Sabtu, 13 Januari 2018

Paradigma Kajian

Paradigma Kajian : Istilah paradigma (paradigm) dikenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution. Paradigma merupakan terminologi kunci dalam model perkembangan ilmu pengetahuan. Selanjutnya, istilah tersebut dipopulerkan oleh Robert Friedrichs yang merumuskan pengertian paradigma sebagai suatu pandangan fundamental suatu disiplin ilmu perihal apa yang menjadi pokok problem yang semestinya dipelajari. Kemudian George Ritzer merumuskan pengertian paradigma sebagai pandangan yang fundamental dari ilmuan perihal apa yang menjadi pokok problem yang seharusnya dipelajari oleh suatu cabang (baca: disiplin) ilmu pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan perihal apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut (pengertianahli.com).

Berdasarkan beberapa pengertian paradigma itu sanggup ditarik kesimpulan bahwa paradigma ialah suatu kerangka konseptual termasuk nilai, teknik dan metode yang disepakati dalam memahami atau mempersepsi segala sesuatu. Fungsi utama paradigma ialah sebagai teladan dalam mengarahkan tindakan, baik tindakan sehari-hari maupun tindakan ilmiah. Penelitian pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model-model tertentu biasanya disebut dengan paradigma. Dengan kata lain, paradigma sanggup diartikan sebagai cara memahami tanda-tanda dan fenomena semesta yang dianut oleh sekelompok masyarakat (world view).

Harmon mendefinisikan paradigma sebagai cara fundamental untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melaksanakan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus perihal visi realitas.Sementara itu Baker mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat hukum yang melaksanakan dua hal yaitu: hal itu membangun atau mendefinisikan batas-batas dan hal itu menceritakan kepada kita bagaimana seharusnya melaksanakan sesuatu di dalam batas-batas itu semoga bisa berhasil (Moleong, 2012: 47). Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini ialah paradigma konstruktivisme. Peneliti memakai paradigma konstruktivisme sebagai cara pandang peneliti dalam memahami bagaimana konstruksi pemahaman remaja di kota Medan perihal susila komunikasi di media umum facebook dan twitter.

Konstruktivisme
Konstruktivisme telah muncul semenjak Socrates menemukan jiwa dalam badan insan dan semenjak Plato menemukan daypikir dan ide. Gagasan tersebut lebih faktual lagi sesudah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia menyampaikan jikalau insan ialah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci dari pengetahuan ialah kecerdikan dan dasar pengetahuan ialah fakta. Kemudian Socrates memperkenalkan ucapannya yaitu “saya berpikir alasannya ialah itu saya ada” (Bungin, 2006: 193). Sementara itu, Von Glaserfield menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (Pannen dkk, 2001: 3). Pernyataan para hebat tersebut menjelaskan bahwa seseorang gres mengetahui sesuatu jikalau ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Pengetahuan merupakan bentukan dari individu yang mengetahui dan tidak sanggup ditularkan kepada individu yang pasif, sehingga sangat diharapkan sekali keaktifan dari seorang individu dalam merespon pengetahuan dengan memakai lingkungan sebagai sarana untuk mengkonstruksi pemahamannya.
Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, berdasarkan Dedy N. Hidayat ada 3 paradigma: Pertama, paradigma klasik yang bersifat interventionist yakni melaksanakan pengujian hipotesis melalui eksperimen dengan analisis kuantitatif. Kedua, paradigma kritis yang berorientasi participative dengan mengutamakan analisis. Ketiga, paradigma konstruktivisme yang bersifat reflektif dan dialektikal dimana antara peneliti dan subjek yang diteliti membuat interaksi dialektis semoga bisa mengkonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif (Bungin, 2006: 242).

Paradigma konstruktivis dalam ilmu komunikasi yaitu suatu pendekatan teoritis yang dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekannya. Penggunaan teori ini pada waktu itu untuk meneliti komunikasi antarpesonal yang dikembangkan akademisi secara sistematik dengan membuat peta terminologi secara teoritik dan hubungan-hubungannya (Ardianto & Q. Annes, 2007: 158).
Sementara itu, Frans M. Parera (Bungin, 2006: 201) mengemukakan 3 tahap konstruksi yang berlangsung antara diri (self) dengan dunia sosiokultural yaitu:
  1. Tahap eksternalisasi yaitu tahap penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai bab dari produk manusia.
  2. Tahap objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Proses ini bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat perihal produk sosial tanpa harus terjadi tatap muka antar individu dan pencipta produk sosial itu.
  3. Tahap internalisasi yaitu tahap dimana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial daerah individu menjadi anggotanya.
Suparno, tetapkan 3 macam konstruktivisme: Pertama, konstruktivisme radikal yang menyatakan bahwa individu hanya mengakui apa yang dibuat oleh pikirannya sendiri berdasarkan pengalamannya sendiri. Kedua, realisme hipotesisnya itu memaknai pengetahuan sebagai sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju pada pengetahuan yang hakiki. Ketiga, kontruktivisme biasa memahami pengetahuan sebagai citra dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu citra yang dibuat dari realitas objek dalam dirinya sendiri (Bungin, 2008:14). 

Sementara itu, Piaget (terwujud.com) menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang ialah bentukan orang itu sendiri. Proses pembentukan pengetahuan itu terjadi apabila seseorang mengubah atau berbagi sketsa yang telah dimiliki dalam berhadapan dengan tantangan, rangsangan atau persoalan. Teori Piaget sering disebut konstruktivisme personal alasannya ialah lebih menekankan pada keaktifan pribadi seseorang dalam mengkonstruksikan pengetahuannya. Belajar berdasarkan pandangan konstruktivistik bukanlah sekadar menghafal akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain akan tetapi hasil dari proses konstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memperlihatkan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih usang tersimpan/diingat dalam setiap individu. 

Pembentukan pengetahuan berdasarkan Jean Piaget (terwujud.com) memandang bahwa subyek aktif membuat struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Berkat dukungan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan diubahsuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah.Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Proses konstruksi yang dijelaskan Jean Piaget ialah sebagai berikut: 

Sejak kecil anak sudah mempunyai struktur kognitif yang kemudian dinamakan sketsa (schema). Skema terbentuk alasannya ialah pengalaman. Misalnya, anak bahagia bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia sanggup menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk sketsa perihal hewan berkaki empat dan hewan berkaki dua. Semakin sampaumur anak, maka semakin sempurnalah sketsa yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sketsa dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. 

Asimilasi ialah pemaduan data gres dengan struktur kognitif yang ada atau proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman gres ke dalam sketsa atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan tragedi atau rangsangan gres dalam sketsa yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menjadikan perubahan/pergantian sketsa melainkan perkembangan skema. Asimilasi ialah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru. 

Akomodasi ialah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru. Dalam perjumpaan individu dengan lingkungan, kemudahan menyertai asimilasi. Terkadang, saat dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru, seseorang tidak sanggup mengasimilasikan pengalaman yang gres dengan sketsa yang telah dipunyai. Pengalaman yang gres itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan sketsa yang telah ada. Kemudian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk sketsa gres yang cocok dengan rangsangan yang gres atau memodifikasi sketsa yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget pembiasaan merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak sanggup mengadakan pembiasaan terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah kemudahan dan struktur kognitif yang ada akan mengalami struktur yang baru.

Sumber http://belajarilmukomputerdaninternet.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)