Jual Beli Yang Dilarang

Berkenaan dengan jual beli yang tidak boleh dalam Islam, Wahbah al-Zuhaily meringkasnya sbb :

1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
   Ulama telah setuju bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, sanggup menentukan dan bisa ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya ialah sbb :
   • a. Jual beli orang gila. Ulama fiqih setuju bahwa jual beli orang yang ajaib tidak sah. Begitu pula sejenisnya, menyerupai orang mabuk dll.
   • b. Jual beli anak kecil. Ulama fiqih setuju bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah kecuali dalam perkara-perkara ringan dan sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baligh tidak sah lantaran tidak ada ahliah.Adapun berdasarkan ulama Malikiyah, Hanafiyah dan hanabilah, jual beli anak kecil dipandang sah bila diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan salah satu cara untuk melatih kedewasaan ialah dengan menawarkan keleluasaan untuk jual beli, juga pengamalan atas firman Allah Swt.Allah Swt berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu hingga mereka remaja untuk kawin. Kemudian bila berdasarkan pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (Q.S. An Nisaa’ 4 : 6)
   • c. Jual beli orang buta.  Jual beli orang buta dikategorikan shahih berdasarkan jumhur bila barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya).Adapun berdasarkan ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah lantaran ia tidak sanggup membedakan barang yang buruk dan yang baik.
   • d. Jual beli terpaksa. Menurut ulama Hanafiyah, aturan jual beli orang terpaksa menyerupai jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni ditangguhkan (mauquf).Oleh lantaran itu keabsahannya ditangguhkan hingga rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar.Adapun berdasarkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah lantaran tidak ada keridaan dikala akad.
   • e. Jual beli fudhul. Jual beli fudhul ialah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan hingga ada izin pemiliknya.Adapun berdasarkan ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.
   • f. Jual beli orang yang terhalang. Maksud terhalang di sini ialah terhalang lantaran kebodohan, melarat ataupun sakit. Jual beli orang yang terbelakang yang suka menghamburkan hartanya, berdasarkan pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling shahih di kalangan Hanabilah, harus ditangguhkan.
   • g. Jual beli malja’. Jual beli malja’ ialah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, berdasarkan ulama Hanafiyah dan batal berdasarkan ulama Hanabilah.
2. Terlarang Sebab Shighat
   Ulama fiqih telah setuju atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan di antara pihak yang melaksanakan akad, ada kesesuaian di antara ijab dan qabul, berada di satu kawasan dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama ialah sbb :
   • a. Jual beli mu’athah. Adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak menggunakan ijab qabul. Jumhur ulama menyampaikan shahih apabila ada ijab dari salah satunya.Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan atau cara-cara lain yang memperlihatkan keridaan. Memberikan barang dan mendapatkan uang dipandang sebagai shighat dengan perbuatan atau isyarat.Adapun ulama Syafi’iyah (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal.3) beropini bahwa jual beli harus disertai ijab qabul yakni dengan shighat lafazh, tidak cukup dengan kode lantaran keridhaan sifat itu tersembunyi dan tidak sanggup diketahui kecuali dengan ucapan. Mereka hanya membolehkan jual beli dengan kode bagi orang yang uzur.Jual beli mu’athah dipandang tidak sah berdasarkan ulama Hanafiyah tetapi sebagian ulama Syafi’iyah membolehkannya menyerupai Imam Nawawi. (As-Suyuti, Al-Asbah, hal. 89)Menurutnya, hal itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibn Suraij dan Ar-Ruyani membolehkannya dalam hal-hal kecil.
   • b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan. Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan ialah sah. Tempat berakad ialah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, kesepakatan tersebut dipandang tidak sah menyerupai surat tidak hingga ke tangan yang dimaksud.
   • c. Jual beli dengan kode atau tulisan. Disepakati keshahihan kesepakatan dengan kode atau goresan pena khususnya bagi yang uzur lantaran sama dengan ucapan. Selain itu, kode juga memperlihatkan apa yang ada dalam hati aqid. Apabila kode tidak sanggup dipahami dan tulisannya buruk (tidak sanggup dibaca), kesepakatan tidak sah.
   • d. Jual beli barang yang tidak ada di kawasan akad. Ulama fiqih setuju bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di kawasan ialah tidak sah lantaran tidak memenuhi syarat terjadinya aqad.
   • e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul. Hal ini dipandang tidak sah berdasarkan kesepakatan ulama. Akan tetapi, bila lebih baik, menyerupai meninggalkan harga, berdasarkan ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah menganggapnya tidak sah.
   • f. Jual beli munjiz. Adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid berdasarkan ulama Hanafiyah, dan batal berdasarkan jumhur ulama.
3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
   Secara umum, ma’qud alaih ialah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.Ulama fiqih setuju bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih ialah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, sanggup diserahkan, sanggup dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada larangan dari syara’.Selain itu, ada beberapa problem yang disepakati oleh sebagian ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya sbb :
   • a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada. Jumhur ulama setuju bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada ialah tidak sah.
   • b. Jual beli barang yang tidak sanggup diserahkan. Jual beli barang yang tidak sanggup diserahkan, menyerupai burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
   • c. Jual beli gharar. Jual beli gharar ialah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu tidak boleh dalam Islam lantaran Rasulullah Saw bersabda, “janganlah kau membeli ikan dalam air lantaran jual beli menyerupai itu termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad)Menurut Ibn Jazi al-Maliki, gharar yang dilarag ada 10 macam :
     – Tidak sanggup diserahkan, menyerupai menjual anak binatang yang masih dalam kandungan induknya
     – Tidak diketahui harga dan barang
     – Tidak diketahui sifat barang atau harga
     – Tidak diketahui ukuran barang dan harga
     – Tidak diketahui masa yang akan tiba seperti, “Saya jual kepadamu bila fulan datang”.
     – Menghargakan dua kali pada satu barang
     – Menjual barang yang dibutuhkan selamat
     – Jual beli husha’ contohnya pembeli memegang tongkat, bila tongkat jatuh maka wajib membeli
     – Jual beli munabadzah yaitu jual beli dengan cara lempar melempari menyerupai seseorang melempar bajunya, kemudian yang lain pun melembar bajunya maka jadilah jual beli
     – Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain maka wajib membelinya
   • d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis. Ulama setuju perihal larangan jual beli barang yang najis menyerupai khamr. Akan tetapi mereka berbeda pendapat perihal barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang mustahil dihilangkan menyerupai minyak yang terkena bangkai tikus.Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya sesudah dibersihkan.
   • e. Jual beli air. Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki menyerupai air sumur atau yang disimpan di kawasan pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama empat madzhab. Sebaliknya ulama zhahiriyah melarang secara mutlak.Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah yakni semua insan boleh memanfaatkannya.
   • f. Jual beli barang yang tidak terperinci (majhul). Menurut ulama Hanafiyah, jual beli menyerupai ini ialah fasad, sedangkan berdasarkan jumhur batal lantaran akan mendatangkan kontradiksi di antara manusia.
   • g. Jual beli barang yang tidak ada di kawasan kesepakatan (ghaib), tidak sanggup dilihat. Menurut ulama Hanafiyah, jual beli menyerupai ini dibolehkan tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya tetapi pembeli berhak khiyar dikala melihatnya.Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 macam :
     – Harus jauh sekali tempatnya
     – Tidak boleh erat sekali tempatnya
     – Bukan pemiliknya harus ikut menawarkan gambaran
     – Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
     – Penjual tidak boleh menawarkan syarat
   • h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang. Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang sanggup dipindahkan sebelum dipegang tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan.Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas masakan yang diukur.
   • i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan. Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah tetapi belum matang, akadnya fasid berdasarkan ulama Hanafiyah dan batal berdasarkan jumhur ulama. Adapun bila buah-buahan atau flora itu telah matang, akadnya dibolehkan.
4. Terlarang Sebab Syara’.
   Ulama setuju membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan rukunnya. Namun demikian, ada beberapa problem yang diperselisihkan di antara para ulama, di antaranya berikut ini :
   • a. Jual beli riba. Riba nasiah dan riba fadhl ialah fasid berdasarkan ulama Hanafiyah tetapi batal berdasarkan jumhur ulama.
   • b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan. Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi kesepakatan atas nilainya, sedangkan berdasarkan jumhur ulama ialah batal lantaran ada nash yang terperinci dari hadits Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Saw mengharamkan jual beli khamr, bangkai, anjing dan patung.
   • c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang. Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju kawasan yang dituju (pasar) sehingga orang yang mencegatnya akan menerima keuntungan. Ulama Hanafiyah beropini bahwa hal itu makruh tahrim.Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama Malikiyah beropini bahwa jual beli menyerupai itu termasuk fasid.
   • d. Jual beli waktu adzan Jum’at. Yakni bagi pria yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Menurut ulama Hanafiyah pada waktu adzan pertama. Sedangkan berdasarkan ulama lainnya, adzan dikala khatib sudah berada di mimbar (adzan kedua).Ulama Hanafiyah menghukumi makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi’iyah menghukumi shahih haram. Tidak jadi pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah dan tidak sah berdasarkan ulama Hanabilah.
   • e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr. Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah zhahirnya shahih tetapi makruh. Sedangkan berdasarkan ulama Malikiyah dan Hanabilah ialah batal.
   • f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil. Hal itu tidak boleh hingga anaknya besar dan sanggup mandiri.
   • g. Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain. Seseorang telah setuju akan membeli suatu barang, namun masih dalam khiyar, kemudian tiba orang lain yang menyuruh untuk membatalkannya lantaran ia akan membelinya dengan harga yang tinggi.
   • h. Jual beli menggunakan syarat. Menurut ulama Hanafiyah, sah bila syarat tersebut baik, seperti, “Saya akan membeli baju ini dengan syarat belahan yang rusak dijahit dulu”.Begitu pula berdasarkan ulama Malikiyah membolehkannya bila bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan bila syarat maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan berdasarkan ulama Hanabilah, tidak dibolehkan bila hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.

Sumber http://kamarulintangsakti.blogspot.com