PENDAHULUAN
A. Latar BelakangMasyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak persoalan sosial. Usaha pembiasaan atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan pembiasaan mengakibatkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang kemudian berbagi pola tingkah-laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi laba sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.
Dalam perkembangan masyarakat menyerupai ini, efek budaya di luar sistem masyarakat sangat menghipnotis sikap anggota masyarakat itu sendiri, terutama anak-anak, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembentukan sikap anak-anak, termasuk sikap jahat yang dilakukan oleh anak-anak.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau sikap jahat di masyarakat. Dari banyak sekali mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau sikap jahat yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku sikap jahat di masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih bawah umur atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau sikap jahat anak.
Fakta memperlihatkan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Kejahatan yang dilakukan oleh bawah umur pada pada dasarnya merupakan produk dari kondisi masyarakatnya dengan segala pergolakan sosial yang ada di dalamnya. Kejahatan anak ini disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat yaitu segala bentuk tingkah laris yang di anggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, aturan formal , atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laris umum.
Kejahatan dalam segala usia termasuk remaja dan bawah umur dalam dasawarsa lalu, belum menjadi persoalan yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh pemerintah, jago kriminologi , penegak hukum, praktisi sosial maupun masyarakat umumnya.
Perilaku jahat bawah umur dan remaja merupakan tanda-tanda sakit (patologis) secara sosial pada bawah umur yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu berbagi bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal bawah umur dan remaja. Perilaku bawah umur dan remaja ini memperlihatkan tanda-tanda kurang atau tidak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.
Anak-anak dan remaja yang melaksanakan kejahatan itu pada umumnya kurang mempunyai kontrol-diri, atau justru menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah-laku sendiri, di samping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu objek tertentu dengan disertai kekerasan. Pada umumnya bawah umur dan remaja tersebut sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan dan melebih-lebihkan harga dirinya.
Adapun motif yang mendorong mereka melaksanakan tindak kejahatan itu antara lain yaitu :
1.Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
2.Meningkatkan agresivitas dan dorongan secual.
3.Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak tersebut menjadi manja dan lemah mentalnya.
4.Hasrat untuk berkumpul dengan mitra senasib dan sebaya, dan kesukaan untuk meniru-niru.
5.Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.
6.Konflik batin sendiri, dan kemudian memakai prosedur pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional.
Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori Lambroso, yang menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya sanggup ditemukan dalam bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak pidana baik secara pribadi maupun tidak langsung.
Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk tindak pidana/ kejahatan yang dilakukan secara tepat kedudukan ini sanggup diartikan dengan faktor kejahatan yang timbul secara ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor dalam) dari pelaku tindak pidana kejahatan seseorang. Secara implisit banyak sekali faktor sanggup dijadikan sebagai sistem untuk merumuskan kejahatan pada umumnya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda dengan seseorang anak atau pun dalam melaksanakan kejahatan, tampak bahwa faktor-faktor apapun yang di sanggup pada diri anak dan remaja yang terang semuanya tidak terstruktur maupun disikapi terlebih dahulu.
Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang bergantung dan diawali pada sikap bawah umur dan remaja kini sebagai generasi penerus. Anak-anak atau pun remaja yang baik dalam berperilaku sangat menunjang terbentuknya sistem sosial masyarakat. Oleh lantaran itu permasalahan sikap jahat bawah umur dan remaja perlu segera menerima ekstra perhatian demi terbentuknya sistem sosial masyarakat yang baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka sanggup dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Jenis-jenis kriminalitas yang dilakukan anak-anak, remaja, maupun dewasa
2. Faktor-faktor yang mengakibatkan sikap kriminalitas
3. Dampak dari kriminalitas
4. Solusi dari kriminaliatas
PEMBAHASAN
A. Definisi Kriminalitas
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar aturan atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal yaitu seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau t3r0ris. Walaupun begitu kategori terakhir, t3r0ris, agak berbeda dari kriminal lantaran melaksanakan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham.
Arti aturan berdasarkan Immanuel Kant sendiri yaitu : “noch suchen die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. (L.j Van Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya Paramita,Jakarta,1981,hlm.13)
Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani eksekusi disebut sebagai terpidana atau narapidana.
Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan mengenai perbuatan apakah yang sanggup dikatakan sebagai kejahatan :
-Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laris yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laris yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat. Reaksi sosial tersebut sanggup berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal.
-Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu tindakan atau tingkah laris insan yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui sanggup dipidana secara legal,dan diatur dalam aturan pidana.
-Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan aturan pidana. Kaprikornus setiap perbuatan yang anti sosial,merugikan serta menjengkelkan masyarakat,secara kriminologi sanggup dikatakan sebagai kejahatan
-Arti kejahatan dilihat dengan beling mata hukum, mungkin yaitu yang paling gampang dirumuskan secara tegas dan konvensional. Menurut hokum kejahatan yaitu perbuatan insan yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hokum; tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hokum,dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hokum yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).
Dari segi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu diketahui bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dengan sifat relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis sebagai berikut : (Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.)
We have seen that the concept of crime is highly relative in commen parlance. The use of term “crime” in respect of the same behavior differs from moment to moment(time), from group to group (place) and from context to (situation).
Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata Hoefnagels; yang berarti tingkah laris didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni, Bandung, 1979,hlm.67.)
Dalam konteks itu sanggup dilakukan bahwa kejahatan yaitu suatu konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak sanggup diraba dan tidak sanggup dilihat,kecuali alhasil saja.
I. Pengertian Penjahat dan Jenis-jenisnya
Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai seorang penjahat? Di dalam pikiran umum,perkataan “penjahat” berarti mereka yang dimusuhi masyarakat. Di dalam arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat yaitu sampah masyarakat.
Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yang demokratis bahkan eorang yang mengaku telah melaksanakan suatu kejahatan ataupun tidak dipandang sebagai seorang penjahat hingga kejahatannya dibuktikan berdasarkan proses peradilan yang telah ditetapkan.
Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak akan sanggup dibenarkan berdasarkan hokum kalau mendapatkan sesorang yang tidak pernah resmi dinyatakan bersalah dan dihukum,dan para pejabat Negara tidak akan sanggup secara benar-benar menghilangkan hak-hak sipil kepada orang-orang yang tidak pernah dinyatakan bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para jago kriminologi tidak sanggup secara benar-benar sanggup dipertanggung jawabkan memutuskan sebagai penjahat kepada orang-orang yang bertingkah laris secara antisocial,tetapi tidak melanggar suatu undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).
Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang yang disebut penjahat; dalam peruses peradilan pidana,kita hanya mengenal secara resmi istilah-istilah tersangka,tertuduh,terdakwa dan terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata menyerupai penjahat,bandit,bajingan hanya dalam kata sehari-hari yang tidak fundamental pada ketentuan hokum.
Adapun tipe atau jenis-jenis berdasarkan penggolongan para ahlinya yaitu sebagai berikut ;
1. Penjahat dari kecendrungan(bukan lantaran bakat).
2. Penjahat lantaran kelemahan(karena kelemahan jiwa sehingga sulit menghindarkan diri untuk tidak berbuat).
3. Penjahat lantaran hawa nafsu yang berlebihan ; dan frustasi ; penjahat terdorong oleh harga diri atau keyakinan.
Pembagian berdasarkan Seelig :
1. Penjahat lantaran segan bekerja.
2. Penjahat terhadap harta benda lantaran lemah kekuatan bathin untuk menekan godaan.
3. Penjahat lantaran nafsu menyarang.
4. Penjahat lantaran tidak sanggup menahan nafsu sec.
5. Penjahat lantaran mengalami krisis kehidupan
6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yang masih primitive.
7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.
8. Penjahat lantaran kurang disiplin kemasyarakatan.
9. Penjahat adonan ( gabungan dari sifat-sifat yang terdapat pada butir 1 s/d 8 )
Pembagian berdasarkan Capelli
1. Kejahtan lantaran factor-faktor psikopathologis, yang pelakunya terdiri dari
a) Orang-orang yang sakit jiwa.
b) Orang-orang yang berjiwa aneh (sekalipun tidak sakit jiwa).
2. Kejahatan lantaran factor-faktor cacad atau kemunduran kekuatan jiwa dan raganya,yang dilakukan oleh :
a) Orang-orang yang menderita cacad sesudah usia lanjut.
b) Orang-orang menderita cacad badaniah atau rohaniah semenjak masa kanak-kanak
sehingga sukar mengikuti keadaan di tengah masyarakatnya.
3. Kejahatan lantaran factor-faktor social yang pelakunya terdiri dari :
Penjahat kebiasaan.
a) Penjahat kesempatan,karena menderita kesulitan ekonomi atau kesulitan fisik.
b) Penjahat yang lantaran pertama kali pernah berbuat kejahatan kecil yang sifatnya kebetulan dan kemudian berkembang melaksanakan kejahatan yang lebih besar dan lebih sering.
c) Orang-orng yang turut serta pada kejahatan kelompok seperti, pencurian-pencurian di pabrik dan lain sebagainya.
Bila kita perhatikan kategori jenis-jenis pelanggar hokum atau disebut dalam bahasa inggris Criminal , yang sementara kita alih bahaskan dengan penjahat ; maka terdapat diantarnya penjahat yang dalam melaksanakan kejahatannya dengan:
1. Kesadaran yang memang sudah merupakan pekerjaannya (professional criminal). Yang sanggup dilakukan oleh perorangan menyerupai penjahat-penjahat bayaran, yang diupah untuk menganiaya atau bahkan membunuh. Atau dilakukan secara kelompok dan teratur menyerupai dalam bentuk kejahatan yang diorganisir (beda contohnya Donald R Cressey “Criminal Organization”,Heiniman Educational Books,London,1972)
2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut harus dilakukan sekalipun merupakan pelanggaran hokum ; yaitu penjahat yang melaksanakan kejahatan dengan ditimbang-timbang atau dengan persiapan terlebih dahulu.
3. Kesadaran bahwa pelaku tidak diberi kesempatan oleh masyarakat atau pekerjaan dalam masyarakat tak bias memberi hidup,sehingga menentukan menjadi resdidivisi.
II. Teori-Teori Terkait Kriminalitas
Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kriminalitas bawah umur maupun remaja dari perspektif teoritis secara ketat, oleh lantaran itu lebih cenderung untuk melihat kriminalitas bawah umur maupun remaja sebagai bentuk sikap menyimpang (deviant behavior) di masyarakat. Jika melihat dari sisi penyimpangan (deviant), maka setidaknya terdapat tiga teori utama yang sanggup menjelaskan fenomena ini yaitu: struktural fungsional terutama anomie dari Durkheim dan Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi diferensiasi dari Sutherland, danpower-confl ict terutama dari Young dan Foucault.
(a) Struktural Fungsional
Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan normal dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam masyarakat. Penyimpangan dalam hal ini tidak lah terjadi secara alamiah namun terjadi dikala pemaksaan atas seperangkat aturan main tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok orang, dengan demikian penyimpangan secara sederhana sanggup dikatakan sebagai ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu teori utama yang sanggup menjelaskan mengenai penyimpangan ini yaitu teori anomie dari Durkheim dan dari Merton.
Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa terdapat relasi terbalik antara integrasi sosial dan penaturan sosial dengan angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dari ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial dan aturan sosial (social regulation) yang masing-masing independen, atau dalam3 istilah lain, besaran integrasi tidak menentukan besaran pengaturan, demikian pula sebaliknya, namun keduanya menghipnotis ikatan sosial. Integrasi sosial sanggup diterjemahkan sebagai keikutsertaan seseorang dalam kelompok dan institusi di mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi masuk dalam kategori ‘altruism’, dan yang sangat tidak terinterasi dalam kategori ‘egoism’. Demikian pula mereka yang sangat taat aturan masuk dalam kategori ‘fatalism’ dan mereka yang sangat tidak taat masuk dalam kategori ‘anomie’.
Teori anomie dari Durkheim dikembangkan oleh Merton sebagai bentuk alienasi diri dari masyarakat di mana diri tersebut membenturkan diri dengan norma-norma dan kepentingan yang ada di masyarakat. Dalam menjelaskan hal ini, Merton memfokuskan pada dua variabel, yakni tujuan (goals) dan ‘legitimate means’ ketimbang integrasi sosial dan pengaturan sosial. Dua dimensi ini menentukan derajat pembiasaan masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan kultural (apa yang diinginkan oleh masyarakat mengenai kehidupan ideal) dan cara-cara yang sanggup diterima di mana seorang individual sanggup menuju tujuan-tujuan kultural. Merton sendiri membagi derajat pembiasaan dengan lima kombinasi, yakni ‘conformity’, ‘innovation’, ‘ritualism’, ‘retreatism’, dan ‘rebellion’.
(b) Interaksi Simbolik
Dalam pandangan interaksi simbolik, penyimpangan tiba dari individu yang mempelajari sikap meyimpang dari orang lain.Dalam hal ini, individu tersebut sanggup mempelajari pribadi dari penyimpang lainnya atau membenarkan perilakunya berdasarkan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain. Sutherland mengemukakan mengenai teori ‘differential association’, di mana Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari tindakan tersebut dan sikap menyimpang dari pihak lain, bukan berasal dari dirinya sendiri. Dalam istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami.
Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan banyak sekali tindakan atau sikap lain yang dipelajari seseorang dari orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dari teorinya, menyerupai wangsit bahwa berguru tiba dari adanya interaksi antara individu dan kelompok dengan memakai komunikasi simbol-simbol dan gagasan. Ketika simbol dan gagasan mengenai penyimpangan lebih disukai, maka individu tersebut cenderung untuk melaksanakan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal, sebagaimana sikap lainnya, dipelajari oleh individu, dan tindakan ini dilakukan lantaran dianggap lebih menyenangkan ketimbang sikap lainnya
(c) Power-Conflict
Satu hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas pandangan Marx, namun Marx sendiri tidak pernah menulis perihal sikap menyimpang. Teori ini melihat adanya manifestasi power dalam suatu institusi yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan, di mana institusi tersebut mempunyai kemampuan untuk mengubah norma, status, kesejahteraan dan lain sebagainya yang kemudian berkonflik dengan individu. Meskipun Marx secara5
pribadi tidak menulis mengenai sikap menyimpang, namun Marx menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) secara khusus menyatakan bahwa dunia modern sanggup dikatakan sangat toleran terhadap perbedaan namun sangat takut terhadap konflik sosial, meskipun demikian, dunia modern tidak menginginkan adanya penyimpang di antara mereka.
Kriminalitas Remaja: teori yang relevan
Melihat tiga teori yang ada, maka penulis cenderung untuk menentukan teori struktural-fungsional, terutama yang berasal dari Merton sebagai teori yang sanggup menjelaskan mengenai kenakalan remaja. Secara khusus Merton memang membahas mengenai deviant yang merupakan bentuk lanjut dari adanya disintegrasi seorang individu dalam masayarakat.
Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu yaitu ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan nilai normatif yang ada di masyarakat. Secara umum sanggup dikatakan bahwa sikap menyimpang yaitu bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam masyarakat dikala ada keterputusan antara relasi norma kultural dan tujuan dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak sesuai dengan norma kultural (lihat Ritzer dan Goodman 2007).Secara umum Merton menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yang terorganisir yang menentukan sikap bersama anggota masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yang dipakai oleh semua anggota masyarakat untuk berperilaku.
Struktur didefinisikan sebagai seperangkat relasi sosial yang terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan sebagai sebuah keterputusan relasi antara struktur dan kultur yang terjadi kalau ada suatu keretakan atau terputusnya relasi antara norma kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota dalam kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dengan nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216).
Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat sebagai ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma, tujuan dan cara-cara yang diperbolehkan dalam masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan oleh individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa setiap orang sanggup berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yang terjadi di masyarakat tidak lah sama baik secara kualitas maupun kuantitas (Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang diinginkan (intended motif), namun juga motif-motif yang tidak diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes dan laten dalam integrasi berarti bahwa integrasi mengakibatkan adanya pihak yang mengalami disintegrasi, atau dalam bahasa yang lebih kasar, integrasi justru mempunyai efek besar atas terjadinya disintegrasi.
Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi yang lebih besar: anomie yang terjadi di masyarakat, yang berujung dengan7 terjadinya penyimpangan, yaitu ‘efek samping’ atau motif yang tidak diinginkan (unintended motif) dari integrasi dalam masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan disfungsi. Bagi Merton, fungsi yaitu seluruh konsekuensi yang terlihat dan berkhasiat bagi pembiasaan atau pengaturan dari sistem yang telah ada,sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yang terlihat yang mengurangi pembiasaan atau pengaturan dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi dan disfungsi, Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi obkektif yang kuat pada pengaturan atau pembiasaan dari suatu sistem yang diinginkan dan diakui oleh seluruh penggalan sistem itu, sedangkan fungsi manifest yaitu kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang kuat pada penaturan dan pembiasaan dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton, 1968:105)
Secara sederhana, sanggup dikatakan bahwa sikap menyimpang yang terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yang berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dilakukan oleh individu. Oleh lantaran itu, Merton membagi keadaan ini dalam lima kategori, yaitu:
1. ‘Conformity’ atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat baik yang tujuan dan cara-caranya ‘benar dalam masyarakat’
2. ‘Innovation’ atau individu yang tujuannya benar, namun cara- cara yang dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat.
3. ‘Ritualism’ atau individu yang salah secara tujuan namun cara-cara yang dipergunakannya sanggup dibenarkan.
4. ‘Retreatism’ atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan cara-cara yang dipergunakan.
5.‘Rebellion’ atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan cara-cara yang diterima dengan membuat sistem gres yang mendapatkan tujuan-tujuan dan cara-cara baru.
Dalam hal ini Merton memperlihatkan pola yang sangat baik dalam melihat sikap menyimpang dalam masyarakat berupa tindak kriminal. Karena dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memperlihatkan setiap warganya ‘the American Dream’, di mana Amerika memperlihatkan kebebasan setiap warganya untuk memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan cita-citanya.
Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang bahu-membahu dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam memperlihatkan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah sebagian besar dari mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari mereka akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang diinginkan, yakni dengan melaksanakan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut (lihat Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa tindakan yang mungkin diambil oleh mereka, terutama dengan menjadi subkultur penyimpang, menyerupai pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat. Tentu saja kasus yang dicontohkan oleh Merton pun dapat Sumber http://makalahtugasmu.blogspot.com
EmoticonEmoticon