Sedih. Ketika kita tahu bahwa kita sedang dipelihara, namun masih saja ‘mau’ dikendalikan oleh perasaan. Bukan berarti antipati atau mati rasa sehingga tidak peka dengan apa yang terjadi di luar.
Praktis bagi kita untuk tersenyum, tertawa, berbagi, senang ketika kita dalam keadaan mood yang baik. Bagaimana bila orang-orang disekitar menciptakan keributan, menyakiti, bahkan tidak memahami sikon dalam hati kita? Berbuat baik pada orang yang berlaku baik itu masuk akal banget, manusiawi tapi yang Istimewa yakni ketika ada yang masih mengecewakan tapi kita menentukan untuk melepaskan pengampunan. Akan ada orang yang bergunjing dan menilai kita ndeso atau bahkan sok suci. Itu tidak menjadi dilema ketika kita sendiri, langsung kita yang mau hidup bebas dari kebencian, kemarahan, dan kekecewaan.
Toh penghakiman bukan penggalan manusia. Sebenarnya ketika murka pun, kita dapat menentukan untuk tidak berbuat dosa, bahkan berbuat baik. Bagaimana caranya? Hal itu ditentukan respon kita ketika amarah memuncak. Mau membalas amarah dengan amarah, atau membisu dan mendengarkan. Bahkan pelan-pelan mendoakan dalam hati. Sulit memang, jikalau masih pakai logika manusia.
Bisa jadi, doa kita belum terjawab sebab kita belum remaja dalam mengekpresikan bentuk amarah, rasa kecewa, kebencian dll. Praktis buat Dia (sang pencipta) mengabulkan apapun doa kita, sebab Dia pengasih dan pemurah. Tapi yang diinginkan-Nya ialah kedewasaan.
EmoticonEmoticon