Minggu, 02 Desember 2018

Hukum Bai' Ad-Dayn /Jual Beli Piutang

Pemateri: Ust. DR. RIKZA MAULAN Lc., MAg.
BAI' DAYN.

Dalam transaksi muamalah cukup umur ini, terkadang ditemui transaksi berupa jual beli piutang, mirip ketika seseorang yang mempunyai piutang, kemudian ia menjual piutang nya tersebut kepada orang lain.

Atau dalam kasus forum keuangan syariah, ketika suatu  LKS akan menjual asset pembiayaannya kepada Lomba Kompetensi Siswa yang lainnya, maka bagaimanakah hukumnya?

Berikut kami simpulkan dari beberapa referensi, utamanya dari Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Al-Zuhaily.

Syekh Wahbah Zuhaily memperlihatkan pembahasan wacana bai’ ad-dain ( بيع الدين ) sebagai berikut  (4/432):

1. Menjual piutang dengan hutang ( بيع الدين نسيئة )

Dalam fiqh transaksi mirip ini dikenal dengan sebutan bai’ ad-dayn by ad-dayn atau dalam hadits disebut bai’ al-kali bil kali ( بيع الكاليء بالكاليء ).

Bentuk transaksi jual beli mirip ini yaitu dihentikan secara syariah. 

Sebagaimana disebutkan dalam hadits :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ (رواه النسائي في الكبرى والحاكم والدارقطني)
Dari Ibnu Umar ra sesungguhnya Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang. (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, Daruquthni dan Al-Hakim)[1]

Menjual piutang dengan hutang, bisa terjadi dalam dua bentuk :

a. ( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang tersebut
Yaitu mirip seseorang yang berkata kapeada orang lain,

* Saya beli dari kau satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan serah terima dilakukan sesudah satu bulan.’

* Atau seseorang membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu kemudian ketika jatuh tempo, penjual tidak mendapat barang untuk menutupi utangnya, lantas berkata kepada pembeli,

'Juallah barang ini kepadaku dengan pelengkap waktu lagi dengan imbalan pelengkap barang’.

Lalu pembeli menyetujui undangan penjual dan kedua belah pihak tidak saling sarah terima barang.

Cara mirip ini merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah

‘berikan pelengkap waktu dan saya akan berikan pelengkap jumlah barang.’ ( زدني في الأجل وأزيدك في القدر )

b.( بيع الدين لغير المدين )  Menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang.

Hal ini mirip seseorang berkata kepada orang lain, ‘Saya jual kepadamu  20 mud gandum milikku  yang dipinjam oleh fulan dengan harga sekian dan kau bisa membayarnya kepadaku sesudah satu bulan.’

Maka transaksi jual beli mirip ini juga termasuk transaksi yang tidak diperbolehkan.

 2. Menjual piutang dengan tunai pada dikala transaksi. ( بيع الدين نقدا في الحال )

Hukum menjual piutang dengan tunai diperselisih kan oleh ulama wacana hukumnya dan sanggup disimpulkan sebagai berikut:

A. ( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang.

Kebanyakan hebat fiqih dari empat madzhab  memperbolehkan menjual piutang atau menghibahkan piutang kepada orang yang berhutang.

Karena penghalang dari sahnya menjual piutang dengan hutang yaitu alasannya yaitu ketidakmampuan menyerahkan objek akad.

Sementara dalam jual beli piutang kepada orang yang berhutang di sini, tidak diharapkan lagi penyerahterimaan objek akad, alasannya yaitu piutang sudah ada pada orang yang meminjamnya sehingga sudah diserah terimakan dengan sendirinya.

Contohnya yaitu orang yang memperlihatkan hutang/ kreditur ( الدائن ) menjual piutangnya yang ada pada debitur (المدين ) dengan harga berupa sesuatu yang bukan sejenis piutangnya.

Namun, berbeda dengan jumhur ulama, Madzhab Zhahiriyah berperdapat bahwa menjual piutang kepada orang yang berhutang yaitu tidak sah, alasannya yaitu jual beli ini mengandung unsur gharar.

Ibnu Hazam berkata, ‘karena jual beli ini termasuk jual beli barang yang tidak diketahui dan tidak terang barangnya. Inilah yang disebut dengan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

B. ( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan berhutang.

1. Mahdzhab Hanafi dan Zhahiri menyampaikan bahwa oleh alasannya yaitu intinya tidak boleh menjual barang yang tidak bisa diserah terimakan,  maka menjual piutang kepada orang lain yang bukan berhutang yaitu  tidak boleh.

Sebab piutang tidak bisa diserahkan kecuali kepada orang yang berhutang itu sendiri. 

Karena piutang yaitu menyerupai dari harta yang ada dalam tanggungan seseorang secara hukum, atau menyerupai dari mengalihkan hak kepemilikan dan menyertakannya.

Kedua hal tersebut tidak bisa diserahkan oleh penjual kepada pihak lain yang bukan berhutang.

2. Madzhab Syafii  mengemukakan bahwa :

a. Menjual piutang yang bersifat tetap[2] kepada orang yang berhutang  atau kepada pihak lain sebelum piutang itu diterima oleh orang yang memberi hutang, yaitu  diperbolehkan. Karena secara zahir, kreditur (orang yang memperlihatkan hutang) bisa menyerahkan barang tanpa ada halangan apapun.

Contoh piutang yang tetap yaitu nilai barang yang dirusak (yang harus diganti) dan barang yang ada pada debitur (yang harus dikembalikan kepada si pemberi hutang).

b.    Akan tetapi apabila piutang tersebut tidak tetap, maka kalau ia berupa barang yang diserahkan pada jual beli salam, hukumnya tidak boleh menjualnya sebelum barang tersebut diterima.

Hal ini alasannya yaitu adanya larangan secara umum wacana jual beli barang yang belum diterima.

Disamping itu juga alasannya yaitu kepemilikan barang dalam jual beli salam tidaklah tetap, alasannya yaitu ada kemungkinan barang tersebut tidak bisa diserahkan alasannya yaitu hilang, sehingga jual beli menjadi batal.

c.  Kemudian apabila piutang itu berupa harga barang dalam jual beli, maka dalam pendapat terbaru dari madzhab Syafii yaitu juga diperbolehkan menjualnya sebelum dipegang, berdasarkan riwayat Ibnu Umar, dari Rasulullah SAW ;

لاَ بَأْسَ مَالَمْ تَتَفَرَّقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

‘Tidak apa-apa selama keduanya belum berpisah dan diantara keduanya ada sesuatu.’ (HR. Turmudzi).[3]

3. Madzhab Hambali  berpendapat bahwa :

a.  Boleh menjual piutang yang tetap kepada debiturnya sendiri, mirip mengganti pemberian dan mahar sesudah senggama.

b.  Namun tidak boleh menjual piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya, sebagaimana tidak boleh menghibahkan piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya. Karena intinya hibah mengharuskan adanya barang sementara dalam hal hibang hutang ini, barangnya tidak ada.

c. Tidak boleh juga menjual piutang yang tidak tetap, mirip sewa properti sebelum final masa sewanya, atau mirip mahar sebelum bersenggama dengan istri atau mirip barang pada jual beli salam sebelum diterima.

Namun sebagai catatan, walaupun madzhab Hambali tidak memperbolehkan transaksi menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang, namun Ibnu Qayim yang merupakan salah satu ulama besar Madzhab Hambali membolehkan jual piutang kepada orang yang berhutang maupun kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang.

4.    Sementara Madzhab Maliki beropini bahwa boleh menjual piutang kepada orang lain yang tidak berhutang  apabila memenuhi delapan syarat berikut:

a.   Jual beli tidak mengakibatkan pada pelanggaran syariah, mirip   riba, gharar, atau sejenisnya.

Dengan demikian, piutang harus berupa sesuatu yang bisa dijual sebelum diterima, mirip halnya kalau piutang itu berupa pemberian dan sejenisnya. Dan kalau piutang bukan berupa barang makanan.

b. Piutang harus dijual dengan harga tunai biar terhindar dari aturan jual beli piutang yang dilarang.

c.  Harga harus berupa sesuatu yang bukan sejenis piutang yang dijual atau sejenisnya tetapi harus ada persamaan jumlahnya biar tidak terjebak dengan jual beli riba yang haram.

d.  Harga tidak boleh berupa emas, kalau piutang yang dijual yaitu perak biar tidak terjadi jual beli uang dengan uang yang tidak tunai, tanpa diserahkan keduanya.

e. Adanya dugaan berpengaruh untuk mendapat piutang (dilunasinya hutang), mirip kemungkinan hadirnya  orang yang berhutang (debitur) di kawasan dilaksanakannya kesepakatan guna mengetahui kondisinya, apakah ia mempunyai dana atau tidak.

f.  Orang yang berhutang (Debitur) harus mengakui hutangnya biar ia tidak mengingkarinya sesudah itu.

Maka oleh karenanya tidak diperbolehkan menjual hak milik yang disengketakan.

g.  Orang yang berhutang (Debitur) yaitu orang yang layak untuk membayar hutangnya; atau debitur bukanlah orang yang tidak bisa atau bukan orang yang terhalang.

Hal ini untuk memastikan biar ia bisa menyerah- terimakan barang atau hutang.

h.   Tidak adanya konflik antara pembeli dan orang yang berhutang (debitur) seingga pembeli tidak dirugikan, atau biar debitur tidak dirugikan dalam bentuk memberi peluang kepada sengketanya untuk merugikannya.

KESIMPULAN:

Bai' ad-dayn boleh dilakukan berdasarkan Madzhab Syafi'i, Maliki dan juga Ibnu Qayim Al-Jauzi dengan syarat bahwa :
1. Dibayar dengan tunai (cash), dan
2. Tidak boleh dibayar dengan tunda (cicil).

Karena kalau dibayar dengan tunda atau cicil, mengakibatkan pada jual beli hutang dengan hutang, dan hal tersebut dihentikan oleh Rasulullah SAW.

Jual beli piutang dengan tunai diperbolehkan, apabila terhindar dari praktek riba.
Sehingga diharuskan adanya kesamaan harga, antara piutang yang dijual, dengan piutang yang akan diperoleh.

Sehingga tidak boleh contohnya menjual piutang Rp. 10.000,000,-, untuk kemudian dibayarnya senilai Rp 11.000.000,-. Karena kalau demikian terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama, dan hal ini merupakan riba fadhl yang diharamkan. 

Jadi, jual beli piutang secara cash diperbolehkan dengan syarat harganya harus sama.

Objek yang ditransaksikan haruslah jelas.
Misalnya berapa jumlahnya,
apa objek terjadinya piutang, siapa orang yang mempunyai piutang, dst.

Ketidakjelasan pada aspek ini, mengakibatkan transaksi terjerumus pada bay' gharar yang diharamkan.

Lalu syarat-syarat lain yang disampaikan oleh Madzhab Maliki di atas, mirip adanya ratifikasi dari orang yang berhutang, kemudian adanya kepastian bahwa orang yang berhutang sanggup untuk melunasi hutangnya, dsb.

Syarat lainnya yaitu syarat yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi;i, yaitu bahwa objeknya (piutang) haruslah termasuk dalam kategori maal mustaqir (yang terang dan tetap serta tidak adanya kemungkinan bahwa hutang tersebut menjadi diputihkan), dsb.

Apabila piutangnya yaitu sesuatu yang bukan maal mustaqir, maka tidak boleh diperjual belikan. Karena berarti adanya ketidakjelasan pada objek yang berakibat pada bai' gharar yang diharamkan.

Wallahu A'lam bis Shawab


[1] Hanya saja Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulughul Maram mengomentari bahwa hadits ini dha’if

 (1/316, lihat Al-Maktabah As-Syamilah)

[2] Dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaily, bahwa hutang yang bersifat tetap ( الدين المستقر ) yaitu hutang yang tetap keharusan untuk pelunasannya dan yang oleh pemiliknya harus ditunaikan (dibayarkan) kepada orang yang memperlihatkan hutang, tanpa ada kemungkinan lain yang menjadikan hutangnya lunas.

[3] Hadits tersebut lengkapnya yaitu sebagai berikut :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَسْأَلَكَ إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ (رواه النسائي وأبو داود وأحمد والحاكم)

Dari Ibnu Umar, beliau berkata; "Saya pernah menjual unta di Baqi' saya menjualnya dengan beberapa dinar, dan kuambil beberapa dirham, kemudian saya tiba menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di rumah Hafshah, saya berkata;

"Wahai Rasulullah, saya ingin bertanya. Sesungguhnya saya menjual unta di Baqi', saya menjualnya dengan dinar dan mengambil dirham."

Beliau bersabda: "Tidak mengapa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu, selama kalian berdua belum berpisah sementara (ketika itu) di antara kalian ada sesuatu." (HR. Nasa’i, Abu Daud, Ahmad dan Al-Hakim)


Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM




Sumber http://kamarulintangsakti.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)