29



Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka diantara kamu. Dan janganlah kau membunuh dirimu; sesunguhnya Allah yaitu Maha Penyayang kepadamu ".(QS. An-Nisaa’:29)
Seperti yang pertama, ayat ini pun melarang dengan tegas mengambil harta orang dengan cara-cara tidak benar, bedanya ayat ini menawarkan solusi bagaimana mengambil harta orang lain tetapi dengan cara yang benar, salah satu di antaranya dengan melaksanakan jual beli atau transaksi dagang yang terlandasi kerelaan diantara pembeli dan penjual. Yang menarik, dalam ayat ini disebutkan dengan terperinci larangan membunuh diri sendiri – apalagi membunuh orang lain – sesudah larangan memakan harta orang lain dengan cara batil, sehingga – paling tidak – aturan dan hukuman orang yang memakan harta orang lain dengan cara batil sama dengan aturan dan hukuman membunuh orang, kalau tidak saya katakan "lebih berat", mengingat penyebutan larangan memakan harta orang lain dengan cara batil didahulukan dari larangan membunuh.
Larangan untuk melaksanakan perbuatan korupsi terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits. Walaupun secara literer tidak terdapat pribadi mengenai arti kata korupsi, namun secara analogi ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut melukiskan perihal beberapa definisi korupsi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dalam pembahasan ini, penulis hanya mengemukakan dalil-dalil perihal al-‘ghashab (penggunaan hak orang lain tanpa izin), al-‘ghulul (penyelewengan harta negara), ar-risywah (suap), al-khianah (khianat), dan al-haraabah (perampasan). Sedangkan as-sariqah (pencurian) sudah tercakup dari keseluruhan definisi tersebut. As-sariqah (pencurian) berdasarkan penulis hanya berlaku bagi masalah pencurian di mana hasil curian telah dimanfaatkan oleh si pencuri tanpa dikembalikan hasil curiannya sehingga berlaku aturan potong tangan dalam aturan Islam. Sedangkan bagi koruptor, wajib hukumnya mengembalikan hasil perjuangan korupsinya secara utuh dan dikenakan hukuman sesuai dengan syari’at Islam berdasarkan putusan hakim.
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/images/18/18_79.pngDalam surat al-Kahfi ayat 79, Allah berfirman:


Artinya :
 “Adapun perahu itu yaitu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan saya bertujuan merusakkan perahu itu, lantaran di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu dengan jalan ‘ghasab.” (QS. AL – Kahfi: 79)
Kemudian Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari ‘Addiy bin ‘Umairah al-Kindy yang artinya,
“Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melaksanakan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari final zaman nanti.”
Selanjutnya masih terkait dengan hadits tersebut, sabda Nabi, “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga”. Seorang sahabat bertanya: Wahai Rasul, “bagaimana kalau hanya sedikit saja”? Rasulullah menjawab: “Walaupun sekecil kayu siwak,” (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik).
Ketiga, yang berkaitan dengan ar-risywah (suap). Mengenai hal ini terdapat dalam surat al-Maidah ayat 42:
http://alquran.babinrohis.esdm.go.id/images/5/5_42.png



Artinya :
“Mereka itu yaitu orang-orang yang suka mendengar info bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) tiba kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; kalau kau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan kalau kau memutuskan kasus mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.(QS. Al – Maidah : 42)
C.    HUKUMAN TERHADAP KORUPTOR
Berdasarkan Al-Quran, perbuatan pidana yang dilakukan Oleh seseorang yang bertanggung jawab diberi hukuman dengan hukuman tertentu sesuai keadilan berdasarkan Petunjuk Allah. Dasar dari pada Siapa yang berbuat pidana, perbuatan kejahatan apa yang sanggup dipidana dan bagaimana hukumanya. Perama didasarkan pada Keimanan Kepada Allah dan Wahyu Allah dan Al-Quran dan kedua didasarkan kepada logika sehat insan untuk mendapatkan kemaslahatan didunia dan kebahagiaan di akherat. Islam sebagai sistim nilai memegang peranan penting untuk menawarkan pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak, dengan memanfaatkan potensi baik setiap indivisu, yakni hati nurani. Lebih jauh Islam tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan individu, tetapi juga pensalehan social. Dalam pensalehan sosial ini, Islam berbagi semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling menasehati.
Sejatinya Islam berbagi semangat kontrol sosial. Dalam bentuk lain, Islam juga berbagi bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim pengawasan administratif danb managerial yang ketat. Oleh lantaran itu dalam menawarkan dan memutuskan hukuman bagi pelaku korupsi, seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia seorang pejabat ataukah ia orang kebanyakan. Tujuan hukuman tersebut yaitu menawarkan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan, sehingga sanggup diciptakan rasa damai, dan rukun dalam masyarakat. Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dihentikan oleh syara’, meskipun nash tidak menjelaskan had atau kifaratnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan hukuman ta’zir atas kemaksiatn tersebut. Perbuatan maksiat memiliki beberapa kemiripan, diantaranya, mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, makan harta riba dll. Maka perbuatan termasuk ke dalam jarimah ta’zir yang penting. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW berikut :
   ﺐﻬﺘﻨﻣ ﻻﻭ ﻦﺋﺎﺧ ﻰﻠﻋ ﺲﻴﻟ : ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ
(ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺪﲪﺍ ﻩﺍﻭﺭ) ﻊﻄﻗ ﺲﻠﺘﳐ ﻻﻭ
Artinya :
“Tidak ada (hukuman) potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan perampas/pencopet”. (HR.Ahmad dan Tirmizy). Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda :
Sebagai aturan pokok, Islam membolehkan menjatuhkan hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat, pabila dikendaki oleh kepentingan umum, artinya perbuatan-perbuatan dan keadaan-keadaan yang bisa dijatuhi hukuman ta’zir mustahil ditentukan hukumannya sebelumnya, alasannya hal ini tergantung pada sifat – sifat tertentu, dan pabila sifat-sifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidaklagi dihentikan dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut yaitu merugikan kepentingan dan ketertiban umum. Dan apabila perbuatan tersebut telah dibuktikan di depan Pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai untuknya.
Penjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan dan ketertiban umum ini, merujuk kepada perbuatan Rasulullah SAW, dimana ia pernah menahan seorang pria yang dituduh mencuri unta, Setelah diketahui/terbukti ia tidak mencurinya, maka Rasulullah membebaskannya. Syari’at Islam tidak memilih macam-macam hukuman untuk jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya, ibarat nasehat, ancaman, hingga pada hukuman yang seberat-beratnya.
Penerapannya sepenuhnya diserahkan kepada Hakim (Penguasa), dengan kewenangan yang dimilikinya, ia sanggup memutuskan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya,9 dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum Islam dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1.      Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum
2.      Efektifitas hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan martabat kemanusiaan pelakunya
3.      Sepadan dengan kejahatan, sehingga teras adil
4.      Tanpa pilih kasih, semua sama keudukannya di depan hukum.
Seorang Hakim sanggup mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan hukuman hukumnya oleh nash, seorang Hakim tidak punya pilihan lain kecuali menerapkannya. Meskipun hukuman aturan bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam nash secara tegas, namun perampasan dan pengkhiatan sanggup diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi.
Filsafat Hukum Islam dalam bidang pidana, khususnya dalam perbuatan korupsi dan juga dukungan hukumanya, ibarat disebutkan diatas telah terbagi dalam beberapa dimensi. Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan aturan Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Dengan demikian sanggup disimpulkan bahwa Hukuman terhadap Koruptor masuk kedalam hukuman Ta’zier. Hanya dalam dimensi mencuri saja yang berupa hukuman hudud. Hukuman ta’zier yaitu kejahatan yang ancaman hukumanya tidak terdapat didalam Nash. Sehingga Diserahkan kepada Penguasa Secara Penuh. Namun dalam menjatuhkan hukuman yang tidak terdapat didalam nash harus didasarkan kepada pertimbangan logika sehat dan keyakinan hakim untuk mewujudkan maslahat dan mengakibatkan rasa keadilan.
Ulama setuju bahwa ta’zier sanggup diterapkan pada setiap maksiat pelanggaran yang tidak ada aturan haddnya. Adanya Ta’zier dalam aturan Islam menjamin rasa keadilan masyarakat untuk mewujudkan maslahat. Yang sifat dan bentuk hukuman ta’zir deserahkan kepada kebbijaksanaan logika sehat, keyakinan dan rasa keadilan hakim yang didasarkan keadilan masyarakat. Prisip prinsip dalam pidana Islam ada 3 macam, yaitu:
a.       Hukumanya hanya ditimpakan kepada orang yang berbuat jarimah atau pidana, tidak boleh orang yang tidak berbbuat jahat dikenai hukuman. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Surat Al-an’am, ayat 164
b.      Adanya kesengajaan. Seseorang dieksekusi lantaran kejahatan apabila ada unsure kesengajaan untuk berbuat itu, tidak ada kesengajaan berarti ada kelalaian, tersalah, atau keliru atau terlupa. Walaupun tersalah, atau keliru atau terlupa ada hukumanya, namun bukan hukuman lantaran kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan dan bersifat mendidik. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat An-Nisa ayat 92.
c.       Hukuman hanya dijatuhkan apabila kejahatan itu secara meyakinkan telah diperbuat.


D.    CARA PEMBERANTASAN KORUPSI MENURUT ISLAM
Sesungguhnya terdapat niat cukup besar untuk mengatasi korupsi. Bahkan, telah dibentuk satu tap MPR khusus perihal pemberantasan KKN, tapi mengapa tidak kunjung berhasil? Tampak aktual bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam berikut:
1.      Sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan baik bila honor tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah insan biasa yang memiliki kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga. Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak gampang terpengaruhi berbuat curang, mereka harus diberikan honor dan tunjangan hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup pegawapemerintah pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah, akan disediakan rumah, kalau belum beristri hendaknya menikah, kalau tidak memiliki pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, kalau tidak memiliki binatang tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”.
2.      Larangan mendapatkan suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada pegawapemerintah pemerintah niscaya mengandung maksud semoga pegawapemerintah itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan peserta suap” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada pegawapemerintah pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa yaitu suht (haram) dan suap yang diterima hakim yaitu kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan kuat jelek pada mental pegawapemerintah pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya. Di bidang peradilan, aturan ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang bisa menawarkan hadiah atau suap.
3.      Perhitungan kekayaan. Setelah adanya sikap tegas dan serius, penghitungan harta mereka yang diduga terlibat korupsi merupakan langkah berikutnya. Menurut kesaksian anaknya, yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengalkulasi harta kepala tempat Sa’ad bin Abi Waqash (Lihat Tarikhul Khulafa). Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, ia menyitanya. Kenapa? Umar tahu sendiri, unta anaknya itu gemuk lantaran digembalakan bahu-membahu unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” (lihat Syahidul Aikral). Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta (Lihat Kitabul Amwal).
Apa yang dilakukan Umar merupakan referensi baik bagaimana harta para pejabat dihitung, apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaan-perusahaan, ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut. Kalau perlu dibentuk tim khusus yang independen untuk melakukannya, ibarat halnya Muhammad bin Maslamah pernah diberi kiprah khusus oleh Umar untuk hal tersebut. Baru sesudah itu, dibuktikan lewat pengadilan.
Di dalam buku Ahkamul Bayyinat, Syekh Taqiyyuddin menyatakan bahwa pembuktian itu bisa berupa akreditasi dari si pelaku, sumpah, kesaksian, dan dokumentasi tertulis. Kaitannya dengan dokumentasi tertulis ini Allah Swt. menegaskan di dalam al-Quran:
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Hendaklah penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS al-Baqarah [2]: 282).
Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti perihal siapa yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh lantaran kata “maka tuliskanlah (faktubuh)” dalam ayat tersebut umum, maka meliputi semua muamalah dan semua dokumen termasuk perjanjian, katabelece, keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan lain-lain.
Di samping itu, pembuktian pun dilakukan dengan pembuktian terbalik. Bila semua bukti yang diajukan tidak diterima oleh terdakwa, maka terdakwa itu harus mengambarkan dari mana harta itu diperoleh dan harus pula memperlihatkan bahwa hartanya itu bukan hasil korupsi. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, orang itu berkilah, “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” Setelah itu, Abu Bakrah tidak sanggup mengambarkan bahwa dakwaan Umar tersebut salah. Ia tidak sanggup memperlihatkan bahwa hartanya itu bukan hasil nepotisme. Akhirnya, Umar pun tetap pada putusannya (Lihat Syahidul Aikral). Cara inilah yang kini dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah pegawapemerintah berbuat curang. Tapi anehnya cara ini ditentang untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
4.      Teladan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, lantaran kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan akomodasi negara. Demi menjaga semoga tidak mencium amis secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis hingga menutup hidungnya dikala membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan gampang terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
5.      Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut mendapatkan risiko yang akan mencelakaan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk melaksanakan kejahatan itu. Dalam Islam, tindak korupsi bukanlah ibarat pencurian biasa yang pelakunya dipotong tangannya. “Perampas, koruptor, dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan” (HR Ahmad, Ashabus Sunan, dan Ibnu Hibban). Akan tetapi, termasuk jarîmah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuknya bisa berupa hukuman tasyh’ir (berupa pewartaan atas diri koruptor – dulu diarak keliling kota, kini bisa lewat media massa). Berkaitan dengan hal ini, Zaid bin Khalid al-Juhaini meriwayatkan Rasulullah pernah memerintahkan para sahabat untuk menshalati seorang rekan mereka yang gugur dalam pertempuran Hunain. Mereka, para sahabat, tentu saja heran, lantaran seharusnya seorang yang syahid tidak disembahyangi. Rasul kemudian menjelaskan, “Sahabatmu ini telah berbuat curang di jalan Allah.” Ketika Zaid membongkar perbekalan almarhum, ia menemukan ghanimah beberapa permata milik kaum yahudi seharga hampir 2 dirham (lihat al- Muwwatha ). Atau, bisa juga hingga hukuman kurungan. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat fil Islam (hlm. 190), hukuman kurungan koruptor mulai 6 bulan hingga 5 tahun. Namun, masih dipertimbangkan banyaknya uang yang dikorup. Bila mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, koruptor sanggup dijatuhi hukuman mati.
6.      Kekayaan keluarga pejabat yang diperoleh melalui penyalahgunaan kekuasaan diputihkan oleh kepala negara (Khalifah) yang baru. Caranya, kepala negara menghitung kekayaan para pejabat usang kemudian dibandingkan dengan harta yang mungkin diperolehnya secara resmi. Bila sanggup dibuktikan dan ternyata terdapat kenaikan yang tidak wajar, ibarat dilakukan Umar, kepala negara memerintahkan semoga menyerahkan semua kelebihan itu kepada yang berhak menerimanya. Bila harta kekayaan itu diketahui siapa pemiliknya yang sah, maka harta tersebut–katakanlah tanah–dikembalikan kepada pemiliknya. Sementara itu, apabila tidak terperinci siapa pemiliknya yang sah, harta itu dikembalikan kepada kas negara (Baitul Mal). Namun, bila sulit dibuktikan, ibarat disebut di dalam buku Tarikhul Khulafa, Khalifah Umar bin Khaththab membagi dua kekayaan mereka bila terdapat kelebihan dari jumlah semula, yang separuh diambil untuk diserahkan ke Baitul Mal dan separuh lagi diberikan kepada mereka.
7.      Pengawasan masyarakat. Masyarakat sanggup berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan pegawapemerintah dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak pegawapemerintah yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan saya walaupun dengan pedang”. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan dukungan suap dan hadiah, serta dengan pembuktian terbalik dan honor yang mencukupi, insya Allah korupsi sanggup diatasi dengan tuntas.
Inilah pentingnya usul penerapan syariat Islam guna menuntaskan segenap duduk kasus yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, selamatkan Indonesia dari keserakahan para koruptor.



PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan sikap korupsi dalam Islam. Bahkan Islam melarang dengan tegas terhadap tindakan korupsi lantaran di dalamnya mengandung unsur pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin / penyalahgunaan jabatan, penyelewengan harta negara, suap / sogok, pengkhianatan, dan perampasan / perampokan.
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan yang sanggup merugikan masyarakat, mengganggu kepentingan publik, dan mengakibatkan teror terhadap kenyamanan dan ketertiban masyarakat. Hukum Islam menawarkan hukuman yang tegas terhadap sikap korupsi ibarat hukuman terhadap jiwa, hukuman terhadap badan, hukuman terhadap harta benda, dan hukuman terhadap kemerdekaan seseorang.
Dalam upaya meminimalisir terjadinya korupsi, filosofi Islam menganjurkan semoga dilakukan pencegahan secepat mungkin. Sebagaimana adagium “mencegah suatu penyakit lebih baik daripada mengobatinya”, begitu juga dengan korupsi yang lebih baik dicegah daripada diberantas secara tuntas. Untuk itu dibutuhkan langkah dan taktik yang tepat, salah satunya yaitu dengan cara meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan menanamkan pendidikan anti korupsi secara dini bagi generasi penerus bangsa.





DAFTAR PUSTAKA

Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta, Zikrul Hakim, 1997),hal.154-155
A.Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hal.69
Wahab Afif, Hukum Pidana Islam, Banten ( Yayasan Ulumul Quran, 1988), hal. 214
http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagian-keempat-penutup/
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h.87
Sumber http://makalahtugasmu.blogspot.com


EmoticonEmoticon